KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Siswa SD Negeri Joglo 76, Kadipiro, Solo, Jawa Tengah, membaca koran bersama dalam rangka ikut merayakan Hari Pers Nasional di halaman sekolah mereka, Selasa (9/2/2010). Kegiatan ini dinilai pihak sekolah sebagai bentuk kampanye membudayakan gemar membaca sejak dini serta menjadikan koran sebagai salah satu sumber informasi yang bermanfaat.
Fakta Singkat
- Hari Pers Nasional (HPN) pertama kali diselenggarakan pada 9 Februari 1985
- HPN ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional
- Era digital mengubah strategi industri dan bisnis pers
- Platform digital mengubah distribusi konten industri pers
- Pers memiliki misi mencerahkan publik dengan konten berkualitas di tengah beredar dan meluasnya informasi hoaks
Hari Pers Nasional (HPN) ditetapkan oleh Presiden Soeharto tanggal 9 Februari berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional. Penyelenggaraan setiap tahunnya dilaksanakan secara bergantian di berbagai wilayah provinsi di Indonesia. Secara resmi peringatan HPN kali pertama diselenggarakan pada 9 Februari 1985.
Gagasan awal mengenai HPN sebenarnya telah muncul pada Kongres ke-16 Persatuan Wartawan Indonesia pada Desember 1978, di Padang, Sumatera Barat. Salah satu keputusan kongres adalah mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan 9 Februari–yang merupakan tanggal lahir PWI pada 9 Februari 1946–sebagai Hari Pers Nasional.
Salah satu butir bahasan di dalam kongres tersebut, antara lain, keinginan para tokoh pers saat itu untuk mengingat kehadiran serta peran pers Indonesia dalam lingkup nasional dengan mencetuskan Hari Pers Nasional. Setelah tujuh tahun diusulkan, terbitlah Surat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang menetapkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional.
Isi Keppres 5/1985 menyebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Keppres tersebut juga menegaskan bahwa pemilihan tanggal 9 Februari sebagai HPN diambil berdasarkan tanggal pembentukan PWI yang dianggap sebagai pendukung seta kekuatan pers nasional.
Setahun sebelum keppres tersebut terbit, Menteri Penerangan saat itu, yang juga mantan Ketua PWI, Harmoko, telah menerbitkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 2 Tahun 1984. Isinya menyatakan bahwa PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah.
Presiden Soeharto dalam sambutan peringatan Hari Pers Nasional pertama kali pada 9 Februari 1985 menyatakan bahwa tanggal 9 Februari dijadikan sebagai HPN karena pada 39 tahun sebelumnya terjadi peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi perjuangan bangsa, terutama bagi pertumbuhan dan pengabdian pers nasional kepada bangsa dan negara. Soeharto menegaskan bahwa peran pers sebagai kekuatan bangsa. Wartawan Indonesia merupakan kekuatan perjuangan yang saling bahu-membahu dengan kekuatan peruangan lainnya berjuang dalam mempertahankan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Meski demikian, penetapan HPN tersebut masih menjadi polemik hingga saat ini bagi berbagai organisasi pers di Indonesia. Jika melihat kembali ke belakang, PWI bukanlah satu-satunya organisasi wartawan yang pernah ada di Indonesia. Pada era penjajahan sudah muncul beberapa organisasi wartawan, seperti Inlandsche Journalisten Bond (1914), Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940).
Setelah rezim Orde Baru runtuh pada 1998, di Indonesia bermunculan organisasi-organisasi pers baru yang otomatis mempertanyakan relevansi 9 Februari sebagai HPN. Organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara tegas menolak 9 Februari sebagai HPN dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) juga enggan terlibat jauh dalam setiap kegiatan HPN. Salah satu kritikan yang dilontarkan adalah karena PWI adalah satu-satunya organisasi pers yang diperbolehkan beraktivitas pada era kekuasaan Orde Baru.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Ratusan siswa SD Program Khusus Muhammadiyah ikut Kampanye Membaca Surat Kabar Bersama di Lapangan Kota Barat, Solo, Jawa Tengah, Kamis (9/2/2006). Kampanye tersebut diharapkan memicu kepedulian anak-anak terhadap keberadaan media cetak sebagai sumber informasi..
Pers di Era Digital
Regenerasi pengelola surat kabar telah berlangsung dengan menyesuaikan di tiap zaman hingga saat ini. Tantangan yang dihadapi generasi saat ini tentu jauh lebih kompleks. Sebelum adanya media digital, tantangan terbesar surat kabar atau media konvensional adalah menjalankan institusi media di tengah kerasnya represi rezim negara pada masa Orde Baru. Tekanan rezim saat itu merupakan tantangan yang dihadapi jurnalis karena tidak bisa memberitakan fakta secara bebas.
Tantangan yang bersifat politis sering kali terancam ditutupnya penerbitan akibat adanya pemberedelan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada zaman sekarang masalah yang harus direspons adalah tantangan bersifat sosiologis, yakni menghadirkan diri dengan personalitas yang sesuai dengan perubahan masyarakat.
Tantangan terbesar pers adalah persoalan demografis. Pada akhir abad ke-20 ditandai dengan lahirnya ”generasi digital” yang lebih banyak menggunakan waktu dengan perangkat audio visual elektronik dalam serapan pembelajaran dan aktivitas komunikasi. Melalui media digital, individu dapat berperan sebagai konsumen sekaligus produsen yang sangat aktif dalam komunikasi berbasis teknologi dan produk digital.
Teknologi cetak konvensional telah membentuk budaya khas untuk media pers (buku, majalah, surat kabar) dikenal sebagai budaya tinggi (high culture) yang serius dan mengutamakan substansi. Komunikasi dengan khalayak relatif bersifat elitis. Sementara, budaya digital pada umumnya menonjolkan sensasi dan mengejar suatu informasi agar menjadi viral. Sebagian media cetak ada yang berusaha keluar dari orientasi elitis dengan berupaya menjangkau publik lebih luas melalui pola tabloid.
Persoalan perubahan peta demografis menjadi perhatian pengelola industri pers seperti surat kabar. Bagi masyarakat generasi baru, bukan mustahil surat kabar akan dipandang usang yang hanya cocok dibaca orang tua.
Agar produk dari industri pers menjadi bagian setiap lapis generasi masyarakat, pers melakukan penyesuaian strategi secara terus-menerus dengan melihat perubahan kecenderungan sosiografis dan psikografis khalayak. Upaya memanfaatkan teknologi digital untuk distribusi konten jurnalisme yang bersifat cepat dan efisien menjadi tidak terhindarkan.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto (tengah) dan Dewi Yull yang menjadi perwakilan keluarga keturunan RM Tirto Adhi Soerjo (kanan) saat acara peresmian Jalan RM Tirto Adhi Soerjo di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (10/11/2021). RM Tirto Adhi Soerjo menjadi nama jalan untuk pertama kalinya di Indonesia. Tokoh yang bernama lengkap Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo ini berjasa dalam tonggak dunia sejarah jurnalisme di Indonesia yaitu dengan mendirikan surat kabar Soenda Berita, Medan Prijaji, dan Putri Hindia di masa pergerakan.
Artikel Terkait
Audiens aktif
Perkembangan teknologi digital mengubah wajah publik yang menjadi lebih aktif serta interaktif dalam bermedia. Penetrasi dunia digital mampu membelah minat publik dalam mengonsumsi berita digital selain dari media konvensional.
Perubahan ini kemudian menciptakan publik yang semakin kritis, terbuka, serta turut aktif memengaruhi proses jurnalisme itu sendiri. Sebelumnya jurnalisme hanya mengenal satu arah, secara perlahan telah terkikis oleh jurnalisme dua arah dan interaktif. Bisa jadi inilah yang oleh Jurgen Habermas (2001) disebut sebagai public sphere (ruang publik), komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi.
Hal tersebut merupakan tantangan bagi para jurnalis serta kebebasan pers. Profesionalisme pers menjadi kunci utama dalam menyajikan kredibilitas dari produk jurnalistik yang disuguhkan ke publik. Tantangan dan peran produk pers di media massa pada masa mendatang, yakni media massa masih diandalkan sebagai sumber informasi yang akurat dan terpercaya.
Sebagai institusi pers, proses produksi sebuah informasi yang dilakukan oleh media konvensional dilakukan melalui pengeditan yang berlapis. Hal ini tentu sangat berbeda dengan konten media sosial yang proses produksi konten dilakukan oleh individu, yang bisa jadi tanpa proses penyuntingan sebagaimana lazimnya proses produksi berita di industri pers.
Di ranah media sosial, masih banyak beredar konten yang masuk kategori hoaks. Hal ini terjadi akibat minimnya mekanisme cek ulang oleh setiap individu yang memproduksi, meneruskan, dan bahkan menyebarkan informasi. Tanpa proses verifikasi fakta, suatu konten berpeluang menjadi informasi yang tidak akurat.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Pelajar SD berkeliling di Museum Kebangkitan Nasional (Stovia) untuk mengikuti acara Haul 90 Tahun RM Tirto Adhi Soerjo di Jakarta, Sabtu (6/12/2008) malam. Untuk memperingati tokoh pers dan perintis persuratkabaran nasional yang menerbitkan Medan Prijaji (surat kabar nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu) tersebut, malam itu diluncurkan prangko dan amplop hari pertama RM Tirto Adhi Soerjo.
Artikel Terkait
Sejak 24 Januari 2020 hingga 26 Juni 2021, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia mengumpulkan 1.026 hoaks terkait dengan Covid-19. Ribuan informasi bohong itu menyebar melalui jejaring media sosial dengan bermacam-macam kategori, mulai dari konten palsu, konten salah, konten yang menyesatkan, hingga konten yang dimanipulasi (Kompas, 28 Juni 2021).
Catatan Mafindo menunjukkan, pada 2020–2021, hoaks didominasi isu terkait Covid-19. Parahnya keadaban warganet Indonesia juga tergambar jelas dalam survei Indeks Keadaban Digital (Digital Civility Index/DCI) Microsoft yang dirilis Februari 2021. Indonesia terpuruk di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei karena maraknya hoaks, penipuan daring, ujaran kebencian, serta diskriminasi.
Fenomena maraknya hoaks di masyarakat, sangat terkait dengan berkembangnya jurnalisme warga di media sosial. Dalam jurnalisme warga, kendali terletak pada pengguna.
Meskipun demikian, tidak semua hal yang beredar di medsos mewakili ekspresi publik. Medsos lebih menyerupai ekspresi netizen secara real time yang boleh jadi menunjukkan kecenderungan tertentu, tetapi bukan sebagai kebenaran, karena harus diverifikasi dengan fakta yang terjadi.
Situasi saat ini merupakan situasi atau era ketika informasi paling mudah didapatkan. Perkembangan teknologi membuat berbagai informasi berseliweran dengan cepat, dalam hitungan detik. Di satu sisi, hal ini patut disyukuri karena banyak hal dapat diketahui dengan mudah dan cepat. Demokratisasi informasi terjadi di mana-mana. Namun, pada saat yang sama, kondisi ini juga sering membuat bingung, bahkan dapat memicu konflik sosial. Pasalnya, informasi yang beredar sering tak sesuai kenyataan atau dimaksudkan untuk niat tertentu yang kadang-kadang bertujuan tidak baik (Kompas, 28 Juni 2021).
Sebagai pilar keempat demokrasi, peran pers dan media massa masih dianggap penting bagi sumber informasi yang akurat dan dapat dipercaya bagi kepentingan publik. Penguatan pers sebagai pilar komunikasi massa memang didedikasikan melaksanakan kegiatan jurnalistik, yang meliputi mencari, memperoleh, menyeleksi, memverifikasi, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada publik berdasarkan metodologi dan kode etik yang ketat. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Memanggungkan Keindonesiaan”. Kompas, 28 Januari, 2015.
- “Jajak Pendapat ”Kompas”: Tantangan Kebebasan Pers”. Kompas, 9 Februari, 2016.
- “Sejarah Pers: Hari Pers Nasional Baru Diusulkan Bergeser dari 9 Februari”. Kompas, 3 Februari, 2018.
- “Jajak Pendapat Kompas: Tantangan Pers di Era Digital”. Kompas, 10 Februari, 2020.
- “Hari Pers Nasional : Sejarah Peringatan, Polemik, dan Tantangannya”. Kompas, 8 Februari 2021.
- “Tsunami Informasi dan Matinya Deontologi Jurnalisme”. Kompas, 28 Juni 2021.
- Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
- Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional
- Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers
- Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers
- Dewan Pers
- 4 Fakta Peringatan Hari Pers Nasional, laman Indonesiabaik.id