Paparan Topik | HUT DKI Jakarta

Sejarah Pembangunan Jakarta Era Soekarno

Presiden Soekarno berkontribusi besar dalam meletakan dasar-dasar pembangunan wajah Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Di bawah pemerintahannya, Jakarta mulai dibangun untuk sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Suasana kawasan Bundaran HI dan Tugu Selamat Datang di Jakarta Pusat (1/5/1976).

Fakta Singkat

Proyek mercusuar Soekarno:

  • Stadion Gelora Bung Karno
  • Hotel Indonesia
  • Toserba Sarinah
  • Wisma Nusantara
  • Masjid Istiqlal
  • Gedung Conefo atau Gedung DPR/MPR
  • Jembatan Semanggi dan Jakarta Bypass
  • Monumen Nasional

Patung dan Monumen:

  • Monumen Nasional
  • Patung Selamat Datang
  • Patung Dirgantara/Pancoran
  • Patung Pembebasan Irian Barat
  • Tugu Tani

Sosok presiden pertama Indonesia, Soekarno, berperan besar dalam pembangunan kota Jakarta. Pada masa jabatannya sebagai presiden, ia banyak berkontribusi dalam meletakan dasar-dasar pembangunan wajah Jakarta menjadi kota yang modern sebagai ibu kota Indonesia. Bukti kiprahnya dalam membangun Jakarta pun masih eksis hingga hari ini, dari gedung-gedung hingga monumen.

Pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, Jakarta sebagai ibu kota masih merupakan kota yang sebagian besar wilayahnya relatif berupa kampung-kampung. Di sisi lain, sebagai bekas kota kolonial, Jakarta masih sangat lekat dengan citra kolonial, di mana masih terdapat unsur-unsur kolonial yang mengingatkan akan masa lalu tersebut.

Menurut Soekarno, kedua citra tersebut harus pergi. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan membangun kembali Jakarta, memodernisasinya sekaligus menghapuskan ingatan akan bekas kota kolonial. Salah satu jalan yang dipilih adalah dengan pembangunan fisik untuk mempresentasikan kebesaran sebuah bangsa, yang diharapkan memunculkan semangat baru dan kebanggan nasional.

Soekarno menginginkan Indonesia menjadi sebuah negara besar dan menempatkan Jakarta sebagai tempat untuk mengaktualisasikan gagasannya itu. Pembangunan fisik tersebut ditandai dengan kehadiran berbagai bangunan megah dan menjulang tinggi yang dikenal sebagai “proyek mercusuar”. Dilakukan untuk membuat Jakarta sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Foto kubah Masjid Istiqlal yang belum selesai dibangun dengan latar belakang Gereja Kathedral (2/6/1971).

Proyek Mercusuar

Sebagai ibukota negara, membawa Jakarta menjadi representasi wajah Indonesia di mata dunia. Yuke Ardhianti dalam bukunya berjudul Bung Karno Sang Arsitek mengungkapkan bahwa dalam beberapa pidatonya, Soekarno selalu memetaforakan kota Jakarta sebagai “wajah muka Indonesia”. Awal tahun 1960-an menjadi periode penting dalam perubahan wajah Jakarta paska kemerdekaan.

Presiden Soekarno memiliki pengaruh yang sangat menentukan dalam membentuk wajah Jakarta selama periode tersebut. Pengaruh Soekarno dalam membangun Jakarta sudah terlihat pada tahun 1950-an tetapi tidak begitu signifikan. Dominasi Soekarno baru nyata dpada awal dekade 1960-an, ketika masa Demokrasi Terpimpin.

Melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 1961, segala urusan kebijakan pemerintahan kota Jakarta dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat. Hal itu berdampak terhadap Soekarno yang memiliki kuasa besar dalam menentukan pembangunan kota.

Soekarno ingin menjadikan Jakarta sebagai mercusuar bagi dunia ketiga, yang disebutnya sebagai New Emerging Forces (NEFO), yaitu bangsa-bangsa progresif yang berperang melawan kekuatan imperialis lama, yang disebutnya Old Established Forces (Oldefo). Bangsa-bangsa itu memerlukan pemandu dalam usahanya melawan neo-kolonialisme, dan Jakarta–sebagai perwujudan Indonesia–dianggapnya sebagai sosok yang tepat sebagai pemandu.

Guna mencapai hal itu, dikutip dari Farabi Fakih dalam bukunya Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno, Soekarno menghendaki untuk “Membangun Djakarta secantik mungkin, membangunnya sehebat mungkin, agar kota ini, yang telah menjadi pusat dari perjuangan rakyat Indonesia, akan menjadi sebuah inspirasi dan sebuah mercusuar bagi perjuangan manusia dan kepada semua Nefo”.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Stadion Utama Gelora Bung Karno adalah sebuah stadion serbaguna di Jakarta yang merupakan bagian dari kompleks olahraga Gelanggang Olahraga Bung Karno (30/6/1972).

Terpilihnya Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV yang diselenggarakan pada tahun 1962 di Jakarta menjadi momentum awal bagi Soekarno untuk mewujudkan gagasan-gagasan besarnya tersebut. Dalam rangka menyambut Asian Games dijalankanlah sejumlah proyek besar.

Saat itu, belum ada fasilitas pendukung yang memadai untuk menunjang penyelenggaran ajang olahraga seluruh negara-negara di benua Asia tersebut. Jakarta hanya memiliki satu stadion, yakni Stadion Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), yang hanya memiliki daya tampung 15.000 orang dan dianggap tidak memenuhi syarat.

Sebagai sport venue dibangun suatu kompleks olahraga di kawasan Senayan yang di dalamnya terdapat sebuah stadion utama berkapasitas sekitar 100.000 penonton. Dengan suntikan pinjaman dana segar dari Uni Soviet, kompleks olahraga tersebut mulai dibangun pada tahun 1960 dan selesai pada Juli 1962.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Upacara Pembukaan PON VIII di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta Pusat (4/8/1973).

Pada masa itu, stadion yang kini dikenal dengan Stadion Gelora Bung Karno (GBK) dipercaya sebagai stadion terbesar dengan atap melingkar pertama yang ada di Asia Tenggara. Berkaitan dengan model bentuk atap, merupakan permintaan langsung dari Soekarno. Model atap itu disebutnya sebagai “temu galang”, istilah yang diciptakan Soekarno sendiri untuk menyebut sebuah atap yang bentuknya menerus, menyambung secara melingkar mengikuti bentuk lintasan olahraga.

Sebagai tempat menginap para tamu negara dan juga peserta, dibangun hotel bertaraf internasional yang dinamai Hotel Indonesia. Hotel Indonesia memiliki 15 lantai dan 436 kamar, terdiri dari dua gedung yang menyerupai huruf “T”, yang dinamai Ganesha dan Ramayana. Anggaran pembangunan Hotel Indonesia berasal dari dana pampasan perang Jepang.

Sedangkan untuk menjamin kelancaran lalu lintas selama berlangsunganya Asian Games IV, dilakukan pelebaran Jalan Jendral Sudirman dan Jalan M.H. Thamrin yang menjadi akses menuju Kawasan Senayan.

Di persimpangan Jalan Jendral Sudirman dibangun pula sebuah jalan layang modern yang bentuknya menyerupai daun semanggi sehingga kemudian disebut Jembatan Semanggi. Pada saat itu, Jembatan Semanggi diklaim sebagai cloverlead bridge terbesar di Asia Tenggara. Cloverleaf bridge adalah persimpangan dua tingkat, bertujuan untuk dua jalan raya beroperasi tanpa dihentikan lampu lalu lintas. Selain itu, dibangun juga Jakarta Bypass, sebuah jalan modern sepanjang 27 kilometer yang menghubungkan Cililitan dan Tanjung Priok.

KOMPAS/JB SURATNO

Rambu tanda larangan masuk ke jalan Jendral Sudirman dari arah jalan Gatot Subroto maupun jalan S.Parman di jembatan Semanggi membingungkan (10/11/1976). Awalnya dipasang karena ada perbaikan jalan di depan yayasan RS Jakarta dengan catatan larangan berlaku dari jam 06.00 – 10.00.

Melengkapi pembangunan fasilitas dan sarana penunjang Asian Games IV, dilakukan pula pembangunan beberapa monumen dan patung untuk mempercantik kota. Ketika Hotel Indonesia hampir selesai dibangun, di depannya dibangun sebuah patung sepasang muda-mudi yang tersenyum seraya melambaikan tangan dan membawa bunga, yang mencerminkan keramahtamahan bangsa Indonesia. Bentuk simbolis penyambutan para tamu mancanegara, terutama dari Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Kemayoran, sehingga disebut Patung Selamat Datang.

Sketsanya dibuat oleh Hermanus Joel Ngantung alias Henk Ngantung, Wakil Gubernur Jakarta (1960–1964) yang juga seorang seniman Lekra. Adapun pembangunan tugu tersebut dibuat oleh seniman patung Indonesia, Edhi Sunarso.

Selain Patung Selamat Datang, dibangun pula sejumlah patung dan monumen lainnya di beberapa jalan protokol Jakarta, seperti Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng dan Patung Dirgantara di Pancoran. Namun, pembangunan yang paling prestisius adalah pembangunan Monumen Nasional di Jalan Medan Merdeka.

Gagasan pembangunan Monas sudah dicetuskan sejak tahun 1954, namun pembangunannya baru dilaksanakan pada tahun 1961. Monas memiliki tinggi 132 meter (433 kaki). Di puncaknya terdapat lidah api yang dilapisi emas dengan berat puluhan kilogram. Biaya pembangunannya berasal dari iuaran masyarakat, selain juga anggaran pemerintah.

Tak jauh dari lokasi pembangunan Monas, di sebalah timur laut dibangun juga sebuah masjid berdaya tampung sekitar 200.000 orang, dinamai masjid Istiqlal yang dalam bahasa Arab berarti “merdeka”. Pembiayaan pembangunannya juga berasal masyarakat serta anggaran pemerintah. Bangunan masjid terdiri dari beton bertulang dan lantai serta dinding dilapisi marmer. Bangunan utama terdiri dari satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang oleh 12 tiang besar, dan menara tunggal setinggi 96,66 meter menjulang di sudut selatan selasar masjid.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Patung Kebebasan di lapangan Banteng seolah memeluk puncak Monas (2/6/1971).

Selain proyek-proyek yang berhubungan langsung dengan persiapan Asian Games IV, terdapat beberapa proyek-proyek yang dibangun untuk memodernisasi Jakarta. Pada tahun 1963, dibangun sebuah pusat perbelanjaan atau depatement store pertama di Indonesia, yakni Toserba Sarinah. Memiliki tinggi 74 meter dengan 15 lantai.

Gagasan pendiriannya dilatarbelakangi oleh pengamatan Soekarno dalam lawatannya ke negara-negara maju, melihat bahwa negara-negara yang dikunjungi telah memiliki toserba sebagai distributor barang-barang untuk masyarakat dan juga sebagai stabilitator harga. Sehingga dalam tujuan pembangunannya, Toserba Sarinah bertujuan sebagai pusat sales promotion barang-barang produksi dalam negeri, terutama hasil pertanian dan industri rakyat.

Bersamaan dengan pembangunan Toserba Sarinah, dilakukan juga pembangunan Wisma Nusantara yang menjadi gedung pencakar langit pertama di Indonesia sekaligus di Asia Tenggara. Tingginya 117 meter dengan 30 lantai, dan menerapkan teknologi tahan gempa. Saat itu, Wisma Nusantara akan difungsikan sebagai gedung perkantoran kelas A, diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan besar, nasional, dan multinasional.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Jalan MH.Thamrin di depan Gedung Sarinah sedang di perbaiki (11/1/1973).

Proyek mercusuar terakhir Soekarno adalah proyek “political venues”, Gedung Conefo, kini menjadi Gedung DPR/MPR. Pembangunan gedung ini dimaksudkan untuk gelaran Conference of the New Emerging Forces (Conefo) pada tahun 1966. Gedung Conefo dirancang memiliki kubah besar yang menyerupai sayap burung yang akan lepas landas.

Merujuk Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950–1970, pembangunan-pembangunan tersebut telah mengubah wajah kota Jakarta, memberikan gambaran modernis. Dalam membangun kota Jakarta, Soekarno berperan tak hanya dalam penentu sebuah kebijakan, tetapi juga sebagai perancang dalam setiap konsep bangunan yang dibangun.

Meski demikian, tidak semua mampu diselesaikan Soekarno pada masa pemerintahannya. Kemerosotan situasi politik dan ekonomi pada tahun 1965, yang berujung kejatuhannya dari pusat kepemimpinan, menjadi penyebabnya.

Beberapa proyek gagasan Soekarno sempat mangkrak, baru selesai dan terwujud pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, gubernur Jakarta terakhir pilihannya yang meneruskan modernisasi ibukota. Di antaranya Wisma Nusantara yang baru diresmikan pada tahun 1972, Monumen Nasional pada tahun 1975, dan Masjid Istiqlal pada tahun 1978. Sementara itu, Gedung Conefo baru selesai pada tahun 1983, tetapi oleh Presiden Soeharto peruntukannya diubah menjadi Gedung DPR/MPR.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Bangunan kubah Gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta (10/8/1972)

Visi Pembangunan

Pada masa itu, banyak kalangan menilai bahwa proyek mercusuar sebagai praktik pemborosan di tengah perekonomian negara yang masih belum stabil. Komentar negatif banyak diberikan karena pembangunan yang dilakukan dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu yang masih banyak mengalami kesusahan.

Namun, Soekarno memiliki pandangannya sendiri. Meskipun ekonomi sulit, Indonesia harus tetap tumbuh dan berkembang. Menurutnya, manusia tidak cukup apabila hanya dikasi makan perutnya, tetapi harus juga jiwanya. Dalam buku autobiografinya berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams, Soekarno menyebutkan bahwa,

“Manusia tidak hanya hidup untuk makan. Sungguh pun gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang, namun aku telah membangun gedung-gedung bertingkat, sebuah jembatan berbentuk daun semanggi, jalan raya hebat yang dikenal dengan Jakarta Bypass, dan menamai jalan-jalan dengan nama pahlawan kami: Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto dan lain-lain. Kuanggap pengeluaran biaya bagi pembangunan perlambangan bangsa tidaklah sia-sia. Aku harus membangun kebanggan bangsa Indonesia. Rakyat Sudah terlalu lama diperbudak”

KOMPAS/KARTONO RYADI

Tugu Tani. Patung di jalur hijau Jalan Prapatan-Kwitang dan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Minggu, 16 April 1972.

Untuk menjalankan proyek-proyek gagasannya, Soekarno melakukan upaya diplomasi. Ia menunjukan kemapuannya dalam lingkungan diplomatis di tengah kecamuk Perang Dingin. Sebagian besar proyek-proyek mercusuar Soekarno dibiayai pinjaman dari kedua blok yang sedang berselisih.

Pembangunan kompleks olahraga untuk Asian Games sebagain besar dibiayai oleh pinjaman dari Uni Soviet. Sedangkan di blok sebelah, Amerika Serikat memberikan pinjaman untuk membangun infrastruktur jalan Djakarta Bypass. Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, dan Toserba Sarinah dibangun dari hasil pampasan perang atau pembayaran ganti rugi Jepang. Di luar uang pinjaman luar negeri, beberapa proyek dibangun dari uang sumbangan masyarakat dan anggaran pemerintah, seperti Monumen Nasional dan Masjid Istiqlal.

Sebagai seorang sarjana teknik sipil dan pernah memiliki pengalaman bekerja sebagai seorang arsitek sebelum terjun ke dunia politik. Merujuk kembali Farabi Fakih, Soekarno memiliki keyakinan bahwa arsitektur dapat dimanfaatkan untuk membangun mental bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan berpuluh-puluh tahun. Semua proyek mercusuarnya dianggapnya sebagai bagian dari apa yang dianggapnya nation and character building.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Permainan panjat “pinang” (hanya saja pinangnya diganti tiang) di Taman Ria Monas, Jakarta pada 1971, hadiahnya bukan pakaian, atau hadiah-hadiah kecil lainnya, akan tetapi sepeda motor Lambrettino.

Poros Baru Jakarta

Tak hanya mendirikan bangunan-bangunan dan monumen megah, Soekarno juga mengatur ulang tata letak kota. Susan Blackburn dalam buku berjudul Jakarta Sejarah 400 Tahun menjelaskan bahwa untuk menghapuskan unsur-unsur kolonial yang masih lekat dengan Jakarta, Soekarno membangun poros baru untuk kota Jakarta.

Poros baru Jakarta membentang dari Monumen Nasional, Bundaran Bank Indonesia, Thamrin, Sarinah, Bundaran Hotel Indonesia, Tugu Selamat Datang-Sudirman, flyover Semanggi, Senayan, sampai Patung Pemuda Membangun di Bundaran Senayan. Lokasi ini dianggapnya bersih dari konotasi kolonial, dan bertekad menciptakan pusat kota baru di sana.  Menggantikan poros Jakarta masa kolonial ketika masih bernama Batavia, yaitu Kota Tua, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Harmoni, Juanda, Senen, sampai Matraman, yang selanjutnya ke Bekasi dan Bogor di Jawa Barat.

Semua proyek mercusuar Soekarno difokuskan pada poros tersebut. Di Jalan Thamrin hingga Sudirman misalnya, daerah itu direncanakan menjadi etalase yang menampilkan karya-karya dari para arsitek dan kontraktor Indonesia. Soekarno merupakan pemimpin yang menyukai simbol-simbol agung. Oleh karenanya, ia menginginkan jalan tersebut harus diisi oleh bangunan-bangunan megah berupa gedung setinggi minimal lima lantai, yang memberikan kesan modern. Tiga proyek mercusuar Soekarno, Wisma Nusantara, Toserba Sarinah, dan Hotel Indonesia berdiri di sana.

Hingga hari ini, kawasan tersebut identik dengan gedung-gedung menjulang ke langit. Menjadi pusat bisnis dan perkantoran perusahaan nasional hingga multinasional. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Adams, Cindy. 2000. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Ketut Masagung.
  • Ardhiati, Yuke. 2005. Bung Karno Sang Arsitek. Depok: Komunitas Bambu.
  • Blacburn, Susan. 2011. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Depok: Masup Jakarta.
  • Budiman, Hikmat (ed). 2020. Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Ibu Kota. Jakarta: Populi Center.
  • Farabi Fakih. 2005. Membayangkan Ibu Kota Jakarta di Bawah Soekarno. Yogyakarta: Ombak.
  • Firman Lubis. 2018. Jakarta 1950-1970. Depok: Masup Jakarta.
Arsip Kompas
  • “Hotel Indonesia, Pembuktian Negara Baru di Kancah Internasional”, Kompas, 11 Februari 2021.
  • “Sejarah Monumen Nasional (Monas): Perencanaan, Pembangunan, Hingga Polemik Pengelolaan”, Kompas, 17 Juli 2021.