Paparan Topik | Hari Anak Nasional

Pola Penggunaan Internet Pada Anak

Kegiatan berinternet tidak lagi hanya dilakukan orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Selain untuk belajar, anak juga menggunakan internet untuk mengakses media sosial, bermain gim, dan menonton video.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Anak-anak menggunakan gawai untuk bermain di Desa Socokangsi, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (14/7/2017). Perkembangan teknologi membuat mainan tradisional semakin tersisih dari kehidupan sehari-hari anak-anak.

Fakta Singkat

  • Hasil Proyeksi Penduduk Interim 2020–2023 menunjukan bahwa persentase anak usia 7 – 17 tahun yang pernah mengakses internet pada tahun 2021 mencapai 75,03 persen.
  • Di perkotaan maupun di perdesaan, presentase penggunaan ponsel oleh anak-anak telah mencapai lebih dari 75 persen atau dua pertiga anak.
  • Berdasarkan hasil survei KPAI, banyak anak menghabiskan waktu berjam-jam menggunakan gawai di luar kepentingan belajar. Sekitar 36,5 persen anak menghabiskan waktu 1-2 jam per hari menggunakan gawai di luar kepentingan belajar, 34,8 persen menghabiskan waktu 2-5 jam, dan 25,4 persen menghabiskan waktu lebih dari 5 jam.
  • Kecanduan gawai berdampak buruk pada kesehatan anak, meningkatkan risiko gangguan kelainan mata hingga kesehatan mental, seperti stres, cemas, depresi, sulit tidur, terganggunya prestasi akademik, hingga bunuh diri.
  • Hasil survei Child Fund tahun 2022, mengungkapkan bahwa hampir 60 persen mengaku pernah menjadi korban perundungan daring dalam tiga bulan terakhir dan hampir 50 persen anak dan anak muda pernah menjadi pelaku perundungan daring.

Internet semakin menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia. Banyaknya aktivitas yang diperantarai internet membuat hampir semua orang kian erat dengan internet.

Mengutip laporan berjudul Digital 2023: Indonesia dari We Are Social dan Meltwater,  jumlah pengguna internet di Indonesia hingga Januari 2023 telah mencapai 212,9 juta jiwa atau setara dengan 77 persen total populasi penduduk Indonesia. Jumlah ini lebih tinggi 3,85 persen dibanding setahun lalu. Pada Januari 2022, jumlah pengguna internet di Indonesia tercatat sebanyak 205 juta jiwa. 

Tak jauh berbeda, Survei Internet Indonesia 2023 yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), melibatkan sekitar 8.510 responden dari 38 provinsi di Indonesia juga menunjukan lanskap pengguna internet secara nasional yang hampir sama. Melalui survei tersebut,  tingkat penetrasi internet di Indonesia diketahui sudah mencapai 78,19 persen. Artinya, 215 juta orang dari 275 juta penduduk Indonesia sudah terhubung dengan jaringan internet.

Penggunaan internet di Indonesia yang kian meluas hingga saat ini menunjukan bahwa internet telah menjadi sarana vital. Internet menjelma menjadi salah satu kebutuhan utama dalam aktivitas keseharian manusia, mulai dari sarana konektivitas dan komunikasi; akses informasi, pengetahuan, dan edukasi; hingga sarana rekreasi atau hiburan.

Secara rata-rata, menurut laporan Digital 2023, setiap orang di Indonesia mengakses internet selama 7 jam 42 menit per hari. Hampir seluruh pengguna internet atau sebanyak 94,9 persen di antaranya, berselancar di internet via mobile atau menggunakan ponsel yang bisa terkoneksi internet.

Kegiatan berinternet pun tidak lagi hanya dilakukan orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Jumlah anak-anak dan remaja kurang dari 18 tahun mengakses internet diprediksi kian banyak. Pandemi Covid-19 diyakini menjadi menjadi salah satu hal yang memengaruhi situasi ini.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anak-anak bermain gim daring di sebuah pos jaga di kawasan Cibunar, Bogor, Jawa Barat, Minggu (21/3/2021). Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap 25.264 anak dari 34 provinsi di Indonesia, selama pandemi sebanyak 76,8 persen anak diizinkan menggunakan gawai selain untuk keperluan belajar. Mereka menggunakan gawai untuk chatting, menonton Youtube, mencari informasi, media sosial, dan sebagainya.

Statistik Akses Internet pada Anak

Mengacu buku Profil Anak Indonesia 2022 yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, hasil Proyeksi Penduduk Interim 2020–2023 menunjukan bahwa persentase anak umur 7 hingga 17 tahun yang pernah mengakses internet pada tahun 2021 mencapai  75,03 persen. Angka tersebut meningkat dari tahun 2020, yang presentasenya 55,07 persen. Bahkan, melonjak dua kali lipat dibandingkan presentase pada 2017 yang hanya mencapai 35,28 persen.

Grafik:

Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi provinsi teratas dalam presentase jumlah anak-anak yang mengakses internet, yakni sebesar 93,83 persen. Diikuti DKI Jakarta sebesar 88,28 persen dan Kalimantan Selatan sebesar 88,18 persen.

Sementara provinsi dengan presentase anak-anak mengakses internet terendah adalah Papua, yakni sebesar 21,84 persen. Di posisi kedua dan ketiga terendah ada Maluku Utara sebesar 41,59 persen dan Nusa Tenggara Timur sebesar 43,83 persen.

Grafik:

Tak hanya akses terhadap internet, KemenPPPA juga mencatat penggunaan telepon seluler oleh anak-anak. Berdasarkan hasil survei, presentase penggunaan ponsel menurut tipe daerah, baik di perkotaan maupun di perdesaan telah mencapai lebih dari 75 persen atau dua pertiga anak. Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara anak-anak di perkotaan dan perdesaan menunjukan bahwa ponsel sudah dianggap menjadi salah satu kebutuhan bagi anak.

Namun, apabila dirinci berdasarkan provinsi, nampak adanya perbedaan yang cukup signifikan antara daerah-daerah di wilayah Timur Indonesia dan wilayah Barat Indonesia. Berdasarkan hasil riset, Daerah Istimewa Yogyakarta kembali menempati urutan teratas dalam hal penggunaan telpon seluler oleh anak-anak, yakni sebesar 95,65 persen. Sedangkan di Papua, presentase anak-anak yang menggunakan ponsel baru mencapai 32,98 persen.

Grafik:

Perbedaan yang cukup besar pada persentase anak yang mengakses internet dan penggunaan ponsel antara wilayah Timur Indonesia dan Barat Indonesia ini menunjukan bahwa akses internet dan penyebaran penggunaan telepon seluler oleh anak-anak di Indonesia masih belum merata.

Meski demikian, secara umum hasil survei menunjukan tingginya tingkat penetrasi akses internet dan ponsel oleh anak-anak. Hal ini dipercayai disumbangkan oleh situasi pandemi Covid-19. Keterbatasan aktivitas fisik selama pandemi Covid-19 membuat aktivitas yang lazim digelar dengan pertemuan fisik, seperti bekerja, belajar, rapat, seminar, hingga beribadah dipindahkan ke ruang virtual, seperti Zoom dan Google Meeting.

Untuk anak-anak, pembelajaran tatap muka yang biasa dilakukan di sekolah beralih menjadi pembelajaran jarak jauh. Situasi ini secara otomatis menjadikan anak-anak dan remaja sangat bergantung dan semakin akrab dengan ponsel serta internet. 

KOMPAS/RIZA FATHONI 

Anak-anak bermain gawai di perkampungan nelayan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (2/12/2018). Penggunaan gawai pada anak-anak perlu pengawasan dan pembatasan dari orangtua untuk menghindari fenomena kecanduan.

Kebablasan

Berkurangnya ruang ekspresi karena pandemi mendorong anak-anak mencari ruang alternatif melalui internet dengan menggunakan ponsel. Internet pun menjadi ‘pelarian’ yang paling menyenangkan di rumah saat mobilitas di luar rumah dibatasi. Situasi ini menyebabkan ditemukannya banyaknya anak-anak yang mengakses internet di luar tujuan belajar.

Jika kembali melihat laporan KemenPPPA, ditemukan aktivitas paling banyak dilakukan anak dalam mengakses internet selain untuk belajar adalah mengakses media sosial dan bermain gim serta menonton video. Presentasenya hampir sama dengan akses untuk tujuan belajar. Bahkan, di daerah perdesaan, presentase anak-anak menggunakan internet untuk mengakses media sosial lebih tinggi dibanding akses untuk tujuan belajar.

Grafik:

 

Tingginya presentase anak-anak dalam mengakses internet melalui ponsel di luar kegiatan pembelajaran menjadikan anak-anak lebih berisiko untuk menggunakan ponsel dalam waktu yang lebih lama.

Kondisi itu tampak jelas dari hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada Juni 2020 yang diikuti 25.164 anak dan 14.169 orangtua di 34 provinsi. Berdasarkan hasil survei, banyak anak menghabiskan waktu berjam-jam menggunakan gawai di luar kepentingan belajar. Sekitar 36,5 persen anak menghabiskan waktu 1-2 jam per hari menggunakan gawai di luar kepentingan belajar, 34,8 persen menghabiskan waktu 2-5 jam, dan 25,4 persen menghabiskan waktu lebih dari 5 jam.

Grafik:

Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), merekomendasikan agar anak-anak usia sekolah (5-17 tahun) agar membatasi waktu bermain gawai di luar kegiatan untuk belajar. Menurut WHO, pemakaian gawai untuk anak usia dua hingga empat tahun adalah tidak lebih dari satu jam. Untuk anak yang lebih besar, disarankan untuk tidak lebih dari dua jam. Sedangkan untuk anak-anak di bawah usia dua tahun seharusnya tidak memiliki waktu layar (Kompas, 19/6/2023).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN 

Anak-anak bermain gim daring di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (13/3/2021). Paparan gim daring semakin masif menjangkiti anak-anak seiring akses gawai yang mudah sebagai dampak pembelajaran sekolah via daring.

Dampak Kesehatan

Kebiasaan menggunakan gawai, terutama pada anak-anak berdampak besar pada kondisi kesehatan anak. Salah satu dampak penggunaan gawai yang terlalu lama pada anak adalah dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan refraksi miopia atau rabun jauh.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015, secara global terdapat sebanyak 312 juta penduduk berusia di bawah 19 tahun yang mengalami kelainan refraksi miopia. Sementara pada 2020, tercatat ada sekitar 2,6 miliar penduduk dari seluruh kelompok umur yang mengalami gangguan penglihatan (Kompas, 7/10/2020).

Grafik:

 

Gangguan pengelihatan tersebut bisa berdampak pada menurunnya produktivitas anak dalam jangka panjang. Dalam laporan WHO dan Brian Holden Institute tahun 2015 disebutkan, kelainan refraksi, khususnya miopia yang tidak dikoreksi baik akan menyebabkan turunnya produktivitas global sebesar 200 miliar dollar AS.

Selain berdampak pada kesehatan mata, penggunaan gawai pada anak berisiko menimbulkan masalah emosional pada anak. Menurut Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso, pemakaian gawai berhubungan dengan mental atau emosional anak. Kecanduan gawai atau gim daring akan membuat anak mengalami sulit konsentrasi dan fokus, pengendalian diri buruk, penurunan kapasitas proses memori, serta kognisi sosial negatif (Kompas, 15/1/2023). 

Sejumlah riset juga menunjukan bahwa kecanduan gawai berdampak pada meningkatnya risiko stres, cemas, depresi, sulit tidur, terganggunya prestasi akademik, hingga bunuh diri. Mereka juga kesulitan mengontrol waktu yang mereka gunakan di depan gawai sehingga mengganggu aktivitas lain yang lebih penting (Kompas, 2/12/2019).

 KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pemain gim daring PUBG bermain di sekitar Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/8/2018). Gim daring memalui gawai seperti ini kian banyak diminati karena bisa bermain bersama-sama.

Dampak Kejahatan

Di sisi lain, internet juga belum menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Dunia maya yang tanpa batas bisa menjadi momok bagi anak-anak dan menjerat mereka ke dalam berbagai bentuk kejahatan atau kekerasan di dunia maya.  Namun, hal ini kadang tak disadari anak.

Berdasarkan data Child Online Safety Index 2022 DQ Institute, Indonesia ada di peringkat ke-42 negara dengan keamanan daring terbaik untuk anak. Skor keamanan Indonesia 46,9. 

Hasil survei ”Perundungan Online dan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Online” yang dilakukan Child Fund bulan Juli-Oktober 2022, melibatkan 1.610 responden pelajar dan mahasiswa usia 13-24 tahun di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung. Anak dan remaja memiliki risiko perundungan, kekerasan, dan eksploitasi seksual di ranah daring yang cukup besar.

Survei tersebut mengungkapkan bahwa hampir 60 persen mengaku pernah menjadi korban perundungan daring dalam tiga bulan terakhir. Selain itu, hampir 50 persen anak dan anak muda pernah menjadi pelaku perundungan daring. Perilaku perundungan secara daring itu mulai dari pelanggaran privasi, pengucilan, penguntitan, pencemaran nama baik, pelecehan, kekerasan seksual dengan ancaman, hingga pemerasan.

Sebelumnya, pada akhir September 2022, ECPAT, Interpol, dan Kantor Penelitian Unicef-Innocenti juga merilis laporan berjudul ”Disrupting Harm: Indonesia” yang menemukan anak-anak di Indonesia berusia 12-17 tahun (995 responden) menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring melalui media sosial.

Adapun platform media sosial yang paling banyak digunakan pelaku adalah Whatsapp yang menyumbang lebih dari 70 persen. Selain itu, Facebook, Facebook Messenger, Instagram, Twitter, dan Snapchat juga menjadi media eksploitasi dan pelecehan seksual.

Survei tersebut juga menemukan, eksploitasi seksual anak di ranah daring meningkat tajam. Google merekam adanya peningkatan kejadian tiga kali lipat dari 7.428 (2017) kasus menjadi 22.161 kasus pada tahun 2019. Sementara pada Instagram, jumlahnya meningkat dari 34.683 kasus menjadi 57.675 kasus pada periode yang sama. Sementara di WhatsApp terjadi peningkatan 10 kali lipat dari 128 kasus menjadi 1.145 kasus.

Grafik:

 

Di sisi lain, dunia maya pun juga bisa menjadi pemicu maupun mendukung tindak kejahatan secara luring. Sebagai contoh adalah penculikan dan pembunuhan seorang anak berusia 11 tahun di Makassar, Sulawesi Selatan, pada awal bulan Januari 2023.

Seperti diberitakan Kompas (11/1/2023), seorang anak bernama M Fadil Sadewa (11) menjadi korban penculikan dan pembunuhan di Makassar. Dua pelaku yang masih di bawah umur (17 tahun dan 14 tahun) nekat melakukan tindak keji itu karena ingin menjual organ tubuh korban.

Al, tersangka utama kasus tersebut, mengungkapkan, dia mengakses informasi di internet tentang organ tubuh yang harganya mahal. Dari sanalah, Al dan Fa kemudian berpikir untuk menculik Dewa karena ingin mendapatkan uang dan kaya.

Fenomena itu tentu perlu menjadi perhatian serius. Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak di ranah daring merupakan tantangan baru yang perlu menjadi perhatian bersama. Di satu sisi, ada anak yang kehilangan nyawa dan di sisi lain pelakunya juga anak-anak.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE 

Tulisan aturan penggunaan gawai yang terpasang di kulkas, di Pejaten, Jaksel, Kamis (22/7/2021). Selama pandemi, anak-anak kecanduan menggunakan gawai, baik untuk bermain dan belajar. Orang tua harus pintar-pintar mengatur penggunaan gawai pada anak.

Upaya Perlindungan Anak

Perlindungan anak dari kekerasan secara daring membutuhkan intervensi yang menyeluruh. Dimulai dari penguatan resiliensi anak, pengawasan keluarga dan lingkungan, hingga pengaturan pedoman standar untuk merespons kasus perundungan daring.

Menghadapi situasi demikian, keluarga dapat menjadi ujung tombak untuk melakukan pendampingan penggunaan internet. Keluarga adalah benteng pertahanan pertama dalam mencegah risiko munculnya masalah kesehatan dan kejahatan pada anak dan remaja di dunia maya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA 

Anak-anak bermain kinciran di Kampung Lali Gadget di Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (25/9/2022). Kampung Lali Gadget digagas oleh Achmad Irfandi pada 2018. Kampung ini dibentuk atas keresahan terhadap anak-anak yang kecanduan main gadget. Hal tersebut berdampak pada anak-anak yang kini banyak yang lupa terhadap permainan tradisional dan tidak mengenal kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya.

Merujuk buku Mendidik Anak di Era Digital terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, orang tua harus dapat memberikan pemahaman dan pendampingan pada anak untuk memanfaatkan internet secara cerdas. Untuk itu, orang tua juga harus terus belajar dan mengembangkan diri sesuai perkembangan zaman agar mampu mendampingi anak dalam memanfaatkan internet maupun teknologi informasi. Selain itu, orang tua juga harus membangun komunikasi dengan anak terkait akses internet dan  memberikan contoh penggunaan internet dan perangkat digital yang bijaksana.

Di tataran negara, perlindungan anak merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah. Pemeritah berkewajiban memastikan ruang siber aman bagi anak-anak, bebas dari praktik bisnis kejahatan, dan fasilitas kejahatan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Anak-anak bermain lompat tali di halaman sekolah SD Islam Al-Ashar, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (15/9/2022). Aneka permainan tradisional ini diselenggarkan oleh komunitas Traditional Games Return (TGR) dan pihak sekolah. Kegiatan ini bertujuan untuk memenuhi hak bermain anak-anak dan mengakarabkan kembali mereka dengan permainan tradisional. Selain itu kegiatan ini juga untuk melatih anak aktif, kreatif, lincah melalui permainan-permainan tradisional dan menjauhkan anak dari ketergantungan dengan gawai.

Dokumen yang dikeluarkan oleh Komite PBB untuk Hak Anak, General Comment No. 25 tahun 2021, telah menyebutkan secara jelas bahwa perlindungan anak di ranah daring harus diintegrasikan dalam kebijakan nasional terkait perlindungan anak nasional. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi anak-anak dari risiko, termasuk eksploitasi seksual anak online, yang terjadi oleh karena penyalahgunaan teknologi digital, memastikan investigasi kejahatan dunia maya, dan memberikan kompensasi dan dukungan bagi korban anak.

Lebih lanjut, pemerintah diharapkan juga menyediakan data yang diperbarui secara berkala untuk memahami dampak lingkungan digital terhadap kehidupan anak, menilai dampaknya terhadap hak-hak mereka, dan mengevaluasi efektivitas intervensi dalam program dan kebijakan pemerintah. 

KOMPAS/AGUS SUSANTO 

Anak-anak SDN Menteng 01 bermain bola di Taman Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/9/2022). Bermain ke taman, aktif bergerak di luar rumah dan bersosialisasi dengan teman-teman adalah sebagian langkah untuk mengurangi kecanduan anak-anak pada gawai.

Namun, hingga kini Indonesia belum memiliki aturan khusus yang mengatur semua jenis kejahatan di ranah daring, termasuk terhadap anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menjadi penjamin perlindungan anak oleh negara belum mengatur perlindungan anak di ranah daring.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah kerangka hukum utama yang mengatur kejahatan di ranah daring, tetapi UU tersebut hanya mencakup pencemaran nama baik, materi kekerasan seksual daring, dan sejenisnya.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada upaya perlindungan anak di ranah daring. Saat ini, merujuk laman KemenPPPA, pemerintah sedang menyusun Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring. Peta jalan tersebut penting untuk segera diselesaikan agar bisa menjadi pedoman dan acuan upaya pendegahan dan penanganan kejahatan terhadap anak-anak di ranah daring. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Mendidik Anak di Era Digital. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2022. Profil Anak Indonesia 2022. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Riset
  • Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Pada Masa Pandemi Covid-19. Diakses dari bankdata.kpai.go.id
  • Survei Internet Indonesia 2023. Diakses dari survei.apjii.or.id
  • Child Online Safety Index 2022. Diakses dari dqinstitute.org
  • Disrupting Harm: Indonesia. Diakses dari ecpatinindonesia.org
Arsip Kompas
  • “Risiko Gangguan Penglihatan Berpotensi Meningkat, Kurangi Pemakaian Gawai pada Anak”, Kompas, 7 Oktober 2020.
  • “Kekerasan Masih Membayangi Anak-anak”, Kompas, 25 Januari 2022.
  • “Remaja dan Anak Muda Terpapar Perundungan dan Eksploitasi di Ranah Daring”, Kompas, 20 Desember 2022.
  • “Enam dari Sepuluh Anak Mengalami Kekerasan di Dunia Maya”, Kompas, 15 Desember 2022.
  • “Lindungi Anak-Anak dari Jerat Situs Berbahaya”, Kompas, 11 Januari 2023.
  • “Kecanduan terhadap Gawai Mengganggu Emosi dan Mental Anak”, Kompas, 15 Januari 2023.
  • “Mencegah Kecanduan Gawai pada Anak”, Kompas, 19 Juni 2023.
  • “Media Sosial dan Risiko Gangguan Konsentrasi pada Anak”, Kompas, 10 Juli 2023.
  • Internet:
  • “Darurat Perlindungan Anak di Dunia Digital”, diakes dari savethechildren.or.id