KOMPAS/RIZA FATHONI
Zona luar ruang di Resto Temu Rasa yang memanfaatkan lanskap pinggir Situ Gintung di Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (7/10/2021).
Fakta Singkat
- Angka kemiskinan terendah dalam sejarah Indonesia tercatat pada Maret 2018 dengan rasio 9,82 persen atau sebanyak 25,95 juta orang.
- Konsumsi rumah tangga menjadi fondasi utama PDB pada 2021 dengan kontribusi mencapai 52,91 persen di kuartal keempat.
- Dalam masa pemulihan pascapandemi, penjualan kendaraan untuk jenis mobil dan sepeda motor di Indonesia mengalami peningkatan.
- Perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dipengaruhi: peningkatan kemampuan ekonomi, penguatan ideologi kapitalisme dan budaya asing, eksitensi status sosial, dan pengaruh media mainstream maupun media sosial.
- Pertumbuhan jumlah kafe per tahun di Indonesia bisa mencapai angka 20 persen.
- Lembaga pendidikan akademik memiliki peran agar masyarakat lebih produktif dan tidak hanyut pada arus gelombang gaya hidup yang melanda secara global.
Artikel terkait
Ekonomi nasional Indonesia berjalan secara progresif dan kian tumbuh dari masa ke masa. Pada November 2018, Bank Indonesia menyampaikan prediksinya bahwa Indonesia akan memiliki prospek ekonomi membaik. Pada 2024, pertumbuhan ekonomi nasional akan mencapai mencapai angka 5,5–6,1 persen. Namun, pandemi Covid-19 telah mengubah prediksi ini. Sumber daya manusia dan anggaran keuangan tersedot untuk melawan pandemi.
Secara keseluruhan, kondisi perekonomian Indonesia realtif menunjukkan perbaikan pasca krisis 1998. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sejak 2000 hingga 2017 Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) per kapita meningkat rata-rata 4 persen setiap tahun. Angka ini menjadi yang terbesar ketiga di antara negara-negara G20, hanya kalah dari Cina dan India dengan masing-masing tumbuh 9 persen dan 5,5 persen per tahun.
Setahun sebelum pandemi Covid-19 melanda, atau pada 2019, capaian ekonomi Indonesia menunjukkan tren cukup baik. Sebagaimana tercatat pada situs Kementerian Keuangan pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2019 mampu mencapai angka 5,02 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara sebesar 4,40 persen.
Tingkat inflasi pun hanya mencapai 2,72 persen, atau di bawah target APBN Tahun Anggaran 2019 sebesar 3,5 persen. Bahkan, di antara negara-negara anggota G20, Indonesia tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga pada kuartal I 2019 dengan mencapai 5,07 persen.
Dalam kondisi pemulihan pandemi pun, ekonomi Indonesia kian menunjukkan tren positif. Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani pemulihan ekonomi di masyarakat telah sangat membantu pemulihan APBN. Impor bahan baku dan barang modal yang tumbuh sangat tinggi sebesar 55,8 persen dan 29,4 persen menunjukkan adanya aktivitas produksi domestik yang terjaga.
Indikator konsumsi dan produksi terkini menunjukkan penguatan yang solid seiring pengendalian pandemi Covid-19 yang membaik di Indonesia. Survei Konsumen Bank Indonesia periode Maret 2022 mengindikasikan bahwa keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi terjaga pada level optimis, tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Maret 2022 sebesar 111,0, berada pada level optimis (indeks >100) meski sedikit termoderasi dari 113,1 pada Februari 2022.
Ekonomi Nasional dan Konsumsi Rumah Tangga
Segala data-data kuantitatif yang merepresentasikan tren positif ekonomi makro nasional tersebut pada akhirnya juga memberikan dampak positif di tingkat mikro. Kualitas ekonomi manusia Indonesia dewasa ini kian mencatatkan perbaikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2018 turun menjadi 9,82 persen atau sebanyak 25,95 juta orang. Jumlah tersebut merupakan rasio kemiskinan terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Selain itu, sektor konsumsi rumah tangga telah menujukkan kekuatannya dengan menjadi fondasi utama bagi PDB Indonesia. Pada Kuartal IV tahun 2021, konsumsi rumah tangga masyarakat Indonesia tumbuh 3,55 persen dan mencapai angka 52,91 persen terhadap PDB. Menurut Kepala BPS, Margo Yuwono, hal ini menjadi indikator bagi masyarakat yang kembali mulai belanja dan melakukan kegiatan konsumsi dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi.
Disampaikan oleh Margo bahwa pada kuartal IV tahun 2021, ekonomi Indonesia yang tumbuh 5,02 persen diikuti mobilitas masyarakat yang kian bagus. “Faktor pendukung konsumsi rumah tangga adalah penjualan eceran tumbuh. Penjualan wholesale mobil tumbuh 72,87 persen sementara sepeda motor tumbuh 64,79 persen. Hal ini menunjukkan indikasi pengeluaran konsumsi rumah tangga meningkat.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pedagang pakaian di Pasar Tanah Abang, Jakarta, melayani warga yang hendak berbelanja, Jumat (13/5/2022). Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2022 mencapai 5,01 persen secara tahunan. Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,43 persen dan kontribusinya terhadap produk domestik bruto 53,56 persen.
Artikel terkait
Kapitalisasi dan Stratifikasi Sosial dalam kultur konsumsi
Tren positif ekonomi makro Indonesia telah memberikan pengaruh peningkatan dan penguatan konsumsi rumah tangga. Di level yang lebih mikro tersebut, angka kemiskinan yang menurun dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik menjadi pendukung bagi masyarakat dalam melakukan konsumsi. Dengan tren yang terus dan kian membaik, aktivitas konsumsi ini kemudian menjadi suatu budaya tersendiri, hingga mencapai titik memengaruhi gaya hidup masyarakat Indonesia dalam konteks kontemporer.
Awal transisi budaya konsumsi masyarakat Indonesia telah dimulai sejak era Orde Baru. Sebagaimana dituliskan Fitri Ramdhani Harahap dalam artikel Dampak Urbanisasi bagi Perkembangan Kota di Indonesia, Soeharto menjadikan ekonomi makro sebagai kiblat pelaksanaan kebijakan nasional. Salah satu konsekuensi dari keputusannya ini adalah menghadirkan investasi asing secara besar-besaran ke dalam negeri. Hal demikian berdampak tidak hanya secara ekonomi, namun juga demografis dan kultural.
Kebijakan Soeharto mendorong perkotaan menjadi pusat ekonomi. Selama tahun 1967 sampai 1980, arus urbanisasi masif pun mulai terjadi di Indonesia. Gumilar R. Somantri dalam artikel Kajian Sosiologis Fenomena Mudik mencatat bahwa ruang kota Indonesia pun menjadi wujud pembangunan imajinasi kapitalis yang diterapkan oleh asing (dalam hal ini adalah negara-negara Barat) dan rezim yang beroerintasi pada Barat.
Dalam kondisi demikian, Herlianto dalam buku Urbanisasi dan Pembangunan Kota memaparkan bahwa kota pun dipandang sebagai indikator kehidupan modern dan kemapanan. Kehidupan di kota yang telah terorientasi pada budaya Barat adalah perwujudan hidup dengan status sosial tinggi. Semenjak dibukanya keran kapitalisme dalam tubuh kembang bangsa, pengaruh budaya asing menjadi kian deras.
Kehadiran pengaruh asing juga menghadirkan unsur egaliter dalam stratifikasi sosial masyarakat Indonesia. AB Susanto dalam buku Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis menyoroti bahwa stratifikasi sosial sejati di Indonesia berangkat dari sistem kebangsawanan atau kerajaan. Dalam bentuk masyarakat feodal tersebut, stratifikasi sosial ditentukan berdasarkan garis genealogis atau keturunan.
Namun, kehadiran pengaruh asing telah menggeser sistem struktural ini dan menghadirkan cara penentuan startifikasi sosial yang lebih egaliter. Kini, status sosial dalam bentuk ascribed status atau status kebangsawanan tak lagi relevan dalam konteks masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Seseorang harus berusaha meraih statusnya sendiri (achieved status) melalui kompetisi dan kualitas diri.
Dalam status sosial yang telah dimiliki tersebut, terkandung unsur prestise atau kebanggaan. Hal ini juga terjadi dalam bentuk status sosial kuno di Indonesia. Para pangeran atau bangsawan akan berusaha menunjukkan prestise yang mereka miliki dengan pahatan ukiran nan rumit di dinding, payung berwarna kuning keemasan, dan pola batik parang rusak. Bentuk-bentuk tersebut, dikatakan oleh Onghokham dalam Show Kemewahan, Suatu Simbol Suskes, sebagai cara menunjukkan status sosial pada jenis stratifikasi masa lampau, secara khusus di Jawa.
Kini, dalam Indonesia modern dimana pembentukan status sosialnya pekat dengan pengaruh asing, maka penunjukkan prestise tersebut dilakukan dengan cara melakukan konsumsi komoditas asing. Menurut Onghokham, dalam masa kontemporer dimana kebanggaan terhadap simbol budaya lokal telah berkurang, penunjukkan status sosial dilakukan pada simbol-simbol kemewahan yang berorientasi asing.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pengunjung mengabadikan deretan gedung pencakar langit dari Skywalk Senayan Park, Senayan, Jakarta, Rabu (29/12/2021). Tempat ini menjadi destinasi wisata baru bagi masyarakat di akhir tahun yang ingin menyaksikan pemandangan Ibu Kota dari ketinggian.Untuk mencegah penyebaran Covid-19, pengelola membatasi hanya 100 orang saja yang bisa masuk ke skywalk secara bergiliran.
Artikel terkait
Dorongan konsumsi oleh media
Meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia, menguatnya ideologi kapitalisme dan budaya asing, dan wujud kebaruan stratifikasi sosial menjadi beberapa faktor peningkatan konsumsi masyarakat Indonesia. Namun, sosiolog Indonesia, Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, menambahkan faktor dorongan oleh media. Dalam era disrupsi dan digitalisasi pada segala bidang kehidupan, media kian bermain penting dalam memberikan pengaruh pada manusia.
Dituliskan oleh Heryanto, “Menjadi amat jelas bagaimana media baru telah campur tangan dan membentuk ulang kehidupan sosial kita di seluruh dunia, dalam berbagai kadar.” Menurut Heryanto, media massa telah bertumbuh dan menancapkan diri sebagai salah satu lembaga paling kuat.
Media massa memiliki pengaruh kuat dalam membangun persepsi manusia, baik itu bagi lingkungannya maupun bagi dirinya sendiri. Media massa jugalah yang memiliki kapasitas untuk menciptakan agenda apa yang perlu dan akan dibahas secara ramai di masyarakat. Pada akhirnya, segala potensi pengaruh tersebut menjadi katalis bagi pembentukan gaya hidup masyarakat sendiri.
Kekuatan media sosial demikian dicontohkan oleh AB Susanto dalam promosi film Jurassic Park tahun 2001 lalu. Media massa dari seluruh dunia menayangkan secara terus menerus film ini. Televisi dan surat kabar memampang cuplikan-cuplikan film dan gambar hewan dinosaurus. Media memilih untuk dengan sengaja mengangkat Jurassic Park sebagai tema. Dampaknya, lahirlah konsumsi terhadap segala yang berkaitan dengan Juraissic Park. Tak hanya tiket menonton film, orang-orang dari penjuru dunia juga mengonsumsi kaos, buku, tas, hingga mainan berbentuk dinosaurus. Simbol Jurassic Park pun menjadi tanda bagi gaya hidup manusia pada zaman itu yang tidak ketinggalan zaman.
Selain itu, sebagaimana disoroti Erich Fromm dalam buku The Fear of Freedom, bentuk pengiklanan modern yang digunakan oleh media tak lagi berwujud irasional. Iklan yang diproduksi media tidak lagi menonjolkan keunggulan komoditas yang ditawarkan atau memaparkan alasan yang relevan untuk melakukan konsumsi. Iklan masa kini bermain pada tataran emosi manusia. Tanpa perlu repot-repot memaparkan alasan, media menggunakan figur-figur terkenal seperti artis untuk mempromosikan barangnya. Mereka juga mengangkat gambaran-gambaran imajinatif untuk membangkitkan kepuasaan khayali audiens. Menurut Fromm, cara demikian melemahkan daya kritis manusia–dan paling penting, menarik pelanggan untuk melakukan konsumsi.
Kembali merujuk pada Ariel Heryanto, media massa digital saat ini justru semakin menancapkan pengaruh dan kekuatannya yang demikian pada manusia. Kelas sosial dan identitas menjadi begitu cair karena dapat dibangun semudah seseorang menunjukkan citra dirinya di dunia maya. Melalui Facebook, Instagram, dan Whatsapp, manusia dapat menentukan sendiri identitas mereka dengan memerkan gaya hidup dan komoditas yang ia konsumsi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para petani muda memasarkan tanaman hiasnya melalui platform e-dagang (marketplace) di pusat pembudidayaan tanaman hias Titik Hijau, Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Senin (26/10/2020). Penjualan melalui platform e-dagang telah dilakukan para petani muda ini sejak dua tahun lalu. Saat pandemi omset penjualan daring meningkat dua kali lipat ditambah dengan budidaya tanaman hias di masyarakat yang tengah ngetren.
Artikel terkait
Bentuk-bentuk gaya hidup masyarakat Indonesia
Terdapat setidaknya empat faktor besar bagi perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia kontemporer. Keempat faktor tersebut di antaranya: pertumbuhan dan perbaikan ekonomi, pengaruh komodifikasi kapitalisme serta budaya asing, pergeseran wujud penunjukkan prestige, dan dominasi media massa. Meski demikian, keempat faktor tersebut sama sekali bukan batasan bagi kemungkinan hadirnya faktor-faktor lain yang memengaruhi gaya hidup Indonesia kontemporer.
Faktor-faktor yang berubah tersebut juga melahirkan perubahan bentuk-bentuk gaya hidup yang baru. Mengacu pada berbagai literatur yang relevan, bentuk-bentuk tersebut tampak secara garis besar dalam gaya hidup kontemporer demikian:
a. Belanja dan Berburu Diskon
“Branded sale” menjadi konsep utama yang disampaikan AB Susanto dalam bentuk gaya hidup ini. Bagi para pemasar, waktu-waktu libur dan akhir tahun menjadi momentum tepat untuk menarik manusia Indonesia kontemporer dalam ruang-ruang perbelanjaan. Dalam kesempatan ini, mereka akan menawarkan harga-harga yang lebih ringan pada komoditas tertentu. Diskon menjadi media promosi tepat bagi masyarakat konsumsi yang berorientasi pada status dan simbol komoditas.
Yasraf A. Piliang lewat artikelnya dalam buku Ectasy Gaya Hidup menuliskan bahwa shopping mall atau pusat perbelanjaan modern telah menjadi gaya hidup baru bagi masyarakat Indonesia. Meningkatnya taraf ekonomi masyarakat dan kemampuan ekonomi rumah tangga juga dibarengi dengan meningkatnya taraf pengeluaran individu. Kegiatan belanja pun menjadi sebuah budaya yang dilakukan dalam tujuan untuk mengisi waktu senggang.
Dalam kegiatan ini, Piliang melihat bahwa belanja menjadi aktivitas yang menyenangkan karena menawarkan “kesenangan dan fantasi”. Perkembangan aktual kota metropolitan pun mendukung kebudayaan ini dengan melahirkan pusat-pusat perbelanjaan sebagai alternatif hiburan. Piliang menyoroti hal ini sebagai pengaruh dari budaya konsumerisme di Barat.
Data BPS pada Februari 2019 menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2018 saja, pusat perbelanjaan di Indonesia sudah mencapai jumlah 708. Angka tersebut setara dengan 4,45 persen dari total pusat perdagangan di seluruh Indonesia. Pertumbuhan shopping mall sendiri begitu masif dan cepat. Pada tahun 2014 saja, sebanyak 18 pusat perbelanjaan baru berdiri sekaligus di seluruh Indonesia.
Menurut Piliang, dengan berangkat dari pandangan Jean Baudrillard, manusia-manusia modern yang menikmati sajian konsumsi dan hiburan yang ditawarkan shopping mall mengalami situasi hiper-realitas. Dalam kondisi tersebut, manusia mengalami kondisi yang melampaui realitas sejati di luar shopping mall. Ketika berjalan berkeliling, manusia ditawarkan berbagai variasi produk, tema, dan ekslusifitas dalam rupa komoditas. Hal ini mendorong pengunjung untuk melupakan situasi riil kota dan dunia yang sedang terjadi.
b. Peningkatan Penggunaan Mobil
Gaya hidup demikian ditunjukkan dengan sangat jelas pada mudik tahun 2022 kemarin. Mengacu pada data yang dipublikasi oleh Kementerian Perhubungan memperkirakan bahwa jumlah masyarakat yang mudik tahun ini mencapai 85,6 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 40,2 juta pemudik (46,96%) menggunakan kendaraan pribadi dalam bentuk mobil dan sepeda motor. Sisanya, menggunakan transportasi umum.
Mengacu pada tulisan Guru Besar Universitas Indonesia, Sudarsono, di Kompas.com (30/04/2022, “Mudik: Konstruksi Nilai Simbolik Mobil dan Transportasi Publik”), hal ini dapat dikaji secara sosiologis. Jumlah pemanfaatan kendaraan mobil sebagai sarana mudik menunjukkan dependensi masyarakat Indonesia pada nilai simbolik dari mobil itu sendiri.
Kepemilikan atas mobil dapat diterjemahkan sebagai status sosial ekonomi yang tinggi. Seiring dengan semakin terbukanya pasar internasional, kapitalisasi, dan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat, pembelian dan penggunaan mobil oleh masyarakat Indonesia pun meningkat.
Gaya hidup masyarakat Indonesia kontemporer atas mobil juga disampaikan oleh AB Susanto. Mobil dalam masyarakat Indonesia tak lagi dipandang sebagai alat transportasi semata. Lebih daripada itu, mobil juga telah mengandung nilai lebih sebagai sebuah simbol. Hal serupa merupakan bentuk gaya hidup yang terjadi di Amerika Serikat.
Dikatakan oleh Susanto, dalam sejarah industri mobil yang berkiblat di Amerika. Dalam histori industri tersebut, mobil telah memiliki kaitan dengan budaya masyarakat. Mobil telah menjadi simbol prestasi dan kesuksesan individu di Amerika. Dicontohkan Susanto, mengendarai mobil Cadillac adalah simbol kesuksesan di masyarakat Amerika. Hal demikian kemudian terwujud pula dalam konteks gaya hidup masyarakat Indonesia, hanya dengan konteks merk yang berbeda.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pekerja membenahi atap dealer mobil di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Pusat, Sabtu (3/4/2021). Mulai 1 April 2021, pemerintah resmi memperluas insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil berkapasitas mesin 1.501-2.500 cc. Untuk mendapatkan insentif tersebut, pemerintah menetapkan syarat yakni mobil wajib diproduksi di Indonesia dengan pembelian komponen lokal (local purchase) mencapai 60 persen. Ekstra insentif tersebut diharapkan bisa memulihkan industri otomotif dan turunannya yang terpukul cukup parah akibat pandemi Covid-19.
c. Gaya Hidup Kafe
Kehadiran kafe menjadi kian marak dalam konteks Indonesia kontemporer. AB Susanto menyoroti bahwa gaya hidup ke kafe telah kian masif, terutama di ruang-ruang kota. Kafe yang tadinya merupakan simbol erat dengan negara dan budaya Prancis, kini kian diminati oleh masyarakat Indonesia kontemporer.
Hal ini ditunjukkan dengan kian menjamurnya bisnis kedai kopi di Indonesia. Berdasarkan riset yang dirilis oleh Toffin Indonesia pada Agustus 2019 jumlah kedai kopi modern di Indonesia mencapai lebih dari 2.950. Angka ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan tiga tahun sebelumnya yang hanya mencapai jumlah kisaran 1.000 kedai kopi.
Angka tersebut sangat mungkin lebih besar di kenyataan. Ini disebabkan perhitungan hanya dilakukan terhadap kedai dengan jaringan di kota besar, dan tidak termasuk kedai kopi independen di berbagai pelosok daerah.
Muhammad Barkah dalam artikel akademik “Komparasi Pengaruh Hubungan Keterikatan Tempat dan Citra Tempat Ketiga terhadap Desain Kafe” menuliskan bahwa bisnis di bidang ini menjadi kian menarik karena kafe dan nongkrong telah menjadi salah satu kebutuhan penting masyarakat. Ia menuliskan bahwa pertumbuhan kafe per tahunnya di Indonesia bisa mencapai angka 20 persen. Sementara itu, dituliskan oleh Barkah bahwa jumlah pelaku usaha di bidang kafe telah mencapai lebih dari 10.000 di seluruh Indonesia. Dari sisi pendapatan pun diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai USD 4,16 miliar.
Maraknya gaya hidup konsumis komoditas kafe di masyarakat perkotaan Indonesia tak lepas dari pengaruh media sosial dan politik simbol. Menurut artikel Budaya Nongkrong Anak Muda di Kafe oleh Fauzi, Punia, & Kamajaya, keberadaan kafe telah menjadi sarana pemuas eksistensi diri masyarakat kontemporer. Caranya, dengan mengakses platform media sosial, manusia modern akan menampilkan foto, update status, dan history kunjungan sebagai wacana yang akan ditujukan bagi lingkungan media sosialnya.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kuatnya media sosial dalam memberikan pengaruh pada kehidupan bermasyarakat. Kafe sebagai ruang yang lekat dengan budaya Barat pun menjadi menjadi bentuk komoditas baru yang aktual untuk dikonsumsi. Secara khusus, ketergantungan terhadap kafe ditujukan pada konsumsi simbol yang ditawarkan oleh masing-masing kafe.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Barista meracik kopi pesanan pelanggan di gerai kopi Kenangan di Gandaria City Mal, Jakarta Selatan, Jumat (3/5/2019). Bisnis waralaba gerai kopi lokal berkembang sejak beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya tren ngopi.
d. Pengaruh Asianisasi
Praktik gaya hidup terakhir yang tampak mencolok dalam masyarakat Indonesia kontemporer adalah melonjaknya asianisasi dalam berbagai relung kehidupan. Kembali merujuk pada Ariel Heryanto, dituliskan bahwa Gelombang Korea menjadi komponen penting dalam kemunculan gaya hidup baru ini. Kehadiran K-Pop dari Korea Selatan telah menarik minat jumlah masif masyarakat Indonesia dalam melakukan konsumsi budaya populer dari Asia Timur ini.
Dipaparkan oleh Heryanto, Gelombang Korea telah menciptakan fenomena menarik di Indonesia – bahwa untuk pertama kalinya dalam abad-21, Barat tidak lagi menjadi satu-satunya tujuan konsumsi budaya populer yang mendominasi pasar Indonesia. Dalam melakukan tindakan konsumsi K-Pop ini, kebanyakan dilakukan oleh kaum muda perempuan kelas menengah.
Meski begitu, konsep asianisasi ini tidak secara otomatis menghilangkan unsur Barat dalam perihal konsumsi budaya. Menurut Heryanto, apabila dilacak secara mendalam, produksi K-Pop dan berbagai budaya populer Korea Selatan tak lepas bersumber daripada tradisi hiburan Barat juga. Oleh karena itu, sejatinya para aktor hiburan dari Asia tersebut adalah wujud agen yang telah mengalami pengaruh dari Barat.
Heryanto menggunakan konsep Asianisasi yang sifatnya lebih umum untuk menggarisbawahi bahwa tidak hanya Korea Selatan yang berhasil menghadirkan budaya populernya di masyarakat Indonesia. Taiwan, Tiongkok, hingga Jepang sesungguhnya juga hadir dalam ragam bentuk konsumsi yang berbeda di kalangan masyarakat Indonesia. Seperti film Meteor Garden dari Taiwan dan makanan Takoyaki dari Jepang.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktor asal Korea Selatan, Lee Min Ho, menghibur para penggemarnya dalam Lee Min Ho Global Fan Meeting di Jakarta Convention Centre, Jakarta, Sabtu (23/3/13). Penampilan salah satu bintang K-Pop yang populer lewat film Boys Before Flowers tersebut merupakan yang pertama kalinya di Indonesia.
Artikel terkait
Karakter masyarakat konsumerisme Indonesia
Perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia berorientasi secara lekat pada konsumsi simbol. Kehadiran faktor-faktor kapitalisme, peningkatan kualitas ekonomi, stratifikasi sosial, dan pengaruh media massa maupun sosial telah mendorong wujud masyarakat Indonesia modern pada gaya hidup yang menekankan citra dan bukan lagi pada nilai guna atau kemanfaatan suatu komoditas.
Kembali merujuk pada Piliang dalam menjelaskan pandangan Baudrillard, situasi hiperrealitas telah menggeser masyarakat Indonesia pada konsumsi berdasarkan nilai tanda dan simbol. Konsumsi ruang kafe, kendaraan mobil, perburuan diskon, dan budaya Korea Selatan bukanlah konsumsi yang didasarkan pada nilai guna. Dalam kuatnya pengaruh simbol tersebut, sifat konsumsi menjadi begitu relatif. Dalam penjelasan demikian, suatu waktu bisa saja kafe tidak lagi dianggap sebagai gaya hidup yang aktual dan bergeser ke wujud lainnya.
Kembali merujuk pada Fauzi, Punia, dan Kamajaya, konsumsi tersebut, menyandarkan pada dinamika konstruksi simbol atau nilai sosial-budaya tersebut. Pada ketergantungan komoditas tersebut, kebutuhan manusia pun sangat bergantung pada kepuasan semu yang diperoleh dari konsumsi-konsumsi komoditas simbolik tersebut. Dalam konteks ini, fenomena konsumerisme pada masyarakat Indonesia modern telah memasuki dimensi spasial, budaya, transportasi, bahkan mungkin jauh lebih luas lagi.
Fauzi, Punia, & Kamajaya menekankan bahwa kehadiran media sosial telah memperkuat tuntutan dan standar hidup yang dibuat masyarakat. Oleh karena itu, sebagai wujud usaha pembuktian diri untuk tetap eksis dan relevan, manusia modern membangun interaksi yang terus menerus dan sangat lekat dengan media sosial. Ini merupakan wujud kebutuhan palsu yang akan berujung juga pada kepuasan semu melalui pelaksanaan budaya konsumerisme.
Ancaman tidak eksis dan “terpinggirkan” menjadi salah satu konsekuensi yang dapat muncul bagi manusia modern yang tidak mengikuti gaya hidup. Hal ini tampak secara spesifik dalam konteks golongan muda di Ambon. Hatib Abdul Kadir dalam buku Bergaya di Kota Konflik: Mencari Akar Konflik Ambon Melalui Gaya Hidup Anak Muda menyampaikan bahwa anak muda Ambon telah menciptakan “gaya yang khas dan seragam”.
Anak muda Ambon, misalnya, memiliki kencendrungan untuk memisahkan mereka yang tidak mengikuti gaya khas tersebut sebagai “orang desa” ataupun “orang luar”. Sementara mereka yang mengikuti tren khas tersebut akan dianggap sebagai “anak muda kota”.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pengunjung menyusuri lorong dan gerai-gerai yang ada di M Bloc Space, Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (3/3/2022). Me time atau memberi waktu untuk diri sendiri untuk bersenang-senang dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah nongkrong atau mengunjungi tempat-tempat menarik baik sendiri atau bersama sahabat.
Perubahan modern
Pertumbuhan ekonomi positif dalam skala makro dan mikro, diperlukan usaha lebih untuk menghindarkan Indonesia dari jebakan middle-income. Hal ini disampaikan oleh Sri Mulyani sendiri dalam webinar CSIS di Jakarta pada Agustus 2021. “Kita semua tahu di dalam pengalaman lebih dari 190 negara di dunia ini, mayoritas mereka berhenti di middle income. Tidak banyak negara di dunia ini, kurang dari 20 yang bisa menembus itu,” ujarnya.
Cara pertama dan yang utama adalah dengan menitikberatkan pembangunan dan peningkatan kualitas pada manusia-manusia Indonesia itu sendiri. Disampaikan Sri Mulyani, Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas menjadi kunci utama untuk mencapai produktivitas dan inovasi Indonesia. Kualitas yang dimaksud tersebut termasuk adalah manusia unggul yang tidak semata melakukan konsumsi terus menerus secara pasif. Dalam melakukan upaya produksi, SDM dapat secara aktif terlibat dalam peningkatan ekonomi Indonesia.
Selain itu, Franz Magnis-Suseno dalam buku Agama, Filsafat, Modernitas juga secara garis besar menyebutkan karakter dan tantangan perubahan yang muncul dalam konteks Indonesia kontemporer tersebut. Namun, Franz menggarisbawahi bahwa banyak pula gaya hidup masyarakat Indonesia yang berujung pada perubahan hakiki yang kian baik. Dicontohkan olehnya seperti nilai keterbukaan, moralitas humanis, dan solidaritas pada keadilan menjadi kian kuat.
Di samping solusi secara ekonomi dari Sri Mulyani, ada pula nilai-nilai hakiki yang disampaikan Magnis-Suseno untuk diperjuangkan. Menurutnya, konsumsi pasif dan sikap konsumerisme belaka harus dilawan melalui pendidikan dengan pemberian nilai-nilai yang positif tersebut. Kesadaran para pelajar dan mahasiswa perlu dibuka untuk mencapai Indonesia yang tak hanya modern, tetapi juga bertumbuh dalam modernitas. Solusi yang ditawarkan Magnis-Suseno selaras dengan Sri Mulyani yakni menitikberatkan pentingnya peran lembaga pendidikan dalam membimbing gaya hidup manusia Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Fromm, E. (1942). The Fear of Freedom. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
- Kadir, H. A. (2009). Bergaya di Kota Konflik: Mencari Akar Konflik Ambon Melalui Gaya Hidup Anak Muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Magnis-Suseno, F. (2021). Agama, Filsafat, Modernitas: Harkat Kemanusiaan Indonesia dalam Tantangan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Onghokham. (1997). “Show Kemewahan, Suatu Simbol Sukses. Dalam I. S. Ibrahim, Ecstasy Gaya Hidup” (hal. 175-179). Bandung: Penerbit Mizan.
- Piliang, Y. A. (1997). “Realitas-realitas Semu Masyarakat Konsumer: Estetika Hiperrealitas dan Politik Konsumerisme”. Dalam I. S. al., Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (hal. 191-207). Bandung: Mizan Pustaka.
Fauzi, A., dkk. (2017). “Budaya Nongkrong Anak Muda di Kafe (Tinjauan Gaya Hidup Anak Muda di Kota Denpasar)”. Jurnal Ilmiah Sosiologi (SOROT), Vol. 1 No. 2.
Harahap, F. R. (2013). “Dampak Urbanisasi bagi Perkembangan Kota di Indonesia” . Journal Society Vol. 1 No. 1, 35-45.
Somantri, G. R. (2007). Kajian Sosiologis Fenomena Mudik. Universitas Indonesia.
Departemen Komunikasi, Bank Indonesia. (2018, November 27). Prospek Ekonomi Indonesia Membaik Dengan Stabilitas Yang Terjaga. Diambil kembali dari bi.go.id: https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_209018.aspx
kemenkeu.go.id. (2020, Juli 16). Capaian Perekonomian Indonesia 2019 Tumbuh 5,02%, Cukup Baik di Tengah Ketidakpastian Global. Diambil kembali dari kemenkeu.go.id: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/capaian-perekonomian-indonesia-2019-tumbuh-5-02-cukup-baik-di-tengah-ketidakpastian-global/#:~:text=%E2%80%9CPerekonomian%20Indonesia%20tahun%202019%20mampu,40%25%2C%22%20jelas%20Menkeu.
Toffin Indonesia. (2020, November 12). Toffin Indonesia Merilis Riset “2020 Brewing in Indonesia”. Diambil kembali dari insight.toffin.id: https://insight.toffin.id/toffin-stories/toffin-indonesia-merilis-riset-2020-brewing-in-indonesia/#:~:text=Hasil%20riset%20Toffin%20bersama%20Majalah,2016%20yang%20hanya%20sekitar%201.000.
Alexander, H. B. (2014, Januari 04). Tahun Ini, 18 Mal Dibuka di Seluruh Indonesia. Diambil kembali dari properti.kompas.com: https://properti.kompas.com/read/2014/01/04/1719105/Tahun.Ini.18.Mal.Dibuka.di.Seluruh.Indonesia?page=all
Sudarsono. (2022, April 30). Mudik: Konstruksi Nilai Simbolik Mobil dan Transportasi Publik. Diambil kembali dari nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2022/04/30/09132621/mudik-konstruksi-nilai-simbolik-mobil-dan-transportasi-publik?page=all
Uly, Y. A. (2021, Juli 08). Indonesia Turun Kelas Jadi Negara Berpenghasilan Menengah ke Bawah, Ini Kata Kemenkeu. Diambil kembali dari money.kompas.com: https://money.kompas.com/read/2021/07/08/123700826/indonesia-turun-kelas-jadi-negara-berpenghasilan-menengah-ke-bawah-ini-kata?page=all
Ulya, F. N. (2022, Februari 7′). Ekonomi Tumbuh 3,69 Persen, BPS: Daya Beli Masyarakat Membaik. Diambil kembali dari money.kompas.com: https://money.kompas.com/read/2022/02/07/140820926/ekonomi-tumbuh-369-persen-bps-daya-beli-masyarakat-membaik?page=all
JEO Kompas. (2018, November 26). Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa. Diambil kembali dari jeo.kompas.com: https://jeo.kompas.com/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa
Katadata. (2019, Maret 27). Jumlah Pusat Perbelanjaan Mencapai 708 Unit Pada 2018. Diambil kembali dari katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/03/27/jumlah-pusat-perbelanjaan-mencapai-708-unit-di-tahun-2018