Paparan Topik | Transportasi

Perjalanan Industri Penerbangan Indonesia

Industri penerbangan di Indonesia mengalami pasang surut dalam perjalanan bisnisnya. Sejarah mencatat, di masa lalu puluhan maskapai nasional pernah beroperasi di Indonesia seriring tingginya mobilitas dan kebutuhan penumpang naik pesawat. Industri penerbangan telah menumbuhkan daya ungkit bagi kemajuan berbagai industri.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pesawat terbang terparkir di depan Hanggar GMF AeroAsia di Kompeks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (7/6/2021). Indonesia National Air Carriers Association (INACA) menyebutkan bahwa kinerja industri penerbangan dalam negeri merosot tajam pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Hal itu tercermin dari traffic movement turun 43 persen dari 2,1 juta menjadi 1,2 juta dan jumlah penumpang turun 70 persen dari 91,6 juta menjadi 35,4 juta. Angkutan kargo pun turun 65 persen dari 1,1 juta menjadi 429.000 ton. Industri penerbangan diperkirakan akan pulih paling cepat pada 2022.

Fakta Singkat

Jumlah Maskapai (Operator Penerbangan)

  • Maskapai terjadwal: 16 maskapai
  • Maskapai tidak terjadwal: 37 maskapai
  • Penerbangan Charter: 49 operator

(Data INACA, 2020)

Liberalisasi Penerbangan

  • Tahap I (1969–1970)
    Pemerintah membuka izin bagi swasta untuk mendirikan perusahaan penerbangan swasta nasional.
  • Tahap II (1971 – 1990)
    Pemerintah menempuh kebijakan baru dengan memperbolehkan maskapai swasta nasional menggunakan pesawat jet tetapi terbatas sebagai penerbangan charter saja.
  • Tahap III (1991-1999)
    Pemerintah membuka izin penggunaan pesawat jet bagi semua maskapai penerbangan berjadwal.
  • Tahap IV (2000- saat ini)
    Pemerintah memperbolehkan berdiri dan beroperasi maskapai-maskapai penerbangan bujet atau yang dikenal sebagai Low Cost Carrier (LCC).

Dampak Pandemi

Penumpang udara domestik (2020):

  • 35.393.966 (turun 55 persen) dibandingkan 2019

Penumpang internasional (2020):

  • 2.045.851 (turun sebesar 95 persen) dibanding tahun 2019.

Safe travel campaign (new normal):

  • Jumlah Penumpang naik 20 persen
  • Jumlah Penerbangan naik 17 persen

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan disebutkan penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, Bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

Selama setengah abad perjalanan bisnis penerbangan di lndonesia, telah banyak tumbuh perusahaan penerbangan mencapai lebih kurang 95 perusahaan yang pernah hadir, namun dikarenakan persaingan bisnis yang begitu ketat, satu persatu menutup operasionalnya.

Pada 2019, berdasarkan data Indonesia National Air Carriers Association (INACA) atau Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia tercatat 53 maskapai yang masih beroperasi terdiri dari 16 maskapai berjadwal dan 37 tidak berjadwal. Maskapai yang sudah tidak beroperasi ada 42 yang terdiri atas 29 pernah beroperasi, 13 maskapai yang tidak sempat beroperasi.

Pada 2021, dalam laman Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA yang diakses per Desember 2021, tercatat 34 maskapai Anggota INACA terdiri 11 maskapai terjadwal, 21 maskapai tidak terjadwal, dan 2 maskapai kargo.

Dalam laporan INACA (2020) disebutkan ada 49 operator penerbangan charter di Indonesia baik untuk mengangkut penumpang ataupun kargo.

Tren pertumbuhan dan perkembangan industri penerbangan terjadi pada periode 2015-2019. Industri penerbangan terus mengalami pertumbuhan yang cukup konsisten. Jumlah rute domestik sesuai izin rata-rata meningkat sebesar 12 persen per tahun pada periode tersebut.

Selain itu, jaringan dan rute penerbangan internasional terus berkembang dengan rata-rata kenaikan sebesar 10 persen. Jumlah kota terhubung di rute domestik juga bertambah rata-rata 7 persen per tahun.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Jajaran armada pesawat Garuda parkir di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (23/6/2015). Untuk mengantisipasi arus mudik dan arus balik Lebaran pada 2015, maskapai Garuda Indonesia menambah kapasitas menjadi sekitar 1,6 juta kursi. Jumlah tersebut naik 15 persen dari hari-hari biasa.

Hingga tahun 2019, jumlah kota di Indonesia yang terhubung untuk rute-rute domestik mencapai 145 kota. Sedangkan rute-rute angkutan udara luar negeri sebanyak 23 kota di Indonesia ke 66 kota di mancanegara.

Namun hingga akhir 2020, jumlah penumpang udara domestik hanya mencapai sebanyak 35.393.966 orang atau turun sebesar 55 persen. Demikian juga dengan penumpang internasional hanya mencapai sebanyak 2.045.851 orang atau turun sebesar 95 persen dibanding tahun 2019.

Tantangan saat ini ditengah pandemi Covid-19 adalah bagaimana bisa melanjutkan kembali pembangunan infrastruktur transportasi untuk meningkatkan konektivitas. Tantangan lainnya adalah bagaimana sektor transportasi dan pariwisata mampu kembali bergeliat meski dalam posisi pilihan yang sulit, yaitu tetap mengedepankan protokol kesehatan agar kesehatan tetap terjaga, disisi lain ekonomi juga harus tetap berjalan.

Sejarah Industri Penerbangan di Indonesia

Perkembangan industri penerbangan Indonesia tidak terlepas dari sejarah Garuda Indonesia sebagai maskapai nasional. Garuda Indonesia (GA) sebagai ‘flag carrier’ (maskapai resmi pembawa bendera negara) dengan nama perusahaan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, memiliki nilai historis dari sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.

Pesawat pertama Garuda Indonesia mengudara pada tahun 1946, namun baru beroperasi secara komersial pada tahun 1950.

Berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah Belanda harus menyerahkan aset Hindia Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Salah satunya perusahaan maskapai bernama Koninklijke Luchtvaart Maatschappij – Inter-Insulair Bedrijf (KLM-IIB).

KLM-IIB terbentuk setelah KLM mengambil alih perusahaan penerbangan swasta Koninklijke Nederlandshindische Luchtvaart Maatschappij (K.N.I.L.M) yang berdiri sejak tahun 1928 atau era pemerintahan Hindia Belanda.

Hasil KMB kemudian ditinjaklanjuti oleh pemerintah RIS dan KLM dengan merundingkan pembentukan perusahaan maskapai nasional pada 21 Desember 1949. KLM kemudian berganti nama menjadi Garuda Indonesian Airways (GIA). Direktur Utama pertama GIA adalah orang Belanda bernama Dr. E. Konijneburg.

Nama Garuda diberikan oleh Presiden Soekarno dengan mengutip satu baris dari sebuah sajak bahasa Belanda gubahan pujangga terkenal, Raden Mas Noto Soeroto di zaman colonial: “Ik ben Garuda, Vishnoe’s vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden” yang artinya “Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi di atas kepulauanmu”).

Sampai dengan tahun 1969, terdapat empat maskapai penerbangan berjadwal beroperasi di Indonesia. Dua perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara Airline (Merpati). Dan dua maskapai penerbangan swasta yakni Mandala Air (Mandala) dan Bouraq Airlines (Bouraq).

KOMPAS/RUDI BADIL

Merpati Nusantara Airlines (MNA) membuka route penerbangan baru Manila-Denpasar, Jum’at (5/10/1974). Penerbangan langsung ini dilakukan dengan dua pesawat jet Bac-111 dan Fokker F-28 dengan mengangkut rombongan 50 orang Philipina dan 70 orang Indonesia. Philipina dipimpin menteri pariwisata Jose D.Aspiras dan Indonesia dipimpin Duta Besar Indonesia untuk Philipina Sri Bimo Ariotedjo. Kerjasama ini juga melibatkan Hotel Indonesia Intercontinental Group dan Tunas Indonesia Tours and Travel.

Bouraq Airlines didirikan oleh Jerry Sumendap, seorang pengusaha nasional, pada akhir tahun 1960-an. Mandala Air berdiri pada 17 April 1969. Inisiatornya ialah Brigjen Sofyar dari Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Keduanya adalah maskapai penerbangan berjadwal yang melayani penerbangan reguler selain Garuda Indonesia dan Merpati.

Pada bulan Desember 1968 berdiri Sempati Air yang secara resmi beroperasi mulai dari bulan Maret 1969. Kemudian berdiri lagi satu maskapai penerbangan lainnya Bayu Air. Kedua maskapai swasta nasional ini beroperasi sebagai perusahaan penerbangan charter. Meskipun kemudian Sempati Air berubah menjadi penerbangan reguler.

Pada era 1960-1970, sejumlah pengusaha nasional melihat potensi atas wilayah udara Indonesia yang luas. Kesadaran itu diwujudkan oleh individu-invidu pengusaha nasional dengan mendirikan perusahaan-perusahaan penerbangan. Semenjak itu, perubahan-perubahan dalam industri penerbangan di Indonesia berlangsung relatif cepat.

Pada akhir tahun 1960-an dan selama dasawarsa 1970-an, lahir lagi maskapai-maskapai penerbangan baru. Dalam periode itu diantaranya berdiri Pelita Air Service, Seulawah, Indonesia Air Transport (IAT), Airfast Indonesia (Airfast), Deraya Air, SMAC, Dirgantara Air Service (DAS), dan beberapa maskapai lainnya.

Pelita Air Service adalah perusahaan penerbangan charter milik Pertamina. Seulawah didirikan oleh TNI AD. Bayu Air merupakan perusahaan penerbangan kargo. Sedangkan Indonesia Air Transport (IAT) penerbangan charter yang pemiliknya adalah warga negara Belanda.

KOMPAS/TOTOK POERWANTO

Gambar kontingen atlet menembak DKI Jaya bergambar bersama di Lapangan Terbang Malang sebelum terbang kembali ke Jakarta dengan pesawat Bouraq setelah mengikuti kejuaraan menembak se-Jawa di Malang (29/4/1980).

Pesawat Udara Sipil

Indonesia sebagai negara kepulauan tentu sangat membutuhkan alat transportasi untuk mengangkut orang maupun barang antarwilayah di Indonesia. Salah satunya yang terbilang paling cepat dan efisien sampai ke tujuan adalah transportasi udara menggunakan pesawat terbang.

Pesawat Udara Sipil yang saat ini dioperasikan di Indonesia sebanyak 1.164 pesawat yang terdiri dari pesawat sayap tetap (fixed wing) dan balingbaling (rotary wing).

Untuk sayap tetap penumpang komersial didominasi oleh Boeing, Airbus dan ATR. Lalu untuk pesawat kapasitas kecil dan latih didominasi oleh Cessna, Piper dan Beech. Sedangkan pesawat helicopter didominasi oleh Bell, Aerospatiale dan Messerschmitt-Bölkow-Blohm.

KOMPAS/RB SUGIANTORO

Penggelindingan CN-235 dari hanggar. Didampingi Menristek/Dirut Nurtanio BJ Habibie, Sabtu (10 September 1983) di Bandung, Presiden Soeharto meresmikan pesawat CN-235 pertama produksi Indonesia bekerjasama dengan Spanyol. Presiden menyiramkan air dari kendi diiringi tepuk tangan hadirin. Penyiraman itu bagai menyiramkan “banyi gege” pada jabang bayi “Tetuko” agar ia cepat besar dan banyak produksinya.

Secara total, jumlah pabrikan pesawat yang beroperasi di Indonesia berjumlah 40 perusahaan. PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sendiri yang merupakan pabrikan dalam negeri lebih banyak memproduksi pesawat militer dan lebih berorientasi pada pasar ekspor.

Pesawat buatan PTDI/CASA yang pernah digunakan oleh maskapai penerbangan Merpati adalah CN-235. Namun Merpati Airlines terpaksa harus berhenti beroperasi sejak 1 Februari 2014 akibat mengalami kesulitan keuangan.

Rencananya PTDI akan mulai menyasar pasar domestik khususnya untuk mengisi rute penerbangan perintis melalui NC212i dengan kapasitas 28 penumpang dan N219 yang berkapasitas 19 penumpang.

Pasang Surut Industri Penerbangan

Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 1960-an, hanya ada dua maskapai penerbangan sipil berjadwal yang beroperasi, yakni Garuda Indonesian Airways dan Merpati Nusantara Airways (Merpati).

Pada tahun 1969 di bawah pimpinan Presiden Soeharto, pemerintah membuka kesempatan bagi pengusaha swasta nasional untuk bergerak di bidang penerbangan sipil. Pada saat itu Menteri Perhubungan dijabat oleh Frans Seda, seorang tokoh ekonom dan diteruskan oleh Prof. Emil Salim, juga seorang tokoh ekonom dari Universitas Indonesia. Kedua menteri ini melaksanakan kebijakan liberalisasi industri penerbangan nasional. Sejak itu mulai diizinkan pembukaan perusahaan-perusahaan penerbangan baru.

Pada masa itu prosedur mendirikan perusahaan penerbangan sederhana. Jika pengusaha sudah punya pesawat dan ada pilotnya, kemudian mengajukan permohonan izin rute terbang kepada pemerintah maka izin operasional bisa dikeluarkan, sehingga perusahaan penerbangan baru tersebut sudah bisa operasional. Pada masa itu, proses pendirian perusahaan penerbangan relatif sangat mudah.

Sejak awal berdiri, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA mengupayakan kesetaraan antara maskapai milik pemerintah dan maskapai milik swasta. Pertama kali yang diperjuangkan adalah diperbolehkannya maskapai swasta menggunakan dan memiliki armada pesawat jet. Karena itu merupakan kebutuhan untuk melayani transportasi udara di wilayah Indonesia yang sangat luas.

KOMPAS/KARTONO RYADI

PN Garuda diperkaya dengan sebuah Fokker Fellowship F-28. Pesawat jet yang bertempat duduk 65 buah ini cocok untuk penerbangan jarak sedang. Pesawat ini  mampu melakukan penerbangan sejauh 1000 mil tanpa mengisi bahan-bakar dengan kecepatan maksimum 650 km per jam. Indonesia memesan tiga buah (30/08/1971).

Sebelum tahun 1970-an, hanya Garuda Indonesian Airways saja yang diperbolehkan oleh pemerintah menggunakan pesawat jet. Maskapai milik pemerintah lainnya Merpati, pada waktu itu, hanya diperbolehkan menggunakan pesawat propeller atau baling-baling.

INACA terus menyuarakan agar maskapai penerbangan swasta nasional diperbolehkan menggunakan pesawat jet. Hingga pada akhirnya di pertengahan 1970-an pemerintah mengizinkan penggunaan pesawat jet oleh swasta. Hal ini menjadi momentum dimulainya liberalisasi industri penerbangan tahap kedua.

Setelah pemerintah melonggarkan perizinan, sejak tahun 1970 perusahaan-perusahaan penerbangan baru bermunculan. Jumlahnya mencapai belasan. Meskipun demikian, kecuali Garuda Indonesia, perusahaan-perusahaan baru itu tetap hanya diperbolehkan menggunakan pesawat propeller.

Sekitar pertengahan tahun 1970-an, pemerintah kembali merelaksasi regulasi. Kali ini memperbolehkan maskapai selain Garuda Indonesia menggunakan pesawat jet. Merpati langsung memanfaatkan kesempatan ini dan mulai menggunakan pesawat jet khusus untuk melayani penerbangan charter.

Langkah Merpati diikuti oleh Mandala, Bouraq, dan Sempati Air. Semua maskapai menggunakan pesawat jet untuk mengoperasikan penerbangan charter.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Sebanyak 540 jemaah haji DKI kloter pertama hari Minggu pagi, 26 Oktober 1980 jam 09.30 tiba kembali tiba di Tanah Air, setelah tertunda hampir dua jam. Di bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, mereka disambut Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara langsunng kedalam pesawat Garuda Boeing 747 “City of Jakarta” yang mengangkut mereka. Di antara para jemaah yang pulang adalah Ketua Mahkamah Agung Prof. Senoadji dan Kepala Staf Ganisum Ibukota Brigjen Eddy Nalapraya. Pada tahun 1980 sekitar 70.000 orang Indonesia menunaikan ibadah haji.

Pada tahun 1976 pemerintah memberi kesempatan kepada maskapai-maskapai swasta nasional relatif besar dan yang mengoperasikan charter ikut mengangkut jemaah haji Indonesia. Sebelumnya, angkutan haji hanya dioperasikan oleh Garuda Indonesia dan Saudi Airlines.

Merpati, Mandala, dan Bouraq langsung mengambil kesempatan ini. Operasional angkutan haji selain Garuda Indonesia dimulai pada tahun 1976. Sayangnya, ketiga maskapai ini dinilai masih pengalaman. Sehingga izin charter angkutan haji hanya berlangsung sampai dengan tahun 1978.

Setelah itu angkutan haji diberikan lagi kepada Garuda Indonesia dan Saudi Airlines sepenuhnya. Bagaimanapun, diberikannya kesempatan mengangkut jemaah haji kepada maskapai selain Garuda Indonesia merupakan sebuah tonggak sejarah tersendiri dalam industri penerbangan nasional. Hal ini merupakan salah satu hasil perjuangan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia.

Selama tahun 1970–1980 pengoperasian pesawat jet untuk penerbangan sipil berjadwal terbatas hanya oleh Garuda Indonesia. Karena permintaan terhadap transportasi udara terus meningkat dan kebutuhan pesawat jet semakin mendesak, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) kembali memperjuangkan agar anggota-anggotanya diberikan izin menggunakan pesawat jet.

Hal ini dimaksudkan agar maskapai-maskapai, terutama penerbangan berjadwal, dapat melayani lebih banyak tujuan di pulau-pulau lain. Hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan izin penggunaan pesawat jet oleh swasta.

Pada pertengahan 1989 dan awal 1990, Merpati, Mandala, dan Sempati Air memperoleh izin mengoperasikan pesawat jet. Pada masa ini industri penerbangan Indonesia memasuki babak baru.

Dengan telah diizinkannya menggunakan pesawat jet, Sempati Air mengubah izin perusahaannya menjadi penerbangan berjadwal pada awal 1990. Sebelumnya, sampai dengan tahun 1990, maskapai ini hanya mengoperasikan penerbangan charter.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Pesawat jet swasta pertama jenis Pesawat Fokker F- 100 dengan kapasitas 103 penumpang pesanan Sempati Air Minggu (22/7/1990) di Bandara Soekarno-Hatta dari Amsterdam, Belanda. Pesawat yang dioperasikan oleh Sempati Air ini dijuluki Sempati Arrow ini merupakan pesawat penumpang jet swasta pertama yang beroperasi di wilayah udara Indonesia mulai 4 Agustus 1990.

Sejak kebijakan pemerintah membuka kesempatan mendirikan perusahaan penerbangan baru dan mengizinkan maskapai swasta nasional yang melayani penerbangan berjadwal menggunakan pesawat jet, industri penerbangan nasional mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi.

Era tahun 1990-an, permintaan terhadap transportasi udara terus meningkat di masyarakat juga permintaan terhadap rute-rute baru di dalam negeri terus bertambah. Periode ini dikenal dengan tahap ketiga liberalisasi industri penerbangan.

Industri penerbangan Indonesia kemudian memasuki liberalisasi tahap keempat ketika memasuki awal tahun 2000-an. Pemerintah memperbolehkan berdiri dan beroperasi maskapai-maskapai penerbangan bujet atau yang dikenal sebagai Low Cost Carrier (LCC). Masa ketika semua orang bisa menggunakan transportasi udara. Seperti yang disarikan di dalam tagline LCC asal Malaysia Air Asia, “Now, everyone can fly”. Peran Lion Air sebagai Low Cost Carrier di Indonesia yang sukses baik terhadap upaya peningkatan jumlah penumpang maupun jumlah armada, disamping Garuda Indonesia sebagai full service airlines.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Truk Pertamina mengisi bahan bakar avtur ke pesawat penumpang Lion Air di apron Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Jumat (18/7/2008). Lonjakan harga avtur memberatkan pelaku industri dirgantara karena biaya bahan bakar mencapai 45-55 persen dari seluruh ongkos penerbangan.

Penerbangan remote area

Di wilayah paling ujung timur Indonesia di Papua, pada tahun 1970–1980-an terdapat lebih kurang 120 remote/isolated airstrip. Pada waktu itu maskapai penerbangan berjadwal yang melayani Papua hanya Merpati. Sedangkan penerbangan ke pedalaman atau remote area dilayani oleh misionaris yang mengoperasikan pesawatnya sendiri.

Pada tahun 1990-an layanan transportasi udara di Papua dilayani oleh Merpati, Trigana, dan misionaris. Mulai tahun 1993, satu operator baru mulai melayani penerbangan berjadwal hingga ke pedalaman di Papua yakni Trigana Air Service (TAS).

KOMPAS/AGUS MULYADI

Sejumlah barang kebutuhan berbagai jenis, Selasa (20/12/2005) lalu, diturunkan dari pesawat Trigana Air yang baru datang dari Jayapura di Bandara Wamena, Papua. Pengiriman barang ke daerah pedalaman di Papua hingga kini hanya bisa dilakukan melalui udara dengan menggunakan pesawat terbang.

Awal tahun 2000-an, layanan penerbangan ke pedalaman Papua bertambah. Perusahaan-perusahaan penerbangan baru yang lebih kecil mulai terbang ke pelosok-pelosok. Diantaranya Susi Air, Alfa Trans Dirgantara, Enggang, Dimonim, Asia One, dan lain-lain.

Pada umumnya, mereka itu menggunakan pesawat Cesna Caravan. Tipe pesawat yang cocok digunakan untuk terbang ke pedalaman. Sedangkan penerbangan reguler yang dilayani oleh TAS menggunakan pesawat-pesawat DHC-6 Twin Otter, ATR 42-300, ATR 72-342, ATR 72-500, hingga Boeing B737-300, dan B737-400. Armada yang dimiliki TAS untuk operasional di Papua termasuk jenis pesawat kargo, baik dari Boeing maupun ATR dan pesawat-pesawat multifungsi.

Padat Modal dan Teknologi

Bisnis penerbangan merupakan sektor bisnis yang dikenal marginnya sangat tipis, namun padat modal, padat teknologi dan padat resiko, saat ini kondisinya cenderung stagnan. Penyebabnya karena membengkaknya biaya- biaya utama maskapai seperti avtur (bahan bakar penerbangan) dan volatilitas nilai tukar sehingga maskapai ibarat pesawat sulit terbang saat lepas landas atau takeoff akibat kelebihan beban.

Upaya untuk mencari keseimbangan antara respon pasar yang berharap tarif tiket penerbangan bisa semurah-murahnya dengan beban maskapai yang sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah yang melemah, seakan belum menemukan titik temu.

Tidak mudah untuk mengelola sebuah bisnis penerbangan, karena banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, sehingga butuh kecermatan dan sikap kehati-hatian.Salah sedikit dalam tata kelola maka eksistensi perusahaan menjadi taruhannya. Buktinya bisnis penerbangan di Indonesia telah banyak makan korban.

KOMPAS/PASCAL SB SAJU

Pesawat Boeing 737 milik Adam Air ketika mendarat perdana di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat, 15 Juli 2005 pukul 17.00 membawa 120 penumpang antara lain Gubernur dan Ny Erni Tallo, yang saat itu didampingi Executive Vice President PT Adam Sky Connection Airlines, Dave T Laksono.

Sejak era tahun 2000-an sudah 28 maskapai penerbangan domestik yang jatuh bangun dan akhirnya terpaksa gulung tikar. Maskapai domestik yang sempat mengudara namun akhirnya harus stop operasi antara lain Awair (2001), Indonesian Airlines (2003), Seulawah NAD Air (2003), Bouraq (2005), Air Paradise (Nov 2005), Efata Air (Februari 2007), Bali Air (Februari 2007), Asia Avia (Februari 2007), Top Air (Februari 2007), dan Nurman Avia (2007),

Kemudian menyusul maskapai penerbangan lainnya yang berhenti beropersi yakni Star Air (2008), Adam Air (Mar 2008), Jatayu (April 2008), Dirgantara Air Service (2009), Linus (April 2009), Megantara Cargo (Mei 2009), Kartika Airline (Juni 2010), Nusantara Buana Air (2011), Riau Air (2012), Pasific Royale (November 2012), Batavia (Januari 2013), Merpati (Februari 2014), Mandala (April 2012 dan Juli 2014), Sky Aviation (2014), Air Maleo (2015), Manunggal (2015), Sabang Merauke Air Carter/ SMAC (Februari 2011) dan Kalstar (September 2018).

Beragam tekanan yang dialami oleh operator penerbangan domestik terus berlanjut hingga 2019. Pada bulan Agustus-Oktober 2019, kabut asap akibat Karhutla telah melumpuhkan operasional penerbangan, khususnya di wilayah Kalimantan dan Sumatera.

KOMPAS/FABIOLA PONTO

Calon penumpang AdamAir mengembalikan tiket untuk ditukarkan dengan uang di kantor perwakilan Surabaya, Senin (17/3/2008). Mereka terpaksa mengembalikan tiket karena AdamAir menghentikan operasional hampir seluruh rute.

Faktor lainnya yang mengemuka adalah soal tiket mahal dan penerapan bagasi berbayar. Pasca merugi di 2018, beberapa maskapai penerbangan mencoba melakukan penyesuaian tarif dan bahkan LCC menerapkan bagasi berbayar demi menjaga eksistensi perusahaannya. Namun hal ini direspon negatif oleh pengguna jasa, sehingga jumlah penumpangpun anjlok hingga 30 persen.

Seperti diketahui, pengguna jasa penerbangan di Indonesia, 33 persen kelas menengah atas dan mayoritas 67 persen menengah ke bawah (10 persen medium dan 57 persen LCC), sehingga cenderung sensitif terhadap harga (price sensitive).

KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Seorang warga tampak berjalan mendekat ke landasan pacu dan disaat bersamaan pesawat Batavia Air mendarat di Bandara Mopah Merauke, Papua, Rabu (29/2/2012). Area Bandara Mopah yang belum seluruhnya dipagari membuat warga maupun hewan ternak leluasa keluar masuk area landasan pacu sehingga membahayakan keselamatan.

Lesunya Industri Penerbangan

Lesunya industri penerbangan nasional kembali terjadi pada era pandemi Covid-19 saat ini. Bisnis maskapai penerbangan nasional benar-benar sedang mengalami ujian berat akibat pandemi yang berkepanjangan. Belum sempat berbenah diri, datang musibah baru yaitu merebaknya coronavirus Covid-19 sejak awal tahun 2020 yang sangat berdampak besar pada sisi operasional dan profitabilitas perusahaan.

Penghentian sementara penerbangan dari maupun ke internasional khususnya rute-rute potensial seperti China, Malaysia, Australia serta kebijakan pelarangan penerbangan Umrah/Haji menuju Arab Saudi, kondisi industri penerbangan mengarah pada fase krisis.

Operasi penerbangan seakan mati suri pasca merebaknya Covid-19. Saat ini maskapai penerbangan hanya bisa bertahan sekuat tenaga di tengah turbulensi dan kondisi ketidakpastian yang diperkirakan akan berlangsung beberapa tahun kedepan.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Ruang tunggu Bandara Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat, terlihat sepi, Senin (22/3/2021). Pandemi Covid-19 membuat wisatawan ke Lombok turun drastis dan memukul industri wisata setempat.

Pada akhirnya, hanya maskapai penerbangan yang efisien yang akan mampu bertahan dalam industri penerbangan di era normal baru ini. Tanpa campur tangan dan dukungan pemerintah, bisa jadi akan ada maskapai yang tinggal papan nama akibat mengalami kebangkrutan.

Meski animo para pengguna jasa penerbangan menurun drastis, namun maskapai penerbangan tetap harus menjaga kinerja operasionalnya khususnya pada tiga aspek utama yaitu Keselamatan, Keamanan, dan Pelayanan.

Dari sisi pelayanan, salah satu tolok ukurnya adalah tingkat ketepatan jadwal penerbangan. Meski faktor penyebab keterlambatan penerbangan sangat beragam, seperti cuaca buruk, kondisi infrastruktur bandara, ground handling dan lainnya, namun kemampuan operator penerbangan untuk merencanakan dan mengatur operasional penerbangannya akan sangat menentukan keberhasilan.

Nilai ketepatan waktu penerbangan atau On Time Performance (OTP) diukur berdasarkan jadwal penerbangan yang tiba dan berangkat maksimal dalam 15 menit dari jadwal yang sudah ditentukan. Sepanjang lima tahun terakhir hingga tahun 2020, rata-rata tingkat OTP maskapai nasional masih dibawah rata-rata standar industry International Civil Aviation Organization (ICAO).

Dampak Pandemi

Di Indonesia, penurunan penumpang pesawat di Indonesia sudah terjadi sejak 2019 turun dari 115,5 juta pada 2018 penumpang, menjadi 91,6 juta penumpang di 2019. Memasuki 2020, jumlah penumpang kembali turun dari semula 91,6 juta penumpang pada 2019, anjlok hingga 35,3 juta penumpang pada 2020.

Pada 2020, saat merebaknya pandemi Covid-19, sebagian besar operator penerbangan nasional mengalami penurunan kinerja akibat adanya pembatasan dan berkurangnya animo masyarakat untuk bepergian. Jumlah penumpang anjlok hingga 59 persen. Hal ini juga tercermin pada menurunnya jumlah penumpang di bandar udara.

Penurunan jumlah penumpang di tahun 2020 mulai terjadi di awal 2020 saat pandemi Covid-19 mulai merebak. Pada Maret 2020, pemerintah Indonesia mulai mengumumkan adanya kasus Covid-19 pertama di Tanah Air. Saat itu terbit kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang turut berdampak pada industri aviasi. Penumpang domestik yang merupakan pasar terbesar penerbangan Indonesia tergerus dalam hingga mencapai 80 persen saat PSBB diterapkan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penerbangan di Indonesia mengalami penurunan selama pandemi Covid-19. Per April 2020, jumlah penumpang domestik hanya mencapai 0,84 juta orang atau 840 ribu penumpang saja. Angka ini turun 81,7 persen secara bulan ke bulan dari sebelumnya yang sebesar 4,58 juta orang.

Pada tahun 2020, jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia hanya mencapai 4,1 juta orang atau turun 75 persen dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 16,1 juta wisman. Sebanyak 1,7 juta atau 42 persen datang menggunakan transportasi udara.

Jaringan dan rute penerbangan domestik sedikit mengalami penurunan. Sepanjang 2020, ijin rute domestik sebanyak 410 rute, atau berkurang 34 rute dibanding 2019. Dari jumlah kota yang terhubung juga berkurang 7 kota menjadi 138 kota.

Meski kapasitas yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan meningkat, namun demand turun drastis di era pandemi, sehingga capaian jumlah penumpang turun hanya mencapai sebesar 35 juta penumpang atau turun 55 persen.

Jumlah jaringan dan rute penerbangan internasional juga mengalami penurunan. Sepanjang 2020, ijin rute internasional turun menjadi 157 rute, atau berkurang 13 rute. Jumlah penumpang internasional turun drastis hanya sebesar 7,2 juta penumpang atau turun sebesar 81 persen.

Garuda Indonesia akan menjalankan 140 rute penerbangan di 2022, atau berkurang 97 rute penerbangan dari sebelumnya di 2019 sebanyak 237 rute penerbangan. Seiring dengan semakin berkurangnya rute penerbangan, perseroan pun memangkas jumlah pesawatnya. Jika di 2019 Garuda Indonesia beroperasi dengan 202 pesawat maka akan menjadi 134 pesawat di 2022, atau berkurang 68 pesawat.

Sejumlah rute penerbangan internasional yang dihentikan operasionalnya oleh Garuda Indonesia terdiri dari rute Melbourne dan Perth di Australia, Osaka di Jepang, Jeddah di Arab Saudi, dan seluruh rute ke China.

Jenis pesawat Garuda Indonesia yang akan dioperasionalkan juga akan dikurangi dari 13 jenis pesawat menjadi hanya 7 jenis pesawat. Banyaknya jenis pesawat yang digunakan malah menambah beban keuangan perusahaan karena kompleksnya perawatan yang harus dilakukan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Penumpang maskapai Garuda Indonesia GA 820 rute Jakarta-Kuala Lumpur bersiap memasuki pesawat melalui keberangkatan internasional Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Senin (1/5/2017). Angkasa Pura II selaku pengelola bandara dan Maskapai Garuda Indonesia telah resmi memindahkan operasional penerbangan internasional melalui Terminal 3. Untuk meningkatkan pelayanan di terminal internasional, Garuda Indonesia menyiapkan 26 counter check-in dan peningkatan kapasistas executive lounge.

Penerbangan New Normal

Seiring penerapan new normal, dan upaya para pelaku industri menggalakkan “safe travel campaign”, maka aktivitas penumpang pesawat mulai meningkat kembali. Hal ini terlihat dari pertumbuhan penumpang maupun jumlah penerbangan di dua operator bandara.

PT Angkasa Pura I (Persero) mencatat pertumbuhan trafik penumpang pada Agustus 2020 sebesar 44,1 persen atau mencapai 1.965.935 penumpang dibanding Juli 2020 yang hanya mencapai 1.363.912 penumpang. Pertumbuhan juga terjadi pada jumlah penerbangan pada Agustus 2020 yang mencapai 26.362 pergerakan, tumbuh 20 persen dibanding Juli 2020 yang hanya sebanyak 21.954 pergerakan.

PT Angkasa Pura II (Persero) mencatat jumlah penerbangan pada Agustus 2020 tercatat 25.041 penerbangan atau naik 17 persen dibandingkan Juli 2020 sebanyak 21.431 penerbangan. Sementara itu, jumlah pergerakan penumpang mulai meningkat hingga 38 persen menjadi 2,10 juta orang dari sebelumnya 1,52 juta orang.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Petugas memindai kode batang pada aplikasi Peduli Lindungi milik penumpang yang baru tiba di Bandara Internasinal I Gusti Ngurah Rai, Bali, Rabu (29/9/2021). Mulai 14 Oktober 2021, pemerintah membuka kembali Bandara Internasinal I Gusti Ngurah Rai untuk kunjungan mancanegara.

Tidak hanya trafik penumpang pesawat, angkutan kargo udara juga tercatat naik. Pada 10 Juni 2020, volume kargo yang dilayani bandara-bandara yang dikelola AP II mencapai 1,65 juta Kilogram (Kg). Volume tertinggi dicatatkan Bandara Soekarno-Hatta, yakni 1,2 juta Kg.

Berdasarkan data diatas, pemerintah perlu mengambil langkah ekstra dan khusus terhadap sektor penerbangan dan pariwisata, melalui penataan yang lebih baik, rute penerbangan, penentuan hub, super hub dan kemungkinan penggabungan BUMN sektor penerbangan.

Upaya pemulihan sektor industri penerbangan diharapkan mampu mendongkrak perekonomian nasional. Industri penerbangan harus melakukan respons secara cepat agar mampu bertahan. International Air Transport Association (IATA) memprediksi krisis tidak akan pulih hingga 2024. Menurut organisasi yang mewakili 290 maskapai penerbangan ini, prediksi lambannya pemulihan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kurangnya kepercayaan konsumen, penurunan dalam bisnis perjalanan, dan lonjakan kasus virus korona di berbagai belahan dunia. (LITBANG KOMPAS)

Artikel Terkait

Referensi

Buku

Hakim, Chappy. 2019. Menata Ulang Penerbangan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Tangkilisan, Yuda Benharry. 2015.Penerbangan Perintis di Indonesia. Jakarta: Penaku