KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Seorang petani di Desa Penyengat, Kabupaten Siak, Riau, Selasa (14/3/2023), tengah memanen nanas yang ditanam di lahan gambut. Masyarakat di Desa Penyengat mulai mengembangkan pertanian di lahan gambut dengan komoditas nanas untuk melepas ketergantungan terhadap sawit sekaligus mencegah kebakaran terulang.
Fakta Singkat
- Gambut adalah tanah lunak dan basah yang terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yang membusuk (material organik) dan biasa terbentuk di daerah genangan air.
- Karakteristik gambut yang menjadi pembeda adalah pororitas yang besar, kemampuan serapan air yang tinggi, kandungannya yang asam (pH < 4), dan kemampuan dalam menyimpan karbon.
- Gambut mampu menyimpan kandungan karbon 20 kali lipat lebih banyak dari tanah mineral biasa, membuatnya menjadi salah satu pencegah pemanasan global.
- Dengan kemampuan menyerap 850 liter air per meter kubik, gambut menjadi sumber air yang bermanfaat bagi irigasi ladang masyarakat dan pendukung kehidupan endemik.
- Indonesia menduduki peringkat dua sebagai negara dengan luas lahan gambut terbesar, mencapai 22,5 juta hektar, dan hanya kalah dari Brasil dengan 31,1 juta hektar.
- Luasan lahan gambut terbesar berada di Provinsi Papua mencapai 6,3 juta hektar.
- Data BRGM 2022 menunjukkan bahwa 83,4 persen lahan gambut di Indonesia telah mengalami kerusakan. Sebanyak 5,2 persen (atau 1,26 juta hektar) telah berada dalam kondisi rusak berat dan sangat berat.
- Di Sumatera dan Kalimantan, hanya tersisa 7 persen lahan gambut yang masih asli. Sisa lahan lainnya telah tercemar oleh industri ekstraktif, yang mayoritas merupakan perkebunan sawit.
- Kebakaran gambut dan lahan basah mulai terjadi di Indonesia pada rezim Orde Baru, pertama kali pada 1982. Kebakaran berikutnya terjadi pada 1987, 1991, 1994, dan akhirnya kembali terjadi secara besar pada 1997. Kebakaran besar terakhir terjadi pada 2015.
Memasuki musim kemarau, kebakaran hutan kembali terjadi. Berbagai wilayah dengan bukaan hutan yang luas dihadapkan dengan persoalan api yang meluas dan kabut asap yang mewarnai langit. Dalam situasi tersebut, hutan di lahan gambut menjadi salah satu lokasi yang paling diantisipasi. Risiko kebakaran di lahan gambut berkali-kali lipat lebih besar daripada lahan biasa seperti tanah merah. Begitu pula dengan pemadamannya yang lebih rumit.
Dalam kemarau 2023 ini, kebakaran hutan mulai terjadi di berbagai wilayah dengan lahan gambut. Di Sumatera Selatan misalnya, data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengungkap bahwa jumlah titik panas selama periode Januari-Agustus 2023 telah mencapai 1.821 titik. Kemarau di Agustus menjadi waktu kemunculan titik api terbanyak, yakni hingga 653 titik.
Selain di Sumatera, lahan gambut juga tersebar luas di Pulau Kalimantan. Permasalahan terbakarnya hutan gambut pun telah menjadi persoalan menahun yang harus dihadapi masyarakat Dayak dan masyarakat luas yang tinggal di Kalimantan. Selama Agustus, petugas di Provinsi Kalimantan Tengah kewalahan memadamkan lahan gambut. Api melahap lahan gambut di pinggir parit. Dipicu angin kencang, api pun meluas dengan cepat hingga mendekati permukiman. Butuh tiga jam untuk memadamkan api.
Sementara itu, di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, api menjalar di lahan-lahan Desa Kubu, Kecamatan Kumai dan Kelurahan Baru, Kecamatan Arut Selatan. Sudah lima kali upaya pemadaman dilakukan, tetapi api masih berkobar (Kompas, 26/8/2023, Karhutla: Pemadaman Gambut Terkendala Air dan Angin).
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Kebakaran lahan di Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau masih belum dapat dikendalikan, Kamis (15/2/2018). Luas lahan terbakar diperkirakan sudah lebih dari 1.000 hektar. Kebakaran membakar lahan pertanaman sagu warga, lahan sagu PT National Sago Prima dan hutan desa setempat. Desa Lukun merupakan salah satu percontohan restorasi gambut oleh Badan Restorasi Gambut.
Sekilas Lahan Gambut
Dari pemaknaan etimologisnya, KBBI mendefinisikan gambut sebagai tanah lunak dan basah yang terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yang membusuk. Lahan dengan komposisi demikian biasanya terbentuk di daerah rawa atau di danau yang dangkal. Sementara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada riset dan kampanye lahan gambut di Indonesia, yakni Pantau Gambut, menjelaskan gambut itu sendiri sebagai bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna karena terdapat pada kondisi anaerob (kedap udara).
Dijelaskan oleh Pantau Gambut, pembentukan gambut berlangsung selama ribuan tahun. Pembentukan dimulai dari adanya cekungan atau genangan air yang sangat luas. Dalam cekungan atau genangan basah tersebut lantas tumbuh dan berkembang berbagai tanaman. Seiring waktu, jasad tanaman-tanaman tua yang gugur dan mati menumpuk dan membusuk di dasar cekungan sebagai bahan-bahan organik.
Proses dekomposisi atau pembusukkan tersebut terjadi dengan sangat lambat karena tidak adanya udara. Lambatnya pembusukkan membuat bahan-bahan organik menumpuk sehingga membentuk lapisan di atas tanah mineral yang berada di dasar cekungan.
Tanaman berikutnya, yang tumbuh dan kemudian mati, menghasilkan bahan organik serupa di atas lapisan yang sudah terbentuk sehingga secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut yang baru. Penumpukkan terus menerus berlangsung hingga akhirnya menimbulkan pendangkalan cekungan. Dengan proses demikian yang terus berkelanjutan, gambut biasa ditemukan di area genangan air seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir.
Proses pembetukkan demikian membuat gambut memiliki karakteristiknya tersendiri. Keunikan ciri dan karakter gambut membuatnya begitu berbeda dengan jenis lahan bertanah lain yang jamak ditemui di Indonesia, khususnya tanah mineral. Menurut Pantau Gambut, keunikan gambut dapat dilihat dari besaran pororitas, tingkat serapan air, level keasaman, dan kemampuan menyimpan karbon.
Karakteristik pertama, yakni besaran pororitas, dapat segera dilihat secara kasat. Tingginya tingkat pororitas tampak dari permukaan lahan yang hanya tertutupi oleh dedaunan dan ranting kering, bukan tanah padat. Dengan komposisi tersebut, pori-pori yang terkandung di dalam lahan gambut pun sangat berongga, atau pororitas tinggi. Sebagai perbandingan, gambut memiliki tingkat pororitas 70 – 90 persen. Sementara tingkat pororitas tanah mineral hanya berada di kisaran 48 – 70 persen.
Dari karakteristik pertama ini lantas berimplikasi pada karakteristik kedua, yakni kemampuan serapan air. Tingginya pororitas membuat air dapat dengan mudah terserap masuk ke dalam tanah gambut. Kemampuan gambut dalam menyerap dan menyalurkan air sangat tinggi, mencapai 100 – 1.300 persen dari bobot keringnya, atau lebih dari 850 liter air/m3. Sementara tanah mineral hanya mampu menyerap dan menyalurkan air maksimal 35 persen dari bobot keringnya.
Karakteristik ketiga adalah tingkat keasaman gambut yang sangat tinggi. Gambut memiliki tingkat keasaman asam dengan pH < 4, sementara tanah mineral memiliki tingkat keasaman netral pada pH 7. Karakteristik ini tercipta dari komposisi bahan organik yang sangat tinggi. Bahan-bahan ini memiliki tingkat keasaman yang tinggi namun sulit teurai dengan baik.
Sementara karakteristik keempat adalah kemampuan yang tinggi dalam menyimpan karbon. Tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon yang tinggi, bahkan hingga 18 persen – 60 persen dari bobot keringnya. Sementara tanah mineral hanya mampu menyimpan karbon sebesar 0,5 persen – 5 persen dari total bobot keringnya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Tim gabungan pemadam kebakaran hutan dan lahan di Kota Palangkaraya berjibaku memadamkan api di lahan bergambut yang diduga dibakar orang di Jalan Hiu Putih, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Minggu (30/7/2023). Musim kemarau dengan paparan suhu tinggi rawan menimbulkan kebakaran.
Artikel Terkait
Manfaat Lahan Gambut
Dengan berbagai karakteristik tersebut, kehadiran gambut lantas mengusung ragam manfaat tersendiri. Mengacu pada laporan Managing Peatlands In Indonesia: Challenges and Opportunities For Local and Global Communities oleh Center for International Forestry Research (CIFOR), hutan rawa gambut Indonesia memberikan manfaat yang signifikan dari skala lokal hingga global.
Manfaat terbesar yang diberikan adalah melalui penyimpanan karbon. Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau 20 kali lipat dari karbon tanah mineral biasa. Dalam skala lebih luas, gambut di seluruh dunia menyimpan 30 persen karbon dunia.
Karbon yang dijebak dalam gambut ini mencegah pelepasan secara masif yang akan berdampak pada pemanasan global. Kerusakan dan degradasi luasan gambut berarti pelepasan karbon secara masif ke udara. Artinya, gambut berperan signifikan terhadap emisi gas rumah kaca, baik di tingkat regional, nasional, hingga global.
Selain itu, lahan gambut juga menjadi ruang bagi keragaman hayati yang begitu kaya. Kehadiran flora dan fauna endemik menjadi indikator utamanya. Hal ini secara baik ditunjukkan oleh Jamuan Hutan Lahan Gambut yang digelar di Javara Culture pada Desember 2018 lalu. Mengacu pada Kompas.id (30/12/2018, Harta Karun Lahan Gambut), Chef Meliana Christianty yang menyediakan jamuan menghadirkan beragam sajian dari tanah gambut.
Ada lawa mentimun, udang galah baubar, dan juhu ujau. Terdapat pula menu rebung dan ikan asin talang fermentasi. Yang terakhir disebutkan biasanya ditangkap 5-6 bulan sekali oleh nelayan yang masih menggunakan alat tangkap kecil sederhana – membuat harga jualnya terjaga tetap tinggi. Untuk penutup, ada bubur gunting yang terbuat dari kacang hijau kupas.
Pada acara tersebut pula, warga dari 11 lahan gambut di Kalimantan juga didatangkan sembari membawa komoditas lokal dari lahan gambut. Para warga yang didominasi perempuan ini menunjukkan variasi komoditas yang begitu kaya, dari singkong, labu kuning, buah cempedak, terung asam rimbang, buah kuini, buah hambawang, hingga jeruk kalamansi.
Terakhir, daya serap gambut yang tinggi juga menjadikannya sebagai penjamin ketersediaan air bagi ekosistem sekitar. Masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan yang hidup di sekeliling ekosistem gambut diuntungkan dengan keberlimpahan air ini. Mereka biasa memanfaatkan cadangan air gambut untuk mengairi ladang yang dibuka.
Irigasi dan parit digali untuk mengalirkan air dari lahan gambut ke ladang masyarakat. Dalam tradisi lokal, masyarakat juga akan membangun tabat (pintu air) untuk mengatur masuk dan keluarnya air secukupnya, menghindari pengeringan gambut dan banjir di ladang.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Papan petunjuk dan peringatan di embung terpadu Desa Dayun, Kabupaten Siak, Riau, Senin (7/8/2023). Embung itu dibuat warga pada 2018 dengan menyekat kanal di lahan gambut.
Data Lahan Gambut di Indonesia
Indonesia sebagai negara tropis dianugerahi oleh luasan lahan gambut yang begitu masif. Menurut sejumlah literatur, salah satunya Peatland in Indonesia oleh Osaki dkk dalam buku Tropical Peatland Ecosystems, disebutkan bahwa total luas lahan gambut di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 14,9 juta hektar.
Secara lebih rinci, Pulau Sumatera menjadi lokasi kehadiran lahan gambut terluas, mencapai 6,44 juta hektar atau setara dengan 43 persen dari luas gambut nasional. Di peringkat kedua terdapat Pulau Kalimantan dengan 4,78 juta hektar (32 persen), diikuti oleh Pulau Papua dengan 3,69 juta hektar (25 persen).
Dari data tersebut, tercatat juga bahwa 35 persen gambut di Indonesia memiliki level kedalaman/ketebalan shallow peat atau gambut dangkal (0,5 – 1 meter). Sebanyak 26 persen lainnya memiliki tingkat ketebalan medium atau sedang (1 – 2 meter), 19 persen deep atau gambut dalam (2 – 4 meter), dan 20 persen pada level very deep peat atau gambut sangat dalam (>4 meter).
Dalam perkembangannya, perhitungan luasan lahan gambut nasional mengalami pembaharuan. CIFOR bersama mitra kerjanya mengembangkan model identifikasi dan pemetaan lahan basah dan lahan gambut di daerah tropis dunia, khususnya Indonesia. Perhitungan kembali yang dilakukan pada tahun 2017 ini menggunakan citra satelit resolusi sedang, yakni MODIS 235 x 235 m2.
Pengukuran tersebut mendapati luas lahan gambut Indonesia yang rupanya jauh lebih besar, yakni 22,5 juta hektar. Menurut CIFOR, perbedaan demikian bisa disebabkan oleh belum terhitungnya simpanan lahan gambut di wilayah Pulau Papua secara baik.
Infografik Kompas.id (16/1/2021, Potensi Ekonomi Pangan Lahan Gambut) yang didasarkan pada data terbaru menunjukkan bagaimana persebaran luasan ini di berbagai provinsi di Indonesia. Papua menjadi provinsi dengan luasan gambut terbesar, mencapai 6,3 juta hektar.
Grafik:
Dengan data demikian, luasan gambut nasional di Indonesia menjadi yang terbesar kedua di dunia. Indonesia hanya kalah dengan Brasil yang memiliki total luas lahan gambut sebesar 31,1 juta hektar. Sementara setelah Indonesia, secara berturut-turut terdapat negara Kongo dengan luas lahan gambut mencapai 11,5 juta hektar, diikuti Tiongkok dengan 8,4 juta hektar, dan Kolombia dengan 7,5 juta hektar.
Meski memiliki kekayaan gambut yang begitu signifikan, namun tidak semua lahan gambut di Indonesia telah masuk dalam pengawasan pemerintah. Sebagai contoh, dari total 2,2 juta hektar lahan gambut di Riau, hanya 43.810 hektar yang telah masuk dalam kategori kawasan lindung. Sementara 770.920 hektar masih ditargetkan untuk menjadi kawasan budidaya. Situasi di Papua lebih memprihatinkan, dimana hanya terdapat 5.068 hektar kawasan lindung dari total 6,3 juta hektar.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Sejumlah warga Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan menanam purun di kawasan lahan gambut, Senin (7/6/2021). Penanaman ini adalah bentuk budidaya untuk menyediakan bahan baku agar kerajinan purun terus lestari. Bahkan kerajinan ini terus dikembangkan agar bisa menembus pasar internasional.
Kerusakan Lahan Gambut di Indonesia
Data Kerusakan Lahan Gambut
Hadirnya gambut yang begitu luas berikut dengan kekayaannya tidak lantas disikapi dengan tanggung jawab dan pemeliharaan. Mengacu kembali pada artikel Osaki dkk, dalam 10 tahun terakhir (2005-2015), alih fungsi lahan gambut menjadi semakin ekstensif akibat produksi pangan bagi kepentingan konsumsi domestik maupun ekspor. Dalam rentang waktu tersebut, 2,5 juta hektar lahan gambut telah ditebang dan dialihfungsikan sebagai perkebunan sawit.
Perkebunan sawit menjadi salah satu contoh dari merambahnya industri ekstraktif ke berbagai lahan gambut yang masih perawan. Masuknya industri ini menjadi faktor terbesar bagi kerusakan gambut di Indonesia. Hasil analisis Pantau Gambut menunjukan terdapat 1,4 juta hektar lahan gambut yang terbakar selama periode 2015-2019. Dari luasan tersebut, sebanyak 70 persennya (setara dengan 1,02 juta hektar) berada di dalam area konsesi.
Secara lebih rinci, 580.764,5 hektar berada di dalam kawasan hak guna usaha (HGU) dan 168.988,1 hektar di kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI). Selain itu, 83.575,6 hektar kebakaran berada di kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) dan 187.047,9 hektar lainnya di atas kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) (Kompas.id, 13/2/2023, Seperlima Lahan Basah di Dunia Telah Menghilang).
Lembaga Greenpeace Indonesia juga melakukan riset dan analisis gambut terhadap periode yang sama (2015-2019). Hasilnya, sebagaimana diungkapkan Peneliti Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia Sapta Ananda pada April 2021, ditemukan hampir semua lahan gambut di Indonesia sudah dalam keadaan rusak. Analisis yang diperoleh dari peta status kerusakan gambut ini membagi tingkatan kerusakan pada tingkatan kritis rendah, sedang, dan tinggi.
Hasil analisis kondisi kekritisan gambut tersebut menunjukkan bahwa dari total 520 ekosistem gambut, terdapat 56 ekositem yang masuk dalam kondisi kritis tinggi. Mayoritas ekosistem gambut dengan kondisi ini berada di Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, sebanyak 110 ekosistem gambut masuk dalam kondisi kritis sedang dan 354 ekosistem kritis rendah (Kompas.id, 3/4/2021, Area Restorasi Gambut Masih Rentan Terbakar).
Masalah serupa konsisten terjadi hingga 2022. Inventarisasi yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menemukan hanya 16,61 persen (4,02 juta hektar) dari 24,2 juta hektar lahan gambut yang berada dalam kondisi tidak rusak. Sebanyak 83,4 persen lainnya berada dalam empak kondisi kerusakan, dari rusak ringan hingga sangat berat.
Secara lebih rinci, 15,9 juta hektar lahan gambut (65,45 persen) rusak ringan dan 3,09 juta hektar (12,74 persen) mengalami rusak sedang. Sementara luasan lahan gambut yang mengalami kerusakan berat dan sangat berat berturut-turut seluas 1,05 juta hektar (4,35 persen) dan 206.935 hektar (0,85 persen). Data ini dipaparkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Juli 2022 lalu.
Kerusakan utama yang terjadi pada ekosistem gambut adalah kebakaran dan kekeringan. Yang pertama disebutkan dapat disebabkan oleh kekeringan itu sendiri, namun diperparah dengan ulah manusia dan situasi kemarau yang ekstrem. Sementara kekeringan diakibatkan oleh penebangan pohon di dalam ekosistem gambut secara masif, pengerukan lahan, dan pembuatan irigasi yang masif.
Saluran irigasi kerap dibuat oleh korporasi yang masuk sebagai sarana transportasi, terutama untuk menyalurkan dahan-dahan yang ditebang. Hal ini dilakukan dengan menggali lahan gambut, sehingga air yang tersimpan di dalam gambut pun mengalir keluar dan mengisi lubang galian tersebut menjadi sungai kecil. Air yang terus menerus mengalir keluar mengeringkan lahan gambut yang sejatinya selalu berada dalam kondisi basah.
Kebakaran sendiri juga memperburuk kerusakan ekosistem gambut. Hilangnya pohon-pohon akibat kebakaran menyebabkan ketidakmampuan gambut dalam menyerap air dan mengikat karbon. Selain itu, kebakaran juga mengikis lapisan gambut – membuatnya menjadi tipis dan kehilangan berbagai manfaatnya. Polusi dan gas beracun menjadi dampak pencemaran udara yang juga signifikan.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Lahan dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Singkil, di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, dirambah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit seperti terlihat pada Minggu, (24/10/2021). Suaka Margasatwa Singkil merupakan kawasan lindung gambut. Perambahan berdampak pada kehilangan tutupan hutan, rusaknya habitat orangutan, dan memicu pemanasan global.
Sejarah Singkat Perusakan Gambut
Apabila ditilik secara historis, kerusakan gambut telah mulai terjadi secara sistematik sejak akhir periode 1960an. Mengacu pada CIFOR, pada periode itulah rezim pemerintahan Orde Baru mulai masuk melakukan reklamasi hutan dan rawa gambut di seluruh Indonesia.
Kebakaran hutan besar pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1982–1983. Pada saat itu, sebanyak 3,6 juta hektar hutan hujan tropis, yang mayoritas merupakan lahan gambut, di Kalimantan Timur terbakar. Mengacu pada artikel Forest and Land Fires in Indonesia: Assessment and Mitigation oleh Lailan Syaufiana, peristiwa kebakaran ini seakan mengagetkan dunia.
Selama ini, hutan hujan tropis dikenal lembab dan selalu basah. Terbakarnya hutan menjadi suatu skenario yang dinilai tak terduga sebelumnya. Meski melahirkan perhatian dan kepedulian terhadap kebakaran hutan, publik dan aparat seolah lantas melupakan peristiwa ini dan ancaman yang mungkin timbul kembali sewaktu-waktu. Kebakaran dengan skala yang lebih kecil mulai terjadi kembali pada tahun 1987, 1991, dan 1994.
Meski begitu, pemerintah Orde Baru masih terus melakukan perusakan tutupan hutan-hutan demi program-program besar pemerintah, termasuk transmigrasi, penebangan yang dilegalkan secara masif, penerbitan izin-izin konsesi, pembalakan liar yang meluas, dan proyek pertanian besar-besaran. Bahkan, justru dilakukan pembukaan mega-proyek pertanian yang menjadi pintu masuk bagi pembabatan masif hutan-hutan gambut nasional, yakni Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar.
Kanal drainase dibangun untuk memungkinkan pengembangan pertanian dan pengangkutan kayu gelondongan hasil penebangan. Kanal-kanal ini memberikan akses yang begitu panjang ke dalam sisa hutan yang belum ditebang. Hal ini menyebabkan keringnya sebagian besar lahan gambut, membuka potensi kebakaran.
Pucak pelaksanaan PLG Sejuta Hektar Proyek dimulai pada kisaran waktu 1995-1998. Proyek yang akhirnya gagal sama sekali ini menelan anggaran Rp 2,1 triliun dengan memindahkan 64.000 transmigran dari Pulau Jawa. Tutupan gambut seluas 3.000 hektar di wilayah Kalimantan Tengah dibuka untuk dijadikan lokasi cetak sawah (Kompaspedia, 1/9/2023, Program Pangan Nasional “Food Estate”).
Akhirnya, sebagai dampak dari masuknya berbagai kepentingan perusahaan dan pemerintah, disertai dengan giat ekstraksi yang luar biasa – pada tahun 1997, Indonesia kembali dihadapkan pada kasus kebakaran hutan besar. Kali ini, lokasi peristiwa terjadi di Kalimantan Tengah. Perusakan lingkungan diperparah dengan kekeringan masif akibat dengan pemanasan ekstrem dari El Nino.
Hutan gambut yang seharusnya mampu menahan cuaca ekstrem ini telah kehilangan kemampuan organiknya. Kekeringan masif berdampak pada kebakaran besar yang tidak terelakkan. Pada tahun itu, sebanyak 2,7 juta lahan gambut di Kalimantan Tengah terbakar.
Secara total kebakaran 1997-1998 merusak 11,7 juta hektar hutan dan lahan. Sebanyak 75 juta manusia terdampak polusi dengan estimasi kerugian mencapai 9,7 miliar dolar AS. Hampir seluruh negara di Asia Tenggara terdampak oleh gangguan kabut asap.
Sejak peristiwa 1997-1998 tersebut, kebakaran hutan dan lahan gambut pun rutin terjadi hampir setiap tahun dengan skala yang beragam. Syaufiana mencatatkan bahwa titik-titik kebakaran ditemukan pada tahun 2002, 2004, 2006, 2009, 2012, 2013, 2014, dan terakhir juga menjadi salah satu kebakaran yang paling masif pada 2015.
Mengacu kembali ada CIFOR, dalam rentang 2007-2015, sebanyak 2,6 persen luasan lahan gambut hilang per tahunnya di Sumatera dan Kalimantan. Diperkirakan, sebanyak 0,4 juta hektar lahan gambut dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.
CIFOR juga menuliskan bahwa kebakaran gambut besar pada 2015 turut dimungkinkan akibat El Nino yang begitu panjang dan esktrem, serupa dengan tahun 1997. Di tahun tersebut, api membakar 0,9 juta hektar lahan gambut yang sebagian besar berada di Sumatera Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Selama periode kebakaran September dan Oktober 2015 saja, sebanyak 1.164 juta ton karbon dilepaskan dari lahan gambut yang hancur. Jumlah tersebut setara dengan 84 persen emisi tahunan Indonesia yang dilaporkan pada tahun 2002. World Bank memperkirakan bahwa kebakaran ini menimbulkan kerugian hingga 16,1 miliar dolar AS.
Jumlah itu sendiri masih belum menghitung setengah juta kasus infeksi saluran pernafasan akut, gangguan terhadap kegiatan ekonomi, penutupan sekolah dan perusakan habitat yang berdampak jangka panjang. Indonesia menjadi sorotan global, dimana kritik dan bantuan akhirnya juga datang dari Malaysia dan Singapura.
Pada tahun 2023, masalah kebakarn gambut diperkirakan akan kembali terjadi. Apalagi, El Nino terbukti kembali hadir berikut dengan ancamannya. Tren kenaikan kebakaran gambut mulai meningkat sejak Juli 2023. Di seluruh provinsi dengan luas gambut yang masif, masyarakat, aparat, dan berbagai lembaga telah turun tangan untuk melakukan penanganan.
Dengan berbagai peristiwa yang telah terjadi, hingga saat ini hanya tersisa 7 persen lahan gambut yang masih asli di Sumatera dan Kalimantan. Mayoritas dari lahan gambut yang ada tersebut telah digunakan untuk pertanian skala kecil dan perkebunan industri, dimana 64 persennya adalah kawasan perkebunan industri. Kini tinggal Pulau Papua yang masih memiliki lahan gambut asli dalam jumlah besar.
Permasalahan kebakaran gambut juga kian kompleks dengan masih mengalirnya pendanaan yang diberikan kepada korporasi ekstraktif yang membuka eksosistem gambut. Analisis Pantau Gambut menemukan bahwa salah satu bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menyalurkan 4,2 miliar dollar AS untuk membiayai 15 grup perusahaan sawit, bubur kertas, dan kertas yang berisiko melanggar komitmen untuk mengelola ekosistem gambut secara lestari.
Termasuk dalam pelanggaran komitmen perlindungan gambut adalah pemanfaatan area lindung gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter untuk tanaman ekstraktif, tidak adanya upaya pemulihan gambut pasca-terbakar, dan pemanfaatan area bekas terbakar untuk tanaman ekstraktif (Kompas.id, 13/2/2023, Seperlima Lahan Basah di Dunia Telah Menghilang).
KOMPAS/ZULKARNAINI
Manajer Senior Non Litigasi Yayasan HAkA, Jehalim Bangun saat memaparkan kawasan lahan gambut yang akan diusulkan menjadi taman hutan raya (Tahura), Kamis (16/2/2023).
Pencegahan Kebakaran dan Perbaikan Lahan Gambut
Dengan berbagai dampak buruk dan tren kerusakan yang terjadi, kesadaran dan upaya perubahan terhadap kualitas lahan gambut nasional kian memperoleh perhatian. Tidak tinggal diam, pemerintah beserta lembaga kemasyarakatan lainnya telah menggalakkan berbagai program penanganan dan perawatan lahan gambut.
Salah satu yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan revisi periodik terhadap Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru atau PIPPIB hutan alam primer dan lahan gambut. Revisi yang dilakukan ini bisa menjadi pintu bagi penetapan jutaan hektar lahan gambut sebagai areal penghentian pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut, menjadikannya terlindungi dari kepentingan ekstrasif yang masuk.
Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, KLHK diinstruksikan untuk melakukan revisi PIPPIB setiap enam bulan sekali. Instruksi ini bertujuan untuk menyelamatkan hutan alam primer dan lahan gambut yang tersisa di Indonesia, menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi, dan pengurangan degradasi hutan.
Meski demikian, kehadiran Inpres tersebut masih menyisakan ruang kosong yang dapat ditafsirkan secara lain dari tujuan ekologisnya. Diamanatkan di dalamnya, bahwa pemberian izin konsesi tetap dapat diberikan untuk pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, seperti kedaulatan pangan, panas bumi, minyak dan gas, serta ketenagalistrikan (Kompas.id, 30/9/2020, 66,27 Juta Hektar Hutan dan Gambut Dilindungi).
Selain penanganan secara administratif, pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait juga membangun pergerakan untuk penanganan kebakaran gambut. Sebagai contoh, BRGM telah membentuk dan melatih Masyarakat Peduli Api (MPA) pada 2018. Kehadiran MPA diharapkan menjadi garda terdepan yang mendukung Manggala Agni dalam melaksanakan pengendalian kebakaran hutan.
Upaya penanganan kebakaran gambut juga dilakukan melalui kerja sama kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Salah satu bukti kolaborasi tersebut adalah pembangunan sekat kanal dan sumur bor sebagai upaya restorasi gambut.
Pembangunan sekat kanal dan sumur bor merupakan bagian dari restorasi gambut dengan tujuan pembasahan kembali, untuk kemudian dilanjutkan dengan penanaman kembali vegetasi asli gambut. Sekat kanal dibuat di badan kanal yang sebelumnya dibangun untuk saluran air keluar dari gambut. Penyekatan dilakukan untuk mencegah lebih banyak air keluar dari gambut dan mempertahankan kondisi tergenang yang penting untuk mencegah kebakaran.
Sementara sumur bor merupakan sumur buatan yang dibuat untuk menjadi sumber air bagi pembasahan lapisan atas lahan gambut maupun untuk pemadaman api apabila terjadi kebakaran. Pembuatan sumur bor untuk restorasi gambut dipimpin oleh BRGM, dengan mengikutsertakan warga lokal dan juga LSM, salah satunya LSM Kemitraan.
Meski demikian, pada akhirnya upaya restorasi dan pencegahan kerusakan gambut harus menitikberatkan keberpihakan – baik secara sosial, politik, maupun ekologis. Berbagai kebijakan telah lahir dan mati dari berbagai masa pemerintahan presiden. Namun, kebakaran dan kerusakan gambut masih konsisten terjadi. Keberpihakan yang berintegritas dan relevan menjadi kunci utama, dimana kehadirannya ataupun ketidakhadirannya dapat diukur secara kasat dari permasalahan gambut yang muncul. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Osaki, M., Nursyamsi, D., Noor, M., Wahyunto, & Segah, H. (2016). Peatland in Indonesia. Dalam MitsuruOsaki, & NobuyukiTsuji (Penyunt.), Tropical Peatland Ecosystems. Tokyo: Springer.
- Center for International Forestry Research. (2018). Managing Peatlands In Indonesia: Challenges and Opportunities For Local and Global Communities. CIFOR Infobriefs Number 205.
- Syaufina, L. (2018). Forest and Land Fires in Indonesia: Assessment and Mitigation. Integrating Disaster Science and Management: Global Case Studies in Mitigation and Recovery, 109-121.
- Kompas. (2023, Agustus 26). Karhutla: Pemadaman Gambut Terkendala Air dan Angin. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 11.
- Kompas.id. (2018, Desember 30). Harta Karun Lahan Gambut. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/gaya-hidup/2018/12/30/harta-karun-lahan-gambut
- Kompas.id. (2021, Januari 16). Potensi Ekonomi Pangan Lahan Gambut. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/01/16/potensi-ekonomi-pangan-lahan-gambut
- Kompas.id. (2023, Februari 13). Seperlima Lahan Basah di Dunia Telah Menghilang. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/02/13/seperlima-lahan-basah-di-dunia-telah-menghilang
- Kompas.id. (2021, April 3). Area Restorasi Gambut Masih Rentan Terbakar. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/04/03/kesatuan-hidrologis-gambut-masih-rentan-terbakar
- Kompaspedia. (2023, September 1). Program Pangan Nasional “Food Estate”. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/program-pangan-nasional-food-estate
- Kompas.id. (2020, September 30). 66,27 Juta Hektar Hutan dan Gambut Dilindungi. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2020/09/30/6627-juta-hektar-hutan-dan-gambut-dilindungi
- Pantau Gambut. (2023). Apa itu gambut? Karakteristik. Diambil kembali dari pantaugambut.id: https://pantaugambut.id/pelajari/karakteristik
- Pantau Gambut. (2023). Apa itu gambut? Proses pembentukan. Diambil kembali dari pantaugambut.id: https://pantaugambut.id/pelajari/proses-pembentukan