Paparan Topik | Seni

Kesenian Betawi: Potret Akulturasi dan Tumbuh Kembangnya Seni Budaya

Tanah Betawi tumbuh dan berkembang dengan beragam akulturasi kebudayaan, makanan, seni hingga tradisi dan ritual masyarakatnya. Peradaban dan modernitas yang terus berjalan membuat kesenian tradisi menjadi terpinggirkan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga berfoto di depan patung ondel-ondel yang dipasang di kawasan Pancoran Glodok, Tamansari, Jakarta Barat, tempat berlangsungnya Festival Pecinan 2019, Selasa (19/2/2019). Festival yang akan berlangsung hingga Rabu (20/2/2019) ini diisi dengan berbagai atraksi kesenian daerah, baik Betawi maupun Tionghoa.

Fakta Singkat

  • Etnis Betawi lahir, tumbuh, dan mendapat pengaruh dari beragam etnis, yaitu Tionghoa, Arab, Yaman, Bali, dan Jawa
  • Kesenian tradisi banyak dipengaruhi dari Cina dan sedikit Arab, tetapi mayoritas Etnis Betawi beragama Islam
  • Kesenian Betawi: Gambang Keromong, Tari Cokek, Hajir Marawis, Palang Pintu, Rebana, Tanjidor, dan Ondel-ondel.
  • Ondel-ondel sudah ditemui di Batavia sejak tahun 1605
  • Redupnya kesenian tradisional Betawi akibat dampak modernisasi dan makin beragamnya jenis hiburan.

Sejumlah catatan sejarah menunjukkan bahwa pada abad ke-2 telah ada masyarakat menghuni di sekitar sungai Ciliwung yang disebut sebagai Proto Melayu. Dari kawasan ini pula, perkembangan kota Batavia memberikan banyak kontribusi pada etnis yang tumbuh di dalamnya.

Sebagai kota perdagangan, Batavia banyak disinggahi kapal saudagar dari Cina, Persia, Portugis, dan Belanda. Seiring berjalannya waktu, kebudayaan berbagai etnik saling mempengaruhi hingga terjalin akulturasi budaya.

Ketika terjadi pemberontakan Cina di Batavia tahun 1740, sebagian besar orang Cina lari ke wilayah Tangerang dan Bekasi. Bersamaan dengan itu, dunia kesenian juga tumbuh dengan ditandai kesenian Gambang Keromong yang mulai berkembang di Tangerang.

Gambang Keromong semula berselendro China, lambat laun memasukkan unsur slendro Jawa, Sunda dan Deli kemudian masuk unsur Portugis dan Timur Tengah, dan seiring berjalan waktu akhirnya menjadi musik Betawi.

Keberadaan Gambang Kromong ini menjadi saksi perjalanan sejarah Peranakan Cina dan akulturasi beragam budaya di tanah Betawi. Kesenian Gambang Keromong juga berperan dalam pertunjukan Lenong, seperti misalnya pada teater China dan Tarian Cokek.

Dalam catatan Kompas, akulturasi budaya Betawi tergambar jelas pada busana pengantin Betawi yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Arab (Yaman Selatan, Hadramaut) dan China (Hokian). Awalnya jubah pengantin pria bersulam naga dan asesori khas China, sementara pengantin perempuan hanya sedikit berbeda dengan pengantin China asli yaitu hilangnya sulaman bergambar delapan dewa di mahkota (Kompas, 1 Desember 2009, “Gambang Kromong Teluk Naga”).

Di Indonesia, Gambang Keromong pernah populer pada tahun 1960-an oleh Lilis Suryani. Selanjutnya, pada tahun 1970-an, Benyamin Sueb berduet dengan Ida Royani yang membuat Gambang Keromong semakin familiar bagi masyarakat Betawi saat itu.

Ditinjau dari dialek bahasanya, Betawi dikategorikan dalam dua wilayah, yaitu Betawi Tengah dan Betawi Pinggir. Dari sisi kesenian pun berbeda, Betawi Pinggir lebih banyak menghasilkan kesenian musik seperti Gambang Keromong, Tanjidor, dan Lenong yang dahulunya dipengaruhi oleh kaum Peranakan Tionghoa. Bahkan, Ondel-ondel berasal dari budaya agraris yang banyak terdapat di Betawi Pinggir.

Sedangkan Betawi Tengah lebih dekat dengan seni ke-Islaman seperti Samrahan, Rebana, dan Hadrah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Timur Tengah. Namun, untuk wilayah Glodok dengan mayoritas warga keturunan Tionghoa, kesenian Gambang Keromong dan Tari Cokek lebih populer.

KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO

Salah satu kesenian tradisional, gambang keromong masih disukai pengunjung Festival Cisadane 2005. Dalam keseharian jenis kesenian ini biasa mengiringi penyanyi cokek yang membawakan lagu berbahasa China dan Betawi (16/6/2005).

Tari Cokek

Dalam pemberitaan Kompas 2 Juli 1999 berjudul “Cokek, Tradisi Lokal yang Terpinggirkan” disebutkan asal mula tari Cokek memiliki berbagai versi.

Versi pertama mengatakan tari Cokek bermula pada masa para tuan tanah menguasai Batavia pada abad ke 19, khususnya di daerah Kota atau Beos. Para tuan tanah Cina yang sangat kaya raya seringkali membutuhkan hiburan sehingga membuat pesta setiap malam Minggu. Pesta yang hanya dihadiri oleh orang Belanda dan Cina kaya itu biasanya dimeriahkan dengan musik Gambang Keromong. Di sanalah para “pembantu” dengan ketrampilan menari dan menyanyi memeriahkan acara sambil melayani tamu laki-laki yang dikenal dengan penari Cokek.

Versi kedua menyebutkan Cokek berasal dari Teluk Naga di Tangerang yang dikuasai oleh tuan tanah bernama Tan Sio Kek. Ia memiliki group musik dan alat musiknya bertambah ketika kedatangan tamu dari Cina daratan yang membawa te-hi-ang, su-kong dan khong-a-yan. Sejak itu ia memiliki instrumen lengkap Gambang Keromong yang sering dimainkan dengan perempuan penari yang disebut cokek, anak buah Tan Sio Kek.

Biasanya, penari Cokek mengajak menonton ikut menari dengan  melemparkan Cukin (selendang)  pada penonton. Kegiatan itu biasa disebut ngibing, yaitu penonton biasanya laki-laki akan ikut menari bersama penari dan memberikan uang atau saweran. Kebersamaan antara penari dan penonton ini merupakan sebuah kebiasaan yang menarik bagi penontonnya.

Pakaian yang dikenakan penari Cokek, yaitu kebaya dengan kain batik serta selendang yang berfungsi sebagai cukin, dalam tarian Jawa biasa disebut melempar sampur. Gambang Kromong mengiringi Tarian Cokek dengan lagu yang biasa dibawakan, yaitu Gelatik Nguk-nguk, Cente Manis, dan Stambul Jalan.

Tari Cokek yang sudah terlanjur dikenal sebagai tari pergaulan, sarat dengan erotisme karena gerakan yang mudah dan cenderung menampilkan gerakan erotis. Kehadiran laki-laki yang ikut ngibing dan memberi saweran dengan cara menyelipkan uang di balik kebaya penari membuatnya bernuansa mesum. Bahkan, konon penari cokek juga bisa diajak berhubungan seks yang memberikan kesan berelasi dengan prostitusi, ditambah lagi dengan suasana hiburan yang lekat dengan rokok dan minuman keras.

Hal itu membuat prihatin pegiat seni peranakan Tionghoa. Pada 1980 ada upaya gerakan untuk mencoba mengembalikan marwah Tari Cokek. Konon pada abad 17 telah ada tari Sipatmo atau Shiu Pat Mo sebagai tarian agung yang biasa dibawakan untuk upacara adat di klenteng untuk menutup Cap Go Meh di hari 15 Imlek. Namun, hilang bersamaan dengan makin meluasnya tari Cokek.

Pada tahun 1980-an seorang pegiat tari Memeh Kerawang atau Tan Gwat Nio menghidupkan kembali tari Sipatmo. Namun sayangnya, Memeh wafat tahun 1988 yang berimbas seni tari Sipatmo meredup. Tari Sipatmo sempat dibangkitkan oleh keturunan Memeh Kerawang dengan tampil dalam Parade Tari di Bali tahun 2014, bahkan mendapatkan juara umum.

Tampilnya tari Sipatmo dalam arena tari tersebut karena kepedulian masyarakat Cina Benteng yang didukung oleh Dinas Kesenian Jakarta. Untuk mendukung pariwisata dan ekonomi lokal, tari Cokek Sipatmo dihidupkan kembali dengan menggerakkan perempuan Cina Benteng sebagai seni budaya Kota Tangerang.

Gerakan pemberdayaan kesenian Cina Benteng di dukung oleh LSM Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Jakarta yang memberikan pelatihan menari Sipatmo pada perempuan pengurus KWPS Lentera Benteng Jaya dan sejumlah siswa SMP Gracia kota Tangerang tahun 2012–2015.

Tarian Cokek Sipatmo dikreasi sebagai tarian agung yang dipersembahkan pada upacara khusus di klenteng atau perayaan Cap Go Meh. Gerakannya, yaitu gerak soja, nindak lenggang, geser kanan kiri, ngawen, nindak lenggang, ngawun, nindak lenggang, pelipis, japing, nindak lenggang, nindak empat, geser kanan kiri, sliwang, nindak lengang, glatik nguk nguk, tumpang depan,  tumpang belakang dan soja akhir. Gerakan-gerakan tersebut terselip nilai filosofi, yaitu menjaga kesucian sembilan lubang; yaitu hati, ampun pada sang pencipta, menjaga pikiran, menjaga telinga, menjaga mata, menjaga hidung, menjaga mulut, menjaga kemaluan dan menjaga dubur.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Tari sipatmo hasil kreasi baru ditampilkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (12/9/2014). Tari sipatmo semakin ditinggalkan seiring berkembangnya budaya populer.

Gambang Keromong

Pada abad 18 pemimpin Tionghoa, yaitu Kapten Noe Hoe Kong menggabungkan alat musik khas China yang populer pada tahun 1930-an di kalangan peranakan Tionghoa yang saat ini dikenal dengan nama  Cina Benteng.

Musik tradisional itu berfungsi menyemarakkan upacara adat dalam lingkaran hidup seseorang seperti perkawinan, nazar, sunatan dan juga mengiringi Tarian Cokek atau Lenong. Hingga saat ini, warga Cina Benteng masih menggunakan Gambang Keromong dalam upacara penikahan. Lambat laun orkes Gambang Keromong makin terkenal hingga Tangerang, Bekasi dan bagian utara kota Bogor ataupun kawasan yang dikenal merupakan area budaya Betawi.

Alat musik Gambang Kromong berawal dari tiga alat gesek khas Cina, yaitu Tehyan, Kongahyan dan Shukong yang terbuat dari bambu, tetapi kemudian berganti dengan batok kelapa agar suara geseknya lebih keras. Kemudian mendapat pengaruh Jawa dan Bali dengan 10 buah kromong atau kenong yang terbuat dari perunggu atau besi, serta kecrek, kenong dan 18 bilah kayu gambang.

Lagu-lagu Gambang Keromong biasanya bersifat humor, gembira dan terkadang ejekan atau sindiran dan tidak seperti lagu pobin yang tenang, hingga lagu pobin jarang dimainkan. Lagu klasik Betawi yang biasanya diiringin Gambang Keromong, antara lain, “Mas Nona”, Gula Lanting”, “Semar Gurem”, “Tanjung Burung”, “Mawar Tumpah”, dan “Sayur Asem”. Lagu pop Betawi (sayur) antara lain “Jali-jali”, “Stambul”, “Surilang”, “Persi”, “Akang Haji”, “Kramat Karem”, “Lenggang Kangkung”, dan “Sirih Kuning”.

Mulanya Gambang Keromong hanya menggunakan Kongahyan, Tehyan dan sukong yang merupakan  adaptasi dari alat musik gesek asli Cina yang disebut Erhu. Setelah itu berkembang menggunakan basing/suling yang dimainkan bersama gambang, gendang, kecrek dan gong.

  • Gambang instrumen pukul tradisional yang terdiri dari bilah 18 buah dengan berbagai ukuran yang mirip seperti xilofon yang dipadang dalam resonator yang berbentuk seperti perahu. Alat ini dimainkan dengan cara dipukul dan memiliki tiga oktaf, nada terendah adalah nada Liuh (g) dan nada tertinggi adalah Siang (c).
  • Kongahyan, Tehyah dan Shukong
    Kongahyan, Tehyan dan Shukong adalah alat musik gesek dengan dua dawai. Ketiganya terdiri atas resonator (badan) dari tempurung kelapa yang dibelah dan dilapisi kulit tipis. Dengan tiang kayu jati  berbentuk bulat panjang dan purilan atau alat penegang dawai.
  • Keromong
    Keromong adalah instrumen logam yang berbentuk mirip Bonang (perangkat musik Jawa). Keromong terdiri dari 10 buah dalam 2 baris ini mempunyai nada Tionghoa. Pada bagian luar keromong terdiri dari nada Siang(c), Liuh (a), U (g), Kong (e), Che (d)  yang ditabuh/dipukul secara bersamaan antara barisan luar dan dalam, seperti 1-8 (satu dengan delapan) 2-10, 3-9, 4-7, dan 5-6.
  • Gong dan Kempul
    Alat musik ini terbuat dari kuningan atau perunggu berbentuk seperti lingkaran dengan bagian tengah yang menonjol. Diletakkan dengan posisi menggantung dan saling berhadapan. Gong berfungsi sebagai penentu irama dasar berukuran 85 cm, sementara Kempul memiliki ukuran 45 cm  berfungsi sebagai pembatas ritme melodi. Oleh karena itu gong dan kempul berfungsi sebagai hitungan birama.
  • Bangsing/Suling
    Suling ini terbuat dari bambu kecil terbentuk berbentuk panjang dengan enam buah lubang nada yang dapat dimainkan secara horisontal atau sejajar dengan mulut.
  • Kecrek
    Alat musik perkusi  terbuat dari  kepingan logam tipis berbahan besi (kuningan, perunggu, besi) sebanyak dua hingga empat yang diikat/disusun di atas kayu. Instrumen ini dimainkan dengan cara memukul tongkat pendek dari kayu di tas kepingan yang tersusun tersebut. Instrumen ini berfungsi sebagai penghias irama lagu  gambang keromong.
  • Gendang
    Alat musik pukul yang terbuat dari kayu slinder dengan ronggo. Pada lubang di kedua sisi ditutup menggunakan kulit yang tidak sama besarnya. Dimainkan dengan cara ditepuk menggunakan tangan.
  • Ningnong (sio-lo)
    Alat musik ini berbentuk dua piringan logam perunggu atau kuningan berdiameter 10 cm yang ditempelkan pada sebuah kayu di kedua sisinya. Cara memainkan Ningnong adalah dengan menggunakan tongkat besi kecil secara bergantian di kedua sisinya.

KOMPAS/IWAN SANTOSA

“Ngibing” atau bertandak bersama cokek diiringi musik gambang kromong menjadi tradisi khas masyarakat China Benteng di sekitar Tangerang, Provinsi Banten (8/4/2007).  Ngibing atau bertandak bersama Cokek diiringi musik Gambang Kromong menjadi tradisi khas masyarakat Tionghoa Benteng di sekitar Tangerang, Provinsi Banten. Acara ini merupakan pertemuan budaya Tionghoa Peranakan dan Betawi yang sudah hidup berabad lamanya.

Hajir Marawis

Hajir Marawis adalah kesenian yang berasal dari Timur Tengah dengan unsur kental keagamaan karena lirik lagu yang dibawakan berupa pujian-pujian pada sang Pencipta. Alat musik adalah Hajir (gendang besar) diameter lebar 45 sentimeter dan tinggi 60–70 sentimeter. Marawis (gendang kecil) diameter lebar 20 sentimeter dan tinggi 19 sentimeter, Rumbuk (berbentuk seperti dandang) serta dua potong kayu bulat diameter 10 sentimeter.

Hajir Marawis memiliki tiga nada berbeda untuk lagu yang berbeda pula, untuk irama yang menghentak dan membangkitkan semangat maka nada Sarah dan Zaife yang digunakan. Sedangkan nada Zaife  sering digunakan untuk lagu pujian pada Rasulullah atau Nabi Muhammad dalam bentuk sholawat Nabi, dengan tempo lambat terkadang digunakan untuk lagu-lagu Melayu.

Kesenian ini biasanya dimainkan oleh 10 orang, setiap orang memainkan satu alat musik sambil bernyanyi dan seluruh pemainnya laki-laki, biasanya tampil pada acara pernikahan atau hari raya perayaan tertentu. Hajir Marawis hidup dan tampil dalam komunitas Betawi keturunan Arab (Kompas, 11 Desember 2002, “Lebaran di Condet Bersama Hajir Marawis”).

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM

Penjual alat musik tradisional Betawi yang disebut Tehyan, terlihat di salah satu sudut di Festival Palang Pintu XI di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Sabtu (28/5). Selain musik tradisional Betawi Gambang Kromong, festival ini dimeriahkan berbagai penampilan seni budaya Betawi lainnya seperti ondel-ondel, palang pintu, tarian, dan lenong.

Rebana

Rebana adalah seni musik dengan alat musik yang dipegang dan dibunyikan dengan cara ditepuk jari. Ada tiga jenisnya, yaitu Biang, Hadroh dan Ketipring. Rebana biang adalah satu set rebana yang terdiri dari tiga buah rebana yang paling besar disebut Biang dengan diameter 60–80 cm, lalu ada Kotek yang berukuran 60 cm, dan yang paling kecil disebut Kendang dengan diameter 30 cm.

Saat dimainkan, mereka memiliki fungsi yang berbeda, yang paling besar berfungsi seperti gong lalu gendang dipukul pukulan Gong. Sementara, rebana Biang yang paling besar berfungsi seperti gong, kemudian Kendang dipukul atau ditepuk secara rutin sedangkan Kotek untuk improvisasi dan dimainkan oleh orang yang mahir.

Rebana Hadro berukuran 25–35 cm terbuat dari kayu terdapat tiga pasang lingkaran yang berfungsi sebagai kecrek, dalam permainan rebana Hadro berfungsi sebagai hiburan.

Sedangkan Ketimpring adalah rebana paling kecil dengan ukuran 20–25 cm yang terdiri dari tiga buah, yaitu rebana tiga, rebana empat dan rebana lima.  Rebana Hadro atau rebana lima berfungsi sebagai pemberi komando.

Seni musik yang berasal dari Timur Tengah ini erat dengan seni acara keagamaan Islam, misalnya saja perayaan Maulid Nabi Muhammad atau saat acara penutupan pengajian menjelang Ramadhan. Oleh karena itu, kesenian Rebana menjadi bagian dari hiburan dan perayaan di dalam kelompok pengajian atau Majlis Taklim dan hidup di dalam pesantren.

Rebana ini tidak menjadi kesenian hiburan seperti Gambang Keromong, Tari Cokek, Tanjidor ataupun Lenong, tetapi hidup dalam komunitas ke-Islaman seperti pesantren dan Majlis Taklim. Rebana masih tetap dimainkan oleh kelompok sendiri bukan untuk tujuan komersial melainkan hiburan kesenian intern.

Tanjidor

Tanjidor merupakan permainan dari sembilan alat musik, seperti trompet piston, trompet trombon, trompet bas, trompet tenor, simbal, suling (klarinet) dan panil. Menurut Kamus Ensiklopedia Indonesia terbitan Ichtiar Baru tahun 1984, Tanjidor berasal dari bahasa Portugis tangedor, yaitu kelompok musik  berdawai. Group musik ini biasanya tampil pada acara pesta pernikahan ataupun hajatan sunatan, atau acara  resmi.

Tanjidor hadir pada abad ke-20, ketika tuan tanah yang memiliki para budak ingin mendapatkan hiburan tetapi tidak mampu mendatangkan musik dari Eropa karena sangat mahal biayanya. Sehingga mereka meminta para budak untuk memainkan alat musik tersebut hingga masa perbudakan dihapuskan.

Lagu lagu yang biasa dimainkan adalah Poho Ke Balik, Ketepang Sono, Jali-Jali, Stambul, Gaplek, Kembang Kacang, Persi sampai lagu arakan Mars Jalan. Jika dahulu tanjidor sering dipanggil untuk mengisi hajatan, tetapi lambat laun semakin ditinggalkan oleh masyarakatnya, karena lebih tertarik dengan dangdut atau lagu-lagu Sunda.

Untuk bertahan menyambung hidup para pemainnya banyak yang menjadi buruh kasar dan tetap bermain tanjidor jika ada panggilan. Namun, untuk yang tidak laku lagi, mereka akhirnya menjadi pengamen jalanan, khususnya pada 15 hari pertama Imlek.

Seperti yang terjadi pada Kelompok Tanjidor Kampung Pulo, Tambun yang sudah tidak lagi diundang masyarakat. Sejak tahun 1977, mereka mengamen di beberapa wilayah di Jakarta terutama di wilayah yang banyak warga Tionghoanya (Kompas, 23 Februari 1999, “Tanjidor Rezeki Setahun Sekali”).

Kelompok orkestra tersebut  mengamen setahun sekali pada masa Imlek di kampung Pecinan kawasan Glodok hingga malam ke-5 Cap Go Meh. Padahal dahulu mereka pernah terkenal hingga ke “udik”, yaitu Parung Bogor, Setu, Ciketing, dan Bekasi. Dahulu, sekali pentas mereka bisa memperoleh Rp200, padahal satu gantang beras harganya 3,125 atau 2,5 rupiah saat itu.

Lain halnya dengan kelompok tanjidor Tiga Saudara di wilayah Depok, harus menyesuaikan diri dengan perubahan, yaitu menambah seruling, gendang ataupun gong. Group ini memutuskan untuk menyesuaikan dengan selera generasi muda saat ini dengan menambah alat musik, membawa artis dangdut, dan pesinden lagu sunda. Sebelum bermain tanjidor dengan harapan semua acara berjalan lancar (Kompas, 29 Maret 2006, “Saat Tanjidor Tidak Sekeren Ngeband”).

KOMPAS/LASTI KURNIA

Seni Tanjidor meramaikan suasana Lebaran Betawi yang digelar di Lapangan Perkampungan Industri Kecil (PIK), Penggilingan Cakung, Jakarta, Sabtu (1/10/2011). Acara yang digelar Sabtu dan Minggu pada akhir pekan ini, menampilkan suasana perkampungan Betawi tempo dulu, ragam kesenian, dan masakan tradisional yang dibawakan oleh perwakilan seluruh kecamatan di Ibu Kota DKI Jakarta.

Palang Pintu

Seni Palang Pintu adalah pertunjukan khas yang hanya tampil pada acara pernikahan, di mana utusan pengantin laki-laki dan utusan pengantin perempuan saling berbalas pantun.

Pantun diawali oleh utusan pria yang hendak meminang atau menikahi si gadis, lalu utusan pria akan menolak tetapi utusan pria bersikeras agar diterima. Di sinilah kedua utusan tesebut saling menunjukkan kelihaian mereka berbalas pantun.

Yang menarik dari Palang Pintu adalah dua utusan tersebut mengenakan busana tradisional Pangsi biasanya berwarna merah dan dilengkapi dengan group rebana dan sepasang kembang kelapa.

Ketika utusan wanita mau menerima biasanya diminta beberapa syarat yang harus disediakan seperti ayam dan sayuran. Maka pihak pengantin pria menyerahkan persyaratan tersebut, hal ini sebagai simbol bahwa pria memenuhi kebutuhan sehari-hari (Kompas, 5 Juni 2011, “Budaya Betawi: Seni untuk Membuka Palang Pintu”)

Ondel-ondel

Ondel-ondel adalah salah satu bukti peninggalan masyarakat agraris di tanah Jakarta yang dahulunya wilayah persawahan. Menurut kebudayaan Betawi, Ondel-ondel berasal dari Bebegig atau orang-orangan sawah yang biasa dipasang di tengah sawah untuk mengusir burung yang menggangu padi.

Biasanya di musim panen raya, para petani dan masyarakat bergembira dengan menampilkan hiburan dan permainan. Salah satu kebiasaan mereka adalah membawa Bebegig berkeliling kampung beramai ramai dengan diiringi suara musik ramai. Dahulu sebelum membawa Bebegig atau Onde-ondel  maka orang yang membawanya harus menjalani ritual  agar dia kuat membawa Bebegig yang besar dan berat, tetapi kini ritual tersebut tidak dilakukan lagi.

Tidak ada catatan khusus kapan Ondel-ondel hadir di masyarakat, tetapi seorang pedagang asal Inggris W. Scott menulis bahwa tahun 1605 di telah ditemukan boneka yang dipersonifikasikan  sebagai leluhur penjaga kampung guna mengusir roh halus. Saat itu boneka tersebut memiliki wajah menyeramkan dan saat membuatnya memerlukan ritual khusus.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pekerja menyelesaian pembuatan boneka ondel-ondel di Rumah Produksi Ondel-Ondel, Situ Babakan, Jakarta, Minggu (19/9/2021). Penurunan PPKM dari level empat menjadi level tiga untuk DKI Jakarta turut mendongkrak penjualan ondel-ondel di kawasan wisata Situ Babakan setelah mengalami penurunan penjualan sejak pemberlakukan PPKM darurat hingga 75 peren. Meski tempat wisata itu masih tertutup untuk umum, namun banyak warga berbelanja souvenir di kawasan itu.

Saat Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadikan Ondel-ondel sebagai hiburan bagi masyarakat Betawi yang biasa hadir dalam hajatan atau pesta. Bahkan, pada tahun 1970 hingga akhir 1980-an, Ondel ondel menjadi permainan keliling kampung dan mendapat saweran dari warga sekitar. Ondel-ondel kemudian menjadi ikon Jakarta yang selalu ditampilkan pada acara perayaan Kota Jakarta.

Rangka ondel-ondel terbuat dari bambu dan dibuat berongga agar orang bisa masuk ke dalamnya. Dengan tinggi kurang lebih 2,5 meter dan diameter rongga 80 cm, bagian kepala memiliki rambut ijuk dan hiasan kembang kelapa.

Dengan muka topeng  bermata besar melotot, bahan pakaiannya 10 meter untuk laki-laki mengenakan model baju koko atau pakaian pangsi, dengan muka berwajah merah, kumis melintang, jenggot dan alis tebal serta cambang, biasanya bertaring. Ondel-ondel perempuan menggunakan baju kurung polos berwarna cerah atau berkebaya dan selendang, wajah putih atau kuning, memakai gincu merah, bulu mata lancip kadang memakai tahi lalat.

Saat tampil, Ondel-ondel dibawa sepasang laki-laki dan perempuan, biasanya yang memanggul adalah laki-laki sambil berkeliling dari kampung ke kampung. Biasanya diiringi seperangkat alat musik seperti gendang, terompet, kenong dan gong.

Seiring perkembangan kota, Ondel-ondel semakin eksis menjadi ikon Jakarta, bahkan ditampilkan dalam acara resmi, Tampilannya diubah lebih menarik, wajah mejadi lebih cerah dan tersenyum serta boneka laki-laki tidak lagi memakai taring (Kompas, 30 Juni 2016, “Ondel-ondel dari Betawi”).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Penyiar radio, Arya Iman Danusaputra atau yang akrab dipanggil Arya Tanjidor dan Fe Kusumawardhani atau biasa disapa Ipeh Yapong, menyapa para pendengar Bens Radio di studio Bens Radio, Jakagarsa, Jakarta Selatan, Kamis (9/6/2011). Bens Radio menjadi salah satu radio etnik yang dibangun untuk melestarikan dan mengembangkan potensi seni dan budaya masyarakat Betawi.

Kesenian tradisi yang lahir dari akulturasi budaya dan tumbuh di masyarakat umumnya tergerus oleh modernitas. Waktu terus berjalan dan generasi terus berganti, sehingga masyarakat sebagai konsumen penikmat seni juga terus berubah.

Generasi hari ini lebih menyukai Dangdut Campursari atau musik pop daripada Gambang Keromong atau Tanjidor,  Tarian pergaulan Cokek berganti dengan Dangdut Koplo ataupun layar film.

Kesenian tradisi  kini hanya tampil mengisi acara perayaan resmi pemerintah daerah, itu pun jika dipanggil. Baik penikmat dan pelaku seni tradisi juga terus menurun bahkan Tanjidor dan Gambang Keromong menjadi pemandangan langka di Jakarta. Hal ini bukan hanya terjadi di tanah Betawi, di wilayah lain di Jakarta seni tradisi sudah terganti dengan keyboard atau hiburan organ tunggal dengan lagu pop atau dangdut. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Ondel-ondel dari Betawi, Grafikota”, Kompas, Kamis, 30 Juni 2016, hlm 28
  • “Budaya Betawi: Seni untuk Membuka Palang Pintu”. Kompas, 5 Juni 2011, hlm 4
  • “Gambang Kromong Teluk Naga”, Kompas, Selasa, 01 Des 2009, hlm 27
  • “Saat Tanjidor Tidak Sekeren Ngeband”, Kompas, Rabu, 29 Maret 2006, hlm 13
  • “Lebaran di Condet Bersama Hajir Marawis”. Kompas, Rabu, 11 Desember 2002, hlm 6
  • “Tanjidor Rezeki Setahun Sekali”. Kompas, Selasa 23 Feb 1999, hlm 17
  • “Cokek, Tradisi Lokal yang Terpinggirkan”, Kompas, Jumat, 02 Juli 1999, hlm 26