KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas memuat sepeda motor penumpang ke bagasi bus tujuan Lahat di terminal Kalideres, Jakarta Barat, Senin (10/04/2023). Sejumlah pemudik memutuskan mudik lebih awal karena alasan kenyamanan di jalan dan harga tiket yang masih terjangkau.
Fakta Singkat
- Istilah mudik salah satunya bentukan dari akronim dari istilah Jawa mulih dilik atau pulang dulu.
- Istilah mudik juga diyakini berasal dari bahasa Betawi udik yang merujuk pada wilayah spasial desa maupun kampung pinggiran. Dalam bahasa Betawi istilah meng-udik atau mudik dapat dipahami secara harafiah sebagai menjadi kampung atau kembali ke kampung.
- Tren mudik dari perkotaan telah muncul sejak tahun 1970-an, sementara istilah mudik telah ditemukan sejak kisaran tahun 1390 dalam “Hikayat Raja Pasai”.
- Perpindahan penduduk dalam mudik dapat terjadi sebagai akibat dari urbanisasi masif terdahulu dari desa ke kota.
- Jumlah pemudik tahun 2024 ini diperkirakan mencapai 193,6 juta orang, jumlah ini 13,7 persen dari tahun lalu, yaitu 123,8 juta pemudik.
- Manfaat ekonomi dari mudik, antara lain:
1) Memacu pertumbuhan sektor riil
2) Mempercepat redistribusi ekonomi dari kota besar ke daerah
3) Memberi manfaat ekonomi di pedesaan. - Dalam dimensi sosial, tradisi mudik didorong oleh keterkaitan pada relasi keluarga dan tuntutan sosial.
- Pengejaran citra dan sarana pembuktian diri menjadi masalah eksistensial yang muncul dari mudik.
- Masa pascamudik biasanya akan diikuti oleh fenomena urbanisasi besar-besaran yang perlu diantisipasi.
Artikel terkait
Menurut data Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik tahun 2024 ini diperkirakan mencapai 193,6 juta orang, jumlah ini 13,7 persen dari tahun lalu, yaitu 123,8 juta pemudik.
Jumlah pemudik 2024 mencapai 71,7 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, dan dari survei diketahui bahwa angkutan darat masih mendominasi pergerakan pemudik pada Lebaran 2024 nanti.
Hasil survei Kementerian Perhubungan pada 2024 menyebutkan moda transportasi Kereta Api merupakan moda angkutan darat terfavorit pemudik pada Lebaran kali ini (39,32 juta orang), disusul moda bus (37,51 juta orang), dan kendaraan pribadi (35,42 juta orang), serta sepeda motor (31,12 juta orang) yang merupakan angkutan jalan.
Baca juga: Merayakan Kembali Gelar Griya di Hari Kemenangan
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ribuan pemudik sepeda motor melintasi jalur Cilamaya- Cikalong, Karawang, Jawa Barat, menuju Jalur Pantura ke arah Jawa Tengah memasuki H-3 saat puncak mudik Lebaran 2014, Jumat (25/7/2014). Pemerintah memperkirakan mereka yang menggunakan sepeda motor pada mudik tahun ini sebanyak 2 juta lebih.
Apa itu Mudik?
Secara konkret, mudik dapat dipahami sebagai fenomena perpindahan penduduk atau migrasi yang terjadi pada sekitar masa Idul Fitri, sebuah fenomena masyarakat setelah puasa Ramadhan. Meski mudik acap dikenal terjadi dalam konteks waktu menjelang berakhirnya Idul Fitri, sebenarnya mudik bukanlah kewajiban dalam agama Islam yang mengharuskan masyarakat pulang kampung. Sejumlah literatur dan catatan historis menunjukkan bahwa mudik pun juga terjadi dalam konteks liburan panjang, seperti libur Natal dan Tahun Baru.
Universalitas mudik dapat dipahami dari etimologi. Mudik berasal dari bahasa Betawi udik yang merujuk pada wilayah spasial desa maupun kampung pinggiran. Meng-udik atau mudik dapat dipahami secara harafiah sebagai menjadi kampung atau kembali ke kampung.
Dalam buku Panduan Mudik 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) menuliskan bahwa terdapat pula pemahaman akan istilah mudik sebagai hasil akronim dari bahasa Jawa. Dalam pemahaman tersebut, istilah mudik diperoleh dari istilah mulih dilik atau pulang dulu.
Dalam konteks terminologisnya, mudik kemudian dapat dipahami sebagai perjalanan pulang dari kota besar ke desa atau kota-kota kecil.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mudik memiliki arti pulang ke kampung halaman. Melalui pemahaman tersebut, konsep mudik sama sekali tidak berasal dari ajaran agama tertentu, melainkan berakar dari nilai dan ciri ke-Indonesia-an.
Mudik dan Pulang Kampung
Kompas.id edisi 26 April 2020 memuat artikel berjudul: “Mudik, Pulang Kampung, dan Makna Kata yang Hampir Sama” yang ditulis oleh Nur Adji.
Kasus mudik dan pulang kampung seharusnya menyadarkan kita, pengguna bahasa, bahwa tidak sedikit kosakata yang bermakna (hampir) sama sesungguhnya berbeda penggunaannya.
Hal ini dapat kita temukan dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari. Adakalanya hal itu dilakukan dengan tidak sadar oleh penggunanya. Adakalanya hal itu juga disebabkan pengguna, misalnya, berpatokan pada sumber rujukan berbahasa.
Telaah terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menunjukkan ada beberapa kata yang bermakna (hampir) sama, tetapi sesungguhnya berbeda penggunaannya.
Fenomena kata mudik dan pulang kampung menambah catatan bagi penyusun KBBI agar menyempurnakan pemberian makna dan penyajian contohnya.
Mudik tentu sudah berubah jauh maknanya dari pertama kali kata ini digunakan pengguna bahasa.
Jika dulu mudik dimaknai sebagai berlayar atau pergi ke udik (hulu sungai, atau pedalaman), kini makna yang disandang memang lebih banyak terkait dengan ritual tahunan yang dilakukan pada saat Idul Fitri atau Lebaran (Fariz Alniezar, Universitas Nahdlatul Ulama, Juni 2017),
Baca juga: Mengenang Macet ”Brexit” Enam Tahun Silam
Dalam masa-masa perkembangan makna itu, kata (pulang) mudik bahkan pernah dipakai untuk peristiwa lain, selain Lebaran. Pada Jumat, 2 Juli 1971, umpamanya, Kompas menulis kata (pulang) mudik yang dikaitkan dengan pemilihan umum.
Pada hari-hari menjelang pemilihan umum, banyak orang dari Jakarta pulang mudik untuk melaksanakan hak pilihnya. Tidak mengherankan kalau stasiun kereta api pun berjejal-jejal orang. Mungkin lebih ramai daripada sewaktu menjelang Lebaran. Harga karcis tentu saja melonjak. Keadaan itu juga menandakan bahwa penghuni ibu kota sebenarnya banyak yang ingin menengok kampung halaman.
Mudik dari dulu hingga kini identik dengan kemacetan, hiruk-pikuk perbaikan jalan, jalur pantura dan Tol Cipali, serta silaturahmi di kampung halaman. Mudik juga identik dengan aktivitas kebudayaan yang dilakukan serentak oleh seluruh masyarakat Indonesia,
Mereka yang bekerja di kota bisa merayakan Lebaran bersama keluarga dan anggota masyarakat di tempat kelahiran. Suasana kota-kota besar pada hari Lebaran mungkin akan sedikit lengang karena ditinggalkan sebagian penduduknya (Sukron Abdullah, Kompas, 11 Oktober 2007)
Dalam konteks kekinian, makna mudik lebih kompleks daripada sekadar pulang kampung.
Tidak hanya kembali ke udik, soal kemacetan, silaturahmi, hiruk-pikuk perbaikan jalan, dan Lebaran, tetapi juga banyak faktor yang menyebabkan kondisi itu disebut mudik.
Meminjam ungkapan Prof. Mahsun dari Universitas Mataram, makna kata dalam bahasa diciptakan penuturnya secara manasuka, arbitrer, sesuai dengan sifat bahasa,
Baca juga: Kewaspadaan dan Kedisiplinan di Masa Euforia Lebaran
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pemudik motor milintas di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur, Rabu (21/6/2017) pagi. Meskipun saat ini banyak tawaran mudik gratis bersama, pemudik masih banyak yang memilih untuk menggunakan motor pribadi untuk pergi ke kampung halaman.
Bagaimana Mudik terjadi?
Mudik adalah fenomena kolektif yang menarik dalam sifat organiknya. Dituliskan oleh Fitroh dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dalam artikel “Mudik dalam Tradisi Nusantara”, bahwa terjadinya mudik dilakukan dalam jumlah besar oleh jutaan manusia dalam periode waktu tertentu secara bersamaan. Proses perpindahan jutaan massa ini, sebagaimana tertulis dalam artikel tahun 2020 tersebut, tidak disusun secara sistematis oleh suatu pihak maupun lembaga tertentu, misalkan saja negara. Sebaliknya, secara otomatis, spontan, serempak, dan akumulatif, penduduk kota akan secara bersama-sama melakukan mudik.
Menjelang lebaran, jalan-jalan dengan segera ramai oleh arus kendaraan. Tanpa ada komando, tingkat volume naik tajam dibanding hari biasanya. Mudik menjadi peristiwa budaya yang dilakukan berulang-ulang dan bukan ciptaan. Namun, nilai organik tersebut justru perlu diantisipasi oleh negara melalui rekayasa alur mudik dan peraturan lalu lintas.
Baca juga: Macet Total Belasan Jam, Ujian Mudik Perdana di Lintas Sumatera
Mudik pada tahun 2024 ini memiliki perbedaan dengan waktu-waktu mudik sebelumnya. Tahun 2024 ini, mudik hadir dalam suasana setelah Pemilu 2024 dan terjadi setelah hampir empat tahun pelarangan dan pembatasan mudik pada 2020.
Pada empat tahun sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk meniadakan aktivitas mudik. Sebab, pada masa tersebut kota-kota besar tidak hanya menjadi pusat kegiatan ekonomi, tetapi juga menjadi pusat penyebaran Covid-19. Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi nasional, bahkan menjadi episentrum utama dari penyebaran virus.
Suryahudaya dalam buku Indonesia Menghadapi Pandemi menuliskan bahwa pada 2020, mobilitas keluar masyarakat Jakarta menjadi penyebab utama penyebaran virus di berbagai provinsi di Indonesia. Dalam periode-periode tersebut, di mana pandemi tengah mencapai puncaknya, pemerintah masih meraba-raba usaha penanganan pandemi.
Setelah dua tahun dalam masa pembatasan, kini pemerintah membuka kembali kesempatan masyarakat kota untuk melakukan mudik. Keputusan ini dibuat setelah pemerintah mengkaji perkembangan teraktual kasus Covid-19 di Indonesia.
Seperti dirilis oleh Kominfo, sebaran kasus pada 2023 mengalami penurunan signifikan. Data ini juga didukung dengan peningkatan skor kepatuhan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatan. Tercatat bahwa 91 persen masyarakat Indonesia telah menerapkan protokol kesehatan karena kesadaran pribadi.
Selain itu, capaian vaksinasi juga telah menjangkau luas populasi di Indonesia.
Terakhir, keputusan pembukaan mudik 2023 tahun lalu juga berangkat dari uji coba yang telah dilakukan pemerintah sejak 2022. Pada periode tersebut, pemerintah telah melakukan relaksasi syarat perjalanan khususnya mobilitas dalam negeri. Ditulis oleh Kominfo bahwa relaksasi yang telah dilakukan sejak masa tersebut tidak menimbulkan peningkatan kasus penularan Covid-19.
Baca juga: Mewaspadai Titik Kemacetan di Jalan Tol Saat Mudik Lebaran 2022
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kemacetan terjadi selepas Gerbang Tol Cikampek Utama, Purwakarta, Jumat (29/4/2022). Volume kendaraan dari Jakarta yang menuju ke arah timur terus meningkat pada H-3 Lebaran yang diprediksi akan menjadi puncak arus mudik.
Sejarah Mudik
Artikel ilmiah “Potensi Pola Aliran Mudik pada Masa Pandemi Covid-19” menuliskan bahwa fenomena mudik di Indonesia telah muncul pada era tahun 1970-an. Dalam periode tersebut, mudik mulai menjadi tren dengan perkembangan kota-kota besar di Indonesia. Dituliskan bahwa pada 1970-an, kota mulai bertumbuh dan mengambil peran sebagai “simpul sumber penghidupan sekaligus tempat singgah bagi para pendatang yang berasal dari berbagai daerah”.
Cikal bakal tren mudik yang muncul pada periode 1970-an juga disampaikan oleh Gumilar R. Somantri. Dalam artikel “Kajian Sosiologis Fenomena Mudik”, Somantri juga menggarisbawahi perkembangan pesat kota-kota di Indonesia sebagai katalis pendorong mudik. Namun, Somantri menarik garis lebih jauh dengan melihat hal ini sebagai dampak dari integrasi sistem ekonomi Indonesia pada model kapitalisme dalam periode tersebut. Motif ekonomi menjadi fondasi utama dari migrasi penduduk desa ke kota.
Dengan peran demografis ruang kota yang dianggap sebatas sebagai solusi ekonomis, masyarakat kota acap memandangnya sebagai “tempat singgah” semata. Oleh karenanya, fenomena mudik muncul bagi para pendatang yang telah bermigrasi cukup lama di kota. Somantri mencatat bahwa para migran di kota merasa perlu untuk pulang dan bersentuhan kembali dengan asal-usul tradisional merela. Aktivitas mudik pun akan dilakukan pada hari-hari dengan durasi libur yang panjang dan memiliki nilai kultural, seperti hari raya Lebaran, Natal, hingga Tahun Baru.
Pemahaman mudik yang demikian merupakan hasil dari pergeseran makna. Kompas.com (11/05/2021, “Asal Kata dan Sejarah Mudik, Tradisi Masyarakat Indonesia Saat Lebaran”) mengutip praktisi bahasa Ivan Lanin, yang menjelaskan bahwa penggunaan kata mudik telah berasal dari kisaran tahun 1390.
Lanin menjelaskan bahwa penelusuran Malay Concordance Project menemukan kata mudik pada naskah “Hikayat Raja Pasai” yang ditulis pada kisaran tahun 1390. Dalam sumber tersebut, mudik diterjemahkan sebagai “pergi ke hulu sungai”. “Kata ini tampaknya berkaitan dengan kata “udik” (hulu sungai) yang dilawankan dengan “ilir” (hilir sungai),” jelas Ivan.
Diyakini pula bahwa karakter dan kerekatan hubungan dari budaya pulang ke daerah asal sendiri telah muncul sebelum masa Kerajaan Majapahit. Menurut Kominfo, pada masa tersebut para petani Jawa memiliki tradisi untuk pulang kembali ke kampung halamannya. Tujuan dari kepulangan mereka itu adalah membersihkan makam para leluhur. Tak hanya petani, begitu pula para perantau lainnya. Selain itu, momen ini juga digunakan oleh mereka untuk berdoa dan memohon rezeki keselamatan.
Sementara pada era Majapahit, budaya mudik muncul dari pola kunjungan para pejabat dan perwakilan kerajaan yang ditempatkan di Sri Lanka dan wilayah Malaysia. Penempatan tersebut dilakukan untuk menjaga wilayah Kerajaan Majapahit yang luas dan jauh dari pusat kerajaan. Dalam periode tertentu, para perwakilan ini akan pulang kembali ke daerah mereka. Tujuannya adalah untuk menemui raja dan pulang ke kampung halamannya.
Sejak tren mudik dalam konteks temporer, yakni perpindahan penduduk terjadi dalam nuansa ruang kota dan desa, fenomena ini menjadi aktivitas yang dijalani oleh berbagai lapisan masyarakat. Dalam konteks demikian, dari tahun ke tahunnya, Somantri menuliskan bahwa selain persoalan kemacetan lalu lintas, mudik tidak pernah menjadi hal yang mengkhawatirkan. Hal tersebut bertahan hingga masa pandemi, di mana aktivitas mudik dikhawatirkan justru menjadi katalis bagi penyebaran virus Covid-19.
Baca juga: Lika-liku Mudik Lebaran dari Masa ke Masa
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Stasiun Gambir dipadati penumpang yang ingin mudik. Rupanya mereka ingin pulang jauh sebelum Puasa tiba dan menanti dengan tenang tibanya Hari Raya Idul Fitri di kampung. Mereka antri sejak jam 05.00 sedang loket karcis dibuka jam 16.00. Calo pun menggunakan kesempatan dalam kesempitan ini. Mereka menawarkan karcis Jakarta-Yogyakarta dengan harga Rp5.000,-, padahal harga resminya Rp2.400,-
Mudik dalam konteks demografi
Sebagaimana ditulis Fitroh dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, “Tidak ada mudik yang tidak diawali oleh proses migrasi dari desa ke kota”. Dalam pemahaman di mana mudik merupakan proses pulang kembali ke desa, maka pada titik awal diperlukan proses keluar dari desa itu sendiri, atau mugrasi ke kota.
Dalam esai “Mudik dalam Tradisini Nusantara” tersebut, Fitroh mendefinisikan perpindahan penduduk sebagai “kegiatan perpindahan yang melampaui batas suatu wilayah tertentu dan dalam tempo tertentu pula”. Oleh karenanya, dalam perbicangan mengenai mudik akan selalu terdapat dua wujud perpindahan penduduk yang terjadi secara berurutan dalam proses terjadinya: migrasi ke kota dan migrasi kembali ke desa (atau mudik).
Jenis migrasi yang disebutkan pertama, terjadi proses perpindahan masyarakat desa ke kota. Fenomena ini didorong oleh strategi masyarakat desa dan wilayah pinggiran untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Baca juga: Kisah di Balik Pemblokadean Jalan Tol Cipularang
Sebagaimana ditulis oleh I Dewa Gede Karma Wissana dalam artikel akademis “Does Expenditure Patterns Shape Differently for Rural Household with Migrants? Evidence from Indonesia Family Life Survey”, strategi demikian banyak terjadi dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia. Strategi migrasi ke kota dianggap sebagai salah satu cara paling masuk akal dalam mencapai tujuan demikian, apalagi untuk mengatasi ketidakpastian dalam industri pertanian dan perkebunan.
Dituliskan oleh Wisana, terdapat banyak faktor dalam mendorong kegiatan perpindahan penduduk ke kota, seperti ekonomi, geografis, psikologis, hingga pendidikan. Meski begitu, faktor ekonomi lebih dominan daripada kedua faktor lainnya, karena sebagian besar masyarakat merantau ke kota untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tendensi ini berangkat dari pandangan umum akan kota yang dipandang lebih menjanjikan dalam kesempatan ekonomis dibandingkan dengan desa.
Sementara itu, jenis perpindahan penduduk yang kedua adalah migrasi dari kota ke desa, atau kini disebut sebagai mudik. Migrasi dalam konteks mudik tak hanya telah mengakar dalam tradisi masyarakat Indonesia. Akar tersebut telah merambah jauh secara kuantitas, menaungi populasi besar penduduk Indonesia. Artikel akademik “Homecoming (Mudik) and the Phenomenon of Social Brotherhood (Mangan Ora Mangan Asal Kumpul)” mengutip data mudik yang dipublikasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir saja, sejak 2019 sampai dengan 2021, sebanyak 15 persen dari total populasi penduduk Indonesia telah melakukan kegiatan mudik. Jumlah yang cukup signifikan ini bahkan terjadi dalam nuansa pandemi yang masih kental.
Laporan yang sama juga menunjukkan tren mudik sebelum masa pandemi. Pada tahun 2017 saja, sebanyak 28,99 juta orang melakukan mudik ke kampung halaman mereka. Sementara itu pada tahun 2018 dan 2019 tercatat jumlah pemudik mencapai 18,79 juta dan 18,34 juta secara berturut-turut.
Baca juga: Cermati Gelombang Arus Mudik, Lancar Sampai Kampung Halaman
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga melihat antrean panjang kendaraan roda empat saat puncak arus mudik yang memadati Gerbang Tol Kalikangkung di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (1/6/2019). Mereka mulai menuju sejumlah wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui jalan Tol Trans Jawa yang pada tahun ini telah difungsikan secara keseluruhan. Rekayasa lalu-lintas untuk mengurai kepadatan lalu-lintas terus dilakukan agar pemudik dapat melaluinya dengan nyaman dan aman.
Mudik dalam konteks ekonomi
Suud Sarim Karimullah melalui tulisan akademisnya dalam meninjau mudik secara antropologis menuliskan bahwa mudik memberikan dampak positif pada aspek ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh akibat yang dimunculkan pemudik dalam pemerataan ekonomi ke daerah. Ketika pemudik pergi ke desa sebagai tempat tujuan dan kepulangan mereka, terjadi percepatan aliran uang dari kota ke desa.
Pernyataan Karimullah tersebut juga serupa dengan apa yang dituliskan oleh Wisana. Ia menjelaskan bahwa aktivitas migrasi antara ruang desa dan ruang kota selalu menjadi bagian penting dan mendasar dari strategi penghidupan pedesaan dan transformasi pedesaan. Migrasi dianggap sebagai salah satu kegiatan penting yang berpotensi untuk mengurangi kemiskinan, permasalahan likuiditas mata uang, ketidakmerataan pendapatan, dan sebagai upaya peningkatan ekonomi pedesaan di daerah asal.
Baca juga: “Surga Tersembunyi” di tengah Padatnya Wisatawan
Buku Panduan Mudik 2024 yang diterbitkan Kominfo menuliskan bahwa manfaat mudik secara ekonomi, antara lain:
1) Memacu pertumbuhan sektor riil
2) Mempercepat redistribusi ekonomi dari kota besar ke daerah
3) Memberi manfaat ekonomi di pedesaan.
Manfaat pertama, tercipta dari transaksi-transaksi yang terjadi selama proses mudik berlangsung. Di dalamnya terdapat proses pembelian dan penjualan makanan, minuman, hingga oleh-oleh dari masyarakat dan untuk masyarakat.
Manfaat kedua, cash flow atau aliran dana yang berlangsung selama mudik akan memiliki multiplier effect untuk menstimulasi aktivitas produktif masyarakat, ditandai dengan tumbuhnya pusat ekonomi baru di daerah, seperti penjualan oleh-oleh di rest area, lokasi wisata, serta sektor riil dan jasa lainnya.
Manfaat ketiga, muncul dari usaha-usaha yang tercipta maupun berkembang di desa tujuan mudik sebagai akibat aliran dana yang tercipta dari para pemudik. Menggerakkan semua sektor ekonomi di bidang peternakan, usaha kecil, industri rumahan, perikanan, dan bidang perdagangan.
Soebyakto, dikutip dalam artikel “Social Economic Perspective of Homecoming Tradition: Indonesia Context”, menuliskan bahwa tren konsumtif dalam aktivitas mudik memiliki kapasitas untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan hingga skala tertentu. Salah satu penyebabnya adalah tradisi pemberian uang zakat fitrah.
Dalam momen mudik dan Idul Fitri demikian, akumulasi nasional dari pemberian tersebut bisa mencapai jumlah triliunan rupiah. Bentuk pemberian semacam ini–juga wujud sumbangan lainnya yang ditujukan untuk menegaskan kesukesan sang pemudik di kota–telah meningkatkan sirkulasi ekonomi di desa atau daerah pinggiran lainnya. Dalam pandangan yang berbeda, hal ini juga dapat dilihat sebagai gambaran kesenjangan jumlah aliran uang dan pendapat antara penduduk desa dan kota.
Baca juga: Mewaspadai Titik Rawan Kecelakaan Mudik
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara kemacetan lalu lintas di gerbang tol Cikarang Utama akibat dari penyekatan arus mudik kendaraan di Jalan Tol Cikampek KM 31, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (6/5/2021). Penyekatan arus lalu lintas di titik-titik mudik pada hari pertama larangan mudik, Kamis (6/5/2021), diterapkan dengan tegas oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan kepolisian. Koordinasi antarsejumlah pihak mesti ditingkatkan untuk mencegah warga nekat mudik dengan melakukan berbagai cara. Polisi mengerahkan 155.000 personel gabungan untuk mengawal larangan mudik.
Mudik dalam dimensi sosio-kultural
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Dadang Suganda, pada kesempatan diskusi “Unpad Merespons: Mudik Antara Tradisi dan Kekinian” pada 2016, menjelaskan bahwa mudik memiliki nilai lebih daripada mobilitas penduduk semata. Menurut Suganda, fenomena mudik di Indonesia adalah bentuk dari budaya dan kebutuhan sosial. Terciptanya tradisi mudik didorong oleh keterkaitan pada relasi keluarga dan tuntutan sosial.
Nilai sosial tersebut terkandung pada bagaimana mudik menjadi sarana aktualisasi dan pembuktian diri. Suganda mencontohkan pebisnis sukses yang kembali ke kampung halamannya akan datang dengan bangga dan kepala tegak. Melalui kebanggaan tersebut, ia akan memperoleh apresiasi dari penduduk lokal di kampung halamannya tersebut. Pada tahap lebih lanjut, Suganda berpendapat bahwa modal sosial ini akan menjadi bekal positif bagi perkembangan individu itu sendiri.
Baca juga: Rekayasa Lalu Lintas Urai Kepadatan Ruas Jalan Tol dan Non-jalan Tol di Jateng
Sementara itu, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Elly Malihah dalam kesempatan yang sama dengan Suganda menegaskan bahwa mudik adalah modal sosial yang perlu dikelola secara baik. Menurut Malihah, unsur modal sosial dalam mudik bermanfaat bagi penegas dan pelindung pembangunan masyarakat perkotaan Indonesia yang kerap terhimpit dalam dinamika modernitas. Logika demikian diperoleh dari nilai tradisional yang terkandung dalam kegiatan mudik.
Tradisionalitas di dalam mudik, menurut Malihah, memiliki kapasitas untuk menumbuhkan karakter-karakter positif dalam individu yang melakukannya. Karakter tersebut seperti solidaritas, kesabaran, kehati-hatian, hingga sikap berbagi. Selain itu, Malihah juga menerjemahkan mudik atau pulang kampung sebagai momentum introspeksi manusia yang akan berpulang ke akhirat.
Artikel akademik “Homecoming (Mudik) and the Phenomenon of Social Brotherhood (Mangan Ora Mangan Asal Kumpul)” menuliskan bahwa secara kultural, nilai kepulangan dalam mudik telah tertanam dalam pikiran penduduk Indonesia, terutama penduduk Jawa. Hal ini tak lepas dari falsafah Jawa “mangan ora mangan asal kumpul” yang dapat diterjemahkan bahwa meski dalam kondisi lapar, yang terpenting adalah kebersamaan.
Falsafah tersebut menekankan kebersamaan sebagai prioritas kolektif di atas kepentingan pribadi. Pemahaman kultural telah menjadi katalis bagi eratnya ikatan sosial dan psikologis penduduk Jawa. Mudik pun menjadi manifestasi dari usaha kebersamaan dan wujud mengesampingkan kepentingan pribadi tersebut.
Baca juga: Analisis Budaya: Halalbihalal
KOMPAS/KARTONO RYADI
Terminal bis Pulo Gadung hari Kamis (28/6/1984) dipadati warga Jakarta yang ingin mudik. Walau demikian pengaturan yang baik disertai pengalaman tahun-tahun lalu, dapat mengendalikan luapan tersebut. Untuk memenuhi permintaan penumpang yang bertambah, kemaren dikerahkan 50 lagi bis PPD.
Masalah sosial dan eksistensial dalam Mudik
Adrie Oktavio dan Agoes Tinus Lis Indrianto dalam Social Economic Perspective of Homecoming Tradition: Indonesia Context menuliskan bagaimana mudik telah mengalami pergeseran nilai seiring modernitas dan perubahan zaman. Mudik, yang tadinya memiliki fungsi sebagai sarana penyembuhan kegersangan jiwa dan pikiran, telah bergeser menjadi sarana rekreasi, hiburan, penghamburan uang, dan lebih lagi sarana menunjukkan eksistensi sebagai manusia kota yang sukses dan berhasil. Dalam perubahan tersebut, mudik menjadi ajang perilaku hedonis dan konsumtif. Oleh karena itu, sikap inilah yang menyebabkan masifnya perputaran ekonomi selama mudik.
Mendukung pernyataan tersebut, sejarawan dari Universitas Sanata Dharma, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno, juga mengutarakan hadirnya pergeseran nilai antara mudik pada konteks dahulu dengan mudik pada konteks masa kini. Dijelaskan oleh Silverio bahwa pada zaman dulu, mudik dilakukan secara natural dan sederhana untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga. Citra menjadi komoditas utama yang dibawa oleh pemudik.
Baca juga: Mengagungkan Tuhan, Menghargai Manusia dan Alam
Bre Redana dalam buku Ecstasy Gaya Hidup menuliskan bahwa pembangunan citra kian relevan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Hal demikian tak lepas dari kehadiran kapitalisme mutakhir dalam sudut-sudut kota. Menjelang lebaran, iklan, desain, dan bentuk promosi lainnya akan secara masif tampil ke permukaan. Narasi utamanya adalah persuasi untuk membeli barang baru menuju lebaran. Kini, orang-orang justru merasa perlu untuk menunjukkan bahwa dirinya kaya, meskipun dalam banyak kesempatan adalah tidak.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang demikian, Redana menggarisbawahi hadirnya dua kontras dunia yang tidak terjembatani. Di satu sisi, hadir nilai-nilai tradisional dan esensial di mana dibuktikkan dengan euforia pada mudik. Namun di sisi lain, hadir nilai abstrak dan imajiner masyarakat kota dalam karakter mereka sebagai konsumen komoditas dan anggota penciptaan citra diri.
Namun, dalam konteks masa kini, perantau yang mudik menggunakan momen kembalinya ke kampung halaman sebagai sarana membuktikkan dan menunjukkan eksistensi dirinya selama di perantauan. Para pemudik yang datang ke kampung akan berusaha maksimal untuk membawa sesuatu yang dapat membanggakan diri dan keluarganya. “Pada era ini kebanyakan pemudik memaksakan diri untuk tampil sebaik mungkin, cenderung wah,” kata Silverio (Nasional.Kompas.com, 06/06/2018, “Kisah Menarik di Balik Sejarah Mudik…”).
Tak hanya dari sisi para pemudik, nyatanya masyarakat desa asal juga telah melahirkan perspektif tersendiri bagi penduduk yang kembali dari perantauannya di kota. Dituliskan oleh Oktavio & Indrianto pandangan tersebut adalah melihat orang yang kembali dari kota sebagai sosok sukses, berpenampilan rapi, dan tentunya membawa uang dalam jumlah yang besar.
Baca juga: Memetik Berkah Mudik di Tol Trans-Sumatera
Ekspektasi dan pandangan ini sedikit banyak menjadi modal penekan bagi pemudik untuk kemudian membuktikkan diri dan membawa serta kekayaannya. Menurut Oktavio & Indrianto, hal ini terjadi dalam fakta di mana banyak dari mereka yang kembali dari kota merupakan pekerja buruh pabrik maupun buruh bangunan.
Pada titik ini, romantisasi pemudik juga dapat memberikan pengaruh pada perubahan budaya dan gaya hidup masyarakat desa. Dengan gaya hidupnya yang telah berubah di kota dan nilai lebih yang mereka tawarkan, Oktavio & Indrianto menuliskan bahwa acap hal ini memberikan pergeseran pada penduduk desa dengan melakukan tindakan imitasi gaya hidup.
Selain itu, arus balik mudik ke kota biasanya justru akan melibatkan semakin banyak orang. Urbanisasi ini tercipta setelah pada penduduk desa melihat kesuksesan yang dipamerkan oleh anggota keluarga atau tetangganya yang melakukan mudik. Mereka pun berharap untuk memperoleh hasil kesuksesan yang sama dengan ikut kembali ke kota. Pola yang terus terjadi demikian secara drastis memengaruhi jumlah petani di desa, jumlah penduduk di kota, dan kesenjangan antara desa dan kota.
Irianto dalam artikel “Mudik dan Keretakan Budaya” memuat data satuan rumah tangga antara tahun 1975 sampai dengan 1993. Dalam periode tersebut, diperoleh gambaran demografis di desa. Didapatkan jumlah petani mengalami penurunan dari 48 persen ke 30 persen dan jumlah buruh tani turun dari 12 persen ke 10 persen. Sebaliknya, pada masa tersebut pekerjaan bukan-petani di desa naik dari 18 persen ke 22 persen. Sementara, di lingkungan kota, golongan bukan-petani juga meningkat dari 15 persen menjadi 24 persen.
Baca juga: Bijak Memanfaatkan Tunjangan Hari Raya
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Pemudik masih terus berdatangan ke Terminal Penumpang Bandarmasih, Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (29/4/2022). Mereka menunggu keberangkatan kapal laut menuju Surabaya pada Jumat malam ini. Ada dua kapal laut yang dijadwalkan berangkat dari Banjarmasin ke Surabaya pada Jumat malam.
Jaga diri dalam Mudik Pasca-Pandemi
Pasca-mudik tahun 2024 ini, kasus penularan Covid-19 masih bisa terjadi meski angkanya sangat kecil. Kebiasaan menggunakan masker masih tampak pada sebagian warga. Kebiasaan mencuci tangan menjadi kebiasaan tersendiri pascapandemi.
Meski begitu, tetap diperlukan kooperasi dari masyarakat Indonesia selama mudik, secara khusus para pemudik sendiri. Termasuk di dalamnya adalah penerapan protokol kesehatan yang sederhana seperti rajin mencuci tangan.
Baca juga: Menutup Celah Gelombang Covid-19 Setelah Lebaran
Selain itu, masyarakat Indonesia juga perlu kembali ingat pada dasar kultural dan kekerabatan dari tujuan mudik itu sendiri. Somantri menegaskan bahwa untung-rugi pasti muncul dari fenomena mudik ini. Untuk itu, diperlukan identifikasi dan tindakan menyikapi secara bijak. Terutama dalam konteks esensi dari mudik itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Indonesiabaik.id; Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kominfo. (2024). Buku Panduan Mudik 2024
- Fitroh, Q. A. “Mudik dalam Tradisi Nusantara”. Diambil kembali dari pssat.ugm.ac.id: https://pssat.ugm.ac.id/id/mudik-dalam-tradisi-nusantara/. 4 Desember 2020.
- Indonesiabaik.id; Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kominfo. (2022). Buku Panduan Mudik 2022: Mudik Aman & Sehat. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
- Kantor Komunikasi Publik. “Mudik To Continue: Its Social Benefits Larger than Social Cost”. Diambil kembali dari unpad.ac.id: https://www.unpad.ac.id/en/2016/06/mudik-perlu-dilestarikan-keuntungan-sosialnya-lebih-besar-daripada-biaya-sosial/. 30 Juni 2016.
- Karimullah, S. S. 2021. “Tinjauan Antropologi Hukum dan Budaya Terhadap Mudik Lebaran Masyarakat Yogyakarta”. Jurnal Sosial Budaya, Volume 18, Nomor 1, 64-74.
- Kristina, D., et. al. 2021. “Homecoming (Mudik) and the Phenomenon of Social Brotherhood (Mangan Ora Mangan Asal Kumpul): A Question to The Importance of Togetherness During the Corona Pandemic”. Proceedings of the 4th BASA: International Seminar on Recent Language, Literature and Local Culture Studies, BASA.
- Oktavio, A., & A. T. Indrianto. 2019. “Social Economic Perspective of Homecoming Tradition: Indonesia Context”. KATHA, Vol. 15, 46-65.
- Redana, B. 1997. Ongkos Sosial Gaya Hidup Mutakhir. Dalam K. e. al., Ecstacy Gaya Hidup (hal. 180-190). Bandung: Penerbit Mizan.
- Somantri, G. R. 2007. Kajian Sosiologis Fenomena Mudik. Universitas Indonesia.
- Suryahudaya, E. G. 2020. “Perilaku Kooperatif di Masa Pandemi Perspektif Game Theory”. Dalam e. a. Prasetyantoko, Indonesia Menghadapi Pandemi: Kajian Multidisiplin Dampak Covid-19 Pada Peradaban (hal. 61-78). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Wisana, I. D. 2012. “Does Expenditure Patterns Shape Differently for Rural Household with Migrants? Evidence from Indonesia Family Life Survey”. Banjarmasin: The 11th IRSA International Conference, Lambung Mangkurat University.
- Mudik, Pulang Kampung, dan Makna Kata yang Hampir Sama, Kompas.id, 26 April 2020
- Aditya, N. R. (2022, April 25). Bandara Ngurah Rai Buka Posko Mudik Lebaran, Penerbangan Sudah di Atas 120 Pergerakan. Diambil kembali dari nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2022/04/25/19100371/bandara-ngurah-rai-buka-posko-mudik-lebaran-penerbangan-sudah-di-atas-120
- Faizal, A. (2022, April 27). Bandara Juanda Siapkan 518 Penerbangan Tambahan Saat Mudik Lebaran. Diambil kembali dari surabaya.kompas.com: https://surabaya.kompas.com/read/2022/04/27/061413078/bandara-juanda-siapkan-518-penerbangan-tambahan-saat-mudik-lebaran
- Hapsari, M. A. (2022, April 28). Kamis Sore, Lebih dari 1.500 Pemudik Berangkat dari Terminal Kalideres. Diambil kembali dari megapolitan.kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/28/21014581/kamis-sore-lebih-dari-1500-pemudik-berangkat-dari-terminal-kalideres
- Kompas.com. (2022, April 28). Bandara Soekarno-Hatta Padat, Jumlah Penumpang Hari Ini Capai 134.000 Orang. Diambil kembali dari megapolitan.kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/28/16173651/bandara-soekarno-hatta-padat-jumlah-penumpang-hari-ini-capai-134000-orang?page=all
- Kompas.com. (2022, April 28). Kondisi Arus Mudik Saat Ini, Jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 47 Macet, Ini Penyebabnya… Diambil kembali dari megapolitan.kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/28/09145701/kondisi-arus-mudik-saat-ini-jalan-tol-jakarta-cikampek-km-47-macet-ini