Kehadiran pers di Indonesia sudah dimulai sejak masa kolonial Hindia Belanda. Pada pertengahan abad ke-18, Belanda menguasai penuh perihal penerbitan. Surat kabar yang beredar berbahasa Belanda dan lebih digunakan untuk kepentingan perdagangan dan misionaris, seperti Batavia Nouvelles (1744-1746), Bataviasche Courant (1817), dan Bataviasche Advertentieblad (1827).
Memasuki abad ke-20, kontrol Belanda terhadap pers masih berlangsung. Tahun 1906, surat kabar yang akan diterbitkan, sebelumnya harus diserahkan kepada pemerintah untuk disetujui sebelum dicetak. Kebijakan yang mengekang tersebut memunculkan perlawanan di masyarakat. Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo merupakan salah satu tokoh masyarakat yang aktif dalam menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Melalui pers, RM Tirto mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, termasuk tentang pengekangan pers. Tahun 1907, beliau mendirikan surat kabar Medan Prijaji. surat kabar berbahasa Melayu pertama yang kepemilikan dan pengelolaan sepenuhnya oleh kaum pribumi (sebutan untuk penduduk selain kelompok penjajah Belanda). Lima tahun kemudian (1912) Medan Prijaji berhenti terbit, dan pengekangan terhadap pers masih tetap berlangsung. Berkat jasanya, beliau ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional (1973) dan mendapat gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana (10 November 2006).
Pada 1918, pemerintah mengeluarkan pasal-pasal yang berisi ancaman hukuman untuk siapapun yang menyebar kebencian atau hinaan kepada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian 1931, pemerintah kolonial mengeluarkan Persbreidel Ordonantie, yaitu sebuah aturan yang memberikan hak kepada gubernur untuk melarang penerbitan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Peraturan terus digunakan hingga masa kemerdekaan dan diganti secara formal pada 1954.
Pentingnya peran pers, pada masa awal kemerdekaan (9 Februari 1946) berlangsung kongres wartawan di Padang. Kongres tersebut membahas perlunya dibentuk wadah persatuan wartawan dalam rangka menjaga berjalannya fungsi pers di Indonesia. Dan terbentuklah organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang kemudian tanggal terbentuknya ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985, setelah sebelumnya pernah diajukan pada sidang Dewan Pers ke-21 di Bandung pada tahun 1981.
Pada masa orde lama, fungsi pers dimuat dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 yaitu sebagai media untuk membangun kesadaran revolusi, meski pada praktiknya diwarnai dengan pembredelan beberapa penerbitan.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 merupakan perundangan tentang Pers yang pertama. Kemudian diperbarui dengan Nomor 21 Tahun 1982, dan terakhir di masa reformasi yaitu Nomor 40 Tahun 1999. Pada UU yang terkini, disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2) dan itu dijamin sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 ayat 1). Disebutkan pula bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (Pasal 3 ayat 1), dengan peran seperti yang disebutkan pada Pasal 6:
- memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
- menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
- mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
- melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
- memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Yang menjadi pembeda utama UU No.40/1999 dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya adalah tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran terhadap pers nasional (Pasal 4 ayat 2). Hal inilah yang menjadi penanda diakuinya kemerdekaan pers.
Sumber
- Laman kebudayaan.kemdikbud.go.id dan guruppkn.com
- Pemberitaan Kompas.com
- Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Kontributor
Muhammad Taufik Al Asy’ari
Satria Dhaniswara Rahsa Wijaya