Foto | Lebaran

Perjuangan Mudik pada Masa Lalu

Pada masa lalu, bagi warga kebanyakan, mudik dengan angkutan umum adalah perjuangan. Jauh dari kata nyaman, yang penting terangkut sampai kampung halaman.

KOMPAS/Dudy Sudibyo

Stasiun Gambir dipadati penumpang yang ingin mudik sebelum puasa dan menanti dengan tenang tibanya hari raya Idul Fitri di kampung (2/7/1980). Mereka antre sejak jam 05.00, sedang loket tiket dibuka jam 10.00. Dan bila tak kebagian tiket mereka teruskan antre untuk jam 16.00. Para calo pun menggunakan kesempatan dalam kesempitan ini dengan menawarkan tiket dengan harga dua kali lipat. Tiket Jakarta-Yogyakarta yang kala itu harga resminya Rp 2.400 dijual dengan harga Rp 5.000.

Saat ini, mudik menggunakan angkutan umum seperti bus, kereta api, dan kapal laut, relatif lebih nyaman. Calon pemudik tidak perlu lagi menghabiskan waktu mengantre di depan loket karena hampir semua tiket angkutan kini dapat dengan mudah dibeli dengan cara online atau daring.

Banyak perusahaan bus pun bersaing memberi pelayanan terbaik dan kapasitas penumpang yang terbatas. Demikian juga dengan kereta api. Semua kelas penumpang termasuk kelas ekonomi kini sudah dilengkapi pendingin ruangan dan tidak ada lagi penumpang yang tidak mendapat tempat duduk.

Kalau kita membuka foto-foto lama Kompas yang menggambarkan suasana mudik pada kurun waktu 1980–2000 terlihat sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut tergambar dari pemudik ibu kota yang mulai meningkat jumlahnya tidak dibarengi dengan sarana angkutan umum yang memadai, baik dari segi jumlah maupun pelayanan. Untuk mendapatkan tiket, calon pemudik harus antre berjam-jam di depan loket. Itu pun tidak ada jaminan bisa mendapatkan karena sebagaian tiket sudah diborong para calo.

Waktu keberangkatan juga menjadi perjuangan tersendiri, khususnya bagi penumpang kelas ekonomi. Banyak di antara pemudik yang sudah menunggu  berjam-jam di terminal dan ketika bus tiba, harus berdesakan di pintu bus untuk berebut tempat duduk. Bagi yang tidak dapat mereka harus rela duduk di bangku tempel, yaitu duduk di papan kayu yang diletakkan di antara bangku penumpang lain. Itu pun masih lumayan, karena banyak penumpang lain yang  berdiri sepanjang perjalanan.

Pemandangan yang hampir sama juga terjadi di stasiun kereta api. Ribuan pemudik berebut masuk di pintu-pintu gerbong untuk mendapatkan tempat. Tidak sedikit dari mereka yang masuk melalui jendela. Di kereta kelas ekonomi tempat duduk tidak diatur. Siapa cepat dia dapat. Penumpang yang tidak dapat tempat memenuhi lorong-lorong gerbong bahkan di WC dan sambungan kereta. Gerbong barang yang minim ventilasi dan pengab pun menjadi pilihan bagi sebagian pemudik

Demikian juga susana di pelabuhan tempat keberangkatan kapal Pelni, Jumlah pemudik yang melebihi kapasitas  berdesakan naik ke atas kapal. Di dalam kapal penumpang yang tidak mendapat tempat di kelas 1, 2, 3, 4, dan kelas ekonomi terpaksa duduk di gang-gang kapal. Dalam menghadapi hari raya, PT Pelni melakukan dispensasi dengan menambah sebanyak 30 persen dari kapasitas kelas ekonomi.

Meskpun demikian, hampir tidak ada kata kapok dari para pemudik. Kerinduan akan keluarga dan kampung halaman di hari fitri mengalahkan derita yang dialami selama perjalanan mudik.

KOMPAS/Hasanuddin Assegaff

Calon pemudik antre di depan loket-loket bus antarkota antarprovinsi (AKAP) di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur (13/6/1985).

KOMPAS/DJ Pamoedji 

Para calon penumpang klas I dan II KM Kerinci yang nampak antre tertib dijaga oleh petugas Laksusda Jaya (21/6/1984), menyerbu pintu masuk dan berdesak-desakan tepat di depan loket setelah ada isu dari dalam menyatakan “tiket habis”.

KOMPAS/Julian Sihombing

Gelombang pemudik Lebaran mencapai memuncak pada hari Kamis (4/5/1989) di Stasiun Gambir. Rangkaian gerbong senantiasa dipenuhi manusia. Bahkan pintu masuk pun penuh sesak. Seorang wanita yang berkeras untuk mudik, memaksakan tubuhnya memasuki celah sempit jendela. Beberapa tangan turut membantunya, dan ia berhasil masuk gerbong.

KOMPAS/Eddy Hasby

Di Stasiun Senen Jakarta Pusat, calon penumpang yang menunggu kereta api bisa beristirahat dengan santai di ruang tunggu yang disediakan pihak PJKA  (14/2/1996).

KOMPAS/Julian Sihombing

Hasrat besar bertemu sanak famili di kampung halaman hari raya Idul Fitri membuat pemudik menerima apa saja yang disediakan pemerintah. Penumpang kereta api dari Satsiun Senen, yang meninggalkan Jakarta Jumat (16/2/1996) menuju Surabaya ini, bersedia berjejal-jejal di gerbong yang gelap, panas dan pengab tanpa ventilasi udara yang memadai.

KOMPAS/Kartono Ryadi

Terminal bis Pulo Gadung hari Kamis (28/6/1984) dipadati warga Jakarta yang ingin mudik. Walau demikian pengaturan yang baik disertai pengalaman tahun-tahun lalu dapat mengendalikan luapan tersebut. Untuk memenuhi permintaan penumpang yang bertambah, hari itu dikerahkan 50 lagi bus PPD sebagai bus bantuan.

KOMPAS/Hasanuddin Assegaff

Ribuan pemudik menyerbu bus yang baru tiba di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur (12/05/1988).

KOMPAS/Johnny TG 

Bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dengan muatan penuh pemudik memadati jalan tol Cikampek (22/12/2000).

KOMPAS/Johnny TG 

Arus penumpang yang menggunakan kapal laut mulai meningkat seperti terlihat saat KM Ciremai jurusan Tanjung Priok- Jayapura sandar di Pelabuhan I Tanjung Priok, Jakarta Utara (4/12/2000). Menghadapi hari raya, untuk menambah kapasitas muatan, PT Pelni melakukan dispensasi jumlah penumpang sebanyak 30 persen dari kapasitas kelas ekonomi.

KOMPAS/Arbain Rambey

Pemudik di Pelabuhan Tanjungpriok menaiki KM Kelud dengan tujuan Belawan, Medan (17/1/1999).

Foto lainnya dapat diakses melalui https://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.