Tanggal 30 Maret 1950 Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Pada tanggal itu pula, dimulai proses produksi film nasional Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi. Seluruh produksi film ini menggunakan modal nasional, tenaga kerja, bintang film serta sutradara asli pribumi. Dengan demikian, tanggal 30 Maret 1950 menjadi hari bersejarah bagi perfilman Indonesia sehingga tanggal itu ditetapkan menjadi Hari Film Nasional.
Monopoli dan propaganda film pada masa pendudukan Jepang, aksi politik LEKRA dan PKI, derasnya impor film asing, dan intervensi/kontrol pemerintah mewarnai pasang surut industri perfilman Indonesia yang memang sudah tertinggal bila dibandingkan dengan Eropa dan Amerika. Namun, berkat ide-ide kreatif dan tekad para anak bangsa yang terus bermunculan, industri film Indonesia tetap bergaung dan mendapatkan tempat di hati para penikmat film dari dalam dan luar negeri.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pengunjung melihat poster yang dipamerkan saat peringatan Hari Film Nasional di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta, Rabu (30/3). Sejumlah peralatan pembuatan film kuno, poster-poster, dan sejarah perfilman Indonesia turut dipamerkan.
Artikel Terkait
Masa Awal Film di Indonesia (1900 – 1941)
1900
- Pertunjukan gambar idoep sudah ada pada pertunjukan Tuan Talbot di Lapangan Pasar Gambir.
- Tuan Scharwz menyajikan pertunjukkan gambar idoep di sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae (kelak bernama The Rojal Bioscope).
1905
- The Royal Bioscope sebagai perintis bioskop pertama di Hindia Belanda (Indonesia), mulai menyajikan gambar idoep yang bisa bicara.
- Film impor Amerika Serikat mulai masuk ke Indonesia, kemudian film-film Eropa juga mulai masuk dan diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
1916
- Pemerintah mengeluarkan undang-undang yang mengatur film dan bioskop melalui Ordonansi Bioscope. Ordonansi ini memberi hak pemeriksaan film oleh komisi regional yang ditunjuk oleh gubernur jenderal.
1924
- Film Cina mulai masuk ke Indonesia.
1926
- Kruger (Jerman) dan Heuveldop (Belanda), membuat film Loetoeng Kasaroeng, dengan dukungan biaya Bupati Bandung Wiranatakusumah V yang diproduksi oleh NV Jaya Film Company di Bandung.
1928
- Tiga bersaudara Nelson, Joshua dan Othniel Wong yang berasal dari Shanghao, Tiongkok datang ke Jakarta dan mendirikan Halimun Film dengan produksi film pertamanya Melatie van Java, yang disutradarai oleh Nelson Wong.
1929–1930
- Tan bersaudara dari Tan’s Film membuat film Nyai Dasima sebuah tragedi berdasarkan karangan G.Francis (1896), namun menurut sumber lain, berdasarkan tulisan yang lebih tua berasal dari Lie Kim Hook, Peristiwa 1813. Nyai Dasima dimainkan seorang artis Indonesia, N. Nurhaeni sebagai Nyai Dasima, dibantu pemain-pemain Indo dan disutradarai oleh Loe Tek Soei.
- Kruger yang telah mendirikan Kruger Film Bedrijf, membuat Atma de Visser (Nelayan Atma), Bang Amat Tangkap Kodok dan Melatie van Agam.
- Si Ronda produksi Tan’s Film, De Stem des Bloeds (Panggilan Darah/Nyai Siti) produksi Cosmos Film, Indonesia Melaise dan Si Pitung produksi Halimun Film, San Pek Eng Tay dan Bung Ros dari Cikembar produksi Cine Motion Picture dari The Bersaudara, merupakan film yang diproduksi selanjutnya pada masa itu.
1930–1932
- Film bicara mulai diproduksi dan beredar, antara lain, Nyai Dasima II (Tan’s Film), Tjok Speelt voor de Film (Halimun Film), Zuster Maria (Halimun Film), dan Terpaksa Menikah (Kruger Film).
1934
- Film Pareh dibuat oleh Mannus Franken dan diproduksi Java Pasific Film, sebuah film klasik dalam sejarah film Indonesia.
- Film Gunung Merapi dibuat Mannus Franken & Wong Bersaudara, memperlihatkan kedahsyatan kekuatan alam, dan keindahan pemandangan bumi Indonesia.
- Film Terang Boelan dibuat Albert Balink, berdasarkan karangan Saerun, yang memperlihatkan kehidupan desa dengan romantika bulan purnama dengan nyanyian dan tari-tarian. Film ini di perankan oleh Roekiah dan Raden Mochtar.
1935–1936
- Albert Balink mendirikan ANIF di Bidara Cina (Polonia) dengan bantuan Wong Bros. Kemudian memproduksi Tanah Sabrang, film mengenai transmigrasi, mengandung unsur dokumentasi dan instruktif, disutradarai oleh Mannus Franken.
- Film-film yang dibuat oleh produser-produser Cina masih bersifat komersial tanpa potensi seni dan tanpa usaha meningkatkan mutu seninya. Beberapa diantaranya Pat Bie Fo (Delapan Wanita Jelita, 1932), Pat Kiam Hiap (Delapan Jago Pedang, 1933), Ouw Phe Tjoa (Ulat Hitam, 1934), dan Lima Tikoes Siluman (1935).
1937
- Siti Akbari dan Fatima yang disutradarai oleh Wong dengan pasangan Roekiah dan Raden Mochtar, diproduksi Tan’s Film. Dalam film Fatima, dilibatkan pula Kartolo, suami Roekiah.
- De Solosche Cultuur Film merupakan film cerita panjang (feature-length film) produksi Universal Film Corporation yang dibuat R.M. Soetarto yang merupakan juru kamera dan sineas Indonesia pertama.
1938–1941
- Tan’s Film memproduksi Sorga Ketujuh, Rukihati, dan Gagak Hitam yang disutradarai oleh Wong.
- JIF membuat film Haji Saleh, Alang-alang (1939), Rencong Aceh (1940), Macan Berbisik (1940), Ratna Mutu Manikam (1941), Elang Darat (1941) dan Kartinah (1941)
- Fifi Young seorang penari kabaret dari Singapura membintangi film Keris Mataram, Zubaedah dan Pancawarna, produksi Oriental Film, yang disutradarai oleh suaminya Njoo Ceong Seng alias M.d’Amour, yang juga berasal dari dunia sandiwara.
- Union Film Coy membuat Kedok Ketawa dan Wanita dan Satria dengan Ratna Juwita dan Juwariah sebagai pemainnya.
- Mustika dari Jenar produksi Popular Film, dibintangi oleh Dhalia, aktris baru dari keluarga artis, yang menjadi bintang film dan pemain sandiwara terkemuka, kariernya meroket dan cemerlang tiba-tiba, namun pada tahun 1960 menghilang.
- Tan’s Film membuat kembali Melati van Agam & Nyai Dasima dalam versi modern disutradarai Tan Tjoei Hock, dibintangi oleh Moh. Mochtar, Hadijah dan Bissu.
- Asmara Murni produksi The Film Co., berdasar cerita Rd. Arifin.
- Ciung Wanara, sebuah cerita rakyat lama, produksi Star Film, disutradarai oleh R. Arifin dibintangi oleh Elly Yunara.
- Serigala Hitam (1941) dan Singa Laut (1941) keduanya produksi JIF disutradarai oleh Tan Tjoei Hock, dibintangi oleh Tan Tjeng Box.
- Djantoeng Hati (1941) produksi Majestic Film Coy, dengan pemain-pemain R. Ariati, Chattir Harro dan Saroso, disutradarai oleh Njoo Ceong Seng alias M. D’Amour.
- Dampak Perang Dunia II dan penyerbuan tentara Jerman ke Belanda, maka hubungan Indonesia dengan Belanda nyaris terputus. Film-film dari Belanda dan negara Eropa lainnya tidak masuk ke Indonesia sejak Mei 1940, sehingga hanya film-film Amerika yang kemudian berhenti diimpor dan dilarang pemutarannya. Hal ini menguntungkan produksi film Indonesia yang hingga akhir tahun 1941 berhasil memproduksi 28 film.
PPFN (Pusat Produksi Filem Nasional) yang dulu dikenal sebagai PFN, memasuki tahap baru lagi dengan produksi filem cerita enam sekaligus, setelah sekian lama merehabilitasi peralatannya. Tampak alat “mixer” yang punya kemampuan menampung 24 jalur dan keluar 8 jalur suara (24/1/1980). PPFN memiliki dua buah alat ini.
Artikel Terkait
Masa Penjajahan Jepang (1942--1945)
- Popular Film Coy berhasil masih sempat menyelesaikan Pulo-Inten, Bunga Semboja, dan 1001 Malam, setelah itu semua dilarang oleh Jepang secara resmi.
- Belanda menyerah pada 8 Maret 1942. Jepang kemudian mengambil alih N.V. Multi Film lalu mengubahnya menjadi Nippon Eiga Sha, di bawah naungan Sendenhu (Departemen Propaganda). Nippon Eiga Sha dipimpin oleh S. Ohyaddan T. Ishimoto dengan wakil R.M. Soetarto.
- Penguasaan media massa khususnya film membuat Jepang leluasa menggunakan film sebagai alat propaganda dan indoktrinasi serta melumpuhkan kegiatan Belanda dan Cina dalam industri hiburan dan media massa.
- Semua film yang dibuat Jepang bertujuan untuk kepentingan perang dan politik Jepang, yang digambarkan sebagai perang suci dari bangsa Asia Raya di bawah pimpinan “Saudara Tua” dan “Juru Selamat” dari Negara Matahari Terbit melawan dominasi kulit putih.
- Pendirian Persatuan Artis Film Indonesia (PERSAFI), yang merupakan bidang produksi film, distribusi dan impor film-film Jepang dan bekerja sama dengan Nippon Eiga Sha, di bawah pimpinan Bunjin Kurata alias B. Kusuma –seorang pegawai Sendenhu (Departemen Propaganda Tentara Penduduk Jepang, yang berpretensi dan berkedok seniman).
- Pada tahun 1943 dibangun sound stage yang sangat sederhana karena kekurangan bahan-bahan bangunan, Newsreel yang dibuat oleh Nippon Eiga Sha disebut “Jawa-Baru”, kemudian diganti menjadi Nampo Hodo, sesuai dengan politik Japanisasi. Pembuatan Film-film cerita ditugaskan pada PERSAFI yang merupakan bagian dari Nippon Eiga Sha.
- Film-film terkenal dari zaman ini, antara lain, Ke Seberang, Hujan, Berjuang, Di Desa, Jatuh Berkait dan Menar.
- Kecuali film-film Jepang, tidak ada film asing masuk ke Indonesia selama zaman pendudukan, sehingga publik hanya dapat menonton film-film Jepang dan film Indonesia yang sudah ada.
- Film-film propaganda ini tidak menarik bagi masyarakat yang sudah biasa dimanjakan film-film Barat yang lebih bermutu dari jaman sebelum pendudukan Jepang. Karenanya, periode Jepang ini dipandang sebagai masa isolasi dan kemunduran yang mendekati kemacetan dalam pertumbuhan produksi film.
- Sehingga banyak artis dan karyawan atau kru film beralih ke panggung sandiwara, untuk mempertahankan hidup.
Masa Peralihan (1945--1949)
6 Oktober 1945
- Serah terima pimpinan Nippon Eiga Sha dari T. Ishimoto kepada R.M. Soetarto.
- Sebagai pengganti Nippon Eiga Sha, didirikan Berita Film Indonesia yang bernaung di bawah Kementerian Penerangan RI.
November 1945
- Studio BFI di Bidara Cina diduduki NICA dan BFI pindah ke Solo, di Jalan Purwosari 255.
- Studio di Bidara Cina dijadikan Rengerings Film Bedrijf.
1946
- Ibu kota RI pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, mengungsi pula jutaan penduduk ke pedalaman meninggalkan kota-kota besar yang diduduki tentara Belanda. Artis-artis kembali ke panggung sandiwara.
- BFI tetap memproduksi newsreel dan film dokumenter.
- Beberapa seniman mendirikan Lingkaran Studi di Jalan Sumbing 5 Yogyakarta, kantor majalah Arena dan harian Patriot yang merupakan kediaman Usmar Ismail, yang kemudian menjadi sineas perintis di Indonesia.
Tahun 1948–1949
- Para seniman dipimpin Dr. Huyung mendirikan atelier pendidikan, yang dinamakan Kino Drama Atelier yang bernaung di bawah Stichting Hiburan Matara disponsori Bank Negara.
- Ketika tentara Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948 hingga April 1949, kegiatan Kino Drama Atelier terhenti. Hingga sampai pemimpinnya meninggal lembaga ini hanya memproduksi dua film, yakni Antara Bumi dan Langit dan Bunga Rumah Makan, keduanya disutradarai Dr. Huyung.
- Perusahaan film Belanda South Pacific Film Corporation membuat film Jauh di Mata dan Anggrek Bulan, keduanya disutradarai Anjar Asmara.
- South Pacific Film Corporation kembali memproduksi film berjudul Citra dan Harta Karun, dua-duanya merupakan film-film yang disutradarai Usmar Ismail pertama kalinya.
- Pemerintah melalui kementerian Penerangan RI mendirikan Lembaga Pendidikan Film dan Drama yang dinamakan Cine Drama Institute. Namun kesulitan keuangan membuat lembaga ini mati sebelum berkembang.
- Berdiri beberapa lembaga pembelajaran film: Akademi Sinematografi Universitas Jayabaya dan Akademi Film dan Teater di Bandung.
- Tan & Wong Bros dan JIF kembali memproduksi film, antara lain, Air Mata Mengalir di Citarum dan Bengawan Solo.
- Bintang Surabaya Film Coy membuat Sehidup Semati dan Sapu Tangan.
- Setelah penyerahan kedaulatan pada Republik Indonesia Serikat (RIS), Rengerings Film Bedrijf diserahkan juga kemudian menjadi Perusahaan Film Negara (PFN).
Artikel Terkait
Masa Produksi Film Nasional (1950--1959)
- Industri film menggeliat lagi, produksi film dalam negeri meningkat, dari 24 judul lalu mencapai puncaknya pada tahun 1955 dengan 59 judul film, kemudian mencapai titik terendah pada tahun 1959 dengan hanya 17 judul film.
- PERFINI dan PFN adalah dua perusahaan film yang konsisten memproduksi film-film nasional berkualitas.
- PERSARI, Tan & Wong Bross, South Pasific Film Coy, Goldern Arrow Film Co., Warna Sari Film Coy dan Jakarta Film Co, juga membuat beberapa film yang meramaikan industri film Indonesia.
- Film produksi PERFINI: Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Yogya (1950), Dosa Tak Berampun (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Harimau Tjampa (1953), Lewat Jam Malam (1954), Lagi-lagi Krisis (1955), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956), Delapan Penjuru Angin (1957), dan Jenderal Kancil (1957).
- PFN memproduksi: Jiwa Pemuda (1951), Rakyat Memilih (1951), Antara Tugas dan Cinta (1952), Si Pincang (1952), Kopral Jono (1954), Jayaprana (1955), dan Peristiwa di Danau Toba (1955).
- Antara Bumi dan Langit menjadi film pertama yang ditolak Badan Sensor Film (BSF) sehingga kemudian berganti judul menjadi Frieda.
30 Maret 1950
- Berdirinya Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) di bawah pimpinan Usmar Ismail yang memakai modal nasional, sekalipuan alat-alat studio dan laboratorium masih harus sewa.
- Produksi pertama PERFINI, yaitu film Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi, merupakan film nasional pertama, sehingga tanggal itu menjadi tonggak penting (milestone) sejarah film Indonesia.
- Pada tahun yang sama, Enam Jam di Yogya, epos berdasar skenario Gayus Siagian dan disutradarai Usmar Ismail, menceritakan penyerbuan tentara Indonesia ke kota Yogya.
23 April 1951
- Berdirinya Perseroan Artis Republik Indonesia (PERSARI) yang menjadi tempat bernaung artis film dan sadiwara yang dipimpin oleh Djamaluddin Malik.
1952
- Film Si Pincang yang disutradarai Kotot Sukardi diikutsertakan dalam Festival Film Internasonal Karlovy Vary di Cekoslowakia. Film ini adalah film anak-anak pertama Indonesia. Film ini masih hitam putih dan menjadi pelopor film anak-anak.
1953
- Film Krisis yang disutradarai Usmar Ismail menjadi tonggak dalam dunia film. Film tersebut menjadi produksi nasional pertama yang diputar di bioskop kelas satu yang biasanya hanya untuk film-film impor dan film itu bertahan lebih dari satu bulan sehingga berpredikat box office, prestasi yang belum pernah dicapai film Indonesia saat itu.
30 Juni 1954
- Berdiri Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dengan Usmar Ismail sebagai ketuanya.
1955
- Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) berdiri. Meskipun lembaga ini fokus pada pendidikan teater, pengajarnya memiliki wawasan juga dalam dunia film, sehingga lembaga ini juga melahirkan sineas-sineas yang berperan dalam perfilman nasional.
10 April 1955
- Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) berdiri.
25 Oktober 1955
- Persatuan Pers Film Indonesia (PERPENI) berdiri dengan ketua Boes Boestami, yang menunjukkan kesadaran publikasi dalam promosi film.
- Tarmina (1954) dan Lewat Jam Malam (1954) menjadi film terbaik pada Festival Film Indonesia yang pertama diselenggarakan.
- Terdapat 28 perusahaan film yang memproduksi hingga 59 judul film dalam satu tahun.
1956
- Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) didirikan tanggal 13 Maret 1956, dengan ketua Suryo Sumanto, sebagai lembaga untuk memperjuangkan kepentingan para artis film menghadapai produser dan untuk menggalang persatuan di antara mereka sendiri.
- Film Tiga Dara produksi PERFINI merupakan film komedi musikal pertama yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Film ini begitu fenomenal dan disukai masyarakat hingga meraih box office mengikuti pendahulunya film Krisis.
1959
- Masuknya film India yang langsung disukai masyarakat dan menjadi saingan berat bagi film nasional.
Artikel Terkait
Masa Pergolakan (1960--1969)
- PKI muncul sebagai kekuatan sosial baru, dan organisasi kebudayaan LEKRA berkegiatan di berbagai bidang, termasuk film. Ada upaya destruktif untuk memboikot film-film nonkomunis, produksi dalam negeri, dan film impor.
1963
- Film Turang (1957) disutradarai Bachtiar Siagian produksi Refic dan Pejuang (1959) disutradarai Usmar Ismail produksi PERFINI mendapat penghargaan pemain terbaik, yaitu Bambang Hermanto (bersama-sama dengan Peter Finch dari Inggris) dalam Festival Film Internasional di Moskow tahun 1963.
1965
- Film Macan Kemayoran yang disutradarai Wim Umboh produksi bersama Aries Film, Nusantara Film dan Garuda Film (Anugra Film), merupakan film widescreen pertama yang dibuat di Indonesia.
- Penghargaan ‘diplome d’honneur untuk film Indonesia Invites dalam festival film touristik oleh Association des Anciens Combatians dan Mutuelie de la Presse Sportive et Touristique di Marseille Perancis Selatan bulan Juli 1965.
Sumber: “Film Indonesia dapat Penghargaan”. Kompas, 23 Agustus 1965, halaman 2.
30 September 1965
- Pemberontakan G30S/PKI membuat situasi keamanan dan politik menjadi tidak menentu hingga pertengahan Maret 1966, yang melumpuhkan semua aktivitas produksi di berbagai bidang.
1967
- Diadakan Pekan Apresiasi Film dengan bantuan Departemen Penerangan dan dianggap setengah festival film. Terpilih Sukarno M Noor dan Mieke Wijaya sebagai aktor dan aktris terbaik dan Idris Sardi sebagai ilustrasi musik terbaik.
- Film Sembilan produksi Anugra Film yang disutradarai Wim Umboh merupakan film widescreen berwarna pertama Indonesia.
Sumber: ““Sembilan”: Film Produksi Ketiga Anugra” (Kompas, 21 Januari 1967, halaman 2)
30 Mei 1968
- Dibentuk Dewan Produksi Film Nasional, yang bergerak di bidang produksi film.
Sumber: “Perfilman Nasional Diharapkan Tumbuh Lagi” (Kompas, 6 Juni 1968, halaman 3)
27 Oktober 1969
- Departemen Penerangan membentuk Dewan Film Nasional (DFN) dengan anggota unsur-unsur perfilman dan merupakan dewan penasehat Departemen Penerangan/Direktorat Film dalam menentukan kebijaksanaan di bidang film.
Sumber: “Anggota2 Dewan Film Nasional” (Kompas, 31 Oktober 1969, halaman 1)
Artikel Terkait
Kebangkitan Kembali Perfilman Indonesia (1970--1990)
9 Januari 1970
- Film Indonesia berjudul Pembalasan Iblis mulai syuting di Pulau Bali. Film yang dibuat dalam eastmancolor dan cinemascope ini adalah produksi pertama Gidprofin (Gabungan Importir dan Distributor Film Indonesia) yang mendapat kesempatan untuk memproduksi film dengan menggunakan biaya dari hasil SK Menpen No. 71/1967.
Sumber: “‘Pembalasan iblis’ mulai shooting” (Kompas, 10 Januari 1970, halaman 2)
26 Juni 1970
- Lembaga Pendidikan Kesenian Djakarta (LPKD, sekarang IKJ) resmi dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Lembaga ini memiliki 6 akademi, antara lain, Akademi Film Djakarta, Akademi Teater Djakarta, Akademi Seni Tari Djakarta, Akademi Musik Djakarta, dan Akademi Seni Sastra Djakarta.
Sumber: “Lembaga Pendidikan Kesenian Djakarta Dibuka” (Kompas, 27 Juni 1970, halaman 2)
11 Juli 1970
- Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, meresmikan Jaya Antjol Drive-in Theatre, sebuah bioskop mobil satu-satunya di Indonesia yang termegah dan termodern di Asia Tenggara. Proyek Antjol – PT Pembangunan Jaya ini dibangun di tepi pantai Bina Ria, Ancol, Jakarta Utara.
Sumber:
- “Jaya Antjol Drive-In Theatre: Terbesar di Asteng” (Kompas, 8 Juli 1970 halaman 1)
- “Jaya Antjol Drive-in Theatre Diresmikan” (Kompas, 13 Juli 1970 halaman 1)
4 November 1970
- Produksi film nasional yang dikerjakan dalam tahun 1970 dan sudah dilaporkan pada Direktorat Film Departemen Penerangan berjumlah 19 judul film. Hal ini meningkat dibanding produksi film tahun 1969 yang tercatat hanya 11 judul film dan tahun 1968 sebanyak 6 judul film.
Sumber: “Tentang Produksi Pefilman Nasional: Tahun 1968 Enam Produksi, Tahun 1970 Jang Sudah Dilaporkan 19 Produksi” (Kompas, 5 November 1970, halaman 2).
14 November 1971
- Mulai Desember 1971 film-film stereo lebar dengan ukuran 70 milimeter untuk pertama kalinya diputar di gedung bioskop Djakarta Theater. Film-film ini berbeda dengan film-film ukuran 35 milimeter yang biasa diputar sebelumnya. Perbedaannya terletak pada track suara, besarnya gambar, serta ketajamannya. Selain itu dibutuhkan juga layar yang lebih lebar.
Sumber: “Film2 Stereo Dapat Disaksikan Mulai Desember” (Kompas, 15 November 1971, halaman 5).
18 Januari 1972
- Sutradara Wim Umboh membuat film berjudul Mama, yang merupakan film Indonesia pertama yang berukuran 70 milimeter. Film produksi Aries Film bekerja sama dengan PT Indaco Film ini skenarionya ditulis bersama Sjumandjaja, Asrul Sani, dan Gajus Siagian. Film ini juga dibuat kopinya dengan format film pada umumnya yaitu 35 mm, agar bisa diputar di semua bioskop.
Sumber:
- “Wim Umboh Akan Membuat Film 70 mm” (Kompas, 19 Januari 1972, halaman 2)
- “Film Mama Dibuat dalam Versi 70 mm dan 35 mm” (Kompas, 13 April 1972, halaman 3)
3 Januari 1973
- Film nasional mulai Januari 1973 mendapat tempat khusus di delapan bioskop Jakarta. Hal ini dimungkinkan karena mulai bergabungnya grup “booker” film terbesar di ibu kota, yaitu Indonesian Combined Cinemas (ICC) dengan group Jakarta Theatre. Penggabungan itu sebagai usaha untuk lebih menjamin distribusi dan pemasaran film-film nasional di Indonesia.
Sumber: “Film2 Nasional Dapat Tempat Khusus di 8 Bioskop Ibukota” (Kompas, 4 Januari 1973, halaman 3).
27 Mei 1973
- Film Romusha produksi PT Sri Agung Utama Film yang sudah lolos dari sensor, terpaksa tertunda peredarannya karena ditahan oleh Departemen Penerangan. PT Sri Agung Utama tidak bersedia menjelaskan apa sebab filmnya tersebut dilarang peredarannya.
Sumber: “Film ‘Romusha’ Ditahan Departemen Penerangan” (Kompas, 28 Mei 1973, halaman 2).
Desember 1973
- Menurut Direktorat Film Departemen Penerangan, jumlah izin produksi yang dikeluarkan untuk tahun produksi 1973, meliputi 56 izin produksi untuk pembuatan film-film nasional. Hal itu berarti bahwa seperti tahun-tahun sebelumnya, produksi film nasional tahun ini tetap stabil. Jenis film anak-anak dan komedi ringan juga sudah diproduksi dan sukses di pasaran, seperti film Ratapan Anak Tiri dan Si Doel Anak Betawi.
Sumber: “Produksi Film Nasional Stabil” (Kompas, 21 Desember 1973, halaman 2)
Januari 1974
- Dengan surat keputusannya no Kep/034/JA/1/1974 Jaksa Agung Ali Said SH memutuskan untuk melarang pemutaran film Tiada Jalan Lain di seluruh Indonesia. PT Tunggal Jaya Film di Jakarta yang memproduksi film itu diperintahkan agar menarik film itu beserta semua copy dan reklamenya dari peredaran dan menyerahkannya kepada Badan Sensor Film terhitung 26 Januari 1974.
“Film ‘Tiada Jalan Lain’ Dilarang Diputar” (Kompas, 4 Februari 1974, halaman 2)
2 April 1974
- Skenario Atheis karya Syumandjaya dilarang oleh Direktorat Film Departemen Penerangan untuk difilmkan. Direktur Direktorat Film H Djohardin dalam suratnya tanggal 2 April kepada Matari Film yang akan memfilmkan cerita itu menyatakan, bahwa skenario tersebut mengandung hal-hal yang tidak bisa dibenarkan dan bisa membawa akibat negatif.
Sumber: “‘Atheis’nya Syumandjaya Dilarang Deppen” (Kompas, 26 April 1974, halaman 2).
Mei 1974
- Direktorat Film Departemen Penerangan akhirnya mengeluarkan izin produksi untuk film Atheis karena Syumandjaya selaku penulis skenario/produser dan sutradara film ini, telah mengeluarkan pernyataan akan mengubah isi skenarionya. Hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan pertentangan agama dan menghidupkan paham komunis akan dihilangkan.
Film “Atheis” Akhirnya Dapat Ijin Produksi (KOMPAS, 6 Mei 1974, halaman 12)
6 Agustus 1974
- Direktur Film Departemen Penerangan, H Djohardin menyatakan kini sedang dipikirkan kemungkinan mengadakan “premier” serentak dengan lima film nasional, di lima kota utama Indonesia. Menurut Djohardin, cara ini untuk mengatasi antrinya film-film nasional untuk diputar di gedung-gedung bioskop karena produksi film nasional sudah mencapai 60 buah per tahun. Selama ini ada konsensus bahwa dalam satu minggu tidak boleh diputar dua film nasional sekaligus.
Antrinya Film2 Nasional Menunggu Pemutaran, Sedang Dipikirkan (KOMPAS, 8 Agustus 1974, halaman 2)
8 Januari 1975
- Dalam pidato pengarahannya pada pembukaan Kongres PARFI V di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Menteri Penerangan Mashuri menegaskan kebijakan perfilman pemerintah akan terus mengusahakan agar film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kongres diharapkan merumuskan pola pemikiran untuk meningkatkan produksi film Indonesia.
Kongres PARFI ke V Dibuka: Produksi Film ’75 Ditingkatkan Mutu dan Variasinya (KOMPAS, 9 Januari 1975, halaman 1)
7 Agustus 1975
- Sejumlah bioskop di ibukota, seperti Jakarta Theater, New Garden Hall, dan Jayakarta mulai memutar juga film-film nasional. Ini sesuai dengan surat keputusan 3 menteri yaitu menteri Dalam Negeri, Menteri Penerangan, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang mewajibkan setiap bioskop di wilayah Indonesia minimal memutar film nasional 2 kali sebulan.
Babak Baru Perfilman Nasional Dimulai Hari Ini (KOMPAS, 7 Agustus 1975, halaman 3)
20 Oktober 1975
- Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan gedung pusat perfilman nasional (Film Centre) di Kuningan, Jakarta Selatan. Dengan dibangunnya gedung tersebut, diharapkan melahirkan gagasan, pendapat, karya, dan insan-insan perfilman yang baik sehingga membantu usaha meningkatkan jumlah dan mutu film nasional.
Gedung Pusat Perfilman Nasional Diresmikan Gubernur (KOMPAS, 22 Oktober 1975, halaman 4)
16 Maret 1976
- Interstudio, sebuah laboratorium film berwarna yang pertama di Indonesia, diresmikan dengan ditandai peneraan telapak kaki, telapak tangan, dan tanda tangan dari Gubernur Ali Sadikin, Dirjen RTF Sumadi, artis film Tanty Yosepha, Slamet Rahardjo dan Santy Sardy. Peneraan dilakukan di Rukiah Plaza, sebuah tempat yang berada di kompleks laboratorium yang berlokasi di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Interstudio Diresmikan (KOMPAS, 17 Maret 1976, halaman 1)
6 September 1980
- Sekretaris Dewan Film Nasional, Djohardin, mengatakan film nasional boleh diproduksi dalam bentuk kaset video sebab ketentuan yang melarang hal itu memang belum ada. Produksi kaset video berisi film nasional tidak akan mempengaruhi dunia perfilman termasuk gedung bioskop karena peredaran kaset video di Indonesia masih terbatas.
Film Nasional Masuk Kaset Video: Tidak Ada Larangan Tapi Harus Segera Siapkan Pagar (KOMPAS, 8 September 1980, halaman 6)
IPPHOS
Ibu Usmar Ismail (keempat dari kanan) sedang menyaksikan maket gedung pusat perfilman H Usmar Ismail, yang peletakan batu pertamanya telah dilaksanakan pada hari Rabu (28/8/1996) lalu di GOR Mahasiswa Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan. Tampak pula dalam peninjauan itu Gubernur DKI Surjadi Soedirdja (paling kanan).
Artikel Terkait
Kelesuan Perfilman Indonesia (1990-1998)
April 1992
- Situasi perfilman nasional Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi terparah, semenjak kebangkitannya kembali awal tahun 1970-an. Jumlah produksi film nasional dalam beberapa tahun terakhir ini terus memperlihatkan penurunan. Hal ini disebabkan antara lain sistem manajemen perusahaan dari para produser menyangkut kemampuan pihak produser mengelola permodalan mereka. Di samping profesionalisme pekerja film yang masih rendah, sering kali tidak mampu menepati jadwal produksi serta pembengkakan anggaran. Sistem distribusi dimana masih banyak para pengedar (distributor) acapkali tidak memiliki jaringan bioskop dan tidak jarang berbuat curang kepada produser, serta persaingan dengan film impor dan kondisi sensor baik dari pihak pemerintah maupun tekanan masyarakat.
Situasi Perfilman Indonesia: Potensi Pasar Ada, Namun Produksi Terus Melesu (KOMPAS, 8 April 1992, halaman 1)
7 Juni 1992
- Kelesuan dan kemelut industri perfilman Indonesia membuat para pekerja film beralih ke pembuatan film iklan dan acara televisi. Munculnya televisi swasta juga membuat menjamurnya rumah-rumah produksi yang banyak merekrut tenaga dari dunia film yang sudah terlatih di bidang audio-visual.
Fokus Peristiwa Pekan Ini: Kemelut Perfilman yang tak Pernah Terurai (KOMPAS, 7 Juni 1992, halaman 2)
25 Agustus 1992
- Meskipun acara puncak pengumuman pemenangnya baru akan dilaksanakan 28 November 1992, namun hampir dapat dipastikan pertarungan memperebutkan film terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1992 ini bakal kurang seru. Rendahnya angka produksi merupakan salah satu penyebab keadaan ini, sehingga hanya sedikit saja sutradara yang punya nama besar bisa ikut serta menyemarakkan hajatan puncak orang-orang film Indonesia ini.
FFI Bakal Kurang Seru (KOMPAS, 26 Agustus 1992, halaman 12)
2 Februari 1993
- Tahun 1993 kemungkinan besar tidak akan ada Festival Film Indonesia (FFI). Alasannya, sampai kini belum ada kejelasan, lembaga apa yang akan bertugas menyelenggarakan pesta tahunan masyarakat perfilman Indonesia ini. Panitia tetap (pantap) FFI – yang bertugas selama lima tahun sejak 1988 – sudah menyelesaikan tugasnya sampai FFI 1992 November lalu.
Tahun Ini Mungkin Tidak Ada FFI (KOMPAS, 3 Februari 1993, halaman 12)
10 Maret 1993
- Sepanjang Februari 1993, tak satu judul pun film nasional produksi baru yang beredar di bioskop. Kejadian ini merupakan salah satu cerminan dari terus merosotnya produksi film nasional, yang terasakan sejak beberapa tahun terakhir. Bila melihat rencana produksi beberapa bulan ke depan, besar kemungkinan kekosongan film nasional produksi baru itu akan terulang kembali pada beberapa bulan di sepanjang tahun 1993 ini.
Februari Lalu, Tidak Satu pun Film Nasional Baru Masuk Bioskop (KOMPAS, 11 Maret 1993, halaman 16)
24 Mei 1993
- Menteri Dalam Negeri, Yogie SM, akan mengimbau para gubernur agar bekerja sama dengan produser untuk membuat film. Produksi film tersebut diharapkan akan menggairahkan kembali perfilman nasional yang kini sedang lesu. Hal itu disampaikan Mendagri ketika menerima jajaran pengurus Persatuan Perusahaan Perfilman Indonesia (PPFI) di Jakarta.
Mendagri Akan Imbau Gubernur Membuat Film (KOMPAS, 28 Mei 1993 halaman 12)
28 Juli 1997
- Film layar lebar merupakan salah satu media yang efektif dalam membentuk opini masyarakat, sehingga masalah perfilman nasional yang tengah lesu sekarang perlu segera dibenahi. Perlu ada usaha yang secara bertahap bisa menjadikan perfilman nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hal itu dikatakan Menteri Penerangan R Hartono tatkala menerima enam Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PP PPFI) yang dipimpin ketua umumnya H Abdul Madjid SH di Jakarta.
Perfilman Nasional Perlu Segera Dibenahi (KOMPAS, 29 Juli 1997, halaman 10)
30 Juli 1997
- Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail yang dibangun sejak Agustus 1996 diresmikan pemakaiannya oleh Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirja. Gedung seluas 8.191 meter persegi ini masih sekompleks dengan gedung lama, dan memiliki fasilitas auditorium, gudang pendingin, ruang perpustakaan, ruang preview, ruang sinema dan kantor-kantor organisasi perfilman dan PWI seksi film.
Berdiri, Gedung FIlm Senilai Rp 14 Milyar (KOMPAS, 31 Juli 1997, halaman 10)
30 April 1998
- Di tengah situasi muram yang memayungi keberadaan film nasional, sebagian insan perfilman nasional masih percaya suatu saat masa kejayaan itu akan bangkit kembali. Masalahnya adalah bagaimana menindaklanjuti keyakinan itu secara konkret, sehingga keberadaan film nasional tidak lagi hanya sekadar muncul dalam perbincangan. Hal ini disuarakan Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), HM Johan Tjasmadi, ketika menutup lokakarya tentang perfilman nasional di Jakarta.
Sebagian Kalangan Percaya Film Nasional akan Bangkit (KOMPAS, 1 Mei 1998 halaman 10)
KOMPAS/LASTI KURNIA
Film Ada Apa dengan Cinta? selain beredar di bioskop juga beredar dalam bentuk VCD dan masih bisa dipinjam dari toko peminjaman VCD di berbagai tempat (3/12/2004). Film ini menghasilkan pemasukan sekitar Rp 5 miliar ke kantong pemerintah dalam bentuk pajak tontonan maupun Pajak Penghasilan.
Artikel Terkait
Pertumbuhan Film Indonesia Berkualitas (1998-2021)
14 Juni 1998
- Film Kuldesak yang disutradarai oleh Mira Lesmana, Nan Triveni Achnas, Riri Riza, dan Rizal Manthovani akan diputar di bioskop jaringan 21 mulai tanggal 24 Oktober. Film Indonesia yang sejak tahun 1990-an tak diputar di jaringan bioskop 21 (kecuali film Fatahillah), akan kembali bermain di jaringan bioskop yang tersebar di kota-kota besar itu. Film ini menggunakan modal bersama para sutradaranya, pemain dan kru bersedia tidak dibayar, peralatan pinjaman gratis, dan biaya produksinya sumbangan dari lembaga subsidi film Belanda dan RCTI.
“Kuldesak” akan Diputar Bioskop 21 (KOMPAS, 15 Juni 1998, halaman 16)
26 Oktober 1999
- Pengumuman Kabinet Persatuan Nasional pimpinan Presiden Abdurahman Wahid sekaligus merupakan pembubaran Departemen Penerangan (Deppen) secara resmi. Dengan pembubaran Deppen, maka semua peraturan tentang birokrasi dan pengekangan media menjadi terhapuskan. Sehingga kreativitas dalam pembuatan film pun lebih terbuka lebar.
Inilah Kabinet Persatuan Nasional (KOMPAS, 27 Oktober 1999, halaman 1)
14 Juni 2000
- Film Petualangan Sherina menjadi film musikal keluarga yang membuat industri film menggeliat kembali, berkat promosi dan publikasi yang gencar, masyarakat berbondong-bondong ke bioskop. Film itu menarik sekitar 1,6 juta penonton ke bioskop, jumlah yang fantastis, karena film anak-anak Disney paling laris saat itu mencapai 250 ribu penonton.
Sherina, Impian Keluarga Kontemporer (KOMPAS, 25 Juni 2000, halaman 1)
Persona: Mira Lesmana (KOMPAS, 14 April 2002, halaman 4)
1 April 2002
- Film Ada Apa Dengan Cinta? produksi PT Miles Production terpilih sebagai film terpuji tahun 2002 dengan memborong delapan penghargaan dari Forum Film Bandung (FFB). Selain itu, film ini sukses menjaring 2,7 juta penonton ketika diputar di bioskop-bioskop di seantero tanah air. Dewan juri FFB yang diketuai Jakob Soemardjo membuat catatan istimewa, yakni bahwa tahun 2002 menunjukkan tanda-tanda akan bangkitnya perfilman Indonesia.
Dari Forum Film Bandung: “Ada Apa dengan Cinta?” Film Terpuji Tahun Ini (KOMPAS, 3 April 2002 halaman 9)
Musik: Reproduksi Kenangan (KOMPAS, 9 September 2018, halaman 20)
11 Desember 2004
- Terpilihnya Arisan! sebagai film terbaik Festival Film Indonesia 2004 menandai kiprah generasi baru perfilman Indonesia. Kemenangan ini juga menjadi bukti terjadinya arah baru sinema yang bertutur dengan kejelasan, serta kerap mengangkat masalah dengan suasana muda yang hiruk-pikuk.
“Arisan!” Film Terbaik FFI 2004 (KOMPAS, 12 Desember 2004, halaman 1)
8 Februari 2005
- Pemerintah akan menggenjot pertumbuhan perfilman nasional. Keinginan ini berangkat dari keyakinan bahwa di masa depan perfilman nasional dapat menjadi suatu industri yang diandalkan. Demikian antara lain terungkap dalam jumpa pers berkaitan dengan pelaksanaan 100 hari program-program di bidang kebudayaan dan pariwisata.
Pemerintah Akan Genjot Pertumbuhan Perfilman Nasional *Humaniora (KOMPAS, 11 Februari 2005, halaman 9)
Oktober 2008
- Sepanjang masa liburan Lebaran hingga akhir Oktober tahun 2008, film Indonesia menguasai sebagian besar layar bioskop di Tanah Air. Sekilas, film nasional telah berhasil menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan industri perfilman Tanah Air telah memasuki masa jayanya lagi setelah sempat suram.
Mencari Kebangkitan yang Sesungguhnya (KOMPAS, 26 Oktober 2008, halaman 17)
5 Desember 2013
- Festival Film Indonesia 2013 yang digelar mulai 5-7 Desember 2013 di Kota Semarang menjadi momentum untuk membangkitkan perfilman Indonesia, termasuk di daerah-daerah. Menurut Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, FFI 2013 merupakan peluang bagi sineas muda di kebangkitan, sinema, semarang, jateng, indonesia, daerah untuk berprestasi.
Film: FFI Momentum Bangkitkan Perfilman (KOMPAS, 5 Desember 2013, halaman 12)
24 November 2014
- Festival Film Indonesia 2014 menjadi babak baru munculnya semangat perubahan wajah perfilman nasional. Dengan sistem penjurian lebih ketat dan profesional, diharapkan ajang festival film terbesar se-Indonesia itu kembali dilirik sebagai barometer perfilman nasional.
FFI 2014: Babak Baru Kebangkitan Film Nasional (KOMPAS, 25 November 2014, halaman 12)
19 Mei 2016
- Prenjak (In the Year of Monkey) memenangi penghargaan film pendek terbaik dalam ajang bergengsi Festival Film Cannes 2016. Penghargaan yang pertama bagi film Indonesia ini diberikan di Espace Miramar, Perancis. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, mengatakan kemenangan itu menjadi momentum kebangkitan film dan kreativitas bangsa Indonesia.
Film “Prenjak” Terbaik * Indonesia Terbukti Miliki Potensi Kreativitas yang Besar (KOMPAS, 21 Mei 2016, halaman 11)
Februari 2020
- Industri film nasional mencapai pertumbuhan tertinggi dalam sejarah film nasional. Tahun 2019 terdapat 53 juta tiket film nasional yang terjual. Kalau diasumsikan rata-rata harga tiket Rp 40.000, nilai penjualan tiket film nasional mencapai Rp 2,12 triliun. Indikator kecemerlangan industri film nasional juga terlihat dari pencapaian lain: untuk pertama kalinya terdapat 15 film nasional yang penjualan tiketnya lebih dari 1 juta. Peringkat pertama diduduki film cinta remaja, Dilan 1991, dengan penjualan 5.253.411 tiket.
Kebangkitan Film Indonesia (KOMPAS, 1 Februari 2020, halaman 6)
Referensi
- Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu.
- Iskandar, Eddy D. 1987. Mengenal Perfilman Nasional. Bandung: Rosda.
- Jauhari, Haris. 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Siagian, Gayus. 2010. Sejarah Film Indonesia: Masa Kelahiran-Pertumbuhan. Jakarta: Fakultas Film dan Televisi IKJ (FFTV IKJ).