Paparan Topik

Kebijakan Perminyakan di Indonesia

Kontribusi industri minyak sangat penting bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Untuk itu, upaya menjaga stabilitas industri diperlukan melalui kebijakan perminyakan.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Anjungan Central Plant Pertamina Hulu Energy Offshore North West Java (PHE ONWJ) di lepas pantai Karawang-Indramayu di Laut Jawa (22/07/2014). Anjungan ini selain mampu memproduksi 40.300 barel minyak per hari (BOPD) juga memasok gas bumi sebesar 120 MMSCFD untuk pembangkit listrik milik PLN. Pasokan minyak yang melimpah serta penurunan permintaan dari Tiongkok dan negara Asia lain memangkas harga minyak dalam setahun belakangan ini.

Fakta Singkat

  • Produksi minyak diperkirakan terus menurun. Sejak tahun 2016, capaian produksi atau lifting minyak Indonesia terus menurun setiap tahunnya.
  • Pada 2016, capaiannya adalah 829.000 barel per hari, sementara pada 2022 hanya 612.300 barel per hari.
  • Migas masih menjadi tumpuan energi Indonesia, mencakup 70 persen dari total kebutuhan energi.
  • Upaya perbaikan kebijakan perminyakan di Indonesia dilakukan melalui pemberian perizinan, mengatur kelembagaan, dan menarik investor. Hal ini akan dapat dicapai dengan revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.

Komoditas minyak menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selain masyarakat, pemerintah pun turut meletakkan perhatian besar pada persoalan minyak. Segala isu terkait komoditas ini begitu rentan berpengaruh pada hajat hidup masyarakat kebanyakan. Mulai dari soal bahan bakar yang menjadi kebutuhan harian hingga kontribusi masifnya pada ekonomi nasional yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Dalam konteks produksi, sebagai negara produsen minyak, Indonesia tengah dihadapkan pada permasalahan kuantitas. Data Statistik Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa realisasi produksi siap jual (lifting) minyak Indonesia terus mengalami penurunan, bahkan konsisten menurun sejak 2016.

Dalam situasi demikian, Presiden Joko Widodo mendorong kenaikan kapasitas produksi minyak. Kenaikan kapasitas produksi yang dicapai pun harus signifikan. Di Blok Rokan, yang dikelola PT Pertamina Hulu Rokan sejak 2021 misalnya, Presiden masih meminta kapasitas lebih meski telah ada peningkatan sebesar 8.000 barel per hari.

Diharapkan, Blok Rokan mencapai produksi hingga 400.000 barel per hari, mengalami peningkatan sebesar 234.000 barel. Untuk mencapainya, Presiden akan membuka keran investasi lewat kebijakan (Kompas.id, 6/1/2023, “Presiden Tantang Pertamina Tambah Produksi Minyak di Rokan”).

Sementara dalam konteks konsumsi minyak, permasalahan kenaikan harga BBM terus menjadi persoalan bagi masyarakat. Terakhir, pengurangan subsidi BBM pada September 2022 lalu menimbulkan gejolak di masyarakat. Persoalannya, pengurangan subsidi BBM diperlukan karena peningkatan harga minyak dunia akibat konflik internasional antara Rusia-Ukraina dan juga tidak tepat sasarannya alokasi subsidi yang diberikan.

Di Indonesia, fluktuasi harga BBM begitu sensitif dalam korelasinya dengan respon masyarakat. Kenaikan tertentu dapat dengan mudahnya direspon oleh demonstrasi luas, yang pada lebih lanjut dapat berdampak pada kian buruknya situasi pasar. Karena itu, edukasi kepada masyarakat penting dilakukan, terutama soal harga minyak yang memengaruhi harga jual BBM.

Tujuannya agar masyarakat dibiasakan bahwa harga BBM itu berfluktuasi secara dinamis sehingga tidak terkaget-kaget lagi saat harga naik ataupun turun. Melalui edukasi, masyarakat pun bisa lebih siap dan bijak dalam merespon situasi (Kompas.id, 4/1/2023, Masyarakat Perlu Dibiasakan dengan Fluktuasi Harga BBM).

Situasi-situasi terkait industri perminyakkan demikian menunjukkan masalah yang lebih besar, yakni kian mendesaknya perbaikkan terhadap kebijakan minyak bumi di Indonesia. Secara khusus, hal ini tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas).

Kehadiran kebijakan UU Migas sangat penting bagi masyarakat. Penyelesaian revisi UU Migas yang tak kunjung tuntas begitu dinantikan untuk membekan pengaruh pada aktivitas produksi minyak di Indonesia. Revisi kebijakan dapat menjadi kunci penting untuk membuka keran investasi yang lebih luas (Kompas.id, 10/1/2023, Kian Mendesak, Revisi UU Migas Ditargetkan Dibahas 2023).

Selain itu, kebijakan minyak yang dimiliki Indonesia juga menuai polemik dalam konteks konsumsi. Pada Pasal 28 ayat (2) UU Migas dituliskan, “Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat”. Hal demikian justru bertolakbelakang dengan visi bangsa yang mengedepankan pembangunan bersama dan menjunjung keadilan sosial, terutama lewat dukungan bagi mereka yang membutuhkan.

Adanya kebijakan perminyakan yang tepat begitu penting untuk menyelesaikan persoalan minyak yang esensial bagi masyarakat dan negara Indonesia. Kebijakan yang tepat dapat merespon isu-isu dalam produksi, distribusi, hingga konsumsi energi. Dengan demikian akan berdampak pada kepentingan jutaan penduduk Indonesia. Persoalan kebijakan minyak menjadi esensial bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia.  

KOMPAS/DOM RINETYA

Pengalengan oli pada salah satu unit di Kilang Minyak Cilacap yang mengolah minyak mentah dari Arab Saudi menjadi “base-oil” (bahan baku untuk minyak pelumas) sebanyak 80.000 ton setahun. Kilang minyak Cilacap kini telah berhasil mengolah minyak mentah dari Arab Saudi menjadi base-oil atau bahan baku/dasar untuk minyak pelumas (25-10-1977).

Era Sebelum Kemerdekaan

Di Indonesia, jejak industri perminyakkan telah terlacak sejak tahun 1871. Pada tahun tersebut, pemerintah kolonial Belanda melakukan pengeboran sumur minyak pertama di daerah Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Meski merupakan usaha pengeboran pertama, namun sumur produksi pertama terletak di Telaga Said, Sumatera Utara yang dibor tahun 1883. Dari sini, lantas disusul dengan berdirinya Royal Dutch Company di Pangkalan Brandan pada tahun 1885. Sejak itulah, era ekspolitasi minyak di Indonesia dimulai.

Memasuki dekade 1900-an, setelah sumur Telaga Said berproduksi, kegiatan industri perminyakan di tanah air terus berkembang. Penemuan demi penemuan terus bermunculan. Pada masa ini, Indonesia masih di bawah pendudukan Belanda yang dilanjutkan dengan pendudukan Jepang. Ketika Perang Asia Timur Raya pecah, produksi minyak mengalami gangguan. Pada masa pendudukan Jepang, usaha yang dilakukan hanyalah merehabilitasi lapangan dan sumur yang rusak akibat bumi hangus atau pemboman.

Pada masa perang kemerdekaan produksi minyak terhenti. Namun, ketika perang usai dan bangsa ini mulai menjalankan pemerintahan yang teratur, seluruh lapangan minyak dan gas bumi yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang dikelola oleh negara. Sampai dengan tahun 1950-an, penemuan sumber minyak baru banyak ditemukan di wilayah Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, dan Kalimantan Timur.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Instalasi Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Rewulu yang dioperasikan oleh Pertamina di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (4/12/2018). Instalasi tersebut merupakan salah satu TBBM terbesar di Jawa Tengah yang mendistribusikan BBM melalui truk tangki serta kereta api ke berbagai daerah.

Industri Minyak Pasca Kemerdekaan

Memasuki era kemerdekaan, pemerintah Indonesia lantas mendirikan perusahaan minyak nasional. Tepatnya pada 10 Desember 1957, didirikanlah Perseroan Terbatas (PT) Pertambangan Minyak Nasional Indonesia, atau disingkat sebagai Permina. Pendirian ini ditujukan untuk mengelola aset perminyakan yang ada di Indonesia. Pada 1968, Permina lantas bergabung dengan PT Pertambangan Minyak Indonesia (Pertamin) dan berubah nama menjadi Pertamina.

Untuk memperkokoh perusahaan yang masih muda ini, pemerintah menerbitkan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. UU tersebut menempatkan Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas bumi milik negara. Mengacu pada UU ini, semua perusahaan minyak yang hendak menjalankan usaha di Indonesia wajib bekerja sama dengan Pertamina.

Oleh karena itu, Pertamina memainkan peran ganda. Di satu sisi, sebagai regulator bagi mitra yang menjalin kerja sama melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama (KKS) di wilayah kerja (WK) Pertamina. Sementara di sisi lain, Pertamina juga bertindak sebagai operator karena juga menggarap sendiri sebagian wilayah kerjanya.

Sejalan dengan dinamika industri minyak di dalam negeri, pemerintah menerbitkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebagai konsekuensi penerapan UU tersebut, Pertamina beralih bentuk menjadi PT Pertamina (Persero) dan melepaskan peran gandanya. Peran regulator diserahkan kepada lembaga pemerintah, sedangkan Pertamina hanya memegang satu peran sebagai operator murni.

Peran regulator di sektor hulu selanjutnya dijalankan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) yang dibentuk pada tahun 2002. Sementara peran regulator di sektor hilir dijalankan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS) yang dibentuk dua tahun setelahnya, yaitu tahun 2004.

Di sektor hulu, Pertamina membentuk sejumlah anak perusahaan sebagai entitas bisnis yang merupakan kepanjangan tangan dalam pengelolaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak, gas, dan panas bumi, pengelolaan transportasi pipa migas, jasa pemboran, dan pengelolaan portofolio di sektor hulu. Ini merupakan wujud implementasi amanat UU Nomor 22 Tahun 2001 yang mewajibkan Pertamina untuk mendirikan anak perusahaan guna mengelola usaha hulunya sebagai konsekuensi pemisahan usaha hulu dengan hilir.

Atas dasar UU Nomor 21 Tahun 2001, PT Pertamina EP (PEP) didirikan pada 13 September 2005. Sejalan dengan pembentukan PT PEP, pada 17 September 2005 PT Pertamina (Persero) melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan BPMIGAS (sekarang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas).

KKS ini berlaku surut sejak 17 September 2003 atas seluruh Wilayah Kuasa Pertambangan Migas yang dilimpahkan melalui perundangan yang berlaku. Sebagian besar wilayah PT Pertamina (Persero) tersebut dipisahkan menjadi Wilayah Kerja (WK) PT PEP. Pada saat bersamaan, PT Pertamina EP (PT PEP) juga melaksanakan penandatanganan KKS dengan SKK Migas yang berlaku sejak 17 September 2005.

Dengan demikian WK PT PEP adalah WK yang dahulu dikelola oleh PT Pertamina (Persero)  dan WK yang dikelola PT Pertamina (Persero) melalui Technical Assistance Contract (TAC) dan Joint Operating Body Enhanced Oil Recovery (JOB EOR).

Dengan tingkat pertumbuhan produksi rata-rata 6-7 persen per tahun, PT Pertamina EP memiliki modal optimisme kuat untuk tetap menjadi penyumbang laba terbesar PT Pertamina (Persero). Keyakinan itu juga sekaligus untuk menjawab tantangan pemeritah dan masyarakat yang menginginkan peningkatan produksi migas nasional.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pekerja mengontrol proses produksi di anjungan lepas pantai Mike-Mike yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) di Laut Jawa, Utara Karawang, Jumat (17/7/2015). Total produksi perhari PHE ONWJ untuk minyak sebesar 40.400 barel per hari (bph) dan gas bumi mencapai 173 mmscfd, yang semuanya digunakan untuk menyuplai kebutuhan strategis nasional.

Lifting Minyak

Konsep lifting minyak berbeda dengan produksi minyak. Meski keduanya sama-sama berada pada titik hulu produksi minyak, namun konsep yang pertama disebutkan mengacu secara spesifik pada minyak hasil produksi yang telah diolah dan siap untuk digunakan.

Lifting minyak adalah komoditas yang siap jual dan telah berada di atas kapal maupun kilang. Sementara konsep produksi minyak mengacu pada total minyak yang diperoleh dari perut bumi, namun tidak seluruhnya dipakai karena sebagiannya digunakan untuk eksplorasi kembali.

Pada tahun 2016, lifting minyak jumlahnya mencapai 829.000 barel per hari, meningkat dari tahun 2015 yang mencapai 777.560 barel per hari. Namun, ini adalah peningkatan lifting terakhir.

Pada tahun-tahun berikutnya, capaian lifting minyak Indonesia konsisten menurun. Bahkan, tahun 2022 harus ditutup dengan capaian 612.300 barel per hari atau turun 216.700 barel per hari. Hadirnya situasi penurunan produksi demikian membuat para pemangku kebijakan kurang yakin dalam menetapkan target capaian lifting minyak untuk tahun 2023.

Komisi VII DPR dan Kementerian ESDM menyepakati target produksi lifting minyak bumi untuk tahun 2023 sebesar 660.000 barel per hari. Meski tampak meningkat dibandingkan capaian lifting pada 2022, namun asumsi ini sendiri menurun. Pada 2022, asumsi lifting mencapai 703.000 barel per hari.

Kedepannya, pemerintah Indonesia tetap berpegang pada capaian target lifting satu juta barel per hari pada 2030. Namun disadari bahwa capaian demikian haruslah bertahap. Untuk memulai proyek pompa minyak, diperlukan waktu 7-10 tahun. Sejumlah indikasi sumur-sumur minyak baru pun diupayakan dipercepat.

 

Sumber: BPS, Pertamina, dan Pemberitaan Kompas

Revisi Regulasi

Dengan situasi aktual yang demikian, industri minyak di Indonesia memerlukan perubahan radikal. Pemulihan produksi minyak diperlukan sehingga dapat memenuhi kesejahteraan masyarakat luas. Upaya nyata dalam melakukan perubahan tersebut adalah dengan kembali pada kebijakan perminyakkan. Revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan produksi lifting minyak.

Hadirnya kebijakan formil memiliki kapasitas untuk menciptakan iklim investasi yang lebih menarik, yang pada kelanjutannya akan membantu Indonesia dalam percepatan mencapai target. “Kami sepakat (perlunya) percepatan (revisi) UU Migas, untuk memberi dukungan agar lifting minyak meningkat,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif (Kompas.id, 8/9/2022, Asumsi Lifting Minyak Bumi 2023 Menurun).

Capaian produksi hulu minyak pada 2022 menjadi indikator nyata akan diperlukannya respon untuk melakukan perbaikan, termasuk perihal kelembagaan dan perizinan. Hal-hal tersebut akan membuat risiko dapat lebih ditekan dan terpetakan. Dengan demikian, investor diharapkan lebih yakin dalam menanamkan investasi dalam kegiatan hulu migas di Indonesia.

Perihal kelembagaan badan pelaksana pada titik hulu minyak, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, saat ini dipegang oleh SKK Migas. Kehadiran lembaga ini esensial, namun sifatnya masih sebagai lembaga sementara. Ketidakpastian posisi dari lembaga ini membuat citra ketidakpastian bagi calon investor.

Selain soal kelembagaan, revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 juga perlu dititikberatkan pada persoalan perizinan. Revisi UU harus memasukkan poin-poin pemberian kemudahan dan insentif untuk investasi pada industri minyak. Tren yang ada saat ini, kecenderungan investasi semakin menurun (Kompas, 11/1/2023, Revisi UU Migas Mendesak Dituntaskan).

Investasi menjadi poin penting yang perlu digalakkan untuk meningkatkan kapasitas produksi minyak. Namun lebih daripada itu, investasi menjadi sarana penting untuk melakukan eksplorasi terhadap sumur-sumur baru.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyampaikan, adalah wajar bilamana terjadi penurunan produksi minyak karena memang juga belum ditemukannya sumur-sumur baru. Investasi terhadap industri minyak sebesar 12,3 miliar dollar AS pada 2022 masih didominasi pada upaya produksi, yakni mencapai sebanyak 8 miliar dollar AS.

Untuk poin eksplorasi, hanya diperoleh investasi 0,8 miliar dollar AS. Lebih kecil lagi investasi untuk pengembangan industri yang hanya 2,7 miliar dollar AS dan untuk administrasi sebesar 0,87 miliar dollar AS.

“Kuncinya pada eksplorasi. (Di hulu migas) Menanam itu pada eksplorasi. Kalau tidak pernah menanam, maka tak pernah memanen. Sementara porsi yang digunakan untuk menanam kecil,” kata Komaidi. Salah satu cara untuk meningkatkan investasi pada eksplorasi bisa dilakukan dengan perbaikan data dan kemudahan perizinan oleh pemerintah.

Kurangnya eksplorasi pada titik-titik yang potensial berpengaruh langsung pada target produksi minyak, apalagi pada target tahun 2030. (Kompas, 20/1/2023, Risiko Hulu Migas Mesti Terpetakan).

Revisi terhadap kebijakan minyak bumi yang saat ini berlaku pun menjadi sorotan. Terkait hal ini, DPR pun telah memasukkan rencana pembahasan Rancangan UU tentang Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Hal ini sangat perlu dilakukan meski tidak masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2023. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO

Suasana kilang pengolahan PT Pertamina (Persero) Refinery Unit IV Cilacap, Jumat (10/11/2017). PT Pertamina Refinery Unit IV Cilacap merupakan kilang terbesar dari 7 kilang Pertamina dengan kapasitas produksi 348.000 barel/hari. Kilang yang dibangun pada 1974 ini memasok 60 persen kebutuhan BBM di Pulau Jawa dan 34 persen di Indonesia.

Referensi

Buku
  • Pertamina: Dari Puing-puing ke Masa Depan 1957-1997, Humas Pertamina, 1997
  • Sejarah Perminyakan di Indonesia, Juli Panglima Saragih, Sekretariat Jenderal DPR, 2010
  • Wajah Baru Industri Migas Indonesia, Katadata Indonesia, 2013
Arsip Kompas

• Kompas. (2023, Januari 11). Revisi UU Migas Mendesak Dituntaskan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 10.
• Kompas. (2023, Januari 20). Risiko Hulu Migas Mesti Terpetakan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 9.
• Kompas.id. (2022, September 8). Asumsi Lifting Minyak Bumi 2023 Menurun. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/09/08/asumsi-lifting-minyak-bumi-2023-menurun
• Kompas.id. (2023, Januari 10). Kian Mendesak, Revisi UU Migas Ditargetkan Dibahas 2023. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/01/10/kian-mendesak-revisi-uu-migas-ditargetkan-dibahas-2023
• Kompas.id. (2023, Januari 4). Masyarakat Perlu Dibiasakan dengan Fluktuasi Harga BBM. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/01/03/masyarakat-perlu-dibiasakan-dengan-fluktuasi-harga-bbm
• Kompas.id. (2023, Januari 6). Presiden Tantang Pertamina Tambah Produksi Minyak di Rokan. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/01/05/presiden-tantang-pertamina-tambah-produksi-minyak-di-rokan