Paparan Topik | Perkotaan

Dinamika Transmigrasi di Indonesia: Sejak Kolonial hingga Setelah Reformasi

Transmigrasi adalah kebijakan kependudukan yang amat khas di Indonesia yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan kepadatan penduduk di berbagai pulau di Indonesia. Selain itu, transmigrasi ditujukan untuk pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan sosial.

KOMPAS/BACHTIAR AMRAN DM

Suasana perjalanan menuju kawasan transmigrasi di Lampung, pada akhir April 1989.

Urbanisasi

  • Sejarah Awal Transmigrasi: Politik Etis Belanda 1901.
  • Dasar Hukum Transmigrasi: UU 29/2009 dan Perpres 50/2018.
  • Tiga Jenis Transmigrasi: Umum, Berbantuan, Swakarsa Mandiri.
  • Jumlah Kawasan Transmigrasi: 152 Kawasan.
  • Kementerian Penyelenggara: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Migrasi penduduk dalam satu wilayah negara atas prakarsa Pemerintah ini memiliki sejarah panjang di tanah air. Berdasarkan sejarah panjangnya, skalanya, bahkan dalam hal penggunaan istilahnya, transmigrasi sebagai kebijakan kependudukan ini hanya ditemui di Indonesia, di negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia ini.

Dalam kaitannya dengan kebijakan ini, setiap tanggal 12 Desember ditetapkan Pemerintah sebagai Hari Bhakti Transmigrasi. Halnya bertepatan dengan sejarah penyelenggaraan transmigrasi pertama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaannya, yakni pada tahun 1950. Tujuan awalnya berkaitan dengan pemindahan penduduk dari tempat yang padat penduduk, yakni Pulau Jawa, ke pulau-pulau lain yang jarang penduduknya, bahkan pembukaan lahan-lahan baru.

Apa sebenarnya transmigrasi itu? Bagaimana sejarah pelaksanaannya di Indonesia mulai dari zaman kolonial Belanda? Bagaimana implementasi dan peraturan hukumnya pada masa reformasi demokrasi saat ini?

KOMPAS/RATIMAN SUTARDJO

Seorang transmigran membawa singkong, hasil kebun, untuk dijual ke kota (26/2/1989). Ketiadaan sarana transportasi memadai, memaksa seorang transmigran ini membawa singkongnya dengan sepeda dan didorong berkilo-kilo meter.

Definisi Transmigrasi

Secara umum, transmigrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas spasial atau migrasi penduduk dalam suatu wilayah negara yang diprakarsai oleh pemerintah, dari wilayah yang padat ke wilayah yang kurang penduduknya. Kategori mobilitas spasial ini khas Indonesia.

Dalam dokumen Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 yang mengatur tentang ketransmigrasian, istilah transmigrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

Oleh karenanya, perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia tidak termasuk kategori transmigrasi, bila bukan termasuk program pemindahan penduduk yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

Dokumen UU 29/2009 tersebut merupakan dokumen hukum termutakhir yang mengatur transmigrasi di Indonesia. Dokumen ini mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Di dalam kedua dokumen hukum tersebut diatur beberapa jenis transmigrasi:

Pertama, transmigrasi umum. Transmigrasi umum adalah jenis transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah bagi penduduk yang mengalami keterbatasan dalam mendapatkan peluang kerja dan usaha. Peserta transmigrasi umum ini berhak mendapatkan:

  • perbekalan, pengangkutan, dan penempatan di permukiman transmigrasi;
  • lahan usaha dan lahan tempat tinggal beserta rumah dengan status hak milik;
  • sarana produksi untuk mengolah lahan; dan
  • catu pangan untuk jangka waktu tertentu.

Kedua, transmigrasi swakarsa berbantuan. Kategori ini merupakan transmigrasi yang dirancang oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah dengan mengikutsertakan badan usaha sebagai mitra usaha transmigran. Pesertanya ialah mereka yang dinilai berpotensi berkembang untuk maju secara ekonomi, sesuai dengan kriteria yang sama-sama ditentukan Pemerintah dan badan usaha. Peserta transmigrasi swakarsa berbantuan ini mendapatkan bantuan-bantuan berupa:

  • pelayanan perpindahan dan penempatan di permukiman transmigrasi;
  • sarana usaha atau lahan usaha dengan status hak milik atau dengan status lain sesuai dengan pola usahanya;
  • lahan tempat tinggal beserta rumah dengan status hak milik;
  • sebagian kebutuhan sarana produksi;
  • bimbingan, pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan usaha; dan
  • dapat menerima bantuan catu pangan dari Pemerintah maupun dari badan usaha.

Ketiga, transmigrasi swakarsa mandiri. Transmigrasi swakarsa mandiri merupakan prakarsa transmigran yang bersangkutan, dengan mengikuti arahan, layanan, dan bantuan Pemerintah dan atau pemerintah daerah. Peserta transmigrasi ini ialah penduduk yang dinilai telah memiliki kemampuan ekonomi. Pesertanya dapat memperoleh:

  • pengurusan perpindahan dan penempatan di permukiman transmigrasi;
  • bimbingan untuk mendapatkan lapangan kerja atau lapangan usaha atau fasilitasi mendapatkan lahan usaha;
  • lahan tempat tinggal dengan status hak milik; dan
  • bimbingan, pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan usaha.
  Umum Swakarsa Berbantuan Swakarsa Mandiri
Inisiatif Pemerintah Pemerintah-Badan Usaha Peserta Transmigran Bersangkutan
Target Penduduk yang mengalami keterbatasan peluang usaha. Penduduk yang memiliki potensi untuk maju secara ekonomi. Penduduk yang telah memiliki kemampuan ekonomi.
Keberangkatan Bantuan Bekal, Transport, Penempatan Pelayanan pemindahan dan penempatan. Pengurusan permindahan dan penempatan.
Lahan Usaha Dapat lahan usaha dengan status milik. Dapat lahan usaha, dengan status tergantung pada jenis usaha. Fasilitasi untuk mendapatkan lahan usaha.
Sarana Produksi Dapat sarana produksi untuk mengolah lahan. Dapat sebagian kebutuhan sarana produksi. Mendapat bimbingan untuk mendapatkan lapangan kerja atau lapangan usaha.
Lahan Tinggal Dapat lahan tinggal dengan hak milik. Dapat lahan tinggal dengan hak milik. Dapat lahan tinggal dengan hak milik.
Rumah Dapat rumah. Dapat rumah. Tidak dapat.
Catu Pangan Dapat catu pangan untuk jangka waktu tertentu dari Pemerintah. Tergantung Pemerintah Pusat/Daerah dan Badan Usaha. Tidak dapat, tetapi memperoleh bimbingan, pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan usaha.

Tiga Kategori Transmigrasi di Indonesia berdasarkan UU 29/2009.

Sebagaimana diatur dalam UU 15/1997, Pemerintah melakukan seleksi terhadap setiap calon transmigran. Seleksi ini dilakukan pertama-tama untuk menentukan prioritas penanganan masalah sosial-ekonomi bagi calon transmigran, kedua ialah untuk menentukan kesesuaian antara kesempatan kerja atau usaha yang disiapkan dalam program transmigrasi dengan kesiapan dan keahlian calon transmigran. Pemerintah lalu akan memberikan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan para calon transmigran tersebut tersebut.

KOMPAS/DODY WISNU PRIBADI

Tanaman padi di lahan gambut yang berhasil digarap transmigran di Desa Terusan Makmur, Kecamatan Selat, Kabupaten Kapuas (6/8/1996).

Kebijakan Kolonial Belanda dan Penjajahan Jepang (1905-1945)

Kebijakan transmigrasi bukanlah hal baru di Indonesia. Sejarahnya amat panjang, berawal dari masa kolonial Belanda di Indonesia pada awal abad ke-20. Pada masa kolonial Belanda tersebut, transmigrasi diselenggarakan dengan dua tujuan utama.

Pertama ialah untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa. Pada masa itu, pertumbuhan penduduk di Jawa dinilai oleh pemerintah kolonial Belanda terlalu cepat, ditandai dengan kepemilikan tanah yang kian sempit di pulau Jawa, dibarengi dengan menurunnya taraf hidup masyarakat di Jawa.

Tujuan kedua adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari pemerintah kolonial dan perusahaan-perusahaan swasta di wilayah-wilayah perkebunan maupun pertambangan yang terletak di pulau-pulau lain, selain Jawa, khususnya Sumatera.

Dalam perkembangnya, kebijakan transmigrasi dikaitkan dengan bentuk tanggung jawab moral Pemerintah Belanda untuk mengembangkan masyarakat di Nusantara. Hal ini bersamaan dengan munculnya gerakan kesadaran Politik Etis (Ethische Politiek) pada tahun 1901–1942.

KOMPAS/DODY WISNU PRIBADI

Seorang transmigran asal Ciamis tampak sudah berhasil berkompromi dengan kerasnya bumi Kalimantan (6/8/1986). Sudah 16 tahun 458 keluarga bertahan sebagai transmigran di Desa Terusan Makmur, Kecamatan Selat, Kabupaten Kapuas.

Gerakan ini dimulai dari gagasan C. Th. van Deventer dan diumumkan oleh Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901. Pada intinya, Politik Etis menekankan tanggung jawab moral Belanda atas kesejahteraan masyarakat lokal di Hindia Belanda (Indonesia), mengingat bahwa Belanda telah melakukan kebijakan tanam paksa dan mengambil keuntungan dari bumi Nusantara. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengadakan tiga program untuk implementasi politik etis, yakni emigrasi, irigasi, dan edukasi. Program pertama inilah yang disebut, pada kemudian, hari sebagai transmigrasi, yang pada masa itu lebih sering disebut sebagai kolonisatie.

Mengenai penyebab masalah kepadatan penduduk di Jawa, Mohr, seorang ahli geologi asal Belanda menilai bahwa kepadatan penduduk di Jawa terjadi secara natural, yakni karena keadaan tanah yang subur dan iklim yang menguntungkan pertanian, sehingga orang-orang lebih suka tinggal di Jawa.

Di sisi lain, Fisher, seorang ahli geografi asal Inggris menilai bahwa sesungguhnya kepadatan penduduk di Jawa dan ketimbangan distribusi penduduk dengan pulau-pulau lain terjadi akibat kebijakan pembangunan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang terlalu berpusat pada pembangunan di Pulau Jawa, baik itu pembangunan pusat pendidikan, ekonomi, pemerintah, maupun infrastruktur transportasi, komunikasi, dan irigasi. Ketimpangan pembangunan ini yang menyebabkan terjadinya ketimpangan penduduk.

KOMPAS/BACHTIAR AMRAN DM

Kelangkaan angkutan penumpang di beberapa desa transmigrasi di Kabupaten Lampung Utara, Lampung, antara lain disebabkan kondisi jalan yang rusak parah (11/05/1986). Truk pengangkut barang pun tidak bisa lewat, bahkan terbenam di jalan yang telah berubah menjadi kubangan pada musim hujan.

Terlepas dari penyebab utama masalah kepadatan penduduk di Jawa, pemerintah kolonial Hindia Belanda memulai pelaksanaan transmigrasi atau kolonisasi pertama pada tahun 1905. Transmigrasi pertama ini memindahkan 155 keluarga dari Bagelan, Kedu, Jawa Tengah menuju daerah Gedongtataan di Lampung, Sumatera. Lembaga yang mengurus program ini pada waktu itu adalah Centraal Commissie voor Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen.

Pada tahap awal kolonisasi ini, setiap kepala keluarga peserta kolonisasi memperoleh uang sebesar 20 gulden (satu gulden sekitar 50–80 ribu rupiah saat ini). Biaya transportasi yang nilainya sekitar 50 gulden per keluarga ditanggung oleh Centraal Kommissie voor Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen tersebut.

Setiap keluarga juga mendapat sumbangan biaya hidup sebear 0,4 gulden per hari selama masa penyiapan tanah di daerah tujuan kolonisasi, tambahan biaya makan 150 gulden, biaya bangunan rumah 65 gulden, alat-alat pertanian 13,5 gulden.

Lahan sekitar 0,3 hektare untuk lahan produksi dan 0,3 hektare lahan pekarangan diberikan kepada keluarga tersebut. Bila dihitung jumlahnya, total biaya kolonisasi untuk tiap keluar adalah sekitar 300 gulden per keluarga. Dalam perkembangannya, uang premi keikutsertaan tersebut ditingkatkan dari 20 gulden menjadi 22,4 per keluarga.

Penduduk yang dipindahkan pada periode kolonisasi 1905–1911 adalah sekitar 4.800 orang. Selanjutnya antara tahun 1912–1922 jumlah penduduk yang diberangkatkan bertambah 16.838 orang. Sumber lain menyebutkan bahwa penduduk yang dipindahkan dalam kolonisasi dari Jawa ke Gedongtataan dari tahun 1905 sampai akhir tahun 1921 adalah sekitar 19.572 orang.

Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu mengharapkan agar daerah tujuan kolonisasi memiliki suasana sosial-budaya dan sistem pertanian yang sama dengan daerah asal. Namun, pada kenyataannya pembangunan di daerah kolonisasi tidak berjalan dengan baik.

Sistem irigasi, prasarana transportasi, dan infrastruktur lainnya tidak dibangun dengan baik. Akibatnya, banyak peserta kolonisasi yang memilih meninggalkan daerah kolonisasi dan kembali ke tempat asalnya di Pulau Jawa. Meski demikian, program ini tetap dilanjutkan.

KOMPAS/RATIMAN SUTARDJO

Seorang transmigran membawa singkong, hasil kebun, untuk dijual ke Kota Lampung (26/2/1989). Ketiadaan sarana transportasi memadai, memaksa seorang transmigran ini membawa singkongnya dengan sepeda dan didorong berkilo-kilo meter.

Perkembangan berikutnya ditandai oleh masa resesi ekonomi. Kondisi ekonomi yang lesu membuat kebutuhan tenaga kerja di daerah-daerah transmigrasi atau kolonisasi menurun. Di sisi lain, pada periode tahun 1927–1930, pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak lagi menyediakan biaya transportasi bagi peserta program kolonisasi. Para peserta yang mendaftar hanya diberi pinjaman uang sekitar 22–25 gulden setiap keluarga untuk memenuhi biaya transportasi dan alat pertanian. Uang pinjaman ini harus dikembalikan dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun. Namun, di tempat tujuan, mereka mendapatkan lahan gratis untuk diolah.

Data sejarah yang ada menunjukkan bahwa sampai tahun 1940, diperkirakan ada 200.000 penduduk yang dipindahkan dari Jawa ke Sumatera dengan inisiatif pemerintah kolonial Hindia Belanda. Data lain menunjukkan bahwa sejak kolonisasi awal pada 1905 hingga tahun 1941, penduduk yang berhasil dipindahkan berjumlah 189.938 orang.

Angka ini termasuk angka yang kecil bila dibandingkan dengan target yang diharapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada waktu itu diperhitungkan bahwa diperlukan pemindahan sekitar 80.000 orang per tahun.

Selanjutnya pada masa penjajahan Jepang, program kolonisasi berhenti, tetapi pemindahan penduduk untuk keperluan pemerintah Jepang waktu itu tetap terjadi. Data perkiraan menunjukkan bahwa pemindahan penduduk dari Jawa ke pulau lain sekitar dua ribu orang.

KOMPAS/IMAM PRIHADIYOKO

Jalur masuk menuju daerah transmigrasi Kota Terpadu Mandiri Sungai Rambutan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Selasa (18/8/2009), sudah diaspal dan dilengkapi dengan lampu penerangan jalan yang memanfaatkan tenaga surya. Sayangnya, baterai penyimpan energi surya itu sering hilang diincar pencuri.

Transmigrasi di Masa Orde Lama dan Baru (1945-1998)

Menurut buku yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, Transmigrasi: Masa Doeloe, Kini, dan Harapan ke Depan, istilah transmigrasi sendiri pertama kali dikemukakan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1927 dalam karangannya di Harian Soeloeh Indonesia.

Istilah yang sama lalu dipakai oleh Wakil Presiden Hatta dalam Konferensi Ekonomi di Kaliurang, Yogyakarta, pada 3 Februari 1946. Dalam konferensi tersebut, Hatta menekankan pentingnya transmigrasi sebagai bagian dari upaya pembangunan dan industrialisasi di pulau-pulau selain Jawa.

Program kolonialisasi lalu dikenal secara resmi sebagai program transmigrasi sejak proklamasi kemerdekaan RI. Program transmigrasi pertama dilakukan pada tahun 1950, tepatnya pada 12 Desember 1950. Hari inilah yang lalu diperingati sebagai hari transmigrasi sampai hari ini. Transmigrasi awal ini memberangkatkan 25 keluarga, dengan total 98 orang. Daerah tujuan dari transmigrasi ini adalah Lampung dan Lubuk Linggau di Sumatera, masing-masing 23 keluarga dan 2 keluarga.

Tiga tahun sebelumnya, pada tahun 1947, Presiden Soekarno menyampaikan target dari pelaksanaan transmigrasi pada masa Indonesia merdeka, yakni pemindahan hingga 31 juta orang dalam jangka waktu 35 tahun.

Target ini lalu ditingkatkan menjadi 49 juta orang pada tahun 1951. Rencana ini disebut sebagai “Rencana 35 Tahun Tambunan”. Tujuannya ialah untuk mengurangi penduduk pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada tahun 1987, dari total penduduk sekitar 54 juta jiwa pada tahun 1952.

Namun, dalam implementasinya, target tersebut susah untuk dicapai. Pemerintah hanya berhasil memindahkan 227.360 orang pada kurun waktu 1950–1959. Pemerintah lalu menetapkan target yang lebih rendah untuk kurun waktu 1961–1969, yakni 1,56 juta orang. Namun, pada kenyataannya, target ini pun tidak tercapai. Total transmigran dalam kurun waktu sembilan tahun tersebut hanya berjumlah sekitar 174.000 orang.

Pada masa Presiden Soekarno ini, Pemerintah menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama dari para peserta transmigrasi umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pemerintah juga memberkan dana untuk biaya bibit tanaman serta biaya peralatan pertanian.

Di luar tranmigrasi umum ini, ada pula warga penduduk Pulau Jawa yang dengan minat tinggi berangkat ke daerah transmigrasi dengan biaya sendiri. Kelompok transmigran ini cukup melaporkan diri di tempat tujuan untuk memperoleh lahan dan bantuan-bantuan biaya lainnya dari Pemerintah.

Untuk mengelola program transmigrasi ini, pada tahun 1948 Pemerintah membentuk panita khusus untuk merancang dan memantau pelaksanaan transmigrasi, dengan ketua A.H.D. Tambunan. Pada tahun 1960 diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 yang mengatur tentang pelaksanaan transmigrasi. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa tujuan dari transmigrasi adalah demi meningkatan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

KOMPAS/AHMAD ZULKANI

Inilah salah satu rumah warga transmigran swakarsa di lokasi Desa Harapan Makmur, di Bengkulu Utara, Juli 1994. Gambaran kemiskinan warga tergambar lewat rumah yang berdinding anyaman bambu serta berlantai tanah, tak berubah sejak 1981 ketika mereka datang.

Kebijakan transmigrasi berlanjut pada masa Orde Baru. Kebijakan ini diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang disusun pada masa itu, mulai dari Repelita I hingga Repelita VI. Tujuan dari program transmigrasi bertambah dari sekedar pemindahan penduduk ke tujuan pembangunan wilayah-wilayah di luar Jawa dan peningkatan produksi beras untuk swasembada pangan. Daerah tujuan transmigrasi juga diperluas meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi, dan Papua.

Pada masa Orde Baru, peserta transmigrasi umum yang diselenggarakan Pemerintah mendapatkan ongkos transportasi, mendapatkan lahan seluas dua hektare, rumah, alat pertanian, serta biaya hidup selama delapan hingga dua belas bulan (tergantung pada daerah tujuan).

Ada pula masyarakat yang mengikuti transmigrasi secara spontan. Mereka menanggung sendiri biaya keberangkatannya tetapi Pemerintah membantu mengorganisasi perjalanan tersebut. Untuk pengelolaannya, Pemerintah memiliki kementerian tersendiri bernama Kementerian Transmigrasi. Pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi.

Pada periode Repelita I (1969–1973), jumlah transmigran tercatat sebanyak 182.414 orang atau 52.421 keluarga. Pada periode Repelita III (1974–1978), jumlah transmigran sebanyak sekitar 204 ribu orang, hanya 16 persen dari target pada periode tersebut.

Pada Repelita III (1979–1983), jumlah transmigran meningkat menjadi 500 ribu keluarga, dua kali lipat dari target sebanyak 250 ribu keluarga. Keberhasilan ini salah satunya disebabkan oleh upaya Pemerintah mendorong kegiatan ekonomi di daerah transmigrasi untuk menarik minat lebih banyak transmigran.

Pada Repelita IV (1984–1988), Pemerintah menargetkan jumlah transmigran menjadi 750 ribu keluarga atau 3,75 juta orang. Data yang ada pada akhir Oktober 1985 mencatat ada total 350.606 keluarga atau 1.63.771 orang mengikuti program transmigrasi.

Pada Repelita IV, program Pemerintah Indonesia ini mulai mendapatkan kritik dari dunia internasional, khususnya dalam hal lingkungan hidup dan keadilan sosial. Program transmigrasi banyak dilakukan dengan pembukaan lahan baru dengan penebangan hutan-hutan. Di sisi lain, program Pemerintah Indonesia juga cenderung memprioritaskan transmigran daripada penduduk lokal yang sudah bermukim di daerah tujuan transmigrasi.

Suatu tim khusus dibentuk tahun 1985 untuk mempelajari masalah ini, tetapi tidak ada solusi signifikan yang dihasilkan. Kebijakan yang diambil saat itu adalah menganti daerah utama tujuan transmigrasi dari Sumatera dan Kalimantan ke Papua.

KOMPAS/AGUS MULYADI

Radis (50), pendatang asal Lampung, coba menanam padi di lahan yang dibelinya dari transmigran di Desa Lubuk Lancang, Kecamatan Pulau Rimau, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (13/3/2006). Lahan sawah dan rumah di areal bekas transmigrasi kawasan Pulau Rimau itu dibelinya dari seorang transmigran yang tidak tahan akibat sulitnya bercocok tanam di daerah tersebut.

Pada periode Repelita V (1984–1988) dunia tengah mengalami resesi ekonomi, terutama karena jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 1985–1986. Hal ini turut berpengaruh pada pelaksanaan program transmigrasi, salah satunya dalam hal alokasi dana.

Dana yang dialokasikan untuk transmigrasi dipotong hingga 44 persen pada tahun 1986–1987 dan 65 persen pada tahun 1987–1988. Hal ini jelas berdampak pada penurunan minat transmigran. Di sisi lain, berkembang citra negatif tentang keburukan manajemen program transmigrasi sehingga makin sedikit orang yang tertarik untuk mengikuti perpindahan penduduk.

Dalam periode selanjutnya, Repelita VI (1988–1992) daerah-daerah urban di pulau-pulau luar Jawa mengalami pertumbuhan ekonomi. Data tahun 1990 menunjukkan bahwa banyak transmigran tidak lagi bermukim di daerah pedalaman melainkan ke daerah urban.

Selain karena tertarik akan perkembangan ekonomi di kota-kota tersebut, keterpusatan transmigrasi ke daerah-daerah urban ini terjadi karena kebanyakan transmigran bukanlah program yang diselenggarakan oleh Pemerintah, melainkan secara sukarela. Transmigrasi sukarela juga dipengaruhi oleh ketertarikan para transmigran pada kesempatan kerja di negara tetangga seperti Malaysia.

KOMPAS/ANDI SURUJI

Perkebunan kelapa sawit para transmigran PIR-Trans di desa Baras, kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju, sekitar 650 kilometer utara Ujungpandang (18/6/1996).

Transmigrasi Setelah Reformasi (Pasca 1998)

Program transmigrasi masih belanjut pada masa setelah reformasi tahun 1998. Satu tahun sebelumnya Pemerintah sempat menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dokumen undang-undang ini baru diperbarui nantinya pada tahun 2009, yakni Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009.

Untuk mengelola program transmigrasi, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meleburkan Kementerian Transmigrasi ke dalam Kementerian Kependudukan. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman yang makin holistik bahwa program transmigrasi tidak difokuskan untuk menyelesaikan persoalan kepadatan dan persebaran penduduk, melainkan pengembangan dan pemerataan ekonomi di daerah-daerah.

Program transmigrasi yang berfokus pada pengurangan jumlah penduduk di Jawa dinilai tidak akan berhasil, mengingat pertumbuhan jumlah penduduk di Jawa yang lebih tinggi daripada implementasi dari transmigrasi dari tahun ke tahun, bahkan sejak zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di sisi lain, Pemerintah juga berupaya untuk meminimalisir terjadinya konflik antarmasyarakat pendatang dan penduduk lokal.

Pergeseran pemahaman akan pentingnya pengembangan dan pemerataan ekonomi berjalan seiring dengan upaya desentralisasi yang dilakukan Pemerintah pada masa itu. Dokumen-dokumen hukum yang diterbitkan pada masa-masa awal reformasi ini mengupayakan desentralisasi tersebut, misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Keseimbangan Finansial antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Program transmigrasi selanjutnya termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menggantikan model Repelita pada masa Orde Baru. Pada RPJMN tahun 2015–2019, Pemerintah menetapkan 144 kawasan transmigrasi.

Untuk mengelola kawasan-kawasan tersebut, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2018 tentang Koordinasi dan Integrasi Penyelenggaraan Transmigrasi. Dalam perkembangannya urusan transmigrasi dikelola oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (disingkat Kemendes).

Kementerian ini menerbitkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Perencanaan Kawasan Transmigrasi yang mengatur secara lebih detail kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi Pemerintah.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Markus, petani cokelat di perkampungan transmigrasi, di Dusun Kinono, Desa Banjarsari, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, memeriksa tanaman coklatnya, Jumat (16/5/2008). Di Engano hingga saat ini belum ada tenaga penyuluh pertanian yang membantu petani mengatasi persoalan pertanian mereka.

Melengkapi program transmigrasi, Pemerintah juga memunculkan beberapa kebijakan lain guna mendukung masyarakat lokal di kawasan-kawasan transmigrasi, salah satunya ialah program Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades). Program ini dijalankan dengan membuka pengajuan minimal tiga produk unggulan sebagai produk unggulan yang akan dikembangkan di daerah transmigrasi dengan bantuan Pemerintah.

Selanjutnya, dalam RPJMN tahun 2020–2024 Pemerintah menargetkan revitalisasi 52 kawasan transmigrasi. Terkait pembangunan kawasan-kawasan tersebut, dalam RPJMN 2020-2024, Pemerintah menetapkan standar evaluasi berupa indeks pembangunan wilayah di daerah-daerah tujuan atau revitalisasi transmigrasi. Dari data indeks tahun 2019 sebesar 48,74, Pemerintah menetapkan 57,50 sebagai indeks target hingga 2024.

Bagaimana hasilnya? Pada tahun 2018 Kemendes menyebutkan bahwa program transmigrasi telah berhasil membangun 1.183 desa, 385 kecamatan, 104 kota/kabupaten, 48 kota terpadu mandiri, dan dua ibu kota provinsi. Daftar detail mengenai 152 daerah transmigrasi yang saat ini dimiliki dan dikembangkan di Indonesia ditetapkan oleh Kemendes dan ditampilkan dalam situsnya berjudul Sipukat.

Provinsi Sulawesi Barat dan Kalimantan Utara diambil sebagai buah dari program transmigrasi Pemerintah. Pemerintah sendiri menimbang bahwa program transmigrasi sampai saat ini masih bernilai strategis untuk ketahanan pangan, pemberdayaan masyarakat, dan pemerataan pembangunan wilayah di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Laporan

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI. 2015. Transmigrasi: Masa Doeloe, Kini, dan Harapan ke Depan. Jakarta.

Tirtosudarmo, R. 2015. On the Politics of Migration: Indonesia and Beyond. Jakarta: LIPI.

Jurnal Akademik

Setiawan, Nugraha. (?) “Satu abad transmigrasi di Indonesia: Perjalanan sejarah pelaksanaan”, 1905-2005.

Hoey, Brian A. (Spring, 2003). “Nationalism in Indonesia: Building Imagined and Intentional Communities through Transmigration”. Ethnology, 42(2), 109-126. https://doi.org/10.2307/3773777

Elmhirst, R. (2010). “Daughters and Displacement: Migration Dynamics in an Indonesian Transmigration Area”. Development Studies, 143-166. https://doi.org/10.1080/00220380412331322541

Sukmawati, A.D. (2016). “1969-2015: Cerita tiga dekade politik perpindahan masyarakat di Indonesia”. Jurnal Masyarakat & Budaya, 18(3), 503-513.

Bappenas. (2020). “Lampiran 1 – Narasi Perpres 18/2020 tentang  RPJMN 2020-2024″.

Dokumen Hukum

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997 yentang Ketransmigrasian

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019

Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024

Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2018 tentang Koordinasi dan Integrasi Penyelenggaraan Transmigrasi

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Perencanaan Kawasan Transmigrasi

Internet

Riwayat program transmigrasi Indonesia yang banyak gagalnya,” VOI.id, 12 Desember 2019.

Transmigrasi: Pengertian, sejarah, tujuan, jenis, syarat, dan dampak,” Kompas.com, 21 Maret 2022.

Transmigrasi bukan urusan wajib, namun kesejahteraan adalah hak transmigran,” Kementerian Koordinator Bidang Pembanungan Manusia dan Kebudayaan, 15 Juni 2021.

152 Kawasan Transmigrasi,” Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.