Paparan Topik

Sejarah Periklanan Indonesia

Jejak periklanan Indonesia sudah ada sejak awal VOC datang ke Indonesia. Sebelum menjelma menjadi industri komersial, iklan di Indonesia merupakan alat propaganda.

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF

Hampir setiap kios maupun toko memasang iklan produksi maupun jasa. Kejadian ini boleh lihat di kawasan Jakarta kota, Glodok dan sekitarnya (6/6/1985).

Kronologi Periklanan Indonesia

1615
JP Coen menulis Memorie De Nouvelles yang merupakan iklan pertama di Indonesia.
1744
Surat kabar pertama di Hindia Belanda bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan.
1865
Surat kabar Bientang Timoor (Sumatera) melakukan iklan media pertama untuk menarik pelanggan.
1902
Munculnya iklan pemasok tenaga kerja di surat kabar Sumatra Post dan Deli Courant di Sumatera Timur.
1913
Produk obat Abdijsiroop memasang iklan berjenis testimoni di surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden.
1914
Abdijsiroop melakukan iklan kreatif menggunakan naskah provokatif dan persuasif dalam bentuk question headline.
1929
Terjadi depresi ekonomi dunia.
1930-1942
Biro-biro reklame di Indonesia bangkit dengan gaya baru. Mulai mengenal model brand positioning.
1942-1945
Penjajahan Jepang. Banyak iklan-iklan bersifat propaganda.
1945
Jepang kalah perang, kondisi periklanan kembali normal.
1963
Perekonomian Indonesia memburuk.
1967
Undang-undang (UU) Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) disahkan.
1968
UU Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan.
1972
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) berdiri.

Cikal Bakal Periklanan

Iklan dikenal sejak zaman Yunani kuno dengan bentuk sederhana seperti surat edaran. Pada masa itu iklan digunakan untuk mencari budak-budak yang kabur atau memberi tahu sebuah pertandingan gladiator.

Era periklanan modern dimulai pada abad ke-15 dan abad ke-16 setelah penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg sekitar tahun 1440-an. Berkat penemuan ini, iklan-iklan dapat disampaikan lewat lembar-lembar cetakan.

Sekitar abad ke-17 tepatnya tahun 1622, periklanan surat kabar mulai berkembang ditandai dengan munculnya surat kabar pertama di Inggris The Weekly News oleh Thomas bourne dan Thomas Archer. Perkembangan ini semakin pesat saat Richard Steele mendirikan surat kabar Tatler pada tahun 1709.

Pada tahun 1711 Richard Steele bersama rekannya Joseph Addison mendirikan surat kabar periklanan Spectator. Surat kabar ini didominasi oleh lembaran-lembaran iklan mulai dari iklan minuman hingga lowongan pekerjaan.

Perkembangan iklan sempat terhambat di Inggris akibat persoalan pajak. Pada tahun 1712 Pemerintah Inggris mengenakan pajak satu shiling setiap satu penyiaran iklan. Peraturan yang menghambat perkembangan surat kabar ini baru dihapus pada tahun 1853 yang berdampak terhadap meningkatnya oplah dan distribusi surat kabar.

Meski cukup berpengaruh terhadap industri pers, iklan diperlakukan secara hati-hati oleh pers Inggris. Hingga paruh kedua abad ke-19 penempatan kolom-kolom iklan pada halaman surat kabar dipisahkan secara tegas, serta besar dan jenisnya diatur.

Pada periode ini belum ada biro iklan sehingga pihak produsen mengelola sendiri segala kebutuhan iklan mereka termasuk menulis pesan iklan hingga mengatur kampanye medianya. Surat kabar pada masa ini belum mengizinkan penggunaan gambar dalam iklan.

Era kreatif periklanan di Eropa khususnya Inggris baru dimulai pada 1880-an ketika sejumlah produsen terutama perusahaan obat, berhasil meyakinkan surat kabar untuk menggunakan teknik-teknik penampilan iklan seperti yang sudah dilakukan dalam poster. Perubahan iklan pertama dilakukan oleh pabrik obat Borax, menggunakan gambar wanita dengan sebagian tubuh terbuka untuk mengomunikasikan obat penghilang rasa sakit.

The White House Historical Association

Benjamin Franklin

Periklanan Amerika Serikat

Kondisi periklanan di Amerika Serikat yang waktu itu masih menjadi jajahan Inggris jauh lebih maju daripada di Eropa. Pada tahun 1729 Benjamin Franklin yang dijuluki bapak periklanan Amerika Serikat, menerbitkan surat kabar periklanan bernama Pennsylvania Gazette. Surat kabar ini menjelma menjadi surat kabar terpenting dengan jumlah oplah dan pendapatan terbesar di seluruh Amerika.

Benjamin Franklin merupakan perintis periklanan modern di Amerika Serikat. Ia menjadi pelopor penggunaan gambar-gambar sebagai pendukung informasi dan daya tarik produk. Terlepas dari predikatnya sebagai tokoh pemimpin revolusi Amerika Serikat, Benjamin Franklin dikenal memiliki banyak pekerjaan dan keahlian seperti penulis naskah iklan (copywriter), manajer perusahaan periklanan, salesman, penerbit, sekaligus editor surat kabar.

Pesatnya industri periklanan di Amerika Serikat juga ditandai dengan kelahiran perusahaan jasa periklanan pertama yang didirikan oleh Volney Palmer pada tahun 1841 di Philadephia. Perusahaan ini dikelola secara profesional dan terlepas dari pengelolaan surat kabar atau majalah. Perusahaan ini berhasil membuka kantor cabang di Boston (1845), dan New York (1849).

Iklim periklanan yang kondusif di Amerika Serikat ini salah satunya didukung oleh program wajib belajar pada tahun 1813. Program ini meningkatkan minat baca yang mendorong tingginya konsumsi media informasi seperti surat kabar, majalah, maupun buku-buku ilmu pengetahuan. Selain itu percepatan pembangunan infrastruktur seperti jaringan transportasi kereta api, jalan raya, jaringan lalu lintas perairan, semakin mempercepat dan mempermudah distribusi media periklanan seperti surat kabar.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Papan Reklame di Jalan Sudirman sebelum di copot.Terpampang reklame Kosmitik. Memang di Jalan Sudirman lagi ada pembenahan papan periklanan. Supaya tidak semrawut merusak pemandangan maupun keindahan kota Jakarta (16/6/1982). 

Awal Periklanan Indonesia

Kedatangan para pedagang besar dan penguasa dari Belanda yang tergabung dalam Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 turut menandai awal masuknya iklan di Indonesia. Untuk mendukung penyebaran informasi, VOC dan juga para misionaris turut mendatangkan percetakan ke Hindia Belanda.

Bentuk iklan pertama di Hindia Belanda ditulis oleh Jan Pieterzoon Coen dengan tulisan tangan yang indah untuk melawan aktivitas perdagangan Portugis. Atas karyanya ini, Coen kemudian dianggap sebagai perintis penggunaan iklan di Hindia Belanda.

Tulisan Coen antara lain berisi surat-surat, salinan berita surat kabar di Eropa, dan peraturan-peraturan penting, yang dikirim ke pemerintah setempat di Ambon dalam Memorie De Nouvelles. Tulisan ini juga disebar ke berbagai pulau agar pegawai VOC yang terpencar dapat mengetahui peristiwa-peristiwa penting (1619-1629).

Meski VOC turut membawa percetakan sejak awal kedatangannya, surat kabar pertama baru muncul 120 tahun setelah percetakan berdiri di Batavia. Surat kabar pertama di Hindia Belanda bernama Bataviasche Nouvelles yang diterbitkan pada masa Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff pada tahun 1744.

Surat kabar Bataviasche Nouvelles hanya terdiri dari selembar kertas ukuran folio dan dapat disebut sebagai lembaran iklan karena sebagian besar beritanya adalah iklan perdagangan dan pelelangan. Surat kabar ini juga menerbitkan kembali surat-surat Coen pada 8 Agustus 1844, yang membuatnya menjadi penerbit iklan pertama di Hindia Belanda. Penerbitan surat kabar dengan iklan ini sekaligus menunjukkan bahwa pers dan iklan di Indonesia lahir dalam waktu yang sama.

Umur Bataviasche Nouvelles tak panjang karena dianggap membahayakan bisnis VOC. Isi surat kabar ini dianggap mengandung informasi perdagangan Hindia Belanda yang dapat mengundang pesaing Eropa. Pada 20 Juni 1746 Bataviasche Nouvelles berhenti terbit.

Sejak surat kabar pertama di Hindia Belanda ditutup, sejumlah surat kabar baru terbit silih berganti. Umumnya surat kabar yang ada pada masa ini merupakan surat kabar periklanan karena berisi seputar informasi perdagangan, iklan-iklan kepentingan pemerintah, jasa transportasi, dan jasa-jasa lainnya.

By Jacques Waben – Westfries Museum, Public Domain

Jan Pieterzoon Coen

Periklanan Masa Hindia Belanda

Para pengelola surat kabar pada masa Hindia Belanda sudah menyadari pentingnya pemasaran melalui iklan. Surat kabar Bientang Timoor (Sumatera) tercatat melakukan iklan media pertama pada edisi perdana 4 Januari 1865 untuk menunjang pemasaran. Surat kabar ini mengiklankan harga koran dan cara untuk berlangganan.

Tak hanya memasarkan produk, surat kabar berbahasa melayu Bintang Timor (Surabaya) justru mengumumkan diri untuk dijual di kantor lelang Surabaya. Pada edisi 20 Desember 1886 surat kabar ini mengumumkan Gebroeders Gimberg & Co, percetakan yang menaunginya, dinyatakan pailit.

Selain surat kabar, media iklan pada masa Hindia Belanda sudah mengenal brosur. Sejak Undang-undang Agraria dimulai pada 9 April 1870, pertumbuhan industri iklan sangat dipengaruhi modal swasta yang masuk ke sektor perkebunan dan pertambangan. Sebagai kebutuhan untuk mengembangkan modal mereka, muncul asosiasi yang bertugas sebagai lembaga penelitian sekaligus menerbitkan brosur-brosur untuk menyampaikan informasi perusahaan dan promosi.

Masuknya modal swasta ini juga turut mendorong kemunculan iklan pemasok tenaga kerja. Iklan jenis ini muncul di surat kabar Sumatra Post dan Deli Courant di Sumatera Timur (sekarang Riau) pada tahun 1902.

Periklanan di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 sudah mengenal iklan model testimoni, salah satu model strategi iklan modern dengan cara menggunakan pendapat, pernyataan, dan pujian dari satu atau beberapa orang terhadap suatu produk. Pada 17 Desember 1913 produk obat Abdijsiroop memasang iklan di surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden dengan menampilkan ilustrasi wajah Raden Toemenggoeng Ario Djojomiseno, bupati Banjarnegara, beserta naskah testimoninya.

Selain model testimoni Abdijsiroop juga melakukan iklan kreatif lain menggunakan naskah provokatif dan persuasif dalam bentuk question headline pada 19 Februari 1914 yang dimuat di surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden. Iklan ini memancing rasa ingin tahu dengan gaya bertanya disertai visualisasi dialog antara pria dan wanita.

Perkembangan iklan di Hindia Belanda awal abad ke-20 tak lepas dari biro reklame. Pada masa itu biro reklame dibagi dalam tiga kategori yakni besar, menengah, dan kecil. Biro reklame besar umumnya dimiliki oleh orang-orang Belanda, sementara biro reklame menengah dan kecil dimiliki oleh orang-orang Tionghoa dan bumiputera.

Peran biro reklame pada masa ini baru pada tahap perantara iklan dari produsen ke surat kabar. Sebagian biro reklame ada yang mengiklankan jasa pelayanannya lengkap dengan daftar harga untuk pemasangan iklan di masing-masing surat kabar.

Sejumlah biro reklame yang cukup mendominasi di Hindia Belanda adalah NV Reclamebedrijt, Albrecht & Co. yang berkantor pusat di  Weltevreden (sekarang daerah Medan Merdeka), dan Algemeen Bureau Excelsior yang berkantor pusat di Bandung. Maraknya biro reklame ini semakin mendorong kemajuan surat kabar di Hindia Belanda sekaligus mencerminkan adaptasi metode pemasaran seperti yang berlangsung di Eropa.

Pengaruh besar Eropa terhadap periklanan di Indonesia turut mempengaruhi laju industri periklanan ketika terjadi depresi ekonomi dunia pada tahun 1929. Sejumlah industri dari negeri Belanda turut menyesuaikan diri termasuk penyesuaian dalam beriklan.

Pada periode 1930-1942 perekonomian Belanda mulai pulih dari depresi ekonomi. Biro-biro reklame kembali bangkit dengan gaya baru. Pada masa itu belum dikenal istilah brand positioning, tetapi biro-biro reklame pada periode ini telah melakukannya.

Perancangan merek yang dilakukan oleh biro reklame dapat dilihat pada iklan Philps yang diposisikan untuk produk-produk sangat ekonomis. Selain itu ada iklan Listerine yang diposisikan sebagai pasta gigi paling cepat menuntaskan masalah gigi. Pada 1930-an sejumlah iklan jenis baru mulai dikenal seperti iklan pencari kerja, pernikahan, kematian, dan perjalanan.

Masih terbatasnya pemilihan kata yang digunakan dalam iklan, dapat diketahui minat baca masyarakat dan tingkat pendidikan di Indonesia pada waktu itu masih rendah. Tiga aspek penting yang berkembang di periode masih relevan sampai sekarang adalah kata-kata sederhana dan langsung. Kata-kata harus berkaitan dengan produk, dan iklan harus cepat diidentifikasikan target sasarannya.

KOMPAS/JB SURATNO

Kongres PPPI Dibuka Hari Ini: Kongres ke II Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia ( PPPI ) di Hotel Kebayoran Inn – Jakarta,dan berlangsung selama 2 hari sampai dengan Jumat 20 Desember 1974. Pidato-pidato sambutan dan prasaran akan diberikan oleh pihak Departemen Penerangan (19/12/1974).

Iklan-iklan Propaganda

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) laju industri periklanan di Indonesia terhenti. Segala kegiatan terkait aktivitas ekonomi dialihkan untuk kepentingan perang seperti pembangunan jalan raya, kereta api, dan kerja paksa.

Kampanye-kampanye periklanan yang semula bertujuan komersial berubah menjadi propaganda politik. Militer Jepang mengontrol ketat pers dan menerbitkan Jawa Shimbun Kai, serikat surat kabar di bawah pemerintahan militer. Selain itu Jepang juga membuka cabang kantor berita Domei yang merupakan penggabungan dua kantor berita Indonesia yakni Aneta dan Antara.

Sejumlah surat kabar yang diizinkan terbit antara lain Asia Raya di Jakarta, Tjahaja di Bandung, Sinar Baroe di Semarang, Sinar Matahari di Yogyakarta, dan Soeara Asia di Surabaya. Seluruh isi berita dan iklan harus melalui sortiran Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang). Badan ini sekaligus menyiapkan dan menyusun gambar-gambar yang akan diterbitkan.

Dalam upaya meraih dukungan rakyat Indonesia Jepang mengampanyekan semboyan Tiga A (Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia). Gerakan ini sempat mendapat dukungan Asosiasi Dagang Tionghoa dengan membuat poster dan selebaran.  Mereka juga membersihkan poster-poster anti jepang dari pihak Sekutu. Pada awal kedatangannya Jepang benar-benar dianggap pelindung Asia.

Selain iklan-iklan propaganda, pada masa Jepang banyak iklan mencari tenaga kerja. Pada masa ini juga muncul biro-biro reklame baru milik orang Arab. Namun, jenis iklan yang beredar di masa Jepang terbatas pada produk berskala kecil seperti obat kuat, anggur, bibit tanaman, bedak kecantikan dan kesehatan, serta alat tulis.

Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan dan mobil hancur di masa Jepang. Iklan-iklan yang masih bertahan umumnya dari perusahaan batik, rokok kretek, percetakan, dan bidang profesi. Iklan-iklan lain yang cukup menonjol adalah iklan film bioskop yang menayangkan fikm-film Jepang sebagai wahana untuk melakukan invasi kebudayaan.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Tingginya pengguna telepon seluler di Indonesia tahun 2005 yang mencapai 30 juta pelanggan, mendorong para produsen bersaing memperluas bisnisnya. Persaingan kian ketat seiring akan diopersikannya frekuensi baru selebar 15 MHz untuk seluler generasi ketiga (3G) oleh pemerintah. Ragam reklame yang mempromosikan produk telepon berbasis 3G sudah terlihat antara lain di ITC Roxy Mas Jakarta (12/1/2006)

Periklanan Indonesia Modern

Selepas kekalahan Jepang dari Sekutu pada 1945 situasi ekonomi dan periklanan kembali seperti masa sebelum Jepang datang. Iklan yang menonjol adalah iklan penghimpunan dana yang yang bertujuan antara lain untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan, serta pembangunan dan perbaikan sekolah. Iklan-iklan ini tercatat sebagai iklan layanan masyarakat pertama di Indonesia. Hingga tahun 1958 perkembangan surat kabar relatif terbelakang karena sebagian besar perusahaan percetakan yang bagus masih didominasi milik Belanda.

Pada awal-awal kemerdekaan semakin disadari pentingnya iklan bagi eksistensi sebuah surat kabar sehingga divisi periklanan mulai berkembang dan memiliki nilai tawar. Kondisi periklanan di era modern termasuk Indonesia tidak lepas dari pengaruh perekonomian dan politik. Pada tahun 1963 perekonomian Indonesia sempat terpuruk akibat perseteruan dengan negra-negara industri utama yang berujung menurunnya impor. Berkurangnya modal besar dari produk asing ini berdampak negatif terhadap industri periklanan nasional.

Sejak memasuki era Orde Baru pada 1966 kestabilan ekonomi dan politik mulai terbentuk. Undang-undang (UU) Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) disahkan pada tahun 1967, disusul UU Penanaman Modal Asing (PMA) setahun kemudian.

Kebijakan-kebijakan penanaman modal pada awal Orde Baru menarik banyak investasi asing. Berbagai perusahaan multinasional mulai masuk ke dalam negeri. Situasi ini berdampak positif terhadap perekonomian nasional yang turut mengangkat industri periklanan di Indonesia.

Era keterbukaan pada awal Orde Baru juga memiliki sisi negatif. Pada era ini muncul iklan-iklan porno, obat-obatan dan barang sesat, dan malapraktik. Persatuan Wartawan Indonesia, Serikat Penerbit Surat Kabar, dan Persatuan Biro Reklame Indonesia pun membuat kesepakatan untuk menjaga koran-koran dan majalah untuk tidak memuat iklan-iklan jenis ini.

Proses untuk menertibkan dan memajukan industri periklanan Indonesia membutuhkan waktu. Industri periklanan baru benar-benar tertata setelah terbentuknya Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) pada tahun 1972.

Asosiasi ini berawal dari seminar periklanan pada 27-29 Maret 1972 yang diikuti oleh masyarakat periklanan (media, pengiklan, biro reklame). Seminar ini memiliki tiga tujuan pokok yakni agar eksistensi periklanan memperoleh pengakuan baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk mengefektifkan peraturan pemerintah tentang larangan penggunaan modal dan tenaga asing di bidang periklanan, dan menggairahkan kembali periklanan khususnya periklanan pers.

Setelah PPPI terbentuk pada Desember 1972, industri periklanan lebih terorganisir dan dapat menempatkan diri dalam perekonomian nasional. Sejumlah pertemuan yang melibatkan insan periklanan diadakan. Sejumlah isu-isu mendasar perlahan menemukan solusi termasuk pembuatan Kode Etik Periklanan yang dapat disesuaikan mengikuti perkembangan zaman. (Litbang Kompas)

Referensi

Buku
  • Setiyono, Budi (ed.). 2006. Reka reklame: sejarah periklanan Indonesia 1744-1984. Yogyakarta: Galang Press.
  • Riyanto, Bedjo. 2000. Iklan surat kabar dan perubahan masyarakat di Jawa masa kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Terawang.
  • Saptono, Bambang (ed.), Razif (ed.). 1993. Sejarah periklanan Indonesia 1744-1984. Jakarta: Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.