KOMPAS/MATHIAS HARIYADI
Keroncong Tugu – Grup Kroncong Tugu ini merupakan segelintir grup kesenian Betawi yang masih tersisa.
Fakta Singkat
- Musik keroncong di Kampung Tugu menggabungkan elemen-elemen melodi dan ritme khas Portugis dengan elemen musik lokal, menghasilkan bentuk musik baru yang kemudian dikenal sebagai Keroncong Tugu.
- Keroncong Tugu yang awalnya bersifat hiburan semata mulai terorganisir dengan baik terhitung sejak dibentuknya Orkes Krontjong Poesaka Moresco Toegoe pada 1920.
- Keroncong Tugu mengadaptasi banyak instrumen dari Fado Portugis, seperti cavaquinho (mirip ukulele), bandolim (mandolin), serta pandeiro (rebana).
- Pada 1960-an, keroncong mulai berasimilasi dengan musik populer melalui kreasi seperti Keroncong Beat.
Keroncong Tugu merupakan salah satu genre musik tradisional di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan kaya, serta menjadi bukti nyata dari akulturasi budaya antara Portugis dan Nusantara. Musik ini lahir di Kampung Tugu, Jakarta Utara, sebuah wilayah yang sejak abad ke-17 dihuni oleh komunitas Mardijkers, yaitu keturunan tawanan Portugis yang dibebaskan oleh Belanda.
Para Mardijkers membawa berbagai elemen budaya, termasuk musik dan alat musik seperti cavaquinho, yang kemudian berbaur dengan unsur-unsur lokal sehingga menghasilkan suara khas yang dikenal dengan “crong… crong… crong…” dari petikan ukulele atau gitar kecil. Inilah salah satu fondasi awal yang membentuk musik keroncong di Nusantara, yang kemudian dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Lahir dari Komunitas Mardijkers
Kisah Keroncong Tugu bermula pada abad ke-17 dengan pembentukan komunitas Mardijkers di Batavia, yang terdiri dari tawanan perang Portugis. Sebutan “Mardijkers” berasal dari kata Sanskerta maharddhika, yang berarti “orang yang dimerdekakan.”
Sebagian besar dari mereka adalah tawanan perang yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Portugis di wilayah-wilayah seperti Malaka, Goa, dan Malabar.
Setelah mereka ditawan oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), tawaran pembebasan datang dengan syarat mereka berpindah agama ke Protestan. Tawaran ini diterima oleh para tawanan yang ingin lepas dari belenggu perbudakan, sehingga mereka diakui sebagai warga bebas yang memiliki hak tinggal.
Pada tahun 1661, VOC memberikan mereka wilayah khusus di luar Kota Batavia untuk membangun komunitas yang sekarang dikenal sebagai Kampung Tugu.
Para Mardjikers ini kemudian membangun kembali kehidupan yang utuh sebagai komunitas di kampong Tugu. Meskipun diasingkan dari tanah kelahiran dan berada dalam lingkungan yang asing, komunitas ini berhasil membentuk tatanan sosial baru dengan landasan budaya dan tradisi yang kuat.
VOC yang saat itu menguasai perdagangan dan pemerintahan di Batavia juga menyadari peran yang bisa dimainkan oleh kelompok Mardijkers sebagai penduduk bebas, yang meskipun hidup terpisah, tetap berada di bawah pengaruh VOC.
Mereka perlahan membangun gereja dan struktur sosial lain yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan mereka. Gereja menjadi pusat utama di mana masyarakat Mardijkers mengikat hubungan sosial sekaligus melaksanakan kegiatan keagamaan, yang sebagian besar masih menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa ibadah.
Seiring dengan waktu budaya dan warisan dari tanah asal mereka perlahan mulai berbaur dengan tradisi lokal. Hal ini terlihat dari aspek pakaian, ritual keagamaan, dan hingga aliran bermusiknya.
Musik memainkan peran besar dalam membentuk identitas dan ikatan komunitas di Kampung Tugu. Para Mardijkers membawa alat musik khas dari budaya Portugis, termasuk cavaquinho, yang mirip ukulele, serta bandolim (mandolin). Alat-alat ini menjadi bagian penting dari kehidupan mereka, dan dimainkan dalam acara keagamaan maupun pertemuan sosial.
Musik yang mereka mainkan awalnya tetap kental dengan ritme dan melodi Portugis. Namun, seiring berjalannya waktu, musik ini mulai berasimilasi dengan budaya lokal. Alat musik seperti rebana dan suling mulai ditambahkan ke dalam permainan musik mereka, dan menciptakan kombinasi suara baru yang berbeda dari bentuk musik asli Portugis.
Melalui musik, para Mardijkers bisa mengekspresikan kerinduan akan tanah leluhur sekaligus mengadaptasikan diri dengan budaya lokal, membentuk gaya musik yang akhirnya dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Musik ini kemudian diwariskan secara turun-temurun sebagai simbol budaya dan identitas unik Kampung Tugu, mencerminkan perpaduan yang harmonis antara warisan Portugis dan nuansa lokal Batavia.
Keroncong Tugu yang awalnya bersifat hiburan semata mulai terorganisir dengan baik terhitung sejak dibentuknya Orkes Krontjong Poesaka Moresco Toegoe pada 1920.
Menjelang masa kemerdekaan, keroncong menjadi salah satu alat untuk mengekspresikan kecintaan terhadap tanah air, di mana lagu-lagu keroncong sering kali mengandung pesan patriotik dalam syair-syairnya.
Bahkan, pada masa pendudukan Jepang Keroncong Tugu sempat dilarang karena irama musiknya yang cepat dan bersemangat, dianggap dapat membangkitkan semangat pemuda dan memicu pemberontakan.
Setelah masa penjajahan Jepang berakhir, dibentuklah kelompok keroncong penerus yaitu Krontjong Toegoe dan satu kelompok penerus lain bernama Keroncong Tugu Cafrinho.
Perbedaan kedua kelompok ini terletak pada keluarga yang menjadi pimpinan kelompok: Krontjong Toegoe dipimpin keluarga Michiels sementara Krontjong Toegoe Cafrinho dipimpin keluarga Quiko.
Kedua kelompok keroncong ini tidak hanya menjaga teknik permainan, tetapi juga menghadirkan gaya khas dalam penampilan mereka, seperti pakaian dengan pengaruh budaya Portugis dan Belanda yang memperkaya identitas visual Keroncong Tugu.
Wujud Asimilasi Budaya
Dalam perkembangannya musik ini diterima secara luas di Indonesia, bahkan menjadi salah satu genre yang sangat populer pada awal abad ke-20, terutama melalui siaran radio dan kompetisi-kompetisi seperti Keroncong Concours.
Di berbagai wilayah Indonesia, keroncong beradaptasi dengan budaya lokal, menghasilkan variasi seperti Langgam Jawa, Gamad Minangkabau, dan Langgam Sunda.
Gaya-gaya ini menunjukkan fleksibilitas keroncong dalam menyerap pengaruh setempat, sekaligus memperlihatkan potensi musik ini untuk menjadi ekspresi yang mencerminkan keanekaragaman budaya Nusantara.
Proses asimilasi budaya yang terjadi selama ratusan tahun antara pengaruh Portugis dan budaya lokal Nusantara yang terlihat dalam Keroncong Tugu ini pada akhirnya menjadikan keotentikan tersendiri.
Keroncong Tugu berbeda dari bentuk musik keroncong lainnya di Indonesia karena memiliki elemen-elemen spesifik yang diwarisi dari tradisi musik Portugis, sekaligus menyerap unsur-unsur budaya lokal yang khas.
Dalam buku “Asal-usul Musik Krontjong Toegoe” karya Victor Ganap dijelaskan beberapa aspek musikologis penting dari Keroncong Tugu. Misalnya terkait alat musik yang digunakan seperti cavaquinho dan bandolim ternyata memberikan warna unik pada musik keroncong yang berbeda dari gaya musik populer lainnya di Indonesia.
Cavaquinho yang dipetik dengan teknik rasgueado, teknik khas dari tradisi musik Spanyol dan Portugal ini dapat menciptakan ritme berulang yang menjadi ciri khas dalam musik Keroncong Tugu.
Teknik ini menggunakan strumming pada tiga gitar utama untuk menciptakan progresi akor yang kaya dalam bentuk broken chord yang dimainkan dengan arpeggio. Dominasi teknik ini membuat gitar berperan bukan hanya sebagai pembawa melodi, tetapi juga sebagai pengiring harmonis.
Teknik rasgueado menuntut keterampilan dalam penggunaan empat jari pada tangan kiri untuk membentuk akor dengan presisi. Bunyi repetitif yang timbul dari petikan instrumen tersebut tidak hanya mengandung nilai estetika, tetapi juga melambangkan kebersamaan dan keakraban dalam komunitas Kampung Tugu.
Ada tiga jenis gitar khusus yang digunakan, yaitu macina (serupa ukulele cuk), prounga (seperti ukulele cak), dan jitera (gitar utama). Gitar-gitar ini dirancang secara spesifik untuk menghasilkan kesatuan warna suara dan jangkauan nada yang luas.
Macina, prounga, dan jitera masing-masing memiliki peran khusus dalam menyajikan fondasi melodi dan harmoni, yang membentuk identitas suara khas Krontjong Toegoe. Pengaruh Fado ini memperkuat ikatan antara musik Portugis dan keroncong, menciptakan perpaduan budaya yang kaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam pembentukan Keroncong Tugu, instrumen lokal berperan penting dalam memberi warna unik yang membedakannya dari musik asli Portugis. Salah satu instrumen lokal yang signifikan adalah rebana, alat musik perkusi yang sering digunakan dalam musik Betawi dan Melayu.
Tambahan instrumen ini memberi sentuhan ritmis khas yang berbeda dengan musik Eropa, menciptakan ritme yang lebih bersemangat dan berpadu dengan alat musik asli Portugis seperti cavaquinho dan bandolim.
Instrumen perkusi ini tidak hanya mempertahankan pola ritmis utama dalam musik, tetapi juga memberi ruang bagi improvisasi dengan pola rhythmic filler, yang menambahkan aksen khas pada ketukan ketiga atau keempat dalam pola delapan ketukan musik keroncong.
Selain rebana, instrumen lain seperti suling juga ditambahkan untuk memberi nuansa melodi yang lebih lembut, menambahkan lapisan suara yang menciptakan perpaduan menarik antara melodi-melodi datar Portugis dan ornamentasi yang lebih mengalun khas musik Nusantara.
Penggunaan instrumen lokal seperti rebana dan suling dalam Keroncong Tugu tidak hanya memberi warna suara baru tetapi juga menambah dinamika ritmis yang lebih kaya. Ini mencerminkan adaptasi musik Portugis ke dalam konteks budaya Betawi, yang terbiasa dengan permainan instrumen perkusi dan melodi-melodi yang penuh ornamen.
Dalam pengadaan alat-alat musiknya, Komunitas Tugu di Jakarta membuat sendiri, terutama pada pembuatan gitar. Instrumen-instrumen ini dibuat dengan material berkualitas tinggi seperti kayu kenanga atau waru, yang menghasilkan suara yang kaya dan tahan lama. Para pengrajin di Kampung Tugu menciptakan berbagai jenis gitar yang menjadi inti dari orkestrasi musik mereka.
Repertoar Keroncong Tugu
Pada awalnya Keroncong Tugu mengadaptasi banyak elemen dari Fado Portugis, sebuah gaya musik rakyat Portugis yang melantunkan tema-tema melankolis dan emosional. Fado mempengaruhi keroncong dalam hal syair dan melodi yang penuh dengan perasaan rindu dan kesedihan, sebagaimana terlihat dalam gaya Fado Saudade.
Dalam perkembangannya asimilasi budaya antara gaya Fado dengan pantun Melayu tercermin dalam repertoar Keroncong Tugu selanjutnya. Repertoar dalam format strophic atau pantun ini jamak pada semua lagu perkotaan Batavia semasa Hindia Belanda. Lagu-lagu ini kemudian berkembang menjadi bentuk musik hibrida, yang juga menampilkan elemen budaya Hindia Belanda dalam liriknya.
Beberapa repertoar lagu-lagu asli dalam genre Keroncong Tugu meliuti Kr. Padang Bulan dan Kr. Asmara di Kota Blitar. Selain itu, Kr. Tugu, yang dianggap sebagai lagu kebangsaan bagi komunitas Tugu, juga menjadi bagian dari repertoar ini. Kr. Tugu disusun dalam format keroncong asli dengan struktur tiga bagian (A-B-C) dan alur melodi sederhana tanpa banyak ornamen, yang mencerminkan gaya keroncong Tugu yang khas.
Genre musik Krontjong Toegoe juga mencakup lagu-lagu berpengaruh Portugis seperti Gato do Mato dan Jan Kagaleti, yang berasal dari repertoar Portugis abad ke-16. Namun, lagu-lagu ini jarang dibawakan oleh musisi Tugu pada masa lalu karena kendala politik pada era kolonial.
Selain itu, beberapa lagu Hindia Belanda, seperti Oud Batavia dan Schoon ver van jou, menjadi bagian penting dari repertoar ini, menghubungkan komunitas Tugu dengan masyarakat Indo-Belanda di Batavia lewat pantun yang menggunakan syair berbahasa Melayu dan Belanda.
Selain itu, lagu-lagu seperti Stambul Jampang dan Sirih Kuning adalah contoh repertoar stambul yang sering dimainkan oleh musisi Tugu. Repertoar ini biasanya berfungsi sebagai musik pengiring dalam teater komedi Stambul dan menyampaikan cerita serta nuansa ratapan yang khas, sering kali dalam bentuk pantun. Selain itu, bentuk lagu Langgam juga populer, dengan salah satu contohnya adalah Bengawan Solo, yang menunjukkan apresiasi musisi Tugu terhadap keanekaragaman bentuk dalam genre keroncong.
Transformasi Keroncong Tugu di Era Modern
Pada era modern, keroncong mengalami transformasi signifikan dengan memasuki ranah musik populer. Di tengah perkembangan musik dunia, Keroncong Tugu beradaptasi untuk menarik minat generasi muda tanpa meninggalkan akar tradisinya. Pada tahun 1960-an, muncul gaya baru seperti Keroncong Beat yang memadukan elemen musik keroncong dengan gaya beat yang digemari saat itu.
Selain itu, grup musik Krontjong Toegoe dan Krontjong Toegoe Junior, yang terdiri dari generasi muda di Kampung Tugu, mulai mengadakan pertunjukan di dalam dan luar negeri, memperkenalkan keroncong kepada audiens yang lebih luas. Mereka juga memperkenalkan lagu-lagu baru yang dikombinasikan dengan genre populer tanpa kehilangan ciri khas keroncong. Beberapa repertoar di era modern yang dihasilkan misalnya lagu-lagu seperti Kampung Tugu, Sambel Cobek, dan De Mardijkers.
Transformasi ini adalah upaya untuk menjaga relevansi Keroncong Tugu di tengah modernisasi. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal menjaga otentisitas musik ini di tengah derasnya pengaruh musik modern dan globalisasi.
(LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Arumsari, Chysanti. (2009). “Keroncong Tugu: The Beat of Nationalism from Betawi, Jakarta, Indonesia”, dalam International Conference on
- Indonesian Studies (4th: 2012: Bali, Indonesia). Jakarta: Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
- Ganap, Victor (2020). Krontjong Toegoe: asal-usul musik keroncong. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Ganap, Victor (2006). Pengaruh Portugis pada Musik Keroncong. Harmonia Jurnal Pengetahuan dan pemikiran seni. Vol VII. No. 2.
“Romantisme Kaum Mardikers”.KOMPAS, 28 Juni 2000 hal. 01. Penulis: MAM/KEN
“Darah Baru Keroncong Tugu”. KOMPAS, 19 November 2008 hal.01. Penulis: Mulyawan Karim.
“Tafsir Jakarta Tenggelam”. KOMPAS, 18 Januari 2014. Penulis: Dwi As Setianingsih dan Nawa Tunggal.
“Mardijkers Menjaga Tradisi di Kampung Tugu”. KOMPAS, 13 Januari 2022. Penulis: Agus Susanto.
“Merry Krontjong” dari Kampung Tugu”. KOMPAS, 19 Desember 2022. Penulis: Raynard Kristian Bonanio Pardede.
Artikel terkait