KOMPAS/RIZA FATHONI
Pemandangan Tugu Monas, Jakarta Pusat dan taman Medan Merdeka yang mengelilinginya, Kamis (3/1/2019). Kompleks tugu Monas yang menempati areal seluas 80 hektar selain menjadi lokasi tujuan wisata bersejarah dan monumen ikon di ibukota juga menyediakan ruang terbuka hijau yang menjadi paru-paru kota sebagai penghasil oksigen yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Selain itu taman di sekeliling Monas juga menjadi habitat satwa dan resapan air di tengah kepuangan gedung bertingkat.
Fakta Singkat
Sejarah Jakarta
Nama Jakarta pernah mengalami beberapa kali perubahan:
- Sunda Kelapa
- Jayakarta pada masa raja Fatahilah
- Stad Batavia, Gemeente Batavia, Stad Gemeente Batavia di masa penjajahan Belanda.
- Jakarta Tokubetshu Shi saat pendudukan Jepang.
- Di masa kemerdekaan: Pemerintah Nasional Kota Jakarta, Kota Praja Jakarta, Kota Praja Djakarta Raya, kemudian Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Jakarta, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pada 1526-1527 Sunan Gunung Jati atau Fatahillah, raja Kerajaan Cirebon menyerbu dan berhasil menguasai Sunda Kelapa.
Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC (Vorenigde Oost Indische Compagnie) kemudian menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada 1618
Dari namanya, sejak masa Hindu Buddha hingga masa kemerdekaan, hampir di setiap masa nama kota ini diubah. Mulai dari Sunda Kelapa, diubah menjadi Jayakarta pada masa raja Fatahilah, kemudian diganti menjadi Stad Batavia, Gemeente Batavia, dan Stad Gemeente Batavia di masa penjajahan Belanda.
Kemudian diberi nama Jakarta Tokubetshu Shi saat pendudukan Jepang. Di masa kemerdekaan, beberapa kali masih terjadi pergantian nama, mulai dari Pemerintah Nasional Kota Jakarta, Kota Praja Jakarta, Kota Praja Djakarta Raya, kemudian Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Jakarta, dan akhirnya menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, nama yang digunakan hingga kini.
Sedikitnya Jakarta telah berganti nama sebanyak 13 kali, hingga kemudian muncul julukan Jakarta “kota 1001 nama”. Banyaknya nama untuk Jakarta, tidak terlepas dari siapa yang memimpin Jakarta saat itu. Pada masa sekarang, bukan nama kota yang diganti. Namun, kebijakan yang berganti. Ganti gubernur, ganti pula kebijakan dan program membangun, membenahi dan memperbaiki Jakarta.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Lapangan Banteng yang terletak di jantung ibukota ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Lapangan tersebut kini menjadi salah satu pusat kegiatan warga untuk berolahraga, berkumpul, berwisata hingga menjadi kegiatan perekonomian untuk pameran dan bazar (7/5/2017).
Masa Hindu Budha (abad ke-5 hingga abad ke-15)
Dataran alluvial daerah Jakarta dan sekitarnya terjadi karena pengendapan lumpur dari daerah pegunungan yang dibawa oleh sungai Cisadane, Ciliwung, kali Bekasi dan lainnya. Menurut Dr. H.Th.Verstappen, berdasarkan kecepatan pengendapan lumpur di tepi pantai saat ini, maka tanah dataran Teluk Jakarta diperkirakan berumur 5.000 tahun yang lalu.¹
Sungai-sungai seperti Ciliwung, Kali Angke, Kali Marunda, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum yang semuanya bermuara ke laut Jawa ini yang membentuk Teluk Jakarta, menarik masyarakat untuk bertempat tinggal. Di daerah Jakarta dan sekitarnya banyak ditemukan peninggalan berupa alat kapak, beliung, gurdi, bekas gerabah dalan lainnya di dekat pinggir sungai-sungai tersebut.
Peran sungai tidak terlepas dari kepentingan masyarakat tergambar dalam Prasasti Tugu yang ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, Kelurahan Tugu, Koja, Jakarta Utara. Dalam Prasasti Tugu, disebutkan adanya dua sungai Candrabaga dan Gomati yang telah digali pada masa neneknya Purnawarman dan masa Purnawarman sendiri. Penggalian sungai-sungai itu kemungkinan untuk mengurangi banjir, pengairan pertanian, atau mungkin juga untuk pelayaran. Prasasti Tugu yang berasal dari abad ke-5 pada masa kerajaan Tarumanagara itu juga menjadi bukti sudah adanya pemukiman penduduk di wilayah Jakarta di masa itu.
Tidak ada data setelah abad ke-7, baru pada abad ke-14 dengan timbulnya pusat kerajaan Pakuan Pajajaran di Bogor, daerah Jakarta dan sekitarnya termasuk berada di bawah kekuasaannya. Info ini didapat dari prasasti yang ditemukan di Desa Batu Tulis di Bogor. Menurut Dr Poerbatjaraka, prasasti itu sebagai peringatan pendirian pusat keraton Pakuan Pajajaran oleh Sri Baduga Maharaja pada tahun 1255 Saka atau tahun 1333 M.
Sungai Ciliwung yang bermuara di Teluk Jakarta merupakan salah satu pusat bandar Kerajaan Pajajaran yang disebut “Capala”, atau kemudian dikenal sebagai Sunda Kelapa. Sejak Bogor menjadi ibukota Pajajaran di antara pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa Barat, yang terpenting adalah Sunda Kelapa. Pelabuhan ini sudah ada sejak abad ke-5. Saat itu pelabuhan berada di bawah kepemilikan Kerajaan Tarumanegara. Pada masa kemudian, yaitu pada abad 12 pelabuhan berpindah tangan menjadi milik Kerajaan Sunda.
KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF
Monumen Selamat Datang adalah sebuah monumen yang terletak di tengah Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Monumen ini dikelilingi kolam dengan air mancur yang membuat sejuk suasana sekitarnya (27/5/1986).
Masa Kerajaan Islam (abad ke-15 hingga abad ke-17)
Dalam catatan perjalanan Tome Pires yang menginjakkan kakinya di Sunda Kelapa pada 1513, menurutnya pada awal abad ke-16 Sunda Kelapa (Pires menyebut dengan istilah “Capala”) merupakan salah satu pelabuhan penting di antara bandar-bandar lain di wilayah sepanjang pantai barat Pulau Jawa. Dalam catatannya, Pires menyebut kerajaan Hindu-Pajajaran saat itu memiliki enam buah bandar laut, yaitu Bamtam (Banten), Pomdam (Pontang), Chengujde (Cigede), Tamgaram (Tangerang), Capala (Kalapa), dan Chemano (Cimanuk).
Pires melukiskan kota pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan utama sangat megah dan paling baik di antara pelabuhan lainnya dari kerjaaan Hindu-Pajajaran. Menurut catatan Pires bandar ini telah didatangi oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Sumatera, Kalimantan, Makassar, Jawa, Madura, dan pedagang-pedagang asing dari Timur Tengah dan Tiongkok.
Bangsa Portugis masuk Sunda Kelapa tahun 1522, yaitu Enrique Leme beserta rombongan sebagai utusan Gubernur Jenderal Portugis. Orang Portugis rupanya sudah lama mengenal sosok raja Kerajaan Hindu Pajajaran, Sang Hiyang Surawisesa (1521-1535). Mereka datang dengan membawa aneka cinderamata untuk sang raja. Selanjutnya pada 21 Agustus 1522 disepakati perjanjian persahabatan antara Kerajaan Hindu-Pajajaran dan Kerajaan Portugal. Perjanjian itu berisi Portugis bersedia membantu Sunda Kelapa jika kota bandar itu diserang Kerajaan Cirebon. Untuk imbalannya, pihak Portugis diijinkan mendirikan loji atau kantor dagang di Bandar Banten. Namun Portugis menginginkan loji itu didirikan di Sunda Kelapa.
Perjanjian itu dilihat sebagai sebuah ancaman oleh Sultan Trenggana dari Kerajaan Demak. Atas dorongan dan bantuan Kerajaan Demak, pada 1526-1527 Sunan Gunung Jati atau Fatahillah, raja Kerajaan Cirebon menyerbu dan berhasil menguasai Sunda Kelapa.Jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Fatahillah pada 22 Juni 1527 menandai masuk dan berkembangnya Islam di Sunda Kelapa. Bandar tersebut kemudian diganti Namanya menjadi Jayakarta, yang artinya “kemenangan berjaya” atau ada pula yang menyebut “kota kemenangan”. Tanggal peristiwa itu kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta.
Kekuasaan Jayakarta di bawah pemerintahan Fatahillah semakin meluas, bahkan sampai ke daerah Banten. Fatahillah menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada puteranya, Maulana Hasanuddin, sultan di Kerajaan Banten. Akhirnya Banten menjadi kerajaan Islam, dan sejak saat itu pemerintahan atas Jayakarta dipegang oleh sultan-sultan Banten.
KOMPAS/PAT HENDRANTO
Gladi resik Jakarta Fair 1973, beberapa kesenian yang akan memeriahkan Jakarta fair adalah tari kecak, ondel-ondel, Tari Jawa, Sumatera, tak lupa pula remaja pramuka ikut memeriahkan (14/6/1973).
Masa Kolonial (abad ke-18 hingga abad ke-19)
Setelah Demak berkuasa, pada 1595 Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman masuk ke perairan Banten. Namun orang Belanda baru tahun 1617 diperbolehkan berdagang di Jayakarta. Berita dari orang-orang Belanda yang datang dengan kapal Holandia di pelabuhan menceritakan bahwa kota dikelilingi oleh pagar kayu. Sedangkan berita abad ke-17 yaitu masa Pangeran Jakarta Wijayakrama, telah membangun pagar kota dari tembok.
Sejak Jayakarta di bawah pimpinan Pangeran Jakarta Wijayakrama, kemajuan kota makin pesat karena sebagai pusat pelayaran dan perdagangan antar daerah nusantara, dan antar negara asing. Unsur-unsur metropolitan sejak Sunda Kelapa, di masa pemerintahan pangeran Jakarta menjadi lebih kuat. Hal ini karena persaingan dengan pelabuhan Banten dan peraturan bea cukai barang-barang lebih rendah ketimbang Banten, meskipun Jayakarta merupakan daerah bagian dari Kesultanan Banten.
Belanda masuk ke Banten dan memperoleh sebidang tanah di sebelah timur sungai Ciliwung, yaitu di perkampngan Cina. Di atas tanah itu, Belanda membangun kantor dagang dan sebuah benteng. Setelah Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC (Vorenigde Oost Indische Compagnie) dan terlebih setelah menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta sejak 1618, bangunan loji diperlengkapi dan diperkuat. Tindakan JP Coen dalam memperkuat bentengnya menimbulkan amarah Pangeran Jakarta karena telah menyalahi perjanjian dan mengganggu keamanan.
KOMPAS/CHRYS KELANA
Pekan Raya Jakarta dibuka Rabu (15/6/1974) dengan tarian tradisional Jakarta serta ondel-ondel, tarian Bali dan kesenian lainnya. Pekan Raya Jakarta dibuka oleh Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono didampingi Gubernur Ali Sadikin.
Di masa Pangeran Jakarta Wijayakrama, orang Inggris juga diberi izin mendirikan loji yang teletak di seberang sungai, berhadapan dengan loji Belanda. Oleh Belanda pendirian loji Inggris ini sebagai saingan. Tahun 1619 terjadi pertempuran antara orang Belanda dan orang Inggris. JP Coen mencari bantuan ke Maluku dan berhasil menaklukkan Jayakarta pada 30 Mei 1619.
Sejak Jayakarta direbut VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal JP Coen, sejarah Jayakarta memasuki lembaran baru. Nama Jayakarta oleh JP Coen diganti menjadi Batavia yang berasal dari nama Suku Batavieren, nenek moyang bangsa Belanda yang berasal dari Jerman. Di Batavia JP Coen membangun suatu kota tiruan Belanda.
Kota ini dibangun dengan konsep “kota air”, dikelilingi parit-parit dan tembok kota yang diperkuat dengan benteng-benteng kecil. Benteng ini mulanya dijadikan sebagai kastil dan pusat perdagangan. Kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal para pegawai kompeni. Pembangunan lalu menyebar keluar benteng, dimulai dari pembangunan gudang-gudang senjata, kanal-kanal yang dibangun untuk kepentingan transportasi dan antisipasi banjir. Di Batavia sungai Ciliwung diluruskan alirannya, pada kedua tepinya dibangun jalan yang lebar.
Pada awalnya Batavia berisikan orang-orang dari Asia yang dibawa VOC untuk kepentingan mereka. Orang Cina dipaksa menetap dan membuka toko untuk membuat hubungan dagang dengan negara Cina. JP Coen juga berusaha memindahkan orang-orang Belanda dari negerinya, dan sekaligus menjadikannya petugas VOC, seperti pertukangan, tantara, bahkan guru agama, karena VOC terus menghadapi tantangan dari kerajaan-kerajaan Indonesia.
Selanjutnya, JP Coen menjadikan Batavia sebagai pusat militer dan administrasi. Lokasinya strategis dan mudah untuk mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia Timur, Timur Jauh dan Eropa. Pada abad ke-17 Batavia telah menjadi pusat jaringan besar pedagangan Belanda di Asia. Kapal-kapal dagang dari VOC mendatangi bandar-bandar penting di Indonesia dan Asia, seperti Jepang, Taiwan, Malaka, Siam, Kamboja, Benggala, Srilanka, dan lainnya. Keinginan Belanda tercapai di Batavia, mereka berhasil menguasai perdagangan dunia internasional dan menjadikan Batavia sebagai ibukota.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Foto aerial suasana lalu lintas di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat pada hari pertama masuk kantor pasca-libur Tahun Baru 2023, Senin (2/1/2023). Sejumlah ruas jalan terpantau lancar pada hari pertama masuk kerja dan sekolah pasca-libur tahun baru.
JP Coen kembali menjadi Gubernur Jenderal pada 1627. Ia terus mengembangkan kota dan meneruskan politiknya. Bagi JP Coen, Banten dan Mataram tetap menjadi sasaran untuk mengurangi bahkan melenyapkan kekuasaan mereka. Pengepungan Kota Jakarta oleh tentara Mataram terjadi dua kali pada 1628 dan 1629, namun serangan itu gagal. Saat itu JP Coen menderita sakit keras dan meninggal dunia pada 20 September 1629. Dia digantikan oleh Jacques Spex (1629-1636), lalu Antonio van Diemen (1636-1645) yang melanjutkan membangun kota Batavia sebagai pusat politik dan perdagangan. Kasteel Batavia yang dibangun JP Coen sebagai pusat pemerintahan VOC disempurnakan. Pada akhir abad ke-17 keindahan ibukota Batavia mendapat pujian dari orang-orang Perancis, maupun orang-orang Inggris.
Gubernur Jenderal yang memerintah setelah Antonio van Diemen adalah Cornelis v.d. Lijn (1645-1650), kemudian diganti oleh Karel Reniers (1650-1653). Di masa pemerintahan Karel Reniers Batavia tidak banyak pembangunan seperti masa sebelumnya. Setelah Karel Reniers meninggal dunia, diganti oleh Joan Maetsuyker yang lama menjabat dari 1653-1678. Maetsuyker meninggal digantikan oleh Rijckloff Van Goens (1678-1681). Selama pemerintahan Maetsuyker hingga Van Goens banyak peristiwa perlawanan rakyat, antara lain pemberontakan Trunojoyo, perlawanan Untung Suropati. Di Batavia juga terjadi peristiwa perlawanan Pieter Erberveld pada 1 Januari 1722, dan pimpinan VOC memerintahkan memenggal kepala Pieter Eberveld. Tahun-tahun berikutnya terjadi perlawanan dari masyarakat Cina yang dikenal dengan “Pembunuhan Cina” pada masa pemeintahan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier tahaun 1740.
Pada abad ke-18 terjadi kejatuhan harga barang dagangan yang tidak terkendali. Persediaan barang dagangan semakin berkurang. Ini menjadi masalah besar bagi pedagang dalam dan luar negeri. Sementara pedagang Cina di Batavia tetap dikekang oleh Belanda, karena Belanda beranggapan pedagang Cina pandai memainkan penjualan barang dagangan. Pada sisi lain terjadi monopoli barang dagangan secara besar-besaran di tubuh VOC yang terus meluas, serta korupsi yang melibatkan para pegawainya. Situasi ini menjadi awal kejatuhan VOC di Batavia.
Akibat hutang-hutangnya yang besar mencapai 134,7 juta gulden, VOC dinyatakan bangkrut oleh pemerintahan Belanda, dan kongsi dagang ini dibubarkan pada 31 Mei 1799. VOC akhirnya tamat di tanah Batavia.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman William Daendels (1809), ia memindahkan pusat pemerintahan ke suatu kota baru yang diberi nama Weltevreden. Inti kota baru ini di sekitar Lapangan Banteng, dan di sini ia membangun istana besar dan megah (kini Gedung Departemen Keuangan). Istana yang diberi nama “het Witte Huis” (Gedung Putih) selesai dibangun pada 1828. Daendels menjadikan istana itu sebagai pusat ibu kota baru Batavia di Weltevreden, setelah memindahkan pusat pemerintahan dari Oud Batavia (Kota Tua).
LITBANG KOMPAS
Referensi
- Hakim, Abdul. 1993. Jakarta Tempo Doeloe. Jakarta: Media Antarkota Jaya.
- Tjandrasasmita, Oka. 2002. Sejarah Jakarta, dari Zaman Prasejarah sampai Batavia Tahun 1750. Jakarta: Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Dinas Museum dan Pemugaran.
- Sedyawati, Edi.1986/1987. Sejarah Kota Jakarta 1950-1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- Erwantoro, Heru. 2009. Hari Jadi Kota Jakarta. Patanjala, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol.1 No.3 September 2009 hal. 215-228.
• Kompas. 2004. Sunda Kelapa, Potensi Ekonomi, Budaya, dan Pariwisata yang Terabaikan, 21 Oktober. Hal.19.
• Kompas. 2007. Sejarah Banjir: Warisan Batavia untuk Jakarta. 10 November. Hal.37.
• Kompas. 2013. Kota Tua. Oud Batavia, Setelah 370 Tahun.
• Kompas. 2018. Batavia, Kota Tiruan yang Terpuruk. 5 Februari. Hal.27.
- Sejarah Rekayasa Air dalam Prasasti Tugu dalam https://indonesia.go.id
- Sejarah Jakarta disarikan dari https://sejarahlengkap.com
- Empat Abad Batavia Awal Rupa Bandar Terpenting di Asia Tenggara disarikan dari https://nationalgeographic.grid.id
- Mengenal Sejarah Banjir di Jakarta, Sudah Terjadi Sejak Masa Kolonial Belanda disarikan dari Tribunnews.com
- Saat Pejabat Batavia pindah ke Weltevreden, Bangunan Putih Bermunculan di Sekitar Lapangan Banteng disarikan dari Tribunnews.com
Artikel terkait