Perkembangan pers dan media massa di nusantara dimulai pada tahun 1615 dengan diterbitkannya surat kabar Mermoire der Novelles oleh Gubernur Jenderal Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Jan Pieterszoon Coen. Pada awal perkembangannya, surat kabar di Indonesia berupa kumpulan kliping informasi pemerintah yang ditulis tangan dan diperuntukan bagi pejabat warga Eropa yang menetap di nusantara.
Memasuki masa kolonial Hindia Belanda, media massa memiliki fungsi untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di berbagai kota. Pada abad ke-20, politik etis di Hindia Belanda mendorong ide-ide nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia. Sehingga, kelompok pers memiliki kepentingan politik untuk menyuarakan tentang ide-ide dan usaha perjuangan kemerdekaan ke seluruh nusantara. Media massa memiliki fungsi menyampaikan kritik terhadap pemerintah kolonial, menumbuhkan semangat nasionalisme, dan melaporkan tentang perkembangan usaha-usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 merupakan lembaran baru dalam sejarah pers dan media massa di Indonesia. Memasuki masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1945–1949, media massa di Indonesia beralih fungsi menjadi alat komunikasi politik untuk menjaga semangat rakyat Indonesia dalam menghadapi agresi dari pemerintah kolonial.
Pada awal tahun 1950-an, media massa menjadi media komunikasi politik bagi pemerintah untuk melaporkan proyek-proyek pembangunan yang ada di Indonesia. Mendekati Pemilu 1955, media massa juga berkembang menjadi media komunikasi politik bagi partai dan kelompok kepentingan. Bahkan, hampir seluruh partai politik di Indonesia memiliki surat kabar yang digunakan untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan partai maupun golongan tertentu.
Namun, Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menyebabkan perubahan haluan politik Indonesia yang mulai condong ke arah komunis. Kondisi tersebut juga berimbang pada dunia pers. Pemerintah Orde Lama bahkan melarang penerbitan surat kabar yang dianggap antikomunis. Sementara itu, surat kabar berhaluan komunis berkembang dengan pesat.
Masa Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966 dicirikan dengan berkembangnya media massa sebagai bisnis, bukan lagi sebagai alat politik. Surat kabar regional dan majalah-majalah liburan mulai bermunculan di penjuru nusantara. Selain itu, di bawah kepemimpinan Soeharto, pemerintah Indonesia mewajibkan media massa untuk mengantongi serangkaian izin untuk dapat beredar di Indonesia, meliputi Surat Izin Terbit (SIT), Surat Izin Cetak (SIC), dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Berbeda dengan masa Orde Lama di mana pemerintahan Soekarno banyak melakukan pembatasan terhadap media yang dianggap antikomunis, pada awal masa Orde Baru pemerintah justru banyak memberhentikan media-media yang dianggap komunis. Jurnalis yang dianggap berhaluan kiri diasingkan dan ditangkap pada masa Orde Baru.
Pada pertengahan hingga akhir masa pemerintahan Orde Baru, perkembangan teknologi mendorong kemunculan berbagai saluran radio dan televisi swasta. Pemerintah juga melakukan pembredelan terhadap surat kabar yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah Orde Baru.
Kejatuhan Orde Baru pada 1998 memulai Era Reformasi yang menjadi titik awal keterbukaan pers yang sebelumnya terkekang oleh peraturan rezim Orde Baru. Dalam masa kebebasan pers, bisnis-bisnis dan konglomerasi media mulai berkembang di Indonesia. Munculnya media sosial juga turut mengubah peta media massa di Indonesia.
Masa Kolonial VOC dan Inggris (1602–1815)
1615
Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, menerbitkan surat kabar pertama di Hindia Belanda, Mermorie der Nouvelles. Mermoire der Nouvelles memuat kumpulan berita dari Belanda yang ditulis tangan dan dibagikan kepada pejabat VOC di nusantara.
1688
Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan alat cetak dari Belanda.
7 Agustus 1744
Surat kabar modern (cetak) pertama di Hindia Belanda, Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes yang sering disebut sebagai Bataviasche Nouvelles diterbitkan untuk pertama kalinya. Bataviasche Nouvelles digagas oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu, Gustaaf Willem van Imhoff, dan berisi tentang berita-berita dagang untuk pejabat VOC di Batavia. .
September 1811
Indonesia jatuh ke tangan Inggris karena kekalahan Belanda dalam Penyerbuan Jawa.
1812
Java Government Gazette, surat kabar berbahasa campuran pertama, diterbitkan pertama kali di Pulau Jawa di bawah pengawasan Amos H. Hubbard. Java Government Gazette memuat pengumuman-pengumuman penting, informasi nilai tukar mata uang, dan puisi-puisi berbahasa Inggris.
1815
Indonesia kembali ke tangan Belanda, memulai masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Masa Kolonial Hindia Belanda (1815–1945)
1845
De Locomotief menjadi surat kabar berbahasa Belanda yang pertama kali diterbitkan di Kota Semarang. De Locomotief didirikan dan dipimpin oleh Pieter Brooshooft, seorang aktivis politik etis. Meski diperuntukan bagi kelompok campuran Indo-Belanda, De Locomotief banyak memuat ide-ide politik etis yang meliputi hak pendidikan bagi warga pribumi dan perempuan. Selain itu, De Locomotief juga memuat kritik terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda.
1907
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo memimpin penerbitan Medan Prijaji di Bandung untuk pertama kalinya. Medan Prijaji menjadi surat kabar berbahasa Melayu pertama yang sepenuhnya dikelola oleh kaum pribumi (sebutan bagi penduduk nonkelompok penjajah Belanda). Selain itu, Medan Prijaji merupakan surat kabar bersama di Hindia Belanda yang sirkulasinya lintas pulau. Medan Prijaji memuat kritik keras terhadap pemerintah Hindia Belanda dan membawa ide-ide nasionalisme.
1 Oktober 1910
Mingguan Sin Po diterbitkan untuk pertama kalinya. Mingguan Sin Po didirikan oleh Yoe Sin Gie untuk perkembangan pers Tionghoa di Hindia Belanda. Pada awalnya, Sin Po bertujuan menyuarakan aspirasi kelompok Tionghoa yang menjadi korban kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam perkembangannya, Sin Po menyuarakan persatuan kelompok Tionghoa dan Bumiputera (sebutan bagi masyarakat Indonesia nonketurunan pada saat itu) dalam melawan pemerintah Hindia Belanda. Surat kabar Sin Po menjadi surat kabar pertama yang mempopulerkan istilah ‘Indonesia’ untuk menggantikan istilah ‘Hindia Belanda’.
1 Maret 1921
Surat Kabar De Express terbit pertama kalinya di Bandung. De Express diprakarsai oleh Tiga Serangka, yakni Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. De Express membahas permasalahan-permasalahan politik di Hindia Belanda dan ide-ide nasionalisme.
1923
Harian dan mingguan berbahasa Melayu pertama di Medan, Keng Po, diterbitkan oleh kelompok peranakan Melayu-Tionghoa. Harian dan mingguan Keng Po dipimpin oleh Hauw Tek Kong yang pada saat itu juga memimpin Sin Po. Bersama Sin Po, Keng Po menjadi surat kabar Tionghoa yang memegang peranan besar menyebarkan ide-ide kemerdekaan Indonesia.
30 April — 2 Mei 1926
Wage Rudolf Supratman, seorang jurnalis Sin Po yang menggemari musik, mendapatkan tugas untuk meliput Kongres Pemuda I. Supratman mulai terlibat aktif dalam usaha perjuangan kemerdekaan dan menulis lagu-lagu kebangsaan Indonesia.
26–28 Oktober 1928
Kongres Pemuda II mengadakan pertemuan yang menghasilkan Sumpah Pemuda:
- Kami, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
- Kami, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
- Kami, Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dalam penutupan Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober, W. R. Supratman juga turut membawakan lagu Indonesia Raya dalam acara penutupan Kongres Pemuda II dengan alat musik biola.
10 November 1928
Surat Kabar Sin Po memuat notasi dan lirik lagu Indonesia Raya.
1 Mei 1933
Surat kabar Sinar Deli diterbitkan oleh perusahaan Electrische Drukkerij & Uitgevers Mij Sinar di Medan. Sinar Deli berisi peristiwa-peristiwa yang terjadi di Hindia Belanda dan membawa ide-ide nasionalisme.
1931
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan Persbreidel Ordonantie yang memberikan hak kepada gubernur untuk melarang penerbitan yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
1931–1936
Sekurang-kurangnya 27 surat kabar diberhentikan atau diberi sanksi melalui peraturan Persbreidel Ordonantie. Selain itu, jurnalis dan kolumnis yang gigih dalam menyuarakan ide-ide kemerdekaan seperti Tirto Adhi Soerjo, Muhammad Tabrani, Haji Misbach, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan Marco Kartodikromo diasingkan ke tempat-tempat terpencil.
13 Desember 1937
Adam Malik, Soemanang, A.M. Sipahoetar dan Pandoe Kartawigoena membentuk Kantor Berita Antara dengan nama Pers Dokumentasi-buro Antara, yang kemudian berkembang menjadi kantor berita resmi Pemerintah Indonesia.
29 April 1942
Memasuki masa pemerintahan Jepang di Indonesia, pemerintah imperial Jepang menerbitkan harian Asia Raya untuk pertama kalinya. Asia Raya berisi propaganda pemerintah kolonial Jepang dalam usaha membangun Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Masa Orde Lama (1845–1965)
17 Agustus 1945
Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari Jepang. Pada saat yang sama, siaran berita Radio Republik Indonesia (RRI) pertama kali disiarkan pada jam 10 pagi untuk mengumumkan berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. RRI menjadi media komunikasi yang efektif dalam menjaga semangat rakyat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
9 Februari 1946
Organisasi pers pertama di Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di didirikan di Surakarta. PWI hadir menjadi wadah bagi para jurnalis Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di tengah ancaman kembalinya penjajahan.
31 Januari 1951
Surat kabar Harian Rakyat, yang diterbitkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), diterbitkan untuk pertama kalinya. Harian Rakyat kemudian berkembang menjadi surat kabar paling populer di Indonesia pada era Orde Lama.
17 Agustus 1962
Televisi Republik Indonesia (TVRI) lahir dan beroperasi pertama kali dengan pemancar berkekuatan 100 watt. Pada awalnya, pembentukan TVRI bertujuan untuk menyiarkan liputan tentang Asian Games IV yang akan diadakan di Jakarta. Siaran TVRI pertama adalah peringatan Proklamasi Republik Indonesia ke-17 yang disiarkan langsung dari halaman Istana Merdeka, Jakarta. Dalam perkembanganya, TVRI memegang peranan sentral dalam proses komunikasi politik pemerintahan Orde Lama.
Februari — Maret 1965
Pemerintah Orde Lama membredel 29 surat kabar yang dianggap mendukung kelompok-kelompok anti-PKI dan anti-Soekarno.
29 November 1965
Menteri Penerangan Indonesia, Mayor Jenderal Achmadi, melimpahkan kuasa pada Kolonel Harsono, Kepala Direktorat Pers dan Hubungan Masyarakat Departemen Penerangan, untuk mengatur tata cara pembuatan izin terbit bagi media cetak di Indonesia.
28 Juni 1965
Edisi perdana Kompas pertama kali diterbitkan di bawah pimpinan Jakob Oetama dan Petrus Kanisius. Ojong. Pada awalnya, Kompas merupakan surat kabar berisi 8 halaman yang terbit 4 kali seminggu. Sirkulasi surat kabar Kompas dilakukan dalam skala nasional. Hingga saat ini, Kompas menjadi salah satu media yang bertahan paling lama di Indonesia.
11 Maret 1966
Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang berisi tentang mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga kestabilan negara. Adanya Supersemar menjadi titik awal masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan sebutan Orde Baru.
Masa Orde Baru (1966–1998)
12 Desember 1966
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers terdiri atas sepuluh bab, yang masing-masing memuat tentang:
- Ketentuan Umum
- Fungsi, Kewajiban, dan Hak Pers
- Dewan Pers
- Hak Penerbitan dan Fasilitas Pers
- Perusahaan Pers
- Wartawan
- Pers dan Wartawan Asing
- Ketentuan Pidana
- Peraturan Peralihan
- Penutup
Dalam Bab Ketentuan Umum, ditetapkan bahwa sensor dan pemberedelan pers tidak boleh dilakukan untuk menjaga kebebasan pers. Akan tetapi, penerbitan pers yang memuat tentang hal-hal yang bertentangan terhadap Pancasila seperti paham Komunisme-Leninisme tidak memiliki hak hidup di Indonesia.
Sementara itu, Bab III mengamanatkan pembentukan Dewan Pers diketuai oleh Menteri Penerangan dan terdiri atas wakil-wakil organisasi pers dan ahli di bidang pers. Dewan Pers dibentuk untuk membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
1973
Dewan Pers mengukuhkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional.
15–16 Januari 1975
Berbagai demonstrasi mahasiswa pecah di Indonesia. Demonstrasi didorong oleh kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka yang menimbulkan ketidakpuasan terhadap korupsi, harga-harga yang naik, dan kebijakan investasi luar negeri. Rangkaian demonstrasi dikenal dengan sebutan Malapetaka Lima Belas Januari (Malari).
Januari — Februari 1975
Sebagai imbas Peristiwa Malari, pemerintah mencabut SIC dan SIT 12 surat kabar di Indonesia, antara lain, Nusantara, Harian Kami, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Mingguan Ekspres, Pedoman, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Pos–kebanyakan merupakan surat kabar yang diterbitkan oleh mahasiswa.
20 Januari 1978
Harian Kompas diberedel akibat artikel ”Suara Berbagai Kelompok Mahasiswa” yang memuat berita tentang demonstrasi mahasiswa. Pada saat itu, pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa menjadi salah satu pemberitaan yang dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Harian Kompas diberedel bersama dengan dengan enam media lain, yakni Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore.
6 Februari 1978
Pemerintah mencabut larangan terbit bagi Harian Kompas. Harian Kompas kembali beroperasi seperti semula.
4–7 Desember 1978
Diadakan Kongres XVI PWI yang diadakan di Padang, Sumatera Barat. Salah satu keputusan kongres adalah usulan kepada pemerintah untuk menetapkan tanggal kelahiran PWI, 9 Februari, sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
19 Februari 1981
Sidang Dewan Pers ke-21 di Bandung mengajukan agar Hari Pers Nasional diperingati setiap tahun.
1984
Menteri Penerangan Harmoko mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 Tahun 1984 yang berisi tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP mengharuskan surat kabar yang terbit di Indonesia untuk memiliki izin dan diawasi oleh pemerintah.
1985
Melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, pemerintah menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. HPN ditetapkan dengan tujuan untuk mengembangkan pers Indonesia sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila.
13 November 1988
Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), televisi swasta pertama di Indonesia, disiarkan untuk pertama kalinya dari Jakarta.
21 Juni 1994
Majalah dan surat kabar Tempo, Editor, dan Detik diberedel oleh pemerintah Orde Baru. Menurut Menteri Penerangan Harmoko, pemberedelan dilakukan untuk “mempertahankan stabilitas negara”.
13–15 Mei 1998
Demonstrasi mahasiswa pecah di seluruh Indonesia sebagai respon terhadap naiknya harga-harga barang pokok yang disebabkan oleh Krisis Finansial Asia. Seiring berjalannya waktu, demonstrasi mahasiswa disusul dengan kerusuhan dengan etnis Tionghoa sebagai target utama.
21 Mei 1998
Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden dan digantikan oleh Baharuddin Jusuf Habibie.
Masa Reformasi (1999–sekarang)
1999
Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mencabut SIUPP dan mengawali awal keterbukaan pers di Indonesia.
Referensi
Arsip Kompas
- “Izin Terbit, ”Nyawa” Media”, KOMPAS, 30 Oktober 2019, hlm. 11
- “Hari-hari Seusai ”Kompas” Dibredel via Telepon”, KOMPAS, 6 Februari 2021
Kompaspedia
- Hari Pers Nasional: Sejarah, Peringatan, Polemik, dan Tantangannya
- Hari Pers Nasional
- Mengurai Kisah Lagu Indonesia Raya
- Surat Perintah Sebelas Maret 1966
Jurnal
- Adhrianti, Lisa. (2008). “Idealisasi TVRI sebagai TV Publik: Studi “Critical Political Economy.” Mediator: Jurnal Komunikasi 9.2: 281-292.
- Kakiailatu, Toeti. (2007). “Media in Indonesia: Forum for political change and critical assessment.” Asia Pacific Viewpoint 48.1 60-71.
Kontributor
Namira Fathya
Editor
Susanti Agustina Simanjuntak