Paparan Topik | Hari Guru

Hari Guru Nasional: Momentum Perbaikan Kesejahteraan dan Kualitas Guru

Guru-guru di Indonesia menyimpan masalah kesejahteraan dan kompetensi yang serba minim. Diperlukan kebijakan perbaikan yang mengakomodasi keduanya secara imbang dalam upaya strategis perbaikan pendidikan nasional.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Yadi, guru olahraga di SDN Cikaret, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (4/4/2008), mengawasi kegiatan belajar-mengajar murid-muridnya. Meskipun hanya mendapat honor sekitar Rp100.000 per bulan, dia mengajar dengan penuh tanggung jawab.

Fakta Singkat

Hari Guru Nasional:

  • Indonesia memiliki 3,4 juta guru, dengan distribusi yang tidak merata. Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah guru tertinggi (480.635), sedangkan Papua Pegunungan terendah (7.777).
  • Guru di wilayah 3T menghadapi keterbatasan fasilitas, seperti listrik (71 persen sekolah tanpa aliran listrik) dan akses internet (83 persen tidak tersedia).
  • Kompetensi guru di Indonesia masih terbilang rendah, dengan rata-rata skor UKG di tiap provinsi tidak ada yang mencapai standar minimum 75.
  • UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberi harapan kesejahteraan melalui tunjangan profesi, meskipun implementasinya masih terhambat antrean panjang sertifikasi.
  • Meski peningkatan pendapatan berdampak positif pada kesejahteraan dan kepuasan guru, namun tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kemauan guru untuk mengeyam pendidikan kembali.

Peringatan Hari Guru menjadi upaya pemerintah untuk mewujudkan penghormatan kepada guru di seluruh Indonesia. Hari nasional ini dilangsungkan setiap tanggal 25 November dan telah berlangsung rutin sejak tahun 1994. Meski demikian, rutinitas tahunan tidak serta merta selaras dengan perhatian strategis negara, utamanya terkait kesejahteraan dan kualitas guru Indonesia.

Padahal, isu ini telah berlarut-larut terdengar juga pada setiap tahunnya. Berbagai data, pemberitaan, dan kabar dari sekolah menunjukkan permasalahan tersebut. Kondisi demikian menjadi anti-tesis dari kontribusi guru dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia, apalagi dengan hadirnya visi Indonesia Emas 2045. Dengan demikian, momentum Hari Guru selayaknya digunakan untuk meningkatkan kesadaran akan situasi guru di Indonesia.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Makan siang seorang guru di Sukabumi, Sarino, berupa nasi dan ikan asin. Ini adalah menu rutin setiap hari untuk makan pagi, siang dan malam. Di kampung yang belum dialiri listrik itu, sulit mendapatkan sayur dan daging segar.Kampung Caringin, Desa nagela, Kecamatan Tegalbuleud, Sukabumi (20/11/2015).

Jumlah Guru di Indonesia

Secara periodik, negara memperbaharui data jumlah guru Indonesia melalui Data Pokok Pendidikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Dalam semester ganjil periode 2024/2025, tercatat Indonesia memiliki total 3.426.137 orang guru. Jumlah tersebut terdiri atas 967.420 guru laki-laki dan 2.458.717 guru perempuan.

Guru Sekolah Dasar (SD) merupakan yang terbanyak dari angka tersebut, mencapai jumlah 1.508.620 orang. Berada di peringkat selanjutnya adalah guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) mencapai 682.571 guru. Jumlah tersebut cukup jauh dengan angka guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 346.376 orang.

Sementara terkait distribusi lokasi, jumlah guru terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat, mencapai 480.635 orang. Angka ini tampak sangat timpang dibandingkan dengan jumlah guru di Provinsi Papua Pegunungan sebanyak 7.777 orang. Bahkan, total jumlah guru di seluruh Pulau Papua hanya mencapai 37.329 orang.          

KOMPAS/LASTI KURNIA

Seorang guru, Riki Sonjaya, berjalan kaki sekitar dua hingga empat jam, melintasi sungai dan kawasan perbukitan yang terjal, untuk pulang pergi dari dan ke SDN Caringin.Kampung Caringin, Desa nagela, Kecamatan Tegalbuleud, Sukabumi.

Menilik Kesejahteraan Guru di Indonesia

Guru adalah penggerak utama roda pendidikan––baik bagi penduduk di jalan-jalan protokol kota hingga masyarakat terpencil tanpa akses beraspal. Sebagai roda penggerak, justru acap ditemukan kondisi guru yang jauh dari sejahtera. Mereka yang berkarya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) harus menghadapi situasi yang berisiko dan minim perhatian.

Kompaspedia (24/11/2023, Hari Guru Nasional: Nafas Guru di Daerah Terpencil) mencatat bagaimana para guru tersebut harus berjuang di atas segala keterbatasan dan kemiskinan. Survei Bank Dunia terhadap pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa 71 persen sekolah di pedalaman belum teraliri listrik.

Mayoritas sekolah yang disurvei, juga belum memiliki akses internet (83 persen) dan kelengkapan buku pelajaran (61 persen). Tidak hanya itu, rata-rata guru di wilayah 3T harus menempuh jarak yang luar biasa mencapai sekolah, yakni 149 km.

Belum lagi, guru-guru di daerah pedalaman tidak memiliki cukup tenaga bantu. Idealnya, satu guru mendidik setidaknya 20 orang siswa. Namun, tidak adanya distribusi tenaga yang sesuai mengharuskan guru merangkul hingga ratusan siswa. Di SD Tolikara, Papua, rasio guru dan siswa bahkan mencapai 1:222. Tentunya, hal ini akan berdampak pada kompetensi guru akibat faktor kelelahan dan minimnya fokus.

Segala keterbatasan perhatian dari pemerintah mendorong para guru untuk mengeluarkan koceknya sendiri. Di Desa Tani Baru, Kalimantan Timur, misalnya, Darta (56) harus mendanai sendiri transportasi menuju sekolah yang ia rintis, juga mengupayakan pengadaan air di sekolah. Sementara di Kampung Cicakal Girang, Banten, Ai Dewi (50) bahkan pernah tidak digaji sehingga harus mengharapkan makan dari warga desa.

Berbagai masalah kesejahteraan demikian diperparah dengan rendahnya gaji guru di Indonesia. Hal ini terungkap dari survei kesejahteraan yang dilakukan oleh Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) yang dilakukan pada Mei 2024 terhadap 403 guru dari beragam status di Indonesia. IDEAS menemukan bahwa 42 persen guru Indonesia memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan. Dari angka tersebut, bahkan 13 persen di antaranya memiliki pendapatan tak sampai Rp 500 ribu per bulan.

Selain itu, jika melihat dalam kategori responden “Guru Honorer/Kontrak” didapat pula data bahwa kelompok ini memiliki tingkat kesejahteraan yang paling rendah. Sebanyak 74 persen “Guru Honorer/Kontrak” memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan. Lebih lagi, 20,5 persen diantaranya masih berpenghasilan dibawah Rp 500 ribu.

KOMPAS/SUCIPTO 

Kepala SDN 014 Krayan Mordani menuntun motornya saat terjebak di kubangan tanah berlumpur ketika ia menuju sekolah di Desa Pa’padi, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Jumat (26/11/2021). Perjalanan yang seharusnya satu jam menjadi tiga jam saat musim hujan.

Penghasilan tersebut terbilang sangat minim. Apalagi, rata-rata guru memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak tiga orang. Sebanyak 89 persen guru pun merasa penghasilannya dari mengajar terbilang sangat pas, bahkan cenderung kurang untuk memenuhi kehidupan mereka. Hanya 11 persen guru yang mengaku penghasilan mereka cukup dan memiliki sisa.

Situasi demikian mendorong guru untuk lantas mencari penghasilan tambahan dari berbagai sumber. Sebanyak 55,8 persen guru memiliki pekerjaan sambilan lain. Meski demikian, mayoritas tambahan penghasilan itu tak sampai Rp 500 ribu. Selain kerja sampingan, 79,8 persen responden guru harus mengikatkan diri pada hutang. Dalam situasi terdesak, bahkan 56,5 persen guru mengaku pernah menjual atau menggadaikan barang berharga yang dimilikinya.

Meski berada dalam kondisi yang jauh dari sejahtera, namun survei IDEAS juga mencatat tekad guru yang tetap setia. Hal tersebut terbaca dari 93,5 persen responden yang berkeingginan untuk tetap menjalankan pengabdiannya dalam membagikan ilmu sebagai guru––bahkan bertekad untuk melakukannya hingga masa pensiun, meskipun kesejahteraan mereka jauh dari layak.

Situasi serupa juga terekam dalam catatan seorang guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Yogyakarta, yang dipublikasikan oleh SMERU Research Institute pada Juli 2020. Catatan tersebut menuliskan bahwa peran sebagai guru juga terikat pada lusinan pekerjaan selain mengajar. Guru harus menyusun rencana studi, memantau perkembangan siswa, inputasi data penilaian, mengurus dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan lainnya.

Semua kerja tersebut tidak dibarengi dengan pengembangan kompetensi dan jaminan kesejahteraan. Rata-rata guru di tempat penulis bekerja mendapat gaji Rp 300 ribu tiap bulannya. Angka tersebut jauh dari cukup dalam memenuhi kebutuhan bulanan. Dampaknya, guru harus mencari pekerjaan sampingan, tidak memiliki waktu untuk pengembangan kapasitas diri, dan peran guru dihindari oleh mereka yang sebetulnya kompeten.

Kondisi Kualitas Guru di Indonesia

Di saat bersamaan, masalah kesejahteraan juga diiringi dengan tingkat kualitas guru di Indonesia sendiri. Keduanya hadir masing-masing, namun juga sekaligus saling berkelindan dan memengaruhi. Padahal, kompetensi guru berkorelasi langsung dengan kualitas pendidikan di Indonesia. Tingkat kompetensi yang rendah berdampak pada proses pembelajaran yang kurang efektif dan hasil pendidikan yang tidak optimal.

Kompas.id (3/10/2021, Pendidikan Berkualitas Dimulai dari Kompetensi Guru) mengutip data Bank Dunia tahun 2020 menyebutkan bahwa kualitas guru di Indonesia dikategorikan masih rendah. Kategori tersebut tak hanya dalam konteks kompetensi dan kemampuan mengajar, tetapi juga pada keterampilan sosio-emosional yang penting untuk adaptasi teknologi baru. Nilainya hanya mencapai 3,52 dari 5.

Survei Litbang Kompas pada 2021 menemukan bahwa sebagai dampak dari rendahnya kualitas guru di Indonesia, sebanyak 40 persen responden menilai capaian kinerja guru masih perlu ditingkatkan. Kebanyakkan responden menilai bahwa cara guru mengajar masih cenderung satu arah daripada menjadi fasilitator pembelajaran.

Padahal, suasana terbuka dalam belajar sangat penting bagi perkembangan anak didik. Peran guru masa kini harus disesuaikan––menjadi fasilitator yang mampu mengubah kelas pasif menjadi aktif dan dialogis.

Masalah kompetensi juga ditunjukkan dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2019. Mengutip Kompas.id (5/10/2021, Guru, antara Kuantitas, Pemerataan, dan Kompetensi), capaian rata-rata kompetensi guru di 34 provinsi sama sekali tidak ada yang mencapai standar kompetensi minimum di angka 75. Bahkan skor rata-rata di lima provinsi terbaik masih berada di angka 60-an. Selain itu, skor kelima provinsi di urutan terbawah juga masih belum mencapai skor 50.

Guru diharapkan memiliki sejumlah kompetensi utama untuk memberikan pengajaran berkualitas. Paling tidak, guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Perkembangan pesat zaman juga menuntut guru mengembangkan kompetensi penguasaan teknologi.

Artikel akademik Machmud dkk. pada tahun 2021 berjudul Indonesia Teacher Competencies in Integrating Information and Communications Technology for Education meneliti hal ini. Hasilnya, hanya 40 persen guru yang sudah siap dan berkompeten penuh untuk implementasi teknologi digital dalam pengajaran. Rasio tersebut diambil dari total 300 responden guru.

Selain itu, sebanyak 80 persen guru sudah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pedagogis. Sebanyak 54 persen guru juga telah menggunakan platform-platform digital untuk mencari referensi pengajaran. Meski demikian, akses infrastruktur digital di sekolah-sekolah juga masih sangat terbatas. Hanya 25,4 persen responden guru yang mengaku mengakses laboratorium komputer di sekolah––menjadi hambatan tersendiri bagi potensi pembelajaran dan persentuhan guru dengan teknologi teraktual.

Peningkatan Kesejahteraan Guru

Dengan berbagai catatan kritis demikian, Hari Guru Nasional menjadi kesempatan untuk meletakkan lebih banyak perhatian pada situasi guru. Hingga kini, telah terdapat sejumlah inisiatif yang diupayakan dalam mengatasi masalah kesejahteraan dan kualitas guru. Meski demikian, ketidakberlangsungan dan capaian inisiatif-inisiatif tersebut dapat menjadi refleksi bagi perhatian yang lebih baik ke depannya.

Dalam upaya peningkatan kesejahteraan guru, pada tahun 2005 pemerintah meneken Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Terlepas dari berbagai polemiknya––termasuk soal tidak adanya jaminan dosen tidak tetap menjadi tetap––kebijakan ini memberikan harapan kesejahteraan yang lebih baik bagi para guru.

Pada Pasal 14 dituliskan bahwa guru memiliki hak untuk memperoleh penghasilan yang lebih daripada pemenuhan kebutuhan hidup minimum semata. Guru juga ditetapkan untuk memiliki hak atas jaminan kesejahteraan sosial, memperoleh sarana dan prasarana untuk menunjang tugasnya, hingga rasa aman dan jaminan keselamatan.

Selain itu, Pasal 16 juga menetapkan bahwa guru yang telah memiliki sertifikasi pendidik berhak memperoleh tunjangan profesi yang setara dengan satu kali gaji pokok guru––setara dengan menerima gaji dua kali lipat. Proses sertifikasi sendiri melibatkan penilaian portofolio dan pelatihan selama dua minggu. Keterbatasan anggaran membuat implementasi dilakukan secara bertahap dengan kuota 10 persen guru yang memenuhi syarat menerima kenaikan gaji setiap tahun.

Riset Joppe de Ree dalam artikel Double for Nothing? Experimental Evidence on An Unconditional Teacher Salary Increase in Indonesia secara lebih dalam meneliti dampak kebijakan ini. Mereka menemukan bahwa pemberian tunjangan sertifikasi memberikan dampak kesejahteraan positif. Kepuasan guru terhadap kerja bertambah, stres finansial menurun, dan mengurangi jumlah guru yang mencari pekerjaan tambahan.

Survei yang dilakukan pada 2009 tersebut menemukan bahwa guru-guru yang menerima percepatan tunjangan sertifikasi memiliki tingkat kepuasan 7 poin persentase lebih tinggi dibanding guru-guru yang harus mengantre untuk masuk dalam kuota 10 persen tersebut.

“Hanya” 47 persen dari guru-guru dalam kategori percepatan tersebut yang melaporkan masalah keuangan, dibandingkan dengan 56 persen guru di kategori lainnya. Selain itu,  dalam konteks memiliki pekerjaan sampingan, guru dalam kategori percepatan juga cenderung lebih rendah (22 persen) dibandingkan guru yang mengantre perolehan tunjangan (27 persen).

Namun yang menarik, Joppe de Ree juga menemukan bahwa peningkatan pendapatan rupanya tidak beriringan dengan peningkatan kualitas guru, kapasitas keilmuan murid, dan kemauan guru untuk melanjutkan studi. Kualitas guru diukur melalui tes pengetahuan guru, observasi kelas, dan absensi kelas. Sementara kapasitas keilmuan murid diukur melalui tes matematika, sains, dan bahasa. Artinya, kebijakan peningkatan kesejahteraan mengambil porsi anggaran besar namun tidak menghasilkan hasil pendidikan yang sebanding.

Logika peningkatan kesejahteraan guru tersebut rupanya masih dilanjutkan. Pada tahun 2022, pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mengacu pada Kompaspedia (25/11/2022, Hari Guru Nasional: Guru Garda Terdepan Dunia Pendidikan), termasuk pokok yang diatur di dalamnya adalah sistem sertifikasi guru dan tunjangan yang berkaitan dengan sistem sertifikasi tersebut.

Kebijakan yang tengah ada saat ini, terutama karena kuota 10 persen, membuat antrean panjang hingga 1,6 juta guru untuk bisa melakukan proses sertifikasi. Akibatnya, banyak guru yang belum memperoleh tunjangan kesejahteraan mereka. Melalui RUU ini, pemerintah bermaksud untuk memberikan kesempatan kepada para guru untuk dapat memperoleh tunjangannya terlepas dari kewajiban sertifikasi yang ada. Meski demikian, hingga tahun 2024 wacana RUU ini menghilang.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Endun, guru SDN Sukasari, Tegalbuleut, Sukabumi, menempuh perjalanan menuju ke sekolah dengan motor bebek yang dimodifikasi serupa motor trail, Kamis (19/11/2015). Ia setiap hari berangkat bersama Ade Irma, kerabatnya yang juga menjadi guru di sekolah yang sama.

Peningkatan Kompetensi dan Kualitas Guru

Bagaimanapun, baik UU Nomor 14 Tahun 2005 dan RUU Sistem Pendidikan Nasional harus memperhatikan bahwa peningkatan kesejahteraan juga harus diiringi dengan upaya peningkatan kualitasa atau kompetensi. Hal tersebut merupakan poin penting dari temuan penelitian Joppe de Ree akan ketidakselarasan kedua hal tersebut.

Salah satu rekomendasi yang lantas diberikan Joppe de Ree adalah peningkatan keterampilan pedagogis dan pengetahuan guru. Ia meyakini bahwa kebijakan ini akan memberikan hasil yang lebih baik daripada fokus pada kenaikan gaji semata. Pemerintah juga perlu meletakkan kebijakan pada upaya-upaya inovatif dalam program peningkatan kompetensi guru.

Artikel Pulihkan Pendidikan, Mulai dengan Peningkatan Kualitas Guru! dari SMERU Research Institute menekankan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia adalah melalui kualitas guru itu sendiri. Studi oleh SMERU menilai bahwa sistem pendidikan Indonesia belum mampu mendukung pembentukan identitas dan kualitas profesional guru.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah agar sekolah menyediakan tenaga kerja yang khusus mengerjakan tugas-tugas administrasi alih-alih melimpahkannya kepada guru muda. Dengan demikian, para guru muda ini dapat menjadi generasi pengganti yang lebih berkualitas dengan fokus pada kegiatan mengajar dan pengembangan dirinya.

Selain itu, pelatihan guru juga harus disertai dengan kegiatan induksi atau orientasi yang memadai. Ketiadaan orintasi formal pada tahun-tahun awal bekerja membuat para guru muda harus langsung terjun dalam ruang yang sama sekali baru dan berjuang sendiri dalam mengatasi tantangan yang mereka hadapi.

Dalam hal ini, peran komunitas belajar guru dapat dimaksimalkan untuk berbagi pengalaman. Penyiapan guru baru menjadi penting untuk menjaga semangat dan pengembangan kompetensi terutama dalam tahun-tahun awal mengajar. Untuk itu, giat orientasi dan pengembangan kompetensi ini dapat berbasiskan kelompok kerja, salah satunya melalui Kelompok Kerja Guru (KKG).

Melalui kelompok kerja, guru-guru dengan kompetensi baik dapat membagikan pengalamannya dan memfasilitasi proses belajar kepada guru lain. Kesempatan pertemuan dan pelatihan semacam ini penting untuk mengubah pola pikir dan performa guru. Tentunya, pembenahan kolaboratif demikian perlu dilakukan secara berkelanjutan mengingat peran guru membangun SDM sangat strategis (Kompas.id, 3/10/2021, Pendidikan Berkualitas Dimulai dari Kompetensi Guru).

Selama ini, pemerintah sendiri sejatinya telah membentuk Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Keduanya menjadi ruang bagi para guru untuk mengeyam pendidikan untuk memperoleh pelatihan dan sertifikasi sebagai pendidik. Meski demikian, masih banyak sekali kritik terkait ketidakmampuan pemerintah dalam merawat lembaga-lembaga ini. Alhasil, kualitas para guru lulusan program unggulan inipun masih acap memperoleh tanda tanya.

Upaya-upaya inisiatif pembangunan kualitas guru juga dilakukan oleh pihak non-pemerintah, salah satunya oleh Perkumpulan Indonesian Overseas Alumni (IOA). Sejak 2018, IOA telah menjalankan program pelatihan bagi guru di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. “Kami berharap semakin banyak anak-anak yang dapat menikmati pendidikan berkualitas dan para guru dapat terus berkembang menjadi pendidik yang profesional dan inovatif,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Pendidikan IOA Ivonne Purnama Chandra.

Sejak pertama kali dimulai, program yang dinamai “Guruku Maju” ini telah menjangkau lebih dari 500 tenga pendidik yang tersebar di 50 sekolah dasar. (Kompas.id, 25/9/2024, Tingkatkan Kualitas Pendidikan dan Pelatihan Guru).. Mayoritas di antaranya berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau, terutama pegunungan dan pelosok dengan keterbatasan akses teknologi dan keterbatasan pelatihan profesional. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas

 

Artikel Akademik
  • Machmud, M. T., Rosidah, Fadhilatunnisa, D., & Fakhri, M. M. (2021). Indonesia Teacher Competencies in Integrating Information and Communications Technology for Education. Athens Journal of Technology and Engineering, Volume 8, Issue 4, , 331-348.
  • Ree, J. d., Muralidharan, K., Pradhan, M., & Rogers, H. (2017). Double for Nothing? Experimental Evidence on an Unconditional Teacher Salary Increase in Indonesia. The Quarterly Journal of Economics, Volume 133, Issue 2, 993–1039.SMERU Research Institute. (2023). Pay teachers and education personnel in Indonesia. Diakses dari https://rise.smeru.or.id/en/blog/pay-teachers-and-education-personnel-indonesia
Dokumen Hukum
  • Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional.
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
  • Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
  • Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 160 /P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis.
  • Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penetapan Daerah Khusus Dalam Pelaksanaan Kebijakan.
  • Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  • Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Internet