Paparan Topik | Seni

Hari Arsitektur Nasional: Tokoh-tokoh Arsitektur dan Dimensi Karyanya

Ilmu dan praktik arsitektur tidak semata soal teknik membangun dan ekspresi seni, namun juga mengandung dimensi kultural, sosial-politik, dan citra lokal.

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Kemegahan yang terlihat dari Masjid Raya Sheikh Zayed Surakarta, di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (12/1/2023). Masjid itu merupakan bukti kedekatan hubungan antara Pemerintah Indonesia dan Uni Emirat Arab.

Fakta Singkat

Hari Arsitektur Nasional

  • Hari Arsitektur Nasional setiap tanggal 18 Maret bertujuan untuk mengapresiasi jasa para arsitek nasional sebagai aktor-aktor pembangunan fisik dan karakter kebudayaan bangsa.
  • Arsitektur tidak semata mencakup teknik membangun dan ekspresi seni, namun juga wacana kebudayaan, tekanan politik, dan konteks sosial-masyarakat.
  • Friedrich Silaban adalah arsitek di balik rancang-bangun Masjid Istiqlal, Tugu Khatulistiwa, Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata, Monumen Nasional/Monas, Stadion Gelora Bung Karno, hingga Monumen Pembebasan Irian Barat.
  • Meski beragama Kristen, Friedrich Silaban berhasil terpilih sebagai arsitek Masjid Istiqlal lewat desain bersandi “Ketuhanan” pada tahun 1955.
  • Mohammad Soesilo adalah sosok arsitek di balik pembangunan kota satelit Kebayoran Baru (1950) dan Gedung Pasca-Sarjana Universitas Katolik Parahyangan (1961).
  • Lewat gurunya, Thomas Karsten, Soesilo menghadirkan konsep “social-mix’concept” dan “organic whole”.
  • Liem Bwan Tjie adalah arsitek keturunan Tionghoa yang menjadi salah satu pelopor arsitektural modern di Indonesia.
  • Selain turut mendirikan Ikatan Arsitek Indonesia atau IAI, Liem juga menjadi sosok yang merancang Stadion Teladan di Medan dan Kantor Dinas Departemen Pertanahan di Jakarta.
  • Contoh permasalahan arsitektural di Indonesia adalah tekanan gaya arsitektur luar yang menggerus karakter tradisional dan kerja rancang-bangun arsitektur yang cenderung ekslusif dengan tidak mengakomodasi konteks sosialnya.

Pembangunan menjadi salah satu perwujudan karakter dan legitimasi bangsa yang dihidupkan melalui karya arsitektur di dalamnya. Apresiasi terhadap para arsitek menjadi penting untuk diingat dalam perjalanan membangun bangsa.

Hari Arsitektur Nasional yang diperingati setiap tanggal 18 Maret menjadi bukti dari semangat apresiasi tersebut. Secara khusus, Hari Arsitektur Nasional mengapresiasi jasa para arsitek nasional sebagai aktor-aktor pembangunan, tidak hanya fisik (bangunan) namun juga karakter kebudayaan bangsa.

Hari Arsitektur Nasional menjadi momentum untuk memperingati dimensi arsitektur meliputi dimensi kultural, sosial-politik, dan citra lokal.

Pembangunan fisik terwujud melalui rancang-bangun suatu bangunan dan kewilayahan tertentu. Karyanya melintasi waktu dan zaman, menjadi simbol pembangunan yang senantiasa bertahan.

Sementara pembangunan kebudayaan terimplementasi melalui karakter arsitektural yang diusung oleh situs bangunan dan kewilayahan tersebut. Artinya, hasil arsitektural tidak semata merupakan akumulasi dari adukan semen dan beton, namun juga akumulasi atas ekspresi dan wacana kebudayaan dari suatu latar belakang agama, tradisi, bahkan seni.

Selain itu, aspek sosial-politik juga turut memberikan pengaruh pada wujud arsitektural. Tekanan globalisasi, modernisasi, dan internasionalisasi yang tak terhindarkan, juga ditambah dengan rasa nasionalisme dan tuntutan lokal, berpengaruh pada bagaimana arsitek menavigasi pembangunan. Pada derajat lebih lanjut, tekanan ini akan berdampak pada tantangan arsitektur Indonesia untuk menemukan keaslian dan jati dirinya.

Oleh karena keterkaitan ini, arsitek akan selalu dapat dipahami sebagai aktor rancang-bangun yang menghidupkan keterkaitan antara pembangunan, budaya, dan konteks sosial-politk yang berlangsung. Melalui karyanya, masyarakat Indonesia maupun asing mampu menyaksikkan wajah arsitektur Indonesia yang sejatinya merupakan hasil peleburan dari berbagai unsur budaya selama berabad-abad.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Umat Islam menjalankan salat tarawih pertama kali yang diselenggarakan di Masjid Raya Sheikh Zayed, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (23/3/2023). Pelaksanaan salat tarawih menandai bulan suci Ramadhan dan menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. 

Tokoh Arsitektur Indonesia

Sejarah arsitektur di Indonesia tidak bisa lepas dari para tokoh dan wadah arsitektural nasional.  Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menjadi salah satu fondasi arsitek nasional tertua di Indonesia.

Wadah ini didirikan pada pada tanggal 17 September 1959 oleh tiga orang arsitek senior yang lantas menjadi simbol pembangunan Indonesia, yakni Friedrich Silaban, Mohammad Soesilo, dan arsitek Lim Bwan Tjie. Bersama dengan ketiganya, turut hadir pula 18 arsitek muda lulusan pertama Jurusan Arsitektur ITB tahun 1958 dan tahun 1959.

Friedrich Silaban (1912-1984)

Nama F. Silaban begitu tenar sebagai sosok di balik pembangunan Masjid Istiqlal, salah satu masjid terbesar dan termegah. Menariknya, rancang-bangun masjid tersebut dilakukan Silaban sebagai pemeluk agama Kristen Protestan. Berbagai sumber kepustakaan tentang tata cara dan aturan umat Muslim beribadah pun ia telaah selama tiga bulan.

Meski menjadi tokoh arsitektur nasional yang begitu besar, F. Silaban mengawali kehidupannya dengan begitu sederhana. Lahir di di Bonandolok, Sumatera Utara, pada 16 Desember 1912, ia hanyalah seorang anak pendeta dari keluarga yang serba pas-pasan. Edukasi yang ia ampu tak mencakup pendidikan arsitektur formal karena masalah biaya, dengan hanya lulus dari Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.

Namun, pendidikan di Jakarta membukakan pintu bagi minat arsitekturnya. Ia bertemu dengan JH Antonisse, arsitek Belanda yang mendesain bangunan Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, pada 1929. Silaban begitu tertarik dengan desain bangunan tersebut.

Maka usai lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial. Karier Silaban terus mengalami peningkatan,  hingga akhirnya menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum (1947-1965).

Dari jabatannya inilah Silaban mampu pergi ke berbagai ke penjuru dunia – berkesempatan untuk mendalami ilmu dan wawasan arsitektural. Perjalanannya turut mencakup kunjungan ke Belanda pada tahun 1949-1950.

Selama paruh waktu tersebut, ia mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst (Akademi Seni dan Bangunan). Periode ini menjadi begitu penting bagi Silaban, dimana ia berkesempatan mendalami arsitektur Belanda secara langsung.

Pada tahun 1950, muncul wacana pembangunan masjid besar sebagai bentuk syukur kemerdekaan bangsa muncul. Setelah rencana tersebut matang, dibukalah sayembara desain Masjid Istiqlal pada Februari 1955, dengan Dewan Juri diketuai langsung oleh Presiden Soekarno. Dalam kesempatan inilah, Silaban turut dengan mengirimkan karyanya dengan desain bersandi “Ketuhanan”.

Dari total 27 peserta, seleksi dilakukan hingga akhirnya tersisa lima peserta. Pada 5 Juli 1955, Presiden Soekarno memilih Silaban sebagai juara pertama sekaligus arsitek pembangunan Masjid Istiqlal.

Penetapan kemenangan Silaban dilakukan di Istana Merdeka, diikuti dengan penyerahan medali emas 75 gram dan uang Rp 25.000. Lewat kemenangannya itu juga, Soekarno menjuluki Silaban sebagai “By the grace of God” (Kompaspedia, 20/4/2021, Kronologi Sejarah Masjid Istiqlal: Cita-Cita untuk 1000 Tahun).

Masjid Istiqlal bukanlah satu-satunya jejak arsitektural Silaban. Ia juga meninggalkan setidaknya 700 bangunan di seluruh penjuru Indonesia, termasuk di antaranya Tugu Khatulistiwa (1938), Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata (1953), Monumen Nasional/Monas (1960), Stadion Gelora Bung Karno (1962), hingga Monumen Pembebasan Irian Barat (1963). Silaban meninggal pada 14 Mei 1984 di RSPAD Gatot Subroto.

KOMPAS/G SINDHUNATA

Menteri PUTL Ir Sutami (kanan) bersama arsitek Istiqlal, F Silaban (kiri), sedang mengamati bangunan Masjid Istiqlal (20/2/1978).

Mohammad Soesilo (1899-1994)

Sebagai salah satu arsitek nasional pertama, karya Mohammad Soesilo berpartisipasi dalam mencetak prinsip-prinsip perancangan arsitektur pada masa itu, bahkan masih sangat berpengaruh hingga zaman ini. Karya yang membesarkan namanya adalah pembangunan wilayah Kebayoran Baru sebagai kota satelit dari Jakarta dan Gedung Pasca-Sarjana Universitas Katolik Parahyangan.

Arsitek ini berusia hampir seabad. Latar belakang personal Mohammad Soesilo sendiri begitu minim ditemukan. Sesuai zamannya kala itu, karya arsitektural Mohammad Soesilo mengakomodasi gaya modern. Ia banyak mempelajari pembangunan dan pengembangan kota dari Eropa – membuatnya memahami soal pertumbuhan kota yang dimungkinkan terus bertumbuh secara organik dan akomodatif.

Mohammad Soesilo termasuk generasi pertama yang berhasil meraih gelar Arsitek Locale Belangen – ijazah arsitek yang berlaku secara sah kala itu. Karier arsitektural Soesilo juga lekat dengan sosok gurunya, Thomas Karsten (1884-1945). Lewat Karsten, Soesilo memperoleh posisi di Dinas Pekerjaan Umum Kota. Ia pun pindah ke Jakarta pada tahun 1939.

Sebagai arsitek asal Belanda, nama Karsten lekat dalam rancang-bangun perkotaan masa Hindia-Belanda, seperti Bandung, Malang, Semarang, dan Bogor. Karsten menikah dengan seorang penduduk Jawa asli, Soembinah  Mangoenredjo, yang lantas berdampak pada ideologi dan konsep arsitekturalnya yang cenderung lebih mengakomodasi wacana lokal.

Mengacu pada artikel akademik The Planning Approach for Kebayoran Baru in Jakarta: Background and Lessons Learned, Erwin Fahmi menjelaskan bahwa proyek pembangunan kota Kebayoran Baru ditetapkan sekitar periode Agustus/September 1948. Soesilo terpilih sebagai pemimpin proyek pengembangan wilayah tersebut, bersama juga dengan seorang arsitek Belanda, Jac. P. Thijsse.

Fahmi menyebutkan dua alasan utama diperlukannya perluasan wilayah penunjang Jakarta kala itu. Pertama, kian terbatasnya ketersediaan hunian di Jakarta, dimana pembangunan di Kebayoran Baru akan menghadirkan kawasan tempat tinggal baru. Kedua, rekontruksi kota pasca perang kemerdekaan.

Soesilo menjadi arsitek Nusantara pertama yang membangun pusat kota. Kehadirannya dalam proses perancangan memberikan konsep segar dalam pengembangan kota di Jakarta. Dijelaskan Fahmi, konsep pertama yang dihadirkan Soesilo adalah “social-mix’concept” – wacana arsitektural Eropa modern yang menghadirkan pengelompokkan tempat tinggal bukan berdasarkan identitas atau kesukuan (layaknya budaya awal Indonesia), melainkan kelas sosial.

Untuk itu, Soesilo membangun beberapa tipe tempat tinggal, didasarkan pada luasan tanahnya. Meski terdapat pengklasifikasian tempat tinggal, turut direncanakan akses terbuka yang menghubungkan berbagai tipe tempat tinggal tersebut. Pembangunan pun turut menciptakan akses ke kampung-kampung asli, seperti di Kebayoran Lama dan Manggarai.

Konsep kedua yang dihadirkan Soesilo adalah kota Kebayoran Baru sebagai “organic whole”, sebuah kota yang dapat berdinamika dan bertumbuh secara mandiri namun juga estetik. Konsep ini memungkinkan para penghuni baru Kebayoran Baru dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa perlu harus pergi jauh dari wilayahnya.

Untuk mendukung konsep ini, Soesilo menghubungkan ruang-ruang hijau, fasilitas sosial, dan pembangunan ruang kerja dengan akses jalanan dan trotoar yang saling terkoneksi. Hasilnya, wilayah Kebayoran Baru kaya akan ruang publik terbuka hijau dengan berbagai fasilitas sosial (sekolah, pasar, bangunan keagamaan, dan taman).

Konsep-konsep ini merupakan buah pikir Soesilo yang ia peroleh dari Karsten. Meski begitu, dalam kondisi aktual, wilayah Kebayoran Baru justru mulai dipadati dengan bangunan-bangunan komersial yang berdiri di atas area permukiman. Menjadi catatan penting bagi pengembang masa kini untuk tetap memperhatikan karakter dan kekuatan Kebayoran Baru sebagaimana digagas Mohammad Soesilo.

Proyek lainnya yang membesarkan nama Soesilo adalah merancang dan membangun ulang bangunan Pasca Sarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat. Mengacu pada artikel akademik Prinsip Perancangan Arsitektur Modern Pada Gedung Pasca-Sarjana Universitas Katolik Parahyangan, Zachrie dan Wijayaputri menulis bahwa Soesilo yang beragama Islam memenangi tender dan dipilih oleh Keuskupan Bandung untuk menjalankan proyek tersebut.

Karya Soesilo dipilih karena menggambarkan semangat zaman arsitektur modern dan dirasa paling mampu bertahan untuk waktu mendatang. Pembangunan pun dimulai tahun 1959 dan diresmikan pada 1961. Kerbelangsungan ekspresi arsitektural Soesilo terbukti dimana setelah 50 tahun berdiri, bangunan tersebut tidak mengalami perubahan sedikitpun dan justru diresmikan sebagai cagar budaya.

Pada 1965, Soesilo memutuskan untuk mengakhiri karirnya di PT Budaya dan menyerahkan tanggung jawab serta posisinya sebagai direktur pada anaknya Suhartono. Ia lantas meninggal pada tahun 1994. Meski begitu, karya Soesilo selamanya hidup sebagai bukti sejarah arsitektur pertama pasca kemerdekaan.

 KOMPAS/JB SURATNO

Susasana Toserba Gelael di perempatan Melawai Raya, Kebayoran Baru pada 26 Maret 1976.

Liem Bwan Tjie (1891-1966)

Handinoto dalam artikel akademik Liem Bwan Tjie: Arsitek Modern Generasi Pertama Di Indonesia (1891-1966) menuliskan Liem Bwan Tjie sebagai salah satu pelopor arsitektur modern generasi pertama di Indonesia. Karyanya nan-besar, tersebar di berbagai kota di Indonesia. Namun namanya tak cukup terdengar. Peran Liem begitu besar, dengan turut menggagas berdirinya IAI.

Liem sendiri lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 6 September 1891, dari keluarga Tionghoa generasi keempat yang tinggal di Hindia-Belanda waktu itu. Usai menamatkan pendidikan dasarnya, ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda pada tahun 1910.

Di Belanda, Liem menempuh pendidikan menengah di Sekolah Teknik Menengah (Middelbaare Technischeschool) jurusan bangunan. Menetap di Belanda, ia lantas melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Teknik Delft, dengan mengambil jurusan arsitektur. Selama hampir dua dekade Liem tinggal di Belanda.

Kariernya sebagai arsitek mulai terbangun sejak tahun 1916, dimana ia sudah mulai bekerja di kantor-kantor arsitek terkenal seperti B.J. Ouendag dan Michael de Klerk. Akhir tahun 1929 Liem kembali ke Semarang dan bekerja sebagai arsitek. Setelah lebih dulu bekerja di N.V. Volkhuisvesting, Liem mendirikan kantor arsiteknya sendiri setahun kemudian.

Di masa awalnya ini, Liem berhasil masuk dalam pasar arsitektural masyarakat Tionghoa kaya. Ia banyak mendirikan rumah-rumah mewah bagi penduduk Tionghoa kaya di Semarang, dengan mengangkat konsep arsitektur modern – sesuai dengan ilmu yang ditimbanya selama bertahun-tahun di Eropa.

Salah satu klien terbesar Liem adalah perusahaan konglomerat Oei Tiong Ham yang berpusat di Semarang. Pada 1931, pihak perusahaan memintah Liem untuk mengubah gaya arsitektur lama di kantor pusat menjadi konsep arsitektur modern. Rancang-bangun lantas berlanjut ke kantor-kantor cabang di Surabaya dan Semarang.

Kala itu, arsitektur modern yang diusung Eropa berhasil masuk dan secara leluasa menguasai konsep arsitektural di Nusantara. Dalam konteks dunia perdagangan, arsitektur modern dengan gaya yang serba fungsional dan lugas dirasa cocok  dengan perubahan pasar yang cepat dan dinamis.

Tahun 1938, karena proyek pekerjaan yang semakin banyak, Liem pindah ke Batavia. Kepindahannya ini terbukti tepat usai kemerdekaan Indonesia pada 1945. Belum banyak arsitek profesional di Tanah Air kala itu. Sementara arsitek-arsitek berdarah Belanda banyak yang memutuskan kembali ke negara mereka, di samping banyak juga yang meninggal setelah sakit menjadi tahanan.

Padahal, di era awal kemerdekaan, Indonesia begitu memerlukan pembangunan. Presiden Soekarno membentuk berbagai kementerian yang memerlukan gedung kantor, terutama di Batavia (kini menjadi Jakarta). Dari titik ini, karier Liem kian mengalami peningkatan. Kliennya tidak hanya orang Tionghoa dan perancangan rumah tinggal, namun juga pemerintah dan bangunan kantor.

Karier arsitektural Liem berjalan hingga tahun 1965. Berbeda dengan dua nama arsitek sebelumnya, Liem tidak identik dengan satu karya masterpiece yang spesifik – hal yang diyakini Handinoto membuat nama Liem tidak begitu pamor.

Meski begitu, Liem turut mengabadikan namanya lewat karya-karya penting. Termasuk di antaranya adalah perancangan rumah tinggal untuk Presiden Soekarno pada 1947 di Jakarta, Stadion Teladan di Medan yang dibangun pada 1953-1955, dan Kantor Dinas Departemen Pertanahan yang dibangun pada tahun 1960-1961 di Jakarta.

Pada tahun 1959, di Bandung, Liem dan rekan-rekan arsiteknya menggagas pendirian Ikatan Arsitek Indonesia atau IAI. Gagasan ini berangkat dari kesadaran mendesak akan belum adanya standar honorarium bagi arsitek profesional di Indonesia. Selama ini, pembangunan banyak dilakukan oleh pemborong.

Di tahun 1965, Liem dan istrinya pindah ke Belanda untuk menyusul anak-anaknya yang sebelumnya telah pindah menetap. Setahun setelahnya, ia tutup usia. Hingga kini, berkas arsip karya Liem disimpan di Nederlands Architectuurinstituut (NAi) di Belanda.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Peserta kegiatan Magelang Heritage Live Sketch membuat gambar sketsa bangunan cagar budaya Masjid Agung Magelang di kawasan Alun-alun Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (22/12/2021). Lebih dari 100 arsitek dari Magelang, Semarang, Wonosobo, mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Tengah dan Dewan Kesenian Kota Magelang.

Ikatan Aristek Indonesia (IAI)

Fondasi ilmu dan profesi arsitektural di Indonesia selaras dengan kelahiran lembaga IAI. Dari tangan ketiga nama di atas, berikut juga nama-nama lain yang tak tersebutkan, IAI menjadi wadah pemersatu bagi para arsitek Indonesia yang pada awalnya masih begitu minim jumlah, tidak memiliki standar, dan kehadirannya didominasi oleh arsitek asing.

Kelahirannya terjadi di Bandung, pada tanggal 17 September 1959. Semangat kelahiran berangkat dari keyakinan bahwa persatuan yang erat antara arsitek murni dapat meningkatkan mutu arsitektural di Indonesia. Selain itu, pembentukkan wadah juga diyakini dapat menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, meningkatkan hak dan tanggung jawab arsitek, dan memelihara tanggung jawab arsitek dalam melakukan tugasnya.

Berbagai tujuan, cita-cita, konsep Anggaran Dasar, dan dasar-dasar pendirian persatuan arsitek ini lantas dituangkan dalam sebuah dokumen berjudul “Menuju Dunia Arsitektur Indonesia yang Sehat”.

Mengacu pada situs resmi IAI Jakarta, masa-masa awal kelahiran IAI tidaklah mudah. Selain belum adanya standar jelas mengenai profesi arsitek, kondisi ekonomi Indonesia juga belum stabil. Industri konstruksi dan karya profesional masih sulit untuk berkembang seiring dengan tingginya inflasi dan pembangunan swasta yang cenderung menurun.

Namun seiring berjalannya waktu, IAI mampu bertahan bahkan berkembang. IAI memantapkan diri dengan membangun cabang di Ibu Kota Jakarta pada 4 Februari 1969. Di tahun 1974, kantor pusat IAI pindah dari Bandung ke Jakarta.

Hingga kini, keberadaan IAI masih mengiringi nafas arsitektural di Indonesia. Terbaru, pada Februari 2024, IAI menyajikan pameran arsitektur ARCH:ID di Indonesia Convention Exhibition BSD, Kabupaten Tangerang, Banten.

Mengacu pada situs resminya, ARCH:ID merupakan pameran rutin yang berfokus pada penunjukkan karya-karya aristektural, desain, dan material bangunan. Acara ini juga sekaligus menjadi forum pertemuan bagi para pemangku kepentingan dan aktor industri terkait untuk berkumpul dan terhubung.

Dihelat langsung oleh IAI, dalam kolaborasi bersama PT CIS Exhibition, ARCH:ID disebut-sebut sebagai acara arsitektural yang paling ditunggu-tunggu di Indonesia. Hal ini disebabkan karena luasnya potensi jejaring yang disediakan lewat ARCH:IDE bagi para arsitek untuk saling terhubung.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Patung Dirgantara atau dikenal sebagai Patung Pancoran di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Minggu (18/8/2019).  

Arsitektural di Indonesia

Meski telah mengalami kemajuan yang masif, namun ilmu dan praktik arsitektural di Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah isu yang menuntut perhatian konsisten. Isu-isu demikian hadir seiring dengan luasnya dimensi arsitektur, yang tidak semata terkait teknik membangun dan ekspresi seni, namun juga identitas kebudayaan, tekanan politik, hingga cerminan sosial-masyarakat.

Dalam praktik pembangunan dan rancang-bangun, terkandung kuasa dan wacana di dalamnya. Untuk itu, Hari Aristektur Nasional turut dapat menjadi momen pengingat atas luasnya dimensi arsitektur dan permasalahan yang menutut perhatian.

Tergerusnya identitas arsitektur lokal

Dalam luasnya dimensi yang arsitektural, arsitektur Nusantara haruslah mengusung wacana ke-Nusantara-an dengan identitas kearifan lokal. Melalui wajah arsitektur, bangsa Indonesia menunjukkan tatanan sosialnya. Secara spesifik, hal ini acap ditunjukkan melalui rancang-bangun rumah adat yang jamak mengandung pesan kekerabatan dalam strukturnya.

Sayangnya, dalam konteks masa kini, arus urbanisasi dan globalisasi justru mengancam identitas kenusantaraan tersebut. Ketua Pelaksana Ekskursi Arsitektur Universitas Indonesia 2023: Tanah Karo, Daniella Eleora, mengatakan, kekayaan pengetahuan dan budaya yang tersimpan dalam arsitektur tradisional acap diabaikan.

Pembangunan rumah adat menjadi bangunan modern tidak terbendung. Banyak rumah adat yang akhirnya mengalami kerusakan bahkan pembiaran. “Banyak yang tidak peduli dan hanya melihatnya sebagai bangunan. Padahal, rumah adat harus tetap ada karena sangat berguna bagi kehidupan di masa depan,” ujarnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Januari, 2024.

Menurut Daniella, arsitektur tradisional menghadirkan prinsip arsitektur berkelanjutan – hal yang kerap tidak dipandang oleh arsitek dan masyarakat masa kini, yang justru menganggap konsep berkelanjutan haruslah modern. “Padahal, untuk bergerak ke depan, kita juga harus belajar dari masa lalu,” ucap Daniella lagi.

Untuk itu, Daniella berharap agar semakin banyak pihak yang peduli melestarikan rumah adat Nusantara. Ia menekankan bahwa pelestarian tersebut bukanlah semata soal pengetahuan arsitektur dan teknik membangun, namun juga kekayaan wacana dan budaya lokal yang harus dijaga agar tidak punah (Kompas.id, 9/1/2024, Melestarikan Arsitektur Tradisional untuk Masa Depan).

Kerja arsitektur yang eksklusif

Dalam penerapan rancang-bangun, arsitektur haruslah mengakomodasi konteks lokal tempat ia berada. Tujuannya, agar kehadiran pembangunan tidak menjadi ornamen baru yang justru melawan lingkungannya, namun menghidupkan bahkan mencitrakan tatanan lingkungan tersebut. Apalagi, terkandung dimensi sosial-politik dalam citra arsitektur itu sendiri.

Mengacu pada situs resminya, lembaga swadaya masyarakat Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) berfokus pada koridor keadilan sosial, kultur, dan lingkungan melalui pekerjaan arsitektural, konstruksi, dan urbanisme. ASF-ID menghidupkan arsitektur sebagai suatu karya perjuangan keadilan lewat pelibatan masayarakat sebagai sosok yang terdampak pada pembangunan.

Selama ini, ASF-ID mencatat bahwa ilmu arsitektur justru cenderung menyingkirkan masyarakat. Terbukti, lewat perkembangan ruang kota yang pesat, justru tercipta penyingkiran sosial-ekonomi dalam permukiman kota yang kumuh (slum), wilayah antara (suburban), serta meluasnya kesenjangan desa-kota.

Peran arsitek di Indonesia pun memperoleh sorotan, dimana cenderung menjadi profesi elitis yang semata melakukan rancang-bangun tanpa kesadaran responsif untuk melihat kenyataan sosial-budaya. Dalam karakter demikian, ASF-ID menyebut arsitek berisiko menjadi profesi khas menara gading yang justru menyingkirkan masyarakat.

Dalam realitas demikian, ASF-ID dan berbagai aktor lainnya berusaha untuk menghadirkan pengetahuan, perancangan, dan perencanaan arsitektural yang partisipatif. Kecenderungan ekslusi yang dihadirkan arsitektur dijawab lewat upaya menghidupan arsitektural yang peka terhadap ruang hidupnya, yang memberdayakan masyarakat.

Salah satu usaha empirik dari ASF-ID diwujudkan lewat proyek perancangan dan pembangunan Gereja Kristen Jawa Timur di Desa Jengger – rumah bagi banyak petani skala kecil yang penghasilannya berkutat pada kebon kopi. Selain itu, karakteristik Desa Jengger juga ditandai dengan banyaknya bambu raksasa (Dendrocalamus asper sp.) yang tumbuh namun kurang dimanfaatkan.

Untuk itu, arsitektur gereja dirancang demi mencerminkan karakteristik lokal dengan menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan. ASF-ID lantas memilih bambu sebagai materi utama dalam membangun gereja. Dengan ukuran dan kekuatannya, bambu asli terbukti memberikan manfaat terbaik untuk proyek ini.

Dalam pengerjaan proyek arsitektur yang representatif ini, warga desa baik dari komunitas Kristen maupun Islam saling bahu membahu membangun “amfiteater bambu” untuk gereja. Fasilitas gereja selesai dibangun pada 2019, ditutup dengan donasi gereja yang justru mendonasikan fasilitas baru tersebut kepada publik. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Artikel Akademik
  • Fahmi, E. (2021). The Planning Approach for Kebayoran Baru in Jakarta:Background and Lessons Learned. Journal of Regional and City Planning, Volume 32, No. 1, 56-70.
  • Zachrie, B. N., & Wijayaputri, C. (2018). Prinsip Perancangan Arsitektur Modern Pada Gedung Pasca-Sarjana Universitas Katolik Parahyangan. Jurnal RISA (Riset Arsitektur), Volume 02, No. 01, 108-128.
  • (2004). Liem Bwan Tjie: Arsitek Modern Generasi Pertama Di Indonesia (1891-1966). Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Volume 32, No. 2, 119-130.
Arsip Kompas
Internet

Artikel terkait