KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Anak menggunakan pelindung wajah mengikuti kegiatan perayaan Hari Anak Nasional 2020 bertema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” yang diselenggarakan oleh Kepolisian Resor Kota Sidoarjo di Balai Desa Pepelegi, Kecamatan Waru, Sidoarjo, Rabu (22/7/2020). Kegiatan yang diselenggarakan dengan protokol kesehatan yang ketat ini diisi dengan bernyanyi bersama dan sosialisasi tentang Covid-19, serta cara pencegahannya.
Fakta Singkat
Definisi Anak:
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Populasi Anak di Indonesia:
79,55 juta (BPS, 2018)
Kementerian
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Lembaga
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Regulasi:
- UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak
- UU 35/2014 tentang Perubahan UU 23/2002
- Perppu 1/2016 tentang Perubahan kedua UU23/2002
- UU 17/2016 tentang Penetapan Perppu 1/2016 sebagai Undang-Undang
Pemenuhan hak anak di Indonesia dapat mulai dilihat sejak munculnya aturan yang mengakui dan melindungi hak anak. Pada 1990, Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi hak anak (KHA) melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Dengan aturan itu, pemerintah mengakui hak anak yang terdapat dalam konvensi tersebut.
Untuk melindungi hak-hak anak yang telah diakui, Pemerintah Indonesia menetapkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah mengalami dua kali perubahan hingga tahun 2016.
Pemenuhan hak anak di Indonesia dapat dilihat dari berapa isu, yakni hak sipil, perkawinan usia anak, kesehatan dan kesejahteraan anak, pendidikan anak, serta kekerasan terhadap anak.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang anak dan haknya, akan dipaparkan hak-hak anak yang diakui di Indonesia dan populasi anak Indonesia.
Hak anak menurut UU
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak (UU 23/2002 dan UU 35/2014), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Terdapat sekurangnya 13 hak yang ditegaskan oleh UU Perlindungan Anak, yakni:
- Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
- Hak beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua/wali.
- Hak mengetahui orang tua
- Hak pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
- Hak pendidikan dan pengajaran
- Hak menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya
- Hak beristirahat, memanfaatkan waktu luang, dan bergaul
- Hak memperoleh rehabilitasi dan bantuan sosial (bagi anak penyandang disabilitas)
- Hak perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah.
- Hak diasuh oleh orang tuanya sendiri
- Hak dilindungi dari penyalahgunaan kegiatan politik, perang, kerusuhan, kekerasan, peperangan, dan kejahatan seksual.
- Hak perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau hukuman yang tidak manusiawi.
- Hak bantuan hukum
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anak-anak bermain bola plastik di sebuah lapangan di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Senin (20/7/2020). Pandemi Covid-19 menyebabkan tak semua anak-anak bisa bermain seleluasa mereka. Anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan akibat krisis kesehatan global Covid-19. Pandemi Covid-19 telah menciptakan dunia yang aneh bagi anak-anak. Mereka tak lagi bebas pergi ke sekolah, belajar dengan tatap muka bersama guru, atau bermain. Mereka terkungkung di rumah.
Artikel Terkait
Populasi anak
Berdasarkan profil anak Indonesia 2019—yang mengambil data dari tahun 2018—anak Indonesia dapat digambarkan dari sisi populasi, sebaran, perbandingan jenis kelamin, dan komposisi kelompok umur anak terbesar.
Sepertiga penduduk Indonesia terdiri dari anak-anak berusia 0–17 tahun. Tahun 2018 angkanya mencapai 30,1 persen atau 79,55 juta dari total penduduk 264,16 juta jiwa (BPS, 2018). Populasi anak di Indonesia tersebut terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Dari hampir 80 juta tersebut, lebih dari separuh anak Indonesia terkonsentrasi di lima provinsi, yaitu Jawa Barat (18,6 persen), Jawa Timur (12,8 persen), Jawa Tengah (12 persen), Sumatera Utara (6,2 persen), dan Banten (4,4 persen). Sedangkan 46 persen lainnya tersebar di 29 provinsi lainnya di Indonesia.
Secara umum, jumlah anak-anak di 26 provinsi dari 34 provinsi di Tanah Air melebihi rata-rata jumlah anak di Indonesia (30 persen). Daerah dengan jumlah anak terbanyak berada di Provinsi Riau (35,5 persen), Nusa Tenggara Timur (35,3 persen), dan Sulawesi Tenggara (35,1 persen).
Adapun daerah yang memiliki persentase anak terkecil adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penduduk Yogyakarta yang berusia 0–17 tahun tak sampai seperempat dari total seluruh penduduk. Penyebabnya, tingkat fertilitas yang rendah. Angka kelahiran total (TFR) di Yogyakarta—hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017—sebesar 2,2. Sedangkan angka kelahiran tertinggi disandang oleh Nusa Tenggara Timur dengan TFR mencapai 3,4.
Gambaran penduduk usia 0–17 juga dapat dilihat dari perbandingan jenis kelamin. Rasio jenis kelamin (RJK) penduduk usia 0–17 tahun memiliki pola yang mirip dengan RJK seluruh populasi di Indonesia, yakni lebih banyak anak laki-laki dibanding anak perempuan. Dari 100 anak perempuan terdapat sekitar 103 anak laki-laki, dengan RJK sebesar 103,26.
Dari sisi komposisi, kelompok anak terbanyak berada pada rentang usia 7 hingga 12 tahun, yang merupakan usia bersekolah di jenjang pendidikan dasar (SD). Kelompok usia SD ini mencapai 33,4 persen atau sebesar 26,6 juta anak. Disusul kelompok usia di bawah 5 tahun atau balita dengan jumlah sebesar 21,9 juta orang atau sekitar 27,6 persen dari total penduduk 0–17 tahun.
Gambaran anak Indonesia di atas adalah sasaran implementasi perlindungan hak anak yang telah diupayakan oleh pemerintah sejak munculnya UU Perlindungan Anak pada 2002.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Ibu Rika mendampingi putrinya Ninda, siswa kelas 2 SD, menyelesaikan tugas pendidikan agama Islam dalam pembelajaran jarak jauh dari rumahnya yang berada di lingkungan SD Negeri Cipulir 05, Jakarta Selatan, Kamis (23/7/2020). Berdasarkan laporan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak (UNICEF) pada Mei 2020 menyebutkan bahwa mutu kehidupan anak-anak Indonesia yang berjumlah 80 juta orang menunjukkan banyak kemajuan. Di bidang pendidikan, angka tamat sekolah meningkat pada periode 1990-2017 dan lebih dari 95 persen anak menamatkan pendidikan dasar. Namun, pandemi Covid-19 yang terus berlangsung mengancam kemajuan pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak.
Artikel Terkait
Hak sipil
Hak sipil anak, antara lain berupa hak dasar untuk memperoleh dokumen akta kelahiran. Jika anak tidak memiliki bukti identitas, keberadaannya tidak diakui oleh negara. Bahkan, anak tidak dapat mengakses fasilitas pendidikan, perawatan kesehatan, bantuan sosial, dan layanan vital lainnya. Dengan mengantongi akta kelahiran, seorang anak mendapat pengakuan dari negara secara hukum.
Kepemilikan akta kelahiran itu dijamin dalam undang-undang. Bahkan, Pasal 28 D Ayat (4) UUD 1945 jelas menyatakan, “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Begitu juga Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan, “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Identitas anak diberikan semenjak kelahirannya.
Kendati pemerintah terus mengupayakan beragam cara untuk meningkatkan akta kelahiran, kenyataannya anak yang tidak memiliki akta kelahiran di Indonesia masih cukup besar. Setidaknya masih ada sekitar tujuh juta anak di Tanah Air yang belum memiliki akta kelahiran. Mereka tidak tercatat dalam administrasi kependudukan resmi negara.
Berdasarkan pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, kepemilikan akta kelahiran secara nasional hingga 2019 melebihi 85 persen, yakni 90,94 persen. Dari jumlah total 81.632.355 anak di Indonesia tahun 2019, baru 74.235.738 anak yang memiliki akta kelahiran. Sisanya, 7.396.617 anak masih belum mempunyai akta.
Angka kepemilikan akta kelahiran tersebut sebenarnya telah mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2011, kala itu hanya 64 persen anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran.
Adapun data terbaru dari Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri memperlihatkan, angka kepemilikan akta kelahiran anak di Indonesia per 30 Maret 2020 adalah 91,49 persen. Artinya masih terdapat 8,5 persen penduduk yang belum memiliki akta kelahiran.
Provinsi dengan anak-anak yang belum mengantongi akta kelahiran tertinggi adalah Papua, Papua Barat, dan Maluku. Pada RPJMN 2020–2024, pemerintah menargetkan semua anak harus 100 persen memiliki akta kelahiran.
Rendahnya kepemilikan akta kelahiran di tiga daerah tersebut, salah satunya disebabkan oleh sulitnya geografis dan kurangnya sosialisasi akan pentingnya akta kelahiran bagi anak. Biaya dan kesadaran yang rendah mengenai pentingnya akta lahir menjadi hambatan utama, disertai lokasi kantor pencatatan sipil yang jauh.
Jika dilihat menurut wilayah tempat tinggal antara perkotaan dan perdesaan, terlihat bahwa anak-anak yang tinggal di perdesaan lebih banyak yang tidak memiliki akta kelahiran dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan. Kelompok lain dengan angka kelahiran tidak tercatat yang tinggi adalah anak dengan disabilitas atau anak dari orang tua yang tidak memiliki akta lahir.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Kiri ke kanan: Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny Rosalin; Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti, Wakil Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Budi Wahyuni; Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah dan KUA Kementerian Agama Adi Mahrus; dan Wakil Ketua Forum Anak Nasional Nabila Ishma Nurhabibah pada dialog publik tentang pencegahan perkawinan anak di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Artikel Terkait
Perkawinan usia anak
Persoalan terkait perlindungan anak di Indonesia adalah perkawinan usia anak. Indonesia menetapkan perkawinan yang dianjurkan minimal usia 19 tahun sesuai dengan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usia menikah perempuan dengan izin orang tua dari umur 16 tahun menjadi 19 tahun agar sama dengan batas minimal usia menikah lelaki, yang juga 19 tahun. Usia pernikahan untuk perempuan dan lelaki tanpa izin orang tua adalah 21 tahun.
Faktanya, hingga kini masih dijumpai anak-anak berusia di bawah usia 15 tahun yang melakukan perkawinan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2018), Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan kasus perkawinan anak yang tinggi.
Tercatat 11,2 persen kasus pernikahan usia anak terjadi di tengah masyarakat. Data tersebut dikumpulkan dari pernikahan tercatat di Kantor Urusan Agama, Dinas Kependudukan, dan Catatan Sipil. Laporan tersebut belum memasukkan kasus perkawinan yang tidak tercatat di lembaga negara, praktik yang mudah ditemui terjadi di masyarakat.
Angka tersebut juga menjadikan Indonesia sebagai negara ke-7 dengan kasus perkawinan anak terbanyak di dunia. Bahkan, jika mengacu pada data ASEAN, Indonesia menduduki peringkat ke-2 negara dengan kasus perkawinan usia anak terbanyak.
Jika dilihat dari usia pada saat perkawinan pertama, sekitar 36,62 persen anak perempuan usia 10–17 tahun pernah menikah pada usia 15 tahun atau kurang. Sekitar 39,92 persen kawin pada usia 16 tahun dan 23,46 persen kawin pada usia 17 tahun. Selain itu, separuh dari anak perempuan usia 10–17 tahun (51,88 persen) yang sudah mengalami perkawinan hanya mengenyam pendidikan sampai SMP. Sementara mereka yang tamat SMA ke atas hanya sekitar 3 persen.
Perkawinan anak, selain melanggar hak-hak anak dengan memaksa mereka berhenti sekolah, juga mengakibatkan kemiskinan antargenerasi, merusak pendidikan jangka panjang mereka, dan kemampuan untuk mencari nafkah.
Menurut laporan badan PBB untuk anak atau UNICEF, anak perempuan dari rumah tangga dengan pengeluaran terendah hampir tiga kali lebih mungkin untuk menikah sebelum umur 18 dibandingkan dengan anak perempuan dari rumah tangga dengan pengeluaran tertinggi.
Anak perempuan di daerah perdesaan dua kali lebih mungkin untuk menikah sebelum usia 18 dibandingkan dengan anak perempuan dari daerah perkotaan. Perempuan umur 20–24 tahun yang menikah sebelum umur 18 memiliki kemungkinan empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan sekolah menengah atas dibandingkan dengan yang menikah setelah umur 18.
Banyak faktor yang menyebabkan adanya perkawinan usia anak itu. Data BPS yang dirangkum dalam ”Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” menyebutkan, perkawinan anak bisa disebabkan kemiskinan, kehamilan tidak diinginkan, hingga praktik adat setempat.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Seto Mulyadi (akrab dipanggil Kak Seto) selaku Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) memberikan motivasi melalui permainan, lagu, dongeng dan sulap kepada anak-anak jalanan siswa Sekolah Master di Depok, Jawa Barat, Senin (18/5/2020). Kegiatan ini bertujuan untuk memotivasi anak-anak marginal agar tetap semangat dan gembira belajar saat pandemi Covid-19. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dalam kelompok kecil dan berjarak sosial.
Kesehatan dan kesejahteraan anak
Di bidang kesehatan, Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam meningkatkan layanan kesehatan. Hal itu tampak dari angka kelahiran di fasilitas kesehatan dibantu tenaga terlatih yang tinggi, kenaikan layanan prenatal dan pascakelahiran, dan penurunan angka kematian balita hingga setengah dari sebelumnya.
Namun di sisi lain, masih ada tantangan yang masih membentang. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, balita Indonesia dengan status gizi buruk dan kurang gizi pada 2018 masih sebesar 17,7 persen dan anak balita yang mengalami stunting masih sekitar 30,8 persen. Mereka umumnya berasal dari daerah kantong-kantong kemiskinan, terpencil, terluar, dan tertinggal.
Adapun untuk cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12–23 bulan, Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2018 menunjukkan cakupan imunisasi sebesar 57,9 persen. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan Riskesdas 2013 sebesar 59,2 persen.
Imunisasi dasar lengkap pada anak usia 12–23 bulan di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi capaian imunisasi dasar lengkapnya.
Anak yang mengalami keluhan kesehatan dan mengakibatkan terganggunya pekerjaan, sekolah, atau kegiatan sehari-hari (sakit) sebesar 15,89 persen. Anak-anak yang mengalami keluhan kesehatan di daerah perkotaan sebesar 32,89 persen, relatif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan sebesar 30,10 persen.
Dibandingkan negara-negara lain di dunia, kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga. Publikasi dari WHO-UNICEF dalam jurnal The Lancet menyebutkan, indeks perkembangan anak Indonesia masih berada di peringkat 117 dari 180 negara yang diteliti.
Negara ASEAN lain memiliki peringkat indeks perkembangan anak yang lebih baik. Malaysia berada di peringkat 44, Vietnam 58 dunia, Thailand 64 dunia, Filipina 110 dunia, dan Kamboja 114 dunia. Bahkan, Singapura memiliki peringkat lebih baik dengan menduduki posisi 12 terbaik dunia.
Indeks ini mengukur kesehatan dan kesejahteraan anak berdasarkan sejumlah faktor yang meliputi pertumbuhan anak, tingkat kelangsungan hidup anak, tahun sekolah, tingkat kelahiran remaja, kematian ibu, prevalensi kekerasan, serta pertumbuhan dan gizi.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Radit (10) diantar ibunya menuju sekolah pada hari pertama tahun ajaran baru di Desa Gubug, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (13/7/2020). Mereka kemudian kembali ke rumah karena ternyata kegiatan belajar mengajar secara tatap muka belum dilaksanakan di sekolahnya akibat pandemi.
Artikel Terkait
Pendidikan anak
Pemenuhan hak pendidikan di Indonesia dapat dilihat salah satunya dari angka partisipasi sekolah.
Sebelum memasuki jenjang SD, anak berusia 3–6 tahun dapat mengikuti prasekolah/penitipan anak/PAUD yang sifatnya tidak wajib dan tersebar di seluruh Indonesia. Data tahun 2018 mengindikasikan bahwa hanya 38 persen anak dalam rentang usia yang sesuai yang mengikuti program usia dini, jauh di bawah target RPJMN 2015–2019 sebesar 77 persen.
Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, selama periode 2015–2018, angka tamat sekolah di Indonesia naik menjadi 95 persen untuk pendidikan dasar dan 85 persen untuk pendidikan menengah pertama. Kenaikan paling drastis terdapat pada pendidikan menengah atas yang naik hingga 10 persen, dari 52 persen pada 2015 menjadi 62 persen pada 2018.
Namun demikian, jumlah anak yang tidak bersekolah masih cukup besar. Pada tahun 2018, sekitar 7,6 persen anak dan remaja (usia 7–18 tahun, atau sekitar 4,2 juta anak) tidak bersekolah ataupun mengakses layanan pendidikan dalam bentuk apa pun. Jumlah anak lelaki untuk kategori ini lebih besar dibandingkan anak perempuan. Angka itu meliputi anak yang tidak pernah bersekolah, anak yang putus sekolah di tengah-tengah jenjang, atau anak yang menyelesaikan satu jenjang tetapi tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Meski upaya perluasan akses pendidikan telah dibuka lebar, pekerjaan rumah belumlah selesai. Perbedaan dari segi geografis dan sosial ekonomi terlihat dengan angka anak tidak bersekolah lebih tinggi di perdesaan (10 persen), pada kelompok miskin (12 persen), dan pada kelompok anak dengan disabilitas (30 persen).
Persoalan lain muncul dari sisi mutu pendidikan. Penilaian kompetensi berstandar nasional tahun 2019 yang diberikan pada murid kelas 8 mengungkap kinerja pembelajaran yang rendah dalam kemampuan membaca (44 persen peserta mencapai tingkat kompetensi minimal) dan matematika (21 persen peserta mencapai tingkat kompetensi minimal).
Menurut tes PISA dari OECD tahun 2018, hanya 30 persen anak usia 15 tahun yang mencapai atau melampaui tingkat kompetensi minimal untuk membaca dan 29 persen untuk matematika. Melihat hasil-hasil ini, mutu pendidikan di Indonesia tampak membutuhkan peningkatan yang signifikan agar target 4 SDGS, yaitu “pendidikan dasar dan menengah yang merata dan berkualitas untuk hasil pembelajaran yang relevan dan efektif” dapat diwujudkan.
Variasi signifikan dari segi geografis untuk hasil pembelajaran masih terjadi di Indonesia. Di beberapa provinsi, seperti NTT, kurang dari 24 persen murid kelas 8 mencapai kompetensi minimal dalam membaca dibandingkan dengan 66 persen di Yogyakarta. Kesenjangan serupa dapat dijumpai pada matematika. Kesenjangan dari segi gender tak kalah menonjol. Murid perempuan konsisten mengungguli murid lelaki pada semua mata pelajaran.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural kampanye perlindungan anak tergambar di tembok rumah warga di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat, Senin (20/7/2020). Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pelaku kekerasan pada anak dari kalangan orang tua dan anggota keluarga meningkat setiap tahun. Selama 2016-2018 ada 1.663 hingga 2.672 orang tua dan anggota keluarga yang menjadi pelaku kekerasan pada anak. Pada 2019 angkanya sedikit menurun menjadi 2.314 orang. Selama Januari-14 Juni 2020, di masa pandemi Covid-19, terdapat 735 orang tua dan anggota keluarga yang melakukan kekerasan pada anak.
Kekerasan terhadap anak
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, harapan seperti itu tampaknya belum sepenuhnya bisa terealisasi. Sebagian anak masih mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik maupun mental baik dari lingkungan maupun dari orang terdekat.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja memperlihatkan 62 persen anak perempuan dan lelaki mengalami satu atau lebih dari satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Survei itu juga menemukan bahwa satu dari 11 anak perempuan dan satu dari 17 anak lelaki mengalami kekerasan seksual, serta tiga dari lima anak perempuan dan separuh dari semua anak lelaki mengalami kekerasan emosional.
Tak hanya di rumah, sebanyak 41 persen dari anak 15 tahun di Indonesia mengalami perundungan di sekolah minimal beberapa kali dalam sebulan, dan melibatkan kekerasan fisik dan psikologis. Kekerasan terhadap anak oleh guru juga merupakan isu yang signifikan; 20 persen murid lelaki dan 75 persen murid perempuan melaporkan pernah dipukul, ditampar, atau dengan sengaja dilukai secara fisik oleh guru dalam 12 bulan terakhir.
Perundungan, baik fisik maupun psikologis, termasuk dilakukan melalui media sosial. Studi Kementerian PPPA menyimpulkan bahwa 12–15 persen anak lelaki dan perempuan usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan melalui media daring dalam 12 bulan terakhir.
Prevalensi kekerasan terhadap anak dapat dilacak pada berbagai faktor. Salah satunya adalah kepercayaan bahwa kekerasan dapat diterima, bahkan normal, dalam proses membesarkan anak dan penerapan disiplin, suatu pemikiran dini diwariskan turun-temurun. Selain itu, anak dengan dukungan orang tua yang rendah lebih rentan mengalami penganiayaan.
Di bidang hukum, selama periode 2017–2018 separuh lebih penyelesaian Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) ditempuh melalui proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (diversi), dan didominasi oleh proses diversi anak kembali ke orang tua. Meski demikian, masih terdapat 27,20 persen penyelesaian ABH berakhir dengan putusan pidana penjara.
Pada tahun 2018, jumlah anak pelaku tindak pidana sebanyak 3.048 anak, sedikit menurun dari tahun 2017 yang mencapai 3.479 anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 894 anak atau 29,33 persen masih berstatus sebagai tahanan dan sebanyak 2.154 anak atau 70,67 persen telah berstatus narapidana atau anak didik.
Baik tahanan anak maupun narapidana anak jumlahnya menurun dibanding tahun 2017. Narapidana anak dan tahanan anak didominasi anak laki-laki, yaitu sebesar 98,33 persen narapidana anak dan 97,09 persen tahanan anak. (LITBANG KOMPAS)