Paparan Topik | Hari Anak Nasional

Menjaga Kesehatan Mental Anak pada Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 telah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun, hingga mempengaruhi kesehatan mental masyarakat. Kondisi ini juga berpengaruh pada anak-anak di usia sekolah terutama pada anak usia prasekolah hingga sekolah menengah.

KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Peserta peringatan Hari Anak Nasional di Lapangan Sangkareang, mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (23/7/2016), mengangkat payung merah putih seiring dicanakangkan Gerakan Bersama Lindungi Anak oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Payung merah putih menjadi tanda kebutuhan perlindungan atas hak-hak anak.

Fakta Singkat

Hari Anak Nasional:

  • Diperingati 23 Juli
  • Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan belajar daring masih berlangsung sejak Maret 2020 – Juli 2021
  • Selama pandemi Covid-19, 646.000 sekolah di Indonesia tutup
  • Terdapat 60 juta siswa belajar dari rumah

Regulasi terkait:
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Menurut data dari Save The Children, selama pandemi anak-anak kehilangan kesempatan bermain di sekolah bersama teman-temannya. Sekitar 646.000 sekolah tutup dan ada 60 juta siswa yang belajar di rumah sehingga ada perubahan pola perilaku  karena mereka dipaksa untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat.

Sejak awal pandemi Maret 2020, anak-anak mulai belajar daring atau pun Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hal itu membuat anak-anak terputus lingkungan sosialnya. Mereka tidak lagi mendapatkan kesempatan  bermain dengan teman sebaya.

Ternyata hal itu berlangsung cukup lama hingga kini, hampir empat semester anak-anak melewati waktu belajar sendiri di rumah tanpa pendampingan pengajar atau guru seperti di sekolah. Awal tahun ajaran baru Juli 2021 tanpa diduga pandemi justru semakin mengganas akibat munculnya varian delta, maka pupuslah harapan untuk kembali berkumpul di sekolah.

Situasi demikian berpengaruh pada emosi dan kejiwaan anak-anak karena mereka menghadapi situasi yang terus berubah dengan cepat. Ketidakpastian akan hari esok, kecemasan akan kesehatan diri dan keluarga, karantina di rumah dan pembelajaran jarak jauh dapat mengakibatkan terganggunya kesejahteraan emosional anak.

Menurut hasil penelitian di Amerika  yang dilakukan pada 19 Maret – 22 April 2021 menemukan bahwa ada enam hal yang dapat berpengaruh pada kesehatan anak pada masa pandemi; yaitu isolasi sosial, pembelajaran jarak jauh, terlalu lama menatap gawai, ketakutan akan ketularan virus, kurang aktifitas fisik, dan paparan berita yang mengkhawatirkan.

Lebih jauh lagi, pola hidup yang tiba-tiba berubah dapat mengakibatkan anak-anak kesulitan tidur,  idealnya anak-anak tidur antara 9–12 jam. Dari hasil penelitian Departemen Ilmu Komputer Universitas Warwick, Inggris, dan Universitas Fudan, China, terhadap 11.000 anak usia 9–11 tahun, ditemukan  sebanyak 53 persen dari anak yang tidur kurang dari 7 jam mengalami masalah perilaku.

Selain itu, suasana jauh dari teman dan guru membuat anak cenderung menjadi pasif dan jenuh bahkan sebagian anak kehilangan motivasi belajar. Oleh karena itu, anak-anak membutuhkan dorongan semangat baik dari guru maupun temannya meskipun hanya lewat online, hingga PJJ tetap menyenangkan jika anak-anak memiliki teman pendamping belajar.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Murid kelas I di SD Negeri 060843 Medan Barat, Medan, Sumatera Utara, membaca mandiri buku berjenjang dari USAID Prioritas, Rabu (30/3/2016). Kemampuan memahami isi bacaan murid pada tingkat pendidikan dasar di Indonesia dinilai masih rendah salah satunya karena minimnya buku berjenjang yang sesuai dengan usia dan kemampuan anak.

Kesehatan mental

Menurut laman Mentalhealth.gov, kesehatan mental mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial kita. Itu mempengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Ini juga membantu menentukan bagaimana kita menangani stres, berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan. Kesehatan mental penting pada setiap tahap kehidupan, dari masa kanak-kanak dan remaja hingga dewasa.

Kondisi pandemi membuat anak teralienasi dengan lingkungan pendukungnya, hingga dapat menimbulkan ketidakstabilan emosi dan kejiwaan. Kesehatan mental menyangkut emosi, psikologi, kehidupan sosial yang berdampak pada kemampuan mengatasi stress, hubungan dengan orang lain dan kemampuan membuat keputusan. Kesehatan mental ini sangat penting bagi setiap pribadi di semua tahapan perkembangan usia baik anak anak, remaja maupun dewasa.

Gangguan kesehatan mental dapat mengakibatkan seseorang mengalami stres, gangguan kecemasan ataupun depresi. Pada anak anak gangguan kesehatan jiwa   akan tampak pada perilaku mereka yaitu:

  • Sangat ketakutan
  • Sangat agresif
  • Sulit bergabung dengan yang lainnya
  • Tidak mengerti perbedaan khayalan dan kenyataan
  • Tidak mengungkapkan banyak emosi
  • Kesulitan tidur, makan dan toilet

Gangguan kesehatan mental pada anak, antara lain:

  • Kesulitan tidur dan makan
  • Mimpi buruk
  • Menarik diri atau agresif
  • Keluhan fisik tanpa sebab yang jelas
  • Ketakutan ditinggal sendiri
  • Selalu ingin berada di dekat orang tua atau sangat tergantung
  • Timbul ketakutan baru (takut kegelapan)
  • Kehilangan minat (bermain, hobi)
  • Sedih, menangis lebih dari biasa tanpa alasan

Untuk dapat menjaga kesehatan mental ketrampilan yang harus dibangun pada anak-anak, yaitu emosi diri, berempati dengan orang lain, membuat keputusan, mengatasi tantangan, mengembangkan hubungan dan bertanggung jawab atas kesalahan. Hal itu akan memengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka sepanjang hidup.

Sistem pendukung

Dalam hal perlindungan anak, Indonesia telah menandatangani Convention of The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) pada 20 November 1989. Dalam konvensi tersebut diatur agar dapat dapat tumbuh sehat bersekolah, dilindungi, didengar pendapatnya dan diperlakukan dengan adil. Hal itu sejalan dengan Pasal 28B UUD 45, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Untuk mewujudkan hal tersebut  pemerintah berkomitmen menjadikan Indonesia Layak Anak (IDOLA), hingga tahun 2014 telah ada 239 kabupaten/kota yang bersedia mewujudkan komitmen tersebut. Gerakan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 21 ayat 5 yang berbunyi  “Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak di daerah melalui komitmen daerah membangun Kabupaten/Kota Layak Anak.

Dalam kondisi pandemi yang tidak dapat diprediksi ini kesehatan jiwa anak-anak bisa saja terganggu hingga akan menurunkan konsentrasi belajar dan semangat menghadapi hidup sehari-hari. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pendukung baik dari lingkungan terkecil seperti orangtua dan keluarga serta fasilitas dari sekolah maupun otoritas yang lebih tinggi.

Indonesia telah memiliki beberapa regulasi untuk melindungi anak-anak seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, tentang Perlindungan dan pemenuhan hak asasi anak menjadi tanggungjawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Selain itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa dibutuhkan upaya perlindungan dan jaminan pemenuhan hak-haknya tanpa perlakukan diskriminasi.

Undang-undang yang sebetulnya sudah cukup menjadi menjadi landasan regulasi perlindungan anak pada masa pandemi ini agar mereka dapat tumbuh optimal baik fisik maupun mental. Persoalannya adalah ketika pada masa pandemi ini situasi berubah dan serba tidak pasti seharusnya ada tindakan yang nyata serta gerakan massa untuk melindungi kesehatan jiwa dan mental anak.

Sejak tahun 2016 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah menginisiasi terbentuknya Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang berkembang di 1.921 desa/kelurahan di 342 kabupaten/kota dan 34 provinsi.

Dalam kondisi pandemi, PATBM terus bergerak untuk memastikan anak-anak bebas dari Covid-19, sekaligus aman dan terlindungi dari segala bentuk tindak kekerasan yang diakibatkan kondisi yang serba berubah. Dalam hal ini, keluarga berfungsi sebagai garda terdepan mencegah dan menghadapi situasi jika anak terpapar Covid-19.

Keberadaan PATBM ini merupakan potensi sangat besar karena dibentuk dari anggota masyarakat di lingkungan masing-masing hingga memiliki kedekatan emosional dengan warganya. Hanya saja aktifitasnya masih seputar keamanan dari kekerasan dan wabah penyakit saja, belum pada upaya riil mengawal kondisi mental dan kejiwaan anak-anak akibat situasi pandemi yang berkepanjangan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pelajar mengikuti kegiatan Lomba Bercerita tingkat SD/MI se-Kota Yogyakarta di Perpustakaan Pevita, Mantrijeron, Yogyakarta, Kamis (21/3/2019). Kegiatan itu digelar antara lain untuk meningkatkan budaya literasi di kalangan anak-anak sekaligus mendorong mereka mampu berekspresi melalui seni bertutur.

Latihan fisik pada masa pandemi

Salah satu upaya untuk melindungi dan menghibur anak-anak yang harus berdiam di dalam rumah dapat dilakukan dengan berolahraga, sebuah kegiatan yang menyehatkan dan menyenangkan. Dalam sebuah kanal Youtube yang berkedudukan di Inggris seorang pelatih kebugaran dan penulis buku Joe Wicks membuat pelatihan fisik bagi anak anak di kanal Youtube-nya The Body Coach TV yang diikuti oleh 2,77 juta pengikut.

Joe Wicks memberikan tema latihan untuk anak-anak 5 Minute Move Kids Workout. Ia menggunggah gerakan olah raga yang ringan dan menyenangkan untuk anak-anak dengan durasi lima menit. Uniknya, Joe Wick memadukan gerakan olah raga dengan beragam tema yang sangat dekat dengan anak-anak  seperti Batman, Spiderman dan Katak, terkadang ia menyertakan anak-anak dalam olahraga tersebut.

Hal ini memenuhi kaidah di mana anggota masyarakat terutama orangtua ikut bertanggungjawab pada kebahagiaan dan keamanan anak-anak, sebagai bentuk empati pada anak-anak. Hal ini mungkin perlu ditiru di Indonesia, selain dapat menghibur anak-anak, hal ini sekaligus menjaga semangat dan kesehatan mereka. (LITBANG KOMPAS)

Artikel Terkait

Referensi

Arsip Kompas
  • Kenali Gangguan Kecemasan Pada Anak, Kompas, Rabu 30 Juni 2021, halaman 9
  • Pandemi Paksa Anak Beradaptasi Cepat, Kompas, Rabu 16 Desember 2020, E-paper halaman E
  • Durasi Tidur Pengaruhi Kesehatan Mental Anak, Kompas, 7 Febuari 2020, halaman 9
  • Anak Butuh Pendidikan yang Kedepankan Empati, Kompas, Sabtu 17 Juli 2021, halaman 8
Dokumen

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang