KOMPAS/LASTI KURNIA
Suprihatin, Kepala SDN Cikaret, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (4/4/2008), melintasi sungai dengan sepeda motornya yang dinaikkan ke atas rakit untuk menuju sekolah. Melintasi sungai dan jalanan terjal sepanjang lebih dari 8 kilometer sudah menjadi keseharian guru di daerah terpencil tersebut.
Fakta Singkat
Hari Guru Nasional:
- Hari Guru Nasional ditetapkan tiap tanggal 25 November untuk memperingati jasa dan pentingnya peran guru terhadap pembangunan manusia Indonesia.
- Hak kesetaraan pendidikan terkandung dalam Sila Kelima Pancasila. Falsafah ini lantas diamanatkan melalui Pasal 31 UUD 1945 dan ditindaklanjuti melalui UU Nomor 20 Tahun 2003.
- Pada periode 2020–2024, terdapat 62 daerah yang ditetapkan tertinggal di seluruh Indonesia. Selain itu, juga terdapat 12 PKKT yang terpencil.
- Ketimpangan pendidikan memiliki korelasi dengan pertumbuhan ekonomi, dimana ketimpangan pendidikan sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan PDRB 0,16 persen.
- Satu orang guru SD di Tolikara, Papua harus mengurus 222 peserta didik, sementara rasio yang ideal adalah 1:20.
- Termasuk dalam upaya pemerintah untuk mendukung guru di wilayah terpencil adalah melalui Program Guru Garis Depan (GGD) dan skema PPPK.
Setiap tanggal 25 November, masyarakat Indonesia memperingati Hari Guru Nasional. Peringatan ini pertama kali diperingati pada tahun 1994. Pada tahun tersebut, Hari Guru Nasional ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 78 Tahun 1994.
Mengacu pada Kompaspedia (25/11/2022, “Hari Guru Nasional: Guru Garda Terdepan Dunia Pendidikan”), penetapan Hari Guru Nasional merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan penghormatan kepada guru di seluruh Indonesia. Dalam Keppres, juga menjadi pertimbangan bahwa guru sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya dengan mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Dalam peran dan kedudukan tersebut, hadirnya guru menjadi aktor vital di seluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali di daerah terpencil. Kehadiran guru menjadi hal besar yang penting sekiranya pemerintah ingin melaksanakan pemerataan pembangunan. Apalagi, Presiden Joko Widodo pernah menginstruksikan agar pembangunan dimulai dari pinggiran, yakni daerah terdepan, terluar, dan terpencil atau 3T (Kompas, 12/2/2018, “Akses dan Mutu Jadi Prioritas”).
KOMPAS/KHAIRINA NASUTION
Rusak Berat-SD Negeri III Pulau Legundi, Kecamatan Punduh Pedada, Lampung Selatan rusak berat (1/8/2005). Sekolah ini sejak tahun 1982 belum pernah direhabilitasi. Murid-murid SD yang berada di pulau terpencil ini bersekolah dua minggu sekali, tergantung kedatangan guru mereka. Para guru tidak bisa sering-sering datang mengajar karena kesulitan transportasi.
Hak Kesetaraan Pendidikan
Falsafah bangsa Indonesia menjunjung tinggi asas keadilan. Melalui Sila Kelima Pancasila, hal tersebut lantas dirumuskan dalam kalimat “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan adalah aspek esensial pada berbagai bidang kehidupan bernegara dan berbangsa, tak terkecuali bidang pendidikan. Dalam konteks demikian, akses akan pendidikan harus dimiliki secara adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ideologi tersebut lantas diterjemahkan secara lebih konkret melalui Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai landasan hukum Indonesia. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menuliskan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Sementara pada ayat (2) termaktub bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dengan pemerintah wajib membiayainya. Kedua ayat tersebut menjadi jembatan bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang adil dan layak.
Sementara pada ayat (3), juga ditegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa. Ayat ini pun menjadi fondasi bagi implementasi kedua ayat sebelumnya melalui peran serta pemerintah.
Esensi yang ditetapkan oleh UUD 1945 tersebut lantas kembali dikonkretkan produk hukum turunannya, salah satunya melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bagian pertimbangannya, UU ini menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional haruslah menjamin berbagai kualitas, salah satunya kesempatan pendidikan yang merata, demi menghadapi perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Melalui berbagai landasan tersebut, baik ideologi maupun konstitusi, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan Indonesia. Dalam porsinya tersendiri, pemerintah juga berkewajiban untuk melaksanakan perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan yang bermutu untuk seluruh warga negara Indonesia.
Meski begitu, di lapangan, masih terdapat wilayah terpencil di Indonesia belum merasakan perwujudan dari pemerataan pendidikan tersebut. Sebagai contoh, situasi pendidikan di SMA Negeri Bolan, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Banyak murid yang belum lancar membaca dan berhitung. Sementara jumlah guru dan fasilitas pendidikan tidak memadai (Kompas.id, 30/11/2021, “Banyak Siswa SMA di Daerah 3T Tak Lancar Membaca dan Berhitung”).
Ketimpangan di Wilayah Pelosok
Dengan situasi demikian, pembahasan akan pemerataan pendidikan selalu bersinggungan dengan konsep wilayah terpinggir dan terpencil – atau biasa dikenal dengan istilah tertinggal, terpencil, dan terdepan (3T). Terkait konsep ini, pemerintah secara rutin mendata dan memperbarui daerah-daerah 3T di seluruh Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020–2024, terdapat 62 daerah yang ditetapkan tertinggal. Sebarannya berada di berbagai provinsi, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Selain itu, masih selaras dengan konsep 3T, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan juga mendata pulau-pulau kecil terluar (PKKT) di seluruh Indonesia. Terdapat 12 PKKT, antara lain, Pulau Rondo (Aceh); Pulau Berhala (Sumatera Utara); Pulau Nipa dan Sekatung (Kepulauan Riau); Pulau Marampit, Pulau Marore, dan Pulau Miangas (Sulawesi Utara); Pulau Fani, Pulau Fanildo, dan Pulau Brass (Papua); serta Pulau Dana dan Batek (Nusa Tenggara Timur).
Rata-rata kualitas sumber daya manusia di Indonesia, mengacu pada nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada rentang tahun 2018–2022, menunjukkan kenaikan sebesar 0,54 persen. Kendati demikian, Papua yang salah satunya termasuk ke dalam kategori daerah tertinggal masih berada 15,8 persen di bawah rata-rata nasional Indonesia.
Ketertinggalan Papua dengan rata-rata nasional Indonesia menunjukkan bahwa Papua masih jauh berbeda dari ambang nasional. Ketertinggalan tersebut kian kontras bila disandingkan dengan daerah-daerah lain yang memiliki tingkat IPM tinggi, seperti Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Bali, Sulawesi Utara, Riau, Banten, Sumatera Barat, dan Jawa Barat (Kompas.id, 17/8/2022, “IPM Indonesia: Barat dan Timur Terpaut Satu Dekade”).
KOMPAS/LASTI KURNIA
Riki Sonjaya berjalan kaki sekitar dua hingga empat jam, melintasi sungai dan kawasan perbukitan yang terjal, untuk pulang pergi dari dan ke SDN Caringin.Kampung Caringin, Desa Nagela, Kecamatan Tegalbuleud, Sukabumi (20/11/2015).
Dilansir dari situs resmi Badan Pusat Statistik (BPS), dalam topik terkait angka anak tidak sekolah menurut jenjang pendidikan dan daerah tempat tinggal pada tahun 2022, tampak adanya kesenjangan antara mereka yang di pedesaan dengan perkotaan. Ada kecenderungan capaian pendidikan masyarakat di daerah pedesaan lebih rendah.
Data angka tidak sekolah menurut pendidikan di kawasan pedesaan menunjukkan sebanyak 1,06 persen anak tidak bersekolah di jenjang SD, kemudian sebanyak 8,68 persen anak tidak bersekolah di jenjang SMP, dan terakhir sebanyak 27,6 anak tidak bersekolah di jenjang SMA.
Sementara di kota, data menunjukkan situasi pendidikan yang lebih baik. Persentase anak tidak mengeyam pendidikan SD adalah 0,45 persen, di SMP 5,6 persen, dan di SMA 18,75 persen. Artinya, kota sebagai daerah sasaran pembangunan yang utama memberikan akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan daerah prioritas pembangunan lainnya.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Makan siang Sarino, berupa nasi dan ikan asin. Ini adalah menu rutin setiap hari untuk makan pagi, siang dan malam. Di kampung yang belum dialiri listrik itu, sulit mendapatkan sayur dan daging segar.Kampung Caringin, Desa nagela, Kecamatan Tegalbuleud, Sukabumi (20/11/2015).
Ketimpangan pendidikan sendiri memiliki korelasi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Seperti pada penelitian Riyadi dan Ghuzini dalam artikel akademik “Education And Income Inequality And Their Effects On Economic Growth In The Least Developed, Frontier, And Outermost (3T) Regions”, ditunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Riyadi dan Ghuzini menjelaskan bahwa ketika terdapat peningkatan ketimpangan pendidikan sebesar 1 persen, maka akan berdampak pada penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 0,16 persen. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pemerataan capaian pendidikan yang tidak seimbang, terutama antara wilayah desa dengan kota, akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, penelitian Riyadi dan Ghuzini juga memaparkan bahwa rata-rata lama waktu sekolah antara siswa perempuan dan laki-laki berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kesenjangan gender sebesar 1 persen menyebabkan penurunan PDRB sebesar 0,03 persen. Maka demikian, kesetaraan gender dalam pendidikan dapat membawa pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih tinggi.
Situasi Pendidikan di Wilayah Terpencil
Pendidikan di wilayah terpencil memiliki situasi yang jauh berbeda dengan kawasan perkotaan. Terdapat permasalahan-permasalahan mendasar seperti keterbatasan akses, infrastruktur pendidikan, keterbatasan guru atau tenaga pendidik, serta hambatan sosial-budaya. Hal-hal demikian muncul terutama sekali akibat faktor geografis, dimana daerah terkait berada di pelosok yang jauh dari sorotan dan akses.
Pada rentang tahun 2016–2017, Bank Dunia pernah mengadakan survei terhadap 270 sekolah dasar di pedesaan dan daerah terpencil. Survei dilakukan terhadap kepala sekolah, guru, orang tua, kepala desa, orang tua murid, dan juga murid itu sendiri.
Dari survei tersebut, tercapai sejumlah temuan penting akan pendidikan. Yang paling utama bahwa mayoritas murid yang disurvei menunjukkan kompetensi di bawah standar, yakni dua tingkat di bawah tingkat kelas mereka saat disurvei. Sebagai contoh, siswa kelas 5 SD menunjukkan kompetensi layaknya siswa kelas 3 SD.
Mayoritas guru di daerah terpencil dihadapkan pada masalah konektivitas dari tempat tinggal menuju sekolah dan infrastruktur. Rata-rata jarak antara tempat tinggal dengan sekolah adalah 149 km. Dari seluruh sekolah yang disurvei tersebut, juga ditemukan bahwa hanya 29 persen yang sudah teraliri listrik. Selain itu, untuk infrastruktur internet hanya tersedia di 17 persen sekolah yang diteliti.
Lebih lanjut, Bank Dunia juga menemukan keterbatasan yang juga luar biasa akan akses terhadap buku. Hanya 54 persen sekolah yang sudah memiliki perpustakaan lengkap. Guru-guru dihadapkan pada keterbatasan penyediaan buku pelajaran, di mana hanya 39 persen sekolah yang memiliki buku pelajaran yang cukup lengkap.
Selain itu, survei Bank Dunia juga menunjukkan bahwa 34 persen guru dan 18 persen kepala sekolah hanya berpendidikan SMA. Pemenuhan Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya sebesar 40 persen di mana sisa kekurangan diisi oleh guru kontrak jangka pendek yang terbagi atas guru dikontrak sekolah 40 persen dan guru dikontrak pemerintah kabupaten/provinsi sebesar 15,8 persen.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Yadi, guru olahraga di SDN Cikaret, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (4/4/2008), mengawasi kegiatan belajar-mengajar murid-muridnya. Meskipun hanya mendapat honor sekitar Rp100.000 per bulan, dia mengajar dengan penuh tanggung jawab.
Sebuah studi lain yang dilakukan oleh Febriana, dkk berjudul “Teaching in Rural Indonesian Schools: Teachers’ Challenges” juga menyatakan bahwa guru-guru di daeral terpencil tidak hanya harus menjawab tantangan untuk mengajar, namun juga tantangan infrastruktur dan fasilitas yang jauh dari kata cukup. Kondisi demikian dapat dilihat seperti sekolah yang hanya memiliki dua ruang pembelajaran, tidak ada sekat pembatas antar-ruang kelas, kondisi papan tulis yang rusak, dan jumlah kapur tulis yang sedikit.
Sebagai dampak dari keterbatasan akses dan perhatian ini, bantuan tenaga terhadap guru-guru di wilayah 3T pun menjadi permasalahan sendiri. Jumlah guru begitu terbatas, sehingga satu orang guru harus memberikan perhatian pada anak didik dalam jumlah yang besar.
Hal demikian menunjukkan masalah rasio guru dengan murid yang begitu kurang. Sebagai contoh, pada 2019, satu orang guru SD di daerah Tolikara, Papua harus bertanggung jawab terhadap 222 peserta didik (1:222). Jauh dari rasio yang ideal, yang seharusnya berada di kisaran 1:20 – menunjukkan tidak hanya masalah distribusi yang tidak ideal, namun juga risiko inkompetensi guru atas kelelahan, seleksi yang tidak sesuai kualifikasi untuk mengejar kekosongan pos guru, dan ketidaksesuaian antara latar belakang dengan bidang yang diampu (Kompas.id, 29/11/2021, “Potret Buram Guru di Daerah Tertinggal“).
KOMPAS/LASTI KURNIA
Suasana SDN Caringin yang hanya terdiri dari satu bangunan, tanpa fasilitas toilet atau MCK di Kampung Caringin, Desa Nagela, Kecamatan Tegalbuleud, Sukabumi (20/11/2015).
Kondisi pendidikan di daerah 3T semakin tertekan saat pandemi Covid-19. Sebuah studi berjudul “Problematika Pendidikan Masa Pandemi di Indonesia pada Daerah 3-T (Terluar, Tertinggal, dan Terdepan)” menunjukkan masalah utama yang dihadapi, yaitu kesulitan mendapatkan akses internet untuk belajar daring.
Kondisi-kondisi demikian turut terjadi karena kurangnya pembiayaan untuk mendirikan tower sinyal yang memakan biaya tidak murah. Kondisi perekonomian daerah 3T yang minim menyebabkan kurangnya alokasi untuk pemasangan instalasi ini. Oleh karena itu, problem yang dihadapi bersifat multi-dimensional.
Berbagai situasi dalam data dan angka tersebut secara nyata dihidupi oleh para guru di daerah 3T, yang lantas membentuk narasi pengalaman mereka sendiri. Sebagai contoh, apa yang dialami oleh Darta (56), guru di Desa Tani Baru, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang berasal dari Lampung.
Ia pertama kali datang ke Desa Tani Baru pada tahun 1994, bersama istrinya untuk menjadi guru dengan status PNS. Perjalanan mencapai desa melalui kota terdekat, yakni Samarinda, harus menggunakan perahu motor dengan 3 jam perjalanan. Saat pertama kali sampai, Darta langsung ditantang dengan masalah air. Kemarau membuat bak-bak penampung air hujan kering, sehingga Darta harus mengemis air kepada warga.
Tahun pertama Darta sekeluarga penuh tantangan. Listrik belum ada dan transportasi serba repot serta mahal. Biaya hidup juga mahal sehingga penghasilan Darta habis untuk kebutuhan hidup. Selain itu, sekolah tak ubahnya kandang sapi – dengan kursi dan meja yang reyok, atap bocor, dan lantai lapuk.
Darta tak ingin menyerah. Ia begitu mencintai pekerjaannya sebagai guru – apalagi meninggalkan anak-anak didiknya.”Di sinilah mereka perlu guru. Kalau saya menyerah dan mengajar saja di kota, siapa yang mau di sini? Tetapi, kalau saya di sini dan hanya asal mengajar, ya buat apa? Ada banyak masalah terkait pendidikan di sini. Saya harus melakukan sesuatu,” kata Darta.
Demi keberlanjutan pendidikan siswanya, Darta merintis berdirinya SMP Terbuka pada tahun 1997. Murid-murid beserta orangtuanya didorong oleh Darta untuk membantu ketersediaan air. Sementara uangnya sendiri sudah tidak terhitung yang keluar untuk ongkos transportasi mengurus semua keperluan. Ia bahkan sering dicueki warga, bahkan sampai ada yang mengancam sembari membawa parang.
Namun, kerja keras mereka berbuah hasil. “Orang yang bawa parang itu sekarang jadi pendukung, ha-ha-ha,” ujar Darta. Lebih dari itu, atas kerja kerasnya, Darta meraih penghargaan sebagai Kepala Sekolah Berdedikasi Daerah Khusus tingkat nasional tahun 2008, yang diserahkan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Darta terpilih dari seleksi tingkat kecamatan, kabupaten, hingga provinsi (Kompas, 8/5/2017, “Guru Teladan dari Desa”).
KOMPAS/SUCIPTO
Kepala SDN 014 Krayan Mordani menuntun motornya saat terjebak di kubangan tanah berlumpur ketika ia menuju sekolah di Desa Pa’padi, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Jumat (26/11/2021). Perjalanan yang seharusnya satu jam menjadi tiga jam saat musim hujan.
Lain cerita seperti yang dialami oleh Ai Dewi (50) seorang guru Madrasah Masyariqul Huda di Kampung Cicakal Girang, Lebak, Banten. Jaraknya tempatnya mengajar 170 km dari Jakarta, di mana 3,5 kilometer jalan penuh kelok dengan kemiringan hingga 45 derajat. Ai pindah ke madrasah tersebut pada 1992, setelah sebelumnya mengajar sebagai guru sukarelawan di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten.
Pada tahun-tahun pertamanya, Ai harus merogoh kocek sendiri untuk membeli alat tulis dan buku bagi murid-muridnya. Kondisi sekolah begitu rusak, dengan dinding lapuk dan lantai tanah. Dalam kondisi sulit sinyal, Ai berjuang untuk anak muridnya agar tidak buta aksara. Perjuangannya menjadi guru tidaklah mudah, berbagai rintangan seperti bahaya saat menyusuri hutan, tertimpa patahan bambu yang baru saja ditebang, sampai melewati sungai – hal-hal yang masih ia lalui hingga sekarang. Ia bahkan pernah mengajar tanpa digaji sehingga hanya makan daun singkong pemberian warga selama 10 hari.
Anak-anak sudah hafal jam kedatangan Ai dan berkumpul di rute yang dilaluinya. Setiap kali tiba, Ai akan disambut dengan antusias. “Anak-anak berlari menyambut saya sambil bersorak, ’hore… hore…. Ibu Ai datang’. Rasanya senang sekali. Mereka mencium dan menggelendoti tangan saya,” tutur Ai sambil tertawa.
Kini, perjuangan tersebut masih dijalani oleh Ai. Ia telah terlibat dalam pembangunan Madrasah Tsanawiyah Alam Wiwitan di Kampung Cicakal Girang. Belum berhenti bermimpi, dia berencana menggagas madrasah aliyah atau setara dengan sekolah menengah atas di Kampung Cicakal Girang. Tujuannya tak lain agar anak-anak usia sekolah di sana tak lagi berkawan dengan buta aksara (Kompas, 19/4/2018, “Pelita bagi Buta Aksara”).
Upaya Pengadaan Guru di Wilayah Pinggiran
Mengutip dari situs resmi MPR, jumlah guru di Indonesia pada tahun 2022–2023 sebanyak 3,3 juta pada sekolah negeri, namun demikian pada tahun 2024 berikutnya berpotensi kekurangan guru sebanyak 1,3 juta karena pensiun. Kekurangan guru tersebut terutama bagi daerah 3T.
Dikutip dari situs Tanoto Foundation setiap tahun sebanyak 70.000 guru sekolah negeri pensiun. Untuk itu, sebagai responnya Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek mengadakan program 1 juta ASN PPPK sejak tahun 2020. Tahun 2021 dan 2022 sebanyak 544.000 guru direkrut dan masuk dalam sistem pendidikan Indonesia. Kemudian pada 2023 ini Kemendikbudristek melalui Badan Kepegawaian Nasional (BKN) berupaya menambah jumlah guru sebanyak 600.000 orang.
Pada 2021 kebutuhan guru sebanyak 170.000 diperlukan untuk ditempatkan di daerah perbatasan (terpencil). Kebutuhan sejumlah itu untuk mengatasi kesenjangan antara jumlah guru yang berada di perkotaan dengan pedesaan terutama daerah terpencil.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Endun, guru SDN Sukasari, Tegalbuleut, Sukabumi, menempuh perjalanan menuju ke sekolah dengan motor bebek yang dimodifikasi serupa motor trail, Kamis (19/11/2015). Ia setiap hari berangkat bersama Ade Irma, kerabatnya yang juga menjadi guru di sekolah yang sama.
Program Guru Garis Depan atau GGD
Program Guru Garis Depan (GGD) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) berusaha meningkatkan kecukupan guru berstatus pegawai negeri sipil di sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Namun, itu terkendala soal birokrasi dan budaya. Peneliti Article 33 Indonesia, Sandy J Maulana, mengatakan, program GGD memaksa pemerintah daerah memenuhi kebutuhan guru bermutu di area 3T.
“Pemenuhan guru bermutu di daerah 3T tak bisa diatasi dengan perekrutan biasa,” kata Sandy, Rabu (27/3/2019), di Jakarta. Peserta program GGD mendapat tunjangan khusus 3T dan tunjangan profesi, masing-masing satu kali gaji pokok dua tahun pertama masa penempatan, lalu jadi PNS daerah.
Pada 2017 yang lalu Kemdikbud melalui program GGD angkatan pertama mengirimkan 798 guru profesional ke 28 kabupaten di daerah 3T yang tersebar dalam beberapa provinsi seperti Aceh, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Pada kesempatan selanjutnya Kemdikbud berupaya merekrut 17.000 GGD dan kemudian ditempatkan di 15.000, desa di wilayah 3T dan berstatus sebagai PNS.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Kurangnya perhatian pemerintah pada sektor pendidikan menyebabkan banyak sekolah di wilayah terpencil kekurangan guru, Senin (22/10/2007). SDN 119 Desa Kuala Dendang, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, misalnya, tak lagi beroperasi lebih dari setahun karena tak ada guru yang mau mengajar di sana.
Guru Honorer Skema PPPK
Selain itu, berbagai program yang berpihak pada daerah 3T pun dilakukan dengan pengangkatan guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), termasuk bagi guru honorer di daerah 3T. Adapula kebijakan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) yang disesuaikan berdasarkan indeks kemahalan daerah. Jumlah dana BOS di daerah 3T pun bisa meningkat hingga 100 persen dari sebelumnya.
Pengangkatan guru honorer menjadi PPPK dalam program GGD haruslah mengikuti Pelatihan Profesi Guru (PPG) terlebih dahulu. Mengutip Kompas.id (23/3/23, “Penuntasan Guru PPPK Makin Krusial untuk Benahi Pengangkatan Guru Baru”) Guru prajabatan lulusan PPG (dengan gelar S1 dan PPG guru 1 tahun) diprioritaskan untuk dipekerjakan di daerah terdepan, terpencil, dan terluar (3T), terutama di wilayah timur Indonesia.
Meskipun terdapat seleksi guru PPPK untuk guru honorer hingga tahap tiga, formasi guru daerah 3T tidak dilamar. Akibatnya, pada tahun 2022 tersisa 68.709 formasi. Hal ini disebabkan karena masih terdapat guru-guru yang tidak menerima formasi meskipun memiliki kebutuhan akan hal tersebut.
Selain pengadaan guru oleh pemerintah, upaya peningkatan kapasitas guru juga menjadi perhatian bagi mereka yang berada di kawasan 3T. Upaya ini dilakukan oleh Tanoto Foundation selaku organisasi independen filantropis melalui Program Pelita Guru Mandiri dan PINTAR. Program tersebut bertujuan untuk melatih para pendidik dalam menciptakan berbagai teknik pengajaran dan produk pendidikan yang kreatif dan menyenangkan yang ditampilkan pada kegiatan Education Expo. (LITBANG KOMPAS)
Artikel terkait
Referensi
- Febriana, M., dkk. (2018). “Teaching in Rural Indonesian Schools: Teachers’ Challenges”. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 11-20.
- Riyadi, & Ghuzini, D. (2021). “Education and income inequality and their effects on economic growth in the least developed, frontier, and outermost (3T) regions”. Jurnal Kependudukan Indonesia, 139-152.
- Sujatmoko, E. (2010). “Hak Warga Negara dalam Memperoleh Pendidikan”. Jurnal Konstitusi, 181-211.
- Sutomo, M., & Siregar, E. S. (2022). “Teacher Professional Development in Indonesia’s Remote Areas with Driven Educational Philanthropic Institutions”. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, 500-509.
- Kompas, (2018, Februari 12). Akses dan Mutu Jadi Prioritas. Harian Kompas. Hlm 11.
- Kompas, (2017, Mei 8). Guru Teladan Dari Desa. Harian Kompas. Hlm 16.
- Kompas, (2018, April 19). Pelita bagi Buta Aksara. Harian Kompas. Hlm 16.
- Kompas.id. (2019, Maret 27). Program Guru Garis Depan Tingkatkan Kecukupan Guru di Daerah Tertinggal. Retrieved November 15, 2023, from https://www.kompas.id/baca/utama/2019/03/27/program-guru-garis-depan-tingkatkan-kecukupan-guru-di-daerah-tertinggal
- Kompas.id. (2021, November 30). Banyak Siswa SMA di Daerah 3T Tak Lancar Membaca dan Berhitung. Retrieved November 13, 2023, from https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/11/30/banyak-siswa-sma-di-daerah-3t-tak-lancar-membaca-dan-berhitung
- Kompas.id. (2021, November 29). Potret Buram Guru di Daerah Tertinggal. Retrieved November 13, 2023, from https://www.kompas.id/baca/riset/2021/11/29/potret-buram-guru-di-daerah-tertinggal
- Kompas.id. (2022, November 25). Hari Guru Nasional: Guru Garda Terdepan Dunia Pendidikan. Retrieved November 13, 2023, from https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/hari-guru-nasional-guru-garda-terdepan-dunia-pendidikan
- Kompas.id. (2022, Agustus 17). IPM Indonesia: Barat dan Timur Terpaut Satu Dekade. Retrieved November 15, 2023, from https://www.kompas.id/baca/riset/2022/08/12/ipm-indonesia-barat-dan-timur-perbedaan-satu-dekade
- Kompas.id. (November, 13). Keppres Tentang Hari Guru Nasional. Retrieved November 13, 2023, from 2021: https://kompaspedia.kompas.id/baca/data/dokumen/keppres-tentang-hari-guru-nasional
- Kompaspedia. (2021, November 25). Dedikasi Guru Untuk Negeri. Retrieved November 13, 2023, https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/dedikasi-guru-untuk-negeri
- Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional.
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
- Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 160 /P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis.
- Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penetapan Daerah Khusus Dalam Pelaksanaan Kebijakan.
- Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
- Badan Pusat Statistik. (2023, November 13). Angka Anak Tidak Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan dan Daerah Tempat Tinggal 2019. Retrieved November 13, 2023, from https://www.bps.go.id/indicator/28/1984/2/angka-anak-tidak-sekolah-menurut-jenjang-pendidikan-dan-daerah-tempat-tinggal.html
- Badan Pusat Statistik. (2023, November 13). Indeks Pembangunan Manusia menurut Provinsi. Diambil pada November 13, 2023, dari https://www.bps.go.id/indicator/26/494/1/-metode-baru-indeks-pembangunan-manusia-menurut-provinsi.html
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017, November 25). Kemendikbud Siapkan Lima Program Afirmasi untuk Pemenuhan Guru di Daerah. Diambil pada November 15, 2023, dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/kemendikbud-siapkan-lima-program-afirmasi-untuk-pemenuhan-guru-di-daerah
- Tanoto Foundation. (2023, Agustus 31). Pemenuhan Kebutuhan Guru di Indonesia – Prof. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd. Diambil pada November 15, 2023, dari https://www.tanotofoundation.org/id/news/pemenuhan-kebutuhan-guru-di-indonesia-prof-dr-nunuk-suryani-m-pd/
- Bank Dunia. (2020, Februari 2). The Hard Truth: Challenges Of Primary Education In Rural And Remote Indonesia. Diambil pada November 15, 2023, dari https://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/hard-truth-challenges-primary-education-rural-and-remote-indonesia