KOMPAS/IQBAL BASYARI
Petugas memantau kondisi Kota Surabaya di Command Center 112 Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/1/2019). Pemerintah Kota Surabaya mempermudah warga dalam melakukan aduan dan memperoleh segala layanan darurat, seperti kebakaran, kecelakaan, dan bencana alam melalui panggilan bebas pulsa ke nomor 112.
Fakta Singkat
- Gagasan ‘smart city’ mulai berkembang sejak awal abad 21
- Kota Amsterdam memulai penggunaan istilah digital city untuk merujuk pada pembangunan infrastruktur internet kota
- Pada awalnya, istilah smart city hanyalah berarti kota-kota di mana infrastruktur digital dan ICT (information and communication technology) digunakan untuk tata kota.
- Kini, istilah smart city berarti penggunaan teknologi ICT untuk mengoptimalkan setiap lini sistem urban dengan tujuan meningkatkan pelayanan publik dan kehidupan warga.
Artikel terkait
Banyak kota di dunia menyematkan istilah “smart city” bagi kotanya. Kepopuleran model pengembangan kota ini juga terjadi di Indonesia sejak satu dekade terakhir. Ibu kota Jakarta memulai proyek smart city di tahun 2014, juga kota-kota besar lain seperti Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Tiga tahun setelahnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyelenggarakan program “Gerakan Menuju 100 Smart City”.
Dalam perkembangannya, di tahun 2024, Indonesia memiliki 416 kabupaten dan 98 kota. Sebagai catatan, angka tersebut sudah meliputi 1 kabupaten administrasi dan 5 kota administrasi yang termasuk dalam wilayah administrasi Jakarta.
Dari total 514 kabupaten/kota tersebut, kini ada total 241 kabupaten/kota yang termasuk dalam program Kota Cerdas Kominfo. Lebih dari itu, dalam Smart City Index (SCI) tahun 2024, tiga kota di Indonesia meliputi Jakarta, Medan, dan Makassar menduduki peringkat 103, 112, dan 114 dari total 142 kota dunia. Indeks penilaian pengembangan smart city ini dibuat oleh lembaga penelitian sekaligus sekolah bisnis ternama International Institute for Management Development (IMD).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Lalu lintas padar di tol dalam kota dan jalan protokol Gatot Subroto di Jakarta Selatan, Senin (8/6/2020) pukul 17.45 WIB. Hasil pemantauan Kepolisian Daerah Metro Jaya, kepadatan lalu lintas meningkat di sejumlah titik di Jalan Tol Dalam Kota bertepatan dengan dimulainya pelonggaran pembatasan sejumlah sektor, termasuk perkantoran. Kepastian untuk tanggal 12 hingga seterusnya menunggu hasil evaluasi bersama Dinas Perhubungan DKI.
Sejarah Istilah ‘Smart city’
Gagasan ‘smart city’ mulai berkembang sejak awal abad 21 (tahun 2000 ke atas). Konsep ini pertama-tama dipopulerkan oleh perusahaan teknologi informasi global IBM. Seorang profesor bidang ilmu bisnis dan sistem informasi, Leonidas Anthopoulos dalam buku Understanding Smart Cities: A Tool for Smart Government or an Industrial Trick? (2017) menjelaskan bahwa istilah dan konsep ‘smart city’ ini merupakan kelanjutan atau perkembangan dari konsep ‘intelligent cities’, ‘digital cities’, dan ‘virtual cities’. Sebelumnya, istilah tersebut telah lebih dulu ada dan ramai dibicarakan pada kisaran tahun 1990-an.
Pada 1994, Kota Amsterdam memulai penggunaan istilah digital city untuk merujuk pada pembangunan infrastruktur internet kota. Digital City juga merujuk pembangunan portal-portal web yang menyajikan informasi tentang kota dan kemunculan komunitas-komunitas online yang membicarakan berbagai informasi atau kehidupan kota.
Perbedaannya, dengan berbagai istilah tersebut terletak pada kemampuan ‘smart city’ untuk mengumpulkan data kota dan memberikan respon atasnya, bahkan memprediksi kebutuhan masyarakat atau pengguna teknologi smart city.
Sejak kemunculannya, istilah smart city itu sendiri telah berkembang. Tiga profesor bidang teknik dan manajemen Vito Albino, Umberto Berardi, dan Rosa Maria Dangelico melalui penelitian surveinya mendapati bahwa istilah ‘smart city’ itu sendiri mengalami perluasan makna.
Pada awalnya, istilah smart city hanyalah berarti kota-kota di mana infrastruktur digital dan ICT (information and communication technology) digunakan untuk tata kota. Kini istilah smart city berarti penggunaan teknologi ICT untuk mengoptimalkan setiap lini sistem urban dengan tujuan meningkatkan pelayanan publik dan kehidupan warga.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Bandung Command Centre – Petugas mengamati layar-layar di Bandung Command Centre di komplek Balai Kota Bandung, Bandung, Jawa Barat, Jumat (20/3/2015). Bandung Command Centre merupakan sistem terpadu melihat kondisi wilayah Kota Bandung untuk pengambilan tindakan yang tepat dan cepat terhadap permasalahan atau pengaturan kota.
Menariknya, pada tahun 2011, IBM memunculkan istilah baru “smarter city” ketika mengerjakan proyek mega pusat kontrol dan komando kota Rio di Brazil. Poin yang ditekankan adalah kerja sama berbagai pihak dalam pemanfaatan teknologi untuk peningkatan kehidupan masyarakat urban dan pelayanan publik, bukan lagi sekedar penggunaan teknologi ICT untuk tata kota dan layanan publik.
Dengan kata lain, persoalan tata kota bukan lagi sekedar persoalan milik pemerintah kota, melainkan tantangan dan peluang bagi banyak pihak, mulai dari masyarakat umum dan komunitas-komunitas yang memperhatikan isu tertentu, universitas dan lembaga penelitian, para wirausahawan sosial (social entrepreneurs) dan start-ups, juga lembaga non-profit dan karitatif.
Namun, hal ini mengandaikan pemerintah kota dan penyedia layanan umum terkait bersedia membagi data urban (open data) secara publik guna memungkinkan berbagai kerja sama tersebut.
Artikel terkait
Urbanisasi dan Berbagai Persoalan Kota
UN Habitat menyebutkan bahwa pada tahun 2023, sebanyak 55 persen dari total penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan atau urban. Angka ini diprediksi akan terus meningkat hingga 70 persen pada tahun 2050.
Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 menyebutkan bahwa di tahun 2020, tingkat urbanisasi di Indonesia telah mencapai 56,7 persen. Angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 66,6 persen pada tahun 2035. Data dari World Bank memperkirakan bahwa pada ulang tahun kemerdekaan yang ke-100, di tahun 2045, akan ada 220 juta orang tinggal di perkotaan, yakni 70 persen dari penduduk Indonesia.
Urbanisasi pesat ini di satu sisi merupakan salah satu faktor penentu perkembangan ekonomi. Penelitian World Bank menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen tingkat urbanisasi akan ada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 2,7 persen dan pengurangan kemiskinan hingga 1 persen.
Akan tetapi, di sisi lain proses urbanisasi juga membawa beragam permasalahan sosial apabila tidak tertangani dengan baik, baik karena kepadatan penduduk dan kurangnya layanan publik yang memadai bagi masyarakat.
Secara detail, beberapa masalah itu meliputi ketersediaan tempat tinggal, pengelolaan sampah dan polusi udara, transportasi publik dan kemacetan kota, layanan kesehatan dan pendidikan, ruang hijau terbuka, dan sebagainya. Ketimpangan sosial di wilayah urban juga dapat menimbulkan kriminalitas dan konflik sosial.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara uji beban LRT Jabodebek di Jembatan Lengkung Bentang Panjang Kuningan (Long Span Kuningan), Jakarta Selatan, Kamis (24/2/2022).
Data dari UN Habitat menunjukkan bahwa pada tahun 2020 tercatat bahwa secara global masyarakat urban yang tinggal di pemukiman kumuh mencapai 24,2 persen dan pada tahun 2022 hanya 51,6 persen penduduk urban yang dapat mengakses secara nyaman transportasi publik.
Dengan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk urban yang tinggi, kota-kota di Indonesia juga menghadapi persoalan urban serupa. Kota Jakarta tercatat sebagai kota dengan tingkat polusi udara tertinggi ke-4 di dunia.
Grafik:
Artikel terkait
Definisi dan Tujuan Smart city
Konsep ‘smart city’ atau kota pintar sebagai konsep pengembangan kota atau lingkungan urban sudah banyak dibicarakan baik oleh kalangan pemerintah, bisnis swasta, maupun akademik. Tujuan dari model ini tidak lain adalah untuk mengatasi persoalan kehidupan perkotaan yang makin hari makin kompleks.
Model pengembangan kota ini diyakini dapat membawa banyak manfaat mulai dari peningkatan manajemen layanan publik di kota, keamanan, dan tanggap darurat, hingga peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Dalam hal definisi, sayangnya tidak ada pemahaman baku yang diikuti oleh semua orang tentang apa itu sebenarnya smart city. Sejak kepopulerannya di awal abad 21, berbagai lembaga internasional, juga pemerintah dan perusahaan swasta memberikan definisi yang beragam, dengan penekanan yang berbeda tentang apa yang membuat sebuah kota menjadi ‘smart’.
Menurut Bank Dunia, suatu smart city pertama-tama adalah kota yang berteknologi intensif, dilengkapi dengan sensor di beragam tempat dan mampu memberikan pelayanan publik yang amat efisien berkat informasi yang dikumpulkannya secara real time dari beragam piranti digital yang saling terkoneksi.
Unsur penting smart city yang kedua menurut IBM adalah partisipasi warganya dalam pengelolaan kota. Smart city mengupayakan relasi yang lebih baik antara warga dan pemerintah, dibantu dengan teknologi digital.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Lansekap pesisir Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (29/8/2019). Balikpapan menjadi kota dengan fasilitas lengkap yang terdekat dengan calon ibukota negara.
Pemerintah dalam tata kotanya mengandalkan masukan dan kritik dari masyarakat agar dapat lebih memahami masalah urban yang ada dan meningkatkan pelayanan publik. Masyarakat misalnya dapat melaporkan tempat sampah yang sudah penuh, saluran air yang mampet, lampu jalanan yang mati, kemacetan atau kerusakan jalan, dan sebagainya.
Perusahaan teknologi informasi ternama IBM, yang salah satu usahanya adalah menyediakan jasa pembangunan infrastruktur dan pengembangan smart city menjelaskan bahwa smart city adalah kawasan urban di mana teknologi dan pengumpulan data diaplikasikan untuk memperbaiki kualitas hidup, sekaligus meningkatkan keberlanjutan (sustainability) dan efisiensi operasional kota. Teknologi yang digunakan untuk smart cities itu meliputi teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technologies/ICT) serta Internet of Things (IoT).
Dalam Perserikatan Bangsa-bangsa atau United Nations (UN) sendiri ada banyak lembaga dan program yang dibuat untuk memajukan penerapan smart city. United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) merupakan salah satu organ dalam UN yang memperhatikan dan mendorong perkembangan smart cities.
Dalam hal struktur UN atau Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), ia merupakan bagian dalam merupakan bagian dari Economic and Social Council UN. UNECE menjelaskan bahwa smart sustainable city adalah kota inovatif yang memberdayagunakan teknologi komunikasi dan informasi serta beragam cara lain untuk meningkatkan kualitas kehidupan, efisiensi operasional dan layanan kota, serta daya saing kota.
Upaya tersebut sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini juga mendatang, baik dalam hal ekonomi, sosial, lingkungan, maupun kultural. Dalam hal ini UNECE memang menambahkan kata “sustainable” pada konsep smart city untuk menegaskan bahwa tujuan dari penggunaan teknologi smart city adalah untuk perkembangan yang berkelanjutan. Untuk mendorong smart sustainable city ini, UNECE menyelenggarakan program United Smart Cities.
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Selain UNECE, ada organ-organ lain dalam UN yang juga mendorong pengembangan smart cities seperti United Nations Office for Sustainable Development (UNOSD) yang merupakan kerja sama Korea Selatan dan UN. Sebagai catatan, UNOSD merupakan bagian dari United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA), di bawah UN Secretariat.
Lembaga lain ialah UN-Habitat yang merupakan badan program dari General Assembly UN. UN-Habitat memiliki program People-Centered Smart Cities. Lalu ada pula United Nations Centre for Regional Development (UNCRD) yang merupakan kerja sama Jepang dan United Nations Economic and Social Council (ECOSOC). United Nations Development Programme (UNDP) yang juga merupakan badan program dari General Assembly UN juga mempunyai Singapore Global Center yang berdedikasi untuk program pengembangan smart cities.
Di samping UN, masih ada the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Organisasi yang beranggotakan negara-negara maju ini mendefinisikan kota pintar sebagai “kota yang memanfaatkan digitalisasi dan melibatkan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membangun masyarakat yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan tangguh”. Definisi ini menekankan bahwa digitalisasi dan inovasi digital bukanlah tujuan akhir dari smart city.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE
Seiring pertumbuhan kota, kepadatan lalu lintas kerap terjadi di Jalan Margonda Raya, Kota Depok, seperti terlihat Kamis (23/4/2015). Mengatasi kemacetan merupakan salah satu tugas Pemerintah Kota Depok untuk menuju kota yang cerdas (smart city).
Tujuan smart city sesungguhnya adalah untuk meningkatkan kehidupan masyarakat menjadi lebih inklusi, keberlanjutan, dan berketahanan (resilient). Hal ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, komputasi awan (cloud computing), dan Big Data. Contoh dari kegunaan smart city adalah meningkatnya keamanan masyarakat, perbaikan efisiensi energi dalam perumahan, kemudahan akses masyarakat terhadap barang dan jasa, juga perluasan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan partisipatif, dan masih banyak lagi.
Dari bermacam ragam definisi yang ada, seorang ahli tata kota (urban planner) yang juga merupakan penulis dan konsultan smart city yang ternama, Anthony Townsend dalam buku Smart Cities: Bing Data, Civic Hackers, and the Quest for a New Utopia (2013) menyimpulkan bahwa smart cities adalah tempat-tempat di mana teknologi informasi diberdayakan untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat. Dengan kata lain, kategori ‘smart’ pada smart cities merujuk pada usaha mengatasi persoalan urban menggunakan solusi teknologi digital.
Antoine Picon, seorang sejarawan arsiteksi dan teknologi menambahkan bahwa konsep smart city itu mengimajinasikan suatu kota yang berkesadaran (sentient atau sensitized) akan kelangsungan berbagai fungsi di dalamnya berkat penggunaan teknologi dan pengolahan data. Berbagai fungsi kota terintegrasi karena konektivitas beragam teknologi informasi yang digunakan. Dengan ‘kesadaran’ tersebut, kota lantas diharapkan dapat memberikan respon tanggap darurat terhadap munculnya beragam jenis persoalan kota.
Mengenai tujuan dari konsep smart city, UNCRD menyebutkan lima tujuan utama yakni: pertama, mendukung pengambilan keputusan yang didasarkan pada data informasi; kedua, memperbaiki kualitas kehidupan di perkotaan; ketiga, meningkatkan layanan publik; keempat, mendukung proses perencanaan tata kota yang transparan dan inklusif; dan kelima, mendorong terciptanya pemerintahan yang interaktif dan responsif.
Artikel terkait
Kritik atas Konsep Smart city
Konsep yang Ambigu namun Adaptif
Di samping kepopulerannya, konsep smart city mendapat kritik dari beberapa pihak, baik akdemik maupun profesional tata kota. Kritik tersebut pertama-tama berkaitan dengan pengertian dan aplikasi praktis dari konsep smart city yang terlalu luas dan kabur.
Robert G. Hollands, seorang profesor sosiologi perkotaan menjelaskan bahwa banyak kota dengan mudahnya menerapkan label ‘smart city’ bagi wilayahnya tanpa dengan jelas menunjukkan dasar kriteria yang dipakai untuk klaim tersebut. Istilah ini sedemikian populer sehingga menjadi retorika yang latah dipakai berbagai pemerintah kota. Kota-kota tersebut bahkan tidak menjelaskan mengapa menjadi ‘smart’ adalah sesuatu yang penting. Penyebutan smart city menjadi suatu bentuk politik superfisial saja.
Sementara itu, Kirwan dan Fu dalam buku Smart Cities and Artificial Intelligence Convergent Systems for Planning, Design, and Operations menjelaskan bahwa istilah ‘smart city’ kini bukan menjadi gagasan inovatif bagi kota-kota di dunia, melainkan juga strategi pemasaran kota untuk menarik investasi.
Terhadap kritik ini, para pendukung aplikasi gagasan smart city menyatakan bahwa pengertian dan penerapan smart city memang seharusnya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan tiap-tiap kota. Kirwan dan Fu dalam bukunya menyebutkan bahwa untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana menentukan penerapan praktis smart city?”, jawabannya mesti berasal dari karakteristik unik setiap kota: lokasi geografisnya, tatanan fisik kotanya, penduduknya, pekerjanya, tatanan pemerintah dan kebijakannya. Singkatnya, setiap kota memiliki “city DNA”-nya masing-masing.
Jadi, istilah ‘smart city’ memang menuai kritik karena pihak-pihak yang menggunakan istilahnya secara dangkal, dengan tujuan politis maupun kepentingan ekonomi promosi kota semata. Namun di sisi lain, penerapan smart city memang sangat luas dan beragam, mengikuti karakter dan kebutuhan tiap-tiap kota.
Keluwesan atau ambigu istilah ‘smart city’ justru membuat organisasi-organisasi yang memiliki perhatian terhadap masalah urban dapat menggunakan konsep ini sesuai dengan kebutuhan yang ada dan memunculkan inisiatif solusi inovatif mereka masing-masing.
Korporatisasi Tata Kota
Kritik lain yang muncul terhadap penerapan smart city berkaitan dengan model bisnis smart city. Banyak kota menerapkan smart city dengan ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan teknologi informasi dan komunikasi ternama dunia.
Smart city dengan demikian menjadi bentuk korporatisasi tata kota, di mana korporat meraup keuntungan dari kebutuhan pembangunan kota dan layanan publik, menguasai data publik, dan proses pemilihannya pun terjadi tidak secara terbuka. Hal ini merupakan contoh ekstrem dari pelaksanaan model privatisasi dan kerjasama pemerintah badan usaha (KPBU) atau public-private partnership. Solusinya tentu adalah keterbukaan informasi, keikutsertaan publik yang lebih luas, serta fokus pada penciptaan nilai publik ketimbang keuntungan korporasi.
Pendekatan Teknik untuk Persoalan Sosial
Kritik lain lagi diajukan salah satunya oleh Shannon Mattern, seorang profesor bidang studi media. Ia melihat bahwa konsep smart city yang banyak dipromosikan lebih memprioritaskan “smart” daripada “city” itu sendiri.
Pendekatan smart city memandang persoalan urban sekedar sebagai permasalahan teknis (engineering problems) yang dapat diselesaikan dengan pendekatan kuantitatif dan desain semata. Padahal nyatanya lebih dari itu.
Mattern mengatakan, “Kota bukanlah komputer!” Kritik ini menegaskan bahwa kuantifikasi dan pendataan (datafication) lingkungan kota semata tidak bisa memberikan pemahaman yang benar dan utuh tentang ekosistem kota. Suatu pemahaman yang lebih holistik diperlukan untuk mengatasi persoalan urban dan mewujudkan kehidupan kota yang lebih baik. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Kompas.id. (18 April 2024). Mudik dan Urbanisasi.
- Kompas.id. (2023, 23 November). Menyiapkan IKN sebagai ”Smart city” hingga ke AS.
- Dameri, P.R. (2017). Smart City Implementation – Creating Economic and Public Value in Innovative Urban Springer International.
- Gassmann, O., Böhm, J. & Palmié, M. (2019). Smart Cities – Introducing Digital Innovation to Cities.
- Halegoua, G.R. (2020). Smart Cities. The MIT Press.
- Kirwan, C.G. & Fu, Z.Y. (2020). Smart Cities and Artificial Intelligence – Convergent Systems for Planning, Design, and Operations.
- Townsend, A.M. (2013). Smart Cities: Big Data, Civic Hackers, and the Quest for a New Utopia. W. W. Norton.
- Lim, Y. Edelenbos, & Gianoli, A. (2023). What is the impact of smart city development? Empirical evidence from a Smart city Impact Index. Urban Governance. https://doi.org/10.1016/j.ugj.2023.11.003
- Deloitte. (2015, November). Smart Cities – How rapid advances in technology are reshaping our economy and society.
- McKinsey Global Institute. (2018, Juni). Smart Cities: Digital Solutions for a More Livable Future.
- OECD. (2020). Smart cities measurement framework scoping.
- UN Habitat. (2023). Fact Sheet.
- World Bank Group. (2019, 3 Oktober). Augment, Connect, Target: Realizing Indonesia’s Urban Potential.
- World Bank Group. (2019, 3 Oktober). Time to ACT: Realizing Indonesia’s Urban Potential.
- World Bank. (2015, 8 Januari). Brief – Smart Cities.
- IBM. (n.d.). What is a Smart city?
- UN Department of Economic and Social Affairs. (n.d.). United Smart Cities (USC).
- UNECE. (n.d.). Smart Sustainable Cities.
- UN-Habitat (n.d.). People-Centered Smart Cities.
Artikel terkait