KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga berfoto di luar pagar Kompleks Monumen Nasional (Monas) Jakarta, Kamis (20/8/2020). Hingga kini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menutup kawasan Monas guna mencegah penyebaran COVID-19.
Fakta Singkat
- Hari lahir Jakarta: 22 Juni 1527
- Pemrakarsa: Wali kota Jakarta Raya Sudiro (1953-1960)
- Dasar penetapan: SK Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta No. 6/D/K/1956
- Dasar penelitian: Buku “Dari Djakarta ke Djajakarta” (1954)
- Penulis buku: Prof. Dr. Sukanto, S.H.
Perayaan HUT Kota Jakarta
- Pertama kali dirayakan tahun 1956
- Kegiatan: Pekan Raya Jakarta (sejak 1968), festival, dan karnaval
- Lokasi: Monumen Nasional (1968-1991), Jakarta International Expo Kemayoran (1992-saat ini)
Sejak tahun 1956, pemerintah DKI Jakarta dan warga Ibu Kota memperingati hari kelahiran Kota Jakarta setiap tanggal 22 Juni. Penetapan tanggal 22 Juni itu diprakarsai oleh Sudiro ketika menjabat sebagai Wali Kota Jakarta pada periode 1953-1960. Saat itu, Sudiro merasa perlu adanya semacam peringatan untuk Ibu Kota.
Penetapan hari lahir Jakarta 22 Juni 1527 tersebut berdasarkan surat keputusan Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja No. 6/D/K/1956. Yang menjadi dasar penetapannya adalah penelitian Prof. Sukanto sebagaimana diuraikan dalam bukunya Dari Djakarta ke Djajakarta (1954).
Sejak penetapan hari lahir tersebut, warga Ibu Kota selalu memperingati hari lahir Kota Jakarta dengan beragam kegiatan seperti festival dan Pekan Raya Jakarta (PRJ). Namun, pada tahun 2020 lalu, peringatan hari ulang tahun (HUT) Jakarta dirayakan secara virtual karena merebaknya pandemi Covid-19 di DKI Jakarta.
Untuk tahun 2021 ini, Pemerintah DKI Jakarta mengambil tema “Jakarta Tangguh” dalam memperingati HUT Jakarta ke-494. Tema tersebut dimaksudkan untuk mengobarkan semangat ketangguhan warga Jakarta dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Tema “Jakarta Tangguh” diusung untuk menandakan kebangkitan perekonomian, keadaan sosial, dan pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan Kota Jakarta yang berketahanan.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Kesenian ondel-ondel, kembang goyang, silat, hingga pengantin sunat ikut meramaikan Kirab Budaya Betawi di Monumen Nasional, Jakarta, saat HUT Jakarta (19/06/2011). Monas seperti halnya tempat wisata lain, menjadi salah satu tujuan masyarakat untuk mengisi liburan.
Asal-usul penetapan hari lahir Jakarta
Sudiro (Wali Kota Jakarta Raya), dalam tulisannya di Harian Kompas pada tanggal 21 Juni 1967 dengan judul “Mengenang “Penggali” Hari Lahirnya Kota Djakarta” menuliskan secara ringkas proses awal hingga penetapan hari lahir Kota Jakarta.
Pada permulaan tahun 1954, Sudiro, selaku Wali Kota Jakarta Raya ketika itu, mengajukan permintaan kepada tiga orang ahli sejarah Indonesia, yaitu Prof. Moh. Jamin, S.H., wartawan Sudarjo Tjokrosisworo, dan Prof. Dr. Sukanto, S.H. agar bersedia menyelidiki kapan tepatnya Kota Jakarta didirikan. Berhubung dengan kesibukan masing-masing, maka dari tiga orang tokoh tersebut hanya Prof. Sukanto yang menyatakan kesediaannya.
Ketika itu, Prof. Sukanto menjabat sebagai Kepala “Arsip Negara”, di samping antara lain, Sekretaris Senat Guru Besar Universitas Indonesia (UI) dan Guru Besar dalam mata pelajaran Sejarah Indonesa dan Hukum Adat pada Fakultas Sastra UI.
Karena jabatan sebagai Kepala “Arsip Negara”, rupanya agak memudahkan penyelidikan sehingga pada akhir tahun 1954, Prof. Sukanto telah menyelesaikan dan menyerahkan sebuah manuskrip, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku sejarah Jakarta, berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta.
Buku tersebut dilengkapi dengan gambar-gambar dokumen yang cukup menarik, antara lain yang dikumpulkan oleh Hadji J. Adiwinata, seorang keturunan Pangeran Djajakarta, peletak dasar Jawatan Imigrasi RI dan pada waktu itu menjabat Kepala dari Pusat Jawatan tersebut.
Analisa Prof. Sukanto, menurut Sudiro, didasarkan atas pengetahuannya yang sangat tinggi tentang sejarah dan filsafat, baik dari agama Hindu maupun dari agama Islam, sehingga akhirnya dapat memberi keyakinan bahwa pendapat Prof. Sukanto itu adalah benar.
Falatehan (Fatahillah) sebagai seorang pemimpin yang beragama Islam, dalam menjalankan kebijaksanaannya, pasti tidak mengabaikan adat-istiadat masyarakat yang umumnya pada waktu itu masih memeluk agama Hindu. Menurut Sudiro, bagian inilah dari buku Dari Djakarta ke Djajakarta yang sangat menarik. Oleh sebab itu, dasar untuk menetapkan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahirnya Kota Jakarta sungguh sangat kuat.
Selama setahun lebih, analisa Prof. Sukanto tersebut banyak diperbincangkan oleh masyarakat, disorot oleh koran dan majalah, khususnya oleh para ahli sejarah. Moh. Jamin dan Sudarjo Tjokrosisworo, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh yang berwatak kritis, menyatakan persetujuannya setelah membaca manuskrip Sukanto .
Kemudian, pada permulaan tahun 1956, hasil penyelidikan Sukanto diserahkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotapradja Djakarta Raya, sebagai instansi Pemerintah Daerah Jakarta yang tertinggi waktu itu. Setelah dibahas dalam seksi-seksi selama beberapa minggu, akhirnya dengan resmi diterima secara baik oleh Sidang Pleno DPRD Kotapradja Djakarta Raya pada tanggal 17 Mei 1956.
Diputuskan pula oleh sidang tersebut bahwa tanggal 22 Juni tiap-tiap tahun, akan diperingati secara resmi oleh Pemerintah Kota Jakarta, sehingga dapat merupakan suatu tradisi nasional.
Kemudian, dalam tulisan di rubrik Pembatja Menulis, Kompas, 22 Juni 1970, dengan judul “H.U.T sebuah Kota Selalu Mempererat Hubungan Bathin antara Pemerintah dan Warga Kotanya”, Sudiro kembali menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Kota Djakarta, bukanlah “Batavia”-nya Gubernur Jenderal Jan Pieter zoon Coen yang telah didirikannya pada tahun 1619, tetapi juga bukan “Sunda Kelapa” yang pernah dirusak oleh orang-orang Portugis. Melainkan, Djakarta yang telah didirikan oleh Fatahillah (orang Belanda menyebutnya Faletehan) yang kemudian oleh rakyat diberi julukan Sunan Gunung Djati, seorang ulama besar Islam dan ahli siasat perang waktu itu.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Suasana Jakarta Fair Kemayoran 2019 di kompleks Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Sabtu (25/5/2019). Beragam pergelaran budaya dan kuliner nusantara akan menghiasi kegiatan itu mulai 22 Mei hingga 30 Juni 2019. JFK ke-52 ini mengangkat tema ”Jakarta Fair Indonesia Bersatu” dengan subtema ”Indonesia berada di dalam rangkaian Bhinneka Tunggal Ika”. Jumlah pengunjung diperkirakan akan meningkat menjadi 6,8 juta orang dengan total transaksi diprediksi mencapai Rp 7,5 triliun.
Penentuan tanggal hari lahir Jakarta
Dalam arsip Kompas tertanggal 22 Juni 1984 dengan judul “Sekitar Tanggal Lahir Kota Jakarta”, dipaparkan mengenai penentuan tanggal untuk HUT Kota Jakarta.
Nugroho Notosusanto, sejarawan dan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam tulisannya “Sejarah daripada Sejarah Hari Lahir Jakarta” (Intisari, Juni 1968), mengakui penentuan tanggal untuk HUT Kota Jakarta tidak dilandasi fakta yang kuat. Penentuan hanya berdasar dugaan, baik dugaan terhadap hari raya Jawa maupun peringatan keagamaan (Islam).
Nugroho Notosusanto menuliskan bahwa Prof. Husein Djajadiningrat merupakan orang yang pertama kali menetapkan 1527 sebagai tahun kelahiran Jakarta. Hal itu tertuang dalam disertasi Husein yang berjudul “Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten”, yang dipertahankan pada 1913 di Universitas Leiden, Belanda.
Nama Jayakarta berarti volbracthe zege atau “kemenangan yang selesai” sebagai ganti dari Sunda Kelapa. Nama itu diberikan setelah direbut dari Kerajaan Pajajaran oleh Fatahillah. Pajajaran sendiri merupakan Kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Fatahillah adalah ipar Sultan Demak yang memimpin ekspedisi tentara ke Jawa Barat untuk mengislamkan daerah itu.
Adapun Prof. Sukanto dalam risalah “Dari Djakarta ke Djajakarta” mencoba melengkapi tahun kelahiran Jayakarta dengan tanggal dan bulan. Disimpulkannya, Jayakarta lahir dari hasil benturan tiga kekuatan di Indonesia ketika itu. Ketiga kekuatan itu ialah Kesultanan Demak, Kerajaan Pajajaran, dan Kerajaan Portugis yang mempunyai pancangan kaki di Malaka sejak 1511.
Sejak itu, Portugis merupakan suatu faktor dalam percaturan politik internasional di Indonesia. Apalagi, ketika Pasai direbut tahun 1521 seluruh Selat Sumatera dikuasai. Perdagangan bumiputra pun berpindah dari Sumatera Utara ke Jawa Barat.
Incaran Portugis pun mengarah ke selatan, dengan adanya negara Hindu di Indonesia. Pajajaran diharapkan bisa menjadi sekutu melawan kerajaan-kerajaan Indonesia yang rajanya beragama Islam. Untuk itu, gubernur Portugis di Malaka Jorge d’Albuquerque mengirim utusan ke Pajajaran.
Dalam perjanjian Pajajaran-Portugis 21 Agustus 1522, disepakati Portugis diizinkan membangun benteng di Sunda Kelapa. Niat itu akan dilaksanakan 1527. Tugas diserahkan kepada Francisco de Sa. Setelah menggempur Bintang, Francisco disambut pedang. Maklum, Fatahilah sudah merebut Sunda Kelapa dari tangan Pajajaran. Ketika itu, Fatahillah tengah bergerak ke timur menurut rencana Cirebon.
Bagi Portugis, Fatahillah bukanlah “orang baru”. Ia melarikan diri dari Pasai setelah direnggut Portugis. Pengembaraannya sampai ke Mekah, dan kemudian ke Demak. Ia berhasil menumbuhkan kepercayaan Sultan Demak dan dinikahkan dengan saudara perempuan sultan, sampai akhirnya dipercaya memimpin ekspedisi tentara mengislamkan Jabar. Di situlah Fatahillah bertemu Portugis.
Sementara itu, Francisco de Sa menduga di Sunda Kelapa ia akan disambut meriah para pejabat Pajajaran. Ternyata sambutan berupa aksi senjata oleh Fatahillah dan kawan-kawan. Francisco terpaksa melarikan diri kembali ke Malaka.
Sukanto menduga pertempuran di Sunda Kelapa itu terjadi pertengahan Maret 1527 dan pemberian nama Jayakarta dilakukan sesudah Maret 1527. Memang tidak ada bahan sejarah kuat yang menunjukkan tahun itu. Karenanya Prof. Sukanto hanya menduga berdasarkan pra-anggapan mengenai kepribadian dan kepemimpinan Fatahillah.
Sukanto menulis, “Djadi: Nama Djajakarta diberikan setelah kemenangan sepenuhnja tertjapai; setelah pembunuhan dilakukan atas orang Portugis jang terdampar di Pantai di Sunda Kalapa; setelah Francisco de Sa dengan menderita kerugian kembali ke Malaka; djadi kira-kira setelah pertengahan bulan Maret 1527” (Sukanto, 1954: 57).
Selanjutnya Sukanto berpendapat bahwa Faletehan di dalam mengganti nama Sunda Kalapa dengan nama Jayakarta tidaklah memakai penanggalan Hindu-Jawa. Menurutnya, Faletehan mengambil penanggalan yang sungguh-sungguh hidup di kalangan rakyat dari dahulu sampai saat itu, yaitu penanggalan yang ada hubungannya dengan pertanian. Penanggalan itu disebut pranatamangsa.
Dalam akhir pendapatnya, Sukanto berkeyakinan bahwa nama Jayakarta sebagai pengganti nama Sunda Kalapa diberikan beberapa bulan setelah bulan Maret 1527.
Secara eksplisit Sukanto menulis: “Mengingat pula pada apa jang telah diuraikan diatas itu, jakni mangsa kesatu djatuh dalam bulan Djuni (bulan panen atau bulan setelah panen), kita kira kemungkinannja tidak sedikit, bahwa nama Djajakarta diberikan pada tanggal satu mangsa kesatu, jaitu pada bulan Djuni, tanggal 22, tahun 1527. Harinja jang pasti kita tidak dapat menemukannja (Sukanto, 1954: 60).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sepasang patung ondel-ondel raksasa berdiri tegak sebagai ikon penanda kota di jalan protokol di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2019).
Polemik hari lahir Kota Jakarta
Namun demikian, tidak semua sejarawan sependapat dengan pendapat Sukanto mengenai hari lahir Kota Jakarta yang jatuh pada tanggal 22 Juni 1956. Dua tahun kemudian, buku Sukanto berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta mendapat sanggahan di dalam majalah Bahasa dan Budaja terbitan 1956.
Dalam sebuah karangannya berjudul “Hari Lahirnja Djajakarta”, Prof. Husein Djajadiningrat mengkritik buku Sukanto itu, khususnya mengenai alasan-alasannya menentukan hari lahir Jakarta. Ia mempertanyakan, apakah “tanggal satu mangsa kesatu” tahun 1527 jatuh pada 22 Juni.
Menurut Husein, perhitungan tahun yang terdiri atas 12 mangsa untuk keperluan petani adalah berdasarkan peredaran bintang Weluku dan bintang Wuluh. Jadi, “tanggal satu mangsa kesatu” harusnya paling tidak jatuh pada 12 Juli. Tepatnya menurut bintang Wuluh jatuh pada 9 Juli, sementara menurut bintang Weluku pada 17 Juli.
Menurut Husein, kekeliruan dilakukan Sukanto terletak pada mangsa panen. JLA Brandes, seperti yang dia kutip, menghitung bahwa mangsa panen berlangsung pada 12 April-11 Mei, sedangkan Tjondronegoro mengemukakan 25 Maret-17 April atau 18 April-10 Mei.
Husein bahkan mempertanyakan tarikh Islam yang sudah dikenal di Jawa pada 1526 atau 1527 M, seperti yang digunakan Sukanto dalam memberikan pendapat. “Bukankah tarikh Islam mulai dipakai di Jawa atas perintah Raja Mataram Sultan Agung pada 1633 M?”, begitu Husein mengomentari Sukanto.
Husein lalu menyimpulkan bahwa pergantian nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta terjadi pada hari raya Maulud 12 Rabiulawal tahun 933 H atau pada hari Senin, 17 Desember 1526. “Perayaan Maulud pada 12 Rabiulawal dianggap baik sekali jika jatuh pada hari Senin. Sebab, menurut tradisi Islam, Nabi Muhammad lahir dan wafat pada hari Senin,” demikian alasan Husein.
Menghadapi polemik tersebut, Sudiro tetap berpegang pada keputusan semula, 22 Juni 1527. Sudiro menyatakan, “Sebenarnya masalah ini seperti masalah telor Columbus. Mengapa ketika diberikan kesempatan tidak mengajukan konsep?” (arsip Kompas, 22 Juni 1980).
Sementara itu, Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo pada 1956 sewaktu menghadiri perayaan pertama hari ulang tahun Jakarta, juga merasa heran dan setengah mengejek memberi komentar atas peringatan ulang tahun yang ganjil. Hal ini disebutkan dalam tulisan Abdurachman Surjomihardjo di Kompas, 22 Juni 1982 dengan judul “Dari Jakarta ke Minahasa”.
Pada tahun 1980, Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Dari Holotan ke Jakarta kembali mempertanyakan penetapan hari lahir Kota Jakarta 22 Juni 1956. Berdasarkan sumber-sumber sejarah dan kepustakaan, terutama Purwaka Caruban Nagari, Slamet Muljana menolak hari tersebut sebagai hari diresmikannya nama Jayakarta sebagai pengganti nama Sunda Kelapa.
Untuk sampai pada kesimpulannya, Slamet Muljana membahas sejarah perkembangan kota Jakarta mulai dari zaman sejarah sampai zaman kemerdekaan. Mulai dari menentukan letak kerajaan Holotan yang banyak disebut dalam Sejarah Lama Dinasti Sung di China sampai jatuhnya kekuasaan Belanda pada bulan Maret 1942 untuk digantikan oleh kekuasaan Jepang.
Adapun Adolf Heiken, yang dikenal sebagai ahli sejarah Kota Jakarta, dalam bukunya Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta (1999) mempertanyakan pula hari lahir Kota Jakarta. Menurut dia, hingga kini belum ada ada satu pun dokumen sejarah kredibel yang bisa membenarkan bahwa hari ulang tahun Jakarta memang pantas diperingati pada 22 Juni. Termasuk Tjarita Purwaka Tjarupan Nagari, dokumen yang selama ini dijadikan landasan penetapan oleh Pemda DKI.
Menurut Heuken, dokumen itu masih perlu dibuktikan kebenarannya. Selama ini Pemerintah Daerah DKI Jakarta memang menyosialisasikan 22 Juni 1527 sebagai kelahiran Jakarta. Namun faktanya, menurut Heiken, pada 1957 istilah Jakarta juga tidak pernah didengungkan secara resmi. Saat itu wilayah ini masih dikenal orang-orang dengan nama “Jayakarta.”
Istilah Jakarta baru muncul pada medio 1970-an, tepatnya waktu serdadu Portugis menyebut Jayakarta sebagai “Jakarta” dalam laporan pada atasan mereka.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kendaraan roda empat menyemut, terjebak dalam kemacetan, di sepanjang Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, saat hendak memasuki arena Pekan Raya Jakarta, Minggu (24/06/2012). Parkir kendaraan pribadi hingga 3 jalur di jalan utama menambah kemacetan tempat tersebut.
Jakarta Fair 2019
Perayaan HUT Kota Jakarta
Terlepas dari polemik seputar penetapan hari lahir Jakarta tersebut, sejak 1956 hingga tahun ini, setiap tanggal 22 Juni, pemerintah DKI Jakarta dan warga Jakarta tetap menyambut hari ulang tahun Kota Jakarta dengan beragam kegiatan.
Pada peringatan pertama 1956, perayaan HUT Kota Jakarta masih diselenggarakan secara sederhana. Seperti dikutip dari arsip Kompas 22 Juni 1980, digambarkan bahwa pada waktu itu, Wali Kota Sudiro berpidato di depan Gedung Kotapraja, dihadapan murid-murid sekolah dan sepasukan polisi. Pidatonya singkat. Setelah itu, atas perintah wali kota juga, polisi dengan mobil-mobil berpengeras suara mendatangi tempat-tempat umum dan mengumumkan bahwa hari itu, 22 Juni, adalah hari jadi Kota Jakarta.
Kemudian, pada masa Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1972), peringatan HUT Kota Jakarta dirayakan dengan menyelenggarakan acara bernama Malam Muda-Mudi dan Jakarta Fair. Kedua acara ini dicetuskan pada tahun 1968.
Malam muda-mudi merupakan panggung hiburan semalam suntuk di sepanjang Jalan MH Thamrin, Jakarta. Acara ini dulu rutin digelar selama tiga hari, bertepatan dengan hari ulang tahun Jakarta, dan dimeriahkan pentas-pentas musik serta panggung remang-remang.
Kendati menuai pro-kontra karena dituding kerap jadi ajang pelegalan budaya seks dan miras, acara ini sukses menuai perhatian dan menjadi primadona. Setiap tahun, orang-orang berbondong-bondong hadir.
Ali Sadikin dalam otobiografinya berjudul Pers Bertanya Bang Ali Menjawab (1995), menyebutkan acara seremonial itu diselenggarakan karena keprihatinan orang miskin di Ibu Kota yang tak bisa menikmati hiburan malam. Ali Sadikin ingin masyarakat umum sesekali bisa berpesta semalam suntuk. Ali Sadikin terinspirasi dari kegiatan serupa yang rutin dihelat warga Rio De Janeiro.
KOMPAS/PINGKAN ELITA DUNDU
Pedagang kerak telor berharap JFK 2019 di JiExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat (26/05/2019) akan memberi berkah baginya dan keluarga.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Warga berfoto di depan patung ondel-ondel yang dipasang di kawasan Pancoran Glodok, Tamansari, Jakarta Barat, tempat berlangsungnya Festival Pecinan 2019, Selasa (19/2/2019). Festival yang berlangsung hingga Rabu (20/2/2019) diisi dengan berbagai atraksi kesenian daerah, baik Betawi maupun Tionghoa.
Pekan Raya Jakarta
Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair merupakan kegiatan festival yang berjalan selama sebulan penuh, mulai pertengahan Juni hingga pertengahan Juli setiap tahunnya. Ide mengenai kegiatan ini bukan murni dari Ali Sadikin, tapi juga berasal dari Samsudin Mangan, sosok yang kala itu menjabat Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN).
Pekan Raya Jakarta (PRJ) digelar pertama kali di Kawasan Monas tanggal 5 Juni hingga 20 Juli 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto. Pekan Raya Jakarta juga populer disebut Jakarta Fair Kemayoran (JFK). Acara ini digunakan sebagai wadah pameran dan promosi khususnya mengenai kegiatan perdagangan dan industri. Di samping itu, pekan raya dimaksudkan pula sebagai usaha pemerintah daerah untuk memberikan tempat hiburan dan rekreasi bagi warga kota.
Pekan Raya Jakarta pertama pada 1968 diselenggarakan dalam rangka memeriahkan peringatan HUT Kota Jakarta ke-441 dengan tema “Pembangunan, Kemajuan dan Kesejahteraan”. Kegiatan ini dilakukan di atas area seluas 11 hektar, terletak di bagian selatan Lapangan Monumen Nasional. Diikuti oleh 161 peserta terdiri dari pengusaha-pengusaha nasional dan luar negeri, departemen pemerintah pusat dan daerah.
Pada tanggal 25 Oktober 1974, Pekan Raya Jakarta (PRJ) secara resmi ditetapkan sebagai anggota Perhimpunan Pekan-Pekan Raya Internasional (UFI) di Paris, Perancis.
Pekan raya yang diselenggarakan setiap tahun bertepatan dengan hari ulang tahun Jakarta pada tanggal 22 Juni, menggelar berbagi pertunjukan khas Betawi seperti ondel-ondel, tanjidor, lenong, wayang golek betawi, dan seni palang pintu (sebuah kesenian Betawi yang merupakan perpaduan antara silat dan juga pantun). Makanan khas Betawi seperti kerak telor, dodol betawi, dan roti buaya juga hadir mewarnai kemeriahan hari jadi kota Jakarta di arena PRJ.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1992, lokasi acara ini dipindahkan ke Jakarta International Expo (JIExpo) di Kemayoran, Jakarta Pusat. Berbeda dengan Malam Muda-Mudi yang riwayatnya tak panjang, PRJ masih rutin diadakan setiap tahunnya hingga pada tahun 2019 lalu.
Tidak seperti perayaan tahun-tahun sebelumnya, perayaan HUT DKI Jakarta pada tahun 2020 tidak dapat dirayakan dengan festival dan Pekan Raya Jakarta. Merebaknya pandemi virus Covid-19 di Jakarta sejak Maret 2020 membuat peringatan ulang tahun Jakarta hanya diselenggarakan secara virtual, mulai dari konser virtual, tur objek wisata, hingga amal untuk para seniman Betawi.
Pada 2021 ini, rangkaian kegiatan HUT ke-494 Kota Jakarta diselenggarakan dengan mengikuti protokol kesehatan. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga menyiapkan rangkaian acara yang diadakan secara virtual. Hal ini dilakukan agar tetap bisa dinikmati oleh masyarakat umum dari rumah masing-masing. Tema yang diusung adalah “Jakarta Tangguh”. Diusungnya tema tersebut guna mengobarkan semangat ketangguhan warga Jakarta dalam menghadapi pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Mengenang “penggali” hari lahirnja Kota Djakarta”, Kompas, 21 Juni 1967, hal. 03
- “Menindjau Muladjadi Kota Djakarta”, Kompas, 28 Juni 1968, hal. 05
- “Rangkaian Peta Sebagai Pengungkap Sedjarah Djakarta (I): Peta Djakarta Tahun 1618”, Kompas, 17 Juni 1970, hal. 03
- “Rangkaian Peta Sebagai Pengungkap Sedjarah Djakarta (II): Peta Pada Medali Jaques Specx Dari Tahun 1632-1635”, Kompas, 18 Juni 1970, hal. 04
- “Rangkaian Peta Sebagai Pengungkap Sedjarah Djakarta (III): Perkembangan Kota Dalam Abad Ke-18”, Kompas, 19 Juni 1970, hal. 04
- “Rangkaian Peta Sebagai Pengungkap Sedjarah Djakarta (IV): Weltevreden dari abad 17-18”, Kompas, Kompas, 20 Juni 1970, hal. 04
- “Pembatja Menulis: H.U.T Sebuah Kota Selalu Mempererat Hubungan Bathin Antara Pemerintah dan Wargakotanja”, Kompas, 22 Juni 1970, hal. 4
- “103 Tahun Jang Lalu di “Batavia”, Kompas, 2 Juni 1972, hal. 5
- “Sederhana, perayaan pertama hari jadi Kota Jakarta, Kompas, 22 Juni 1980, hal. 01
- “Kapan hari lahir kota Jakarta *Tinjauan buku: Dari Holotan ke Jakarta”, Kompas, 1 Februari 1981, hal. 08
- “Dari Jakarta ke Minahasa: Pertimbangan penentuan hari jadi bersejarah”, Kompas, 22 Juni 1982, hal. 04
- “Sekitar tanggal lahir kota Jakarta”, Kompas, 22 Juni 1984, hal. 01
- “Membangun Replika Kota Jayakarta”, Kompas, 12 April 1996, hal. 18
- “Jakarta adalah “Kota Joang” Juga”, Kompas, 20 September 1996, hal. 24
- “Dari Sunda Kelapa Sampai Jakarta”, Kompas, 22 Juni 2001, hal. 28
- “Jakarta, Kota Merangkap Provinsi”, Kompas, 18 Juni 2004, hal. 19
- “Fakta Sejarah HUT Jakarta”, Kompas, 26 Juni 2004, hal. 18
- “Dulu dan Kini: Peta Batavia “Kisahnya” Jakarta”, Kompas, 25 April 2006, hal. 34
- “Kota Kita: Mengapa 22 Juni 1527 Ditetapkan sebagai Hari Lahir Jakarta?”, Kompas, 13 Juni 2006, hal. 27
- “Sejarah: Mungkinkah Perdebatan tentang Hari Lahir Jakarta Bisa Diakhiri?”, Kompas, 26 Juni 2006, hal. 44
- “Masa Lalu: Peta Batavia, “Kisahnya” Jakarta”, Kompas, 14 Maret 2007, hal. 26
- “Batavia, Kota Tiruan yang Terpuruk * Riwayat Kota”, Kompas, 05 Februari 2018, hal. 27
- “Kota Jakarta Menjelang 492 Tahun Berdirinya”, Kompas, 10 Juni 2019, hal. 11
- Sedyawati, Edi. 1987. Sejarah Kota Jakarta 1950-1980. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
- Bochari, M Sanggupri. 2001. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
- Erwantoro, Heru. Hari Jadi Kota Jakarta. Patanjala Vol. 1, No. 3, September 2009: 215-228
- Ekadjati, Edi Suhardi. Fatahillah sebagai Tokoh Historis: Sama atau Bedakah dengan Sunan Gunung Djati? INSANCITA: Journal of Islamic Studies in Indonesia and Southeast Asia, Volume 3 (2), August 2018
- Fatahillah, laman Jakarta.go.id
- Jakarta setelah Tidak Lagi Menjadi Ibu Kota, laman Kompas.id
- Mengenal Asal-usul Nama Jakarta, dari Sunda Kelapa hingga Batavia, laman Kompas.com
- Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1963 tentang Perubahan dan Tambahan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 Tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya
- UU 10/1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta
- UU 11/1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara
- UU 34/1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta
- UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia