Berbagai peristiwa penerbangan Indonesia di masa prakemerdekaan dan awal kemerdekaan menarik untuk disimak. Menurut catatan Arsip Kompas, riwayat penerbangan di Tanah Air sudah dimulai sejak tahun 1924 dengan dioperasikannya pesawat Fokker “Southern Cross” VII. Pada masa itu, penerbangan Indonesia dikuasai oleh maskapai milik Belanda, Koninklijk Nederlandsch Indie Luchtvaart Maatschappij (KNILM) dan Koninklijk Luchtvaart Maatschappij (KLM). Sementara itu, pada masa awal kemerdekaan, Komodor Udara Muda A Adisutjipto menorehkan sejarah. Dengan pesawat hasil rampasan milik angkatan udara Jepang, ia menjadi putra Indonesia pertama yang menerbangkan pesawat terbang berbendera merah-putih.
Indonesia memiliki rencana untuk memiliki penerbangan sipil. Untuk mewujudkan hal tersebut, perjalanan panjang dimulai dari pembelian pesawat Seulawah DC-3 RI-001 oleh Panitia Dana Dakota. Operasi penerbangan tidak dapat segera dilakukan karena terhadang situasi Agresi Militer kedua Belanda yang terjadi di Yogyakarta. Hal ini membuat pesawat Seulawah memulai bisnis penerbangannya di udara Burma.
Penerbangan semakin berkembang di Indonesia. Tidak hanya Indonesian Airways yang berhasil didirikan pada tanggal 7 Desember 1948, Indonesia juga melebarkan sayapnya di pelayanan penerbangan di daerah-daerah terpencil dengan Merpati Nusantara Airlines. Layanan penerbangan di daerah terpencil dikenal dengan “penerbangan perintis”.
Berikut ini merupakan ragam peristiwa penerbangan Indonesia.
- 1924
Oleh penerbangan Belanda, pesawat Fokker “southern Cross” VII dioperasikan di Indonesia. Penerbangan dilakukan oleh Van der Hoop, seorang penerbang sipil Belanda, dari bandara Amsterdam ke Batavia. Pesawat menggunakan tiga buah mesin dengan merk “Wright” yang memiliki kecepatan 90 mil/jam. Kapasitas penumpang maksimum 8 orang.
Sumber: “Riwayat Penerbangan di Indonesia: Tjililitan Lebih Tua dari Kemajoran Garuda Mulai Terbang dengan 22 Pesawat DC 3 dan 8 Catalina” (Kompas, 28 November 1969 halaman 2)
- 15 Oktober 1928
Maskapai penerbangan milik Belanda, Koninklijk Nederlandsch Indie Luchtvaart Maatschappij (KNILM), didirikan untuk melayani jasa angkutan udara di negeri jajahan. KNILM membuka pelayanan penerbangan antara kota-kota besar Hindia Belanda.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 1933/1934
Dua orang Belanda, Pattist dan Walraven, berhasil membuat desain dan konstruksi sebuah pesawat terbang. Para anak buah Walraven yang terdiri dari bangsa Indonesia, membantu Nurtanio dalam merancang pesawat yang diluncurkan tahun 1946.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 1935/1936
Walraven membuat pesawat kayu yang dilengkapi dengan 2 buah motor, masing-masing berkekuatan 90 tenaga-kuda. Pesawat bernama “Pobjoy Niagara” PK-KKH itu dibeli oleh seorang pilot amatir di Bandung, Khouw Khe Hien. Khow dan Walraven berhasil menerbangkan pesawat tersebut dari Bandung ke London.
Sumber: “Sudah Dimulai Tahun 1946” (Kompas, 14 April 1978 halaman 1)
- 27 Oktober 1945
KOMPAS/JB Suratno
Pesawat Cureng yang diterbangkan oleh A Adisutjipto.
Dalam rangka Hari Sumpah Pemuda di Yogyakarta, dilakukan penerbangan dengan pesawat “Churen” (cureng) bersayap ganda berbendera merah putih. Penerbangan pesawat hasil rampasan angkatan udara Jepang tersebut dilakukan oleh Komodor Udara Muda A Adisutjipto. Adisutjipto menjadi putra Indonesia pertama dalam sejarah yang menerbangkan pesawat terbang berbendera merah-putih.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 8 November 1945
Penerbangan serupa dilakukan oleh A Adisutjipto di Cibereum, Cianjur, Jawa Barat.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 1946
Nurtanto, berhasil membuat rancangan konstruksi pesawat peluncur yang diberi kode NWG-1. Meskipun tanpa motor, pesawat peluncur itu merupakan hasil desain dan konstruksi Indonesia yang pertama.
Sumber: “Sudah Dimulai Tahun 1946” (Kompas, 14 April 1978 halaman 1)
Pelayanan terakhir KNILM adalah mengevakuasi pengungsi setelah adanya ancaman yang dilakukan Jepang. Sebagian besar personel mengungsi ke Australia. Sisa armada di Australia diambil alih oleh Amerika Serikat. Setelah perang usai, saham diambil oleh perusahaan Belanda Koninklijk Luchtvaart Maatschappij (KLM) yang mendirikan Interinsulair Bedrijf (IIB) atau dikenal sebagai KLM interinsulair.
- 1947
Perwakilan Koninklijk Luchtvaart Maatschappij (KLM) tiba di Indonesia dan mengambil alih operasi penerbangan sipil yang sebelumnya dilakukan oleh Koninklijk Nederlandsch Indie Luchtvaart Maatschappij (KNILM).
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 29 Juli 1947
Dalam sejarah Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), pesawat pembom tempur Guntei Cureng diikutsertakan dalam penyerangan dini hari ketika kedudukan Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Sebagai balasan, sore harinya Belanda mengirim dua pesawat pemburu P-40 Kittyhawk yang menembak jatuh pesawat Dakota VT-CLA India di atas Desa Ngoto, Bantul, Yogyakarta. VT-CLA yang membawa bantuan obatan-obatan untuk Palang Merah Indonesia saat itu tengah siap-siap mendarat di Maguwo ketika diserang dua Kittyhawk. Peristiwa 29 Juli itu dikenal sebagai Hari Bhakti TNI-AU. Gugur, antara lain, Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Komodor Udara Adisutjipto, dan juru teknik radio Adisumarmo Wiryokusumo.
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
- 1948
Wiweko Supono, membuat desain dan konstruksi pesawat bermesin pertama. Pesawat yang memakai kode WEL (Wiweko Experimental Light plane) itu memakai dua buah motor Harley Davidson buatan tahun 1928.
Sumber: “Sudah Dimulai Tahun 1946” (Kompas, 14 April 1978 halaman 1)
Dalam instruksi pimpinan Tentara Rakyat Indonesia (TKR) selain bermaksud membangun angkatan udara yang tangguh, penerbangan sipil juga menjadi perhatian. Akan tetapi, situasi revolusi yang berkecamuk tidak memberi peluang untuk memulai transportasi udara sipil.
IPPHOS
Presiden Soekarno dan rombongan (15/06/1948) di dalam kabin pesawat sewaan melakukan perjalanan udara dari Yogyakarta-Banda Aceh, dalam rangka menggalang dana dari pemuka dan saudagar setempat. Dana yang didapat dipakai untuk membeli pesawat Dakota yang nantinya menyandang RI-001 Seulawah, cikal bakal Garuda Indonesian Airways.
Bermula dari gagasan Komodor Udara S Suryadarma mengenai pengumpulan dana untuk modal pengembangan penerbangan, ia menugaskan opsir muda Udara II Salatun dan Opsir Muda III Nurtanio untuk mencari cara. Pengumpulan dana itu dikenal dengan Dana Dakota. Registrasi RI-001 dipersiapkan untuk tujuan ini. Pesawat dibeli dengan dana yang dihimpun masyarakat Aceh. Cikal bakalnya adalah 25 pesawat model miniatur DC-3 Dakota yang dibuat Bengkel Rencana dan Konstruksi Pangkalan Udara Maospati sebagai pelaksanaan instruksi KSAU S.Suryadarma kepada Biro Rencana dan Propaganda pimpinan Opsir Muda II Wiweko Soepono dengan dibantu Opsir Muda Udara III Nurtanio Pringgoadisurjo. Miniatur Dakota ini dititipkan kepada Kepala Bagian Propaganda, Opsir Muda Udara J Salatun yang ditugasi mengikuti perjalanan keliling Presiden Soekarno ke Sumatera.
- 16 Juni 1948
Di Aceh Hotel, Presiden Soekarno dalam pidatonya, berhasil membangkitkan semangat rakyat Sumatera. Dengan spontan terbentuklah Panitia Dana Dakota. Salah satu miniatur Dakota kemudian diserahkan Presiden Soekarno pada jamuan makan siang yang diselenggarakan para pengusaha Aceh. Hanya dalam waktu dua hari Panitia Dana Dakota yang diketuai Djuned Jusuf dan Said Muhammad Alhabsji, berhasil mengumpulkan dana sebesar 130.000 dollar Singapura. Wiweko Soepono, yang pernah membuat pesawat terbang layang bersama Nurtanio serta membuat pesawat eksperimental RI-X, ditunjuk sebagai Ketua Misi Pembelian Dakota.
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
- 1 Agustus 1948
Djuned Jusuf bersama beberapa orang pergi ke Singapura, membawa uang dan 20 kg emas. Di sana mereka bertemu Wiweko Supono. Uang sejumlah 130.000 dollar Singapura diberikan kepada Wiweko untuk membeli pesawat dan selebihnya untuk membiayai perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri, antara lain Burma dan India. Pencarian pesawat berhasil (Hadi Suwito et al., 2008:193). Mereka membeli sebuah pesawat asal Manila yang keadaannya memerlukan perbaikan. Pesawat dikirim ke Hongkong untuk diperbaiki. Pesawat Dakota yang dibeli itu diberi nama Seulawah, yang dalam bahasa Aceh berarti gunung emas, dengan nomor registrasi RI-001 dan direncanakan peruntukannya sebagai transportasi presiden dan pejabat tinggi lainnya.
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
- Oktober 1948
Dengan dana 60.000 dollar Singapura yang diterima, sebuah pesawat DC-3 Dakota lengkap dengan suku cadang, mesin cadangan dan beberapa kebutuhan lain bagi keperluan perawatan pesawat dapat dibeli. Pesawat tersebut tiba di Tanah Air pada akhir Oktober 1948 dan ditempatkan di Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Pelabuhan Udara Adi Sucipto, Yogyakarta).
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
Perencanaan untuk membuka jalur penerbangan nasional dilakukan. Blokade Belanda menjadi kendala. Wiweko yang membawa pesawat Dakota harus berupaya keras untuk menghindari blokade di Yogyakarta ke daerah lainnya. Agresi Militer Belanda II berhasil melumpuhkan politik RI di Yogyakarta.
- 1 Desember 1948
Pesawat Dakota RI-001 terbang ke Calcutta, India, untuk menjalani major overhaul (pemeriksaan besar) serta memberikan “longrange tank” pada pesawat dan memberi kamuflase.
Sumber: “Hibah Harijadi yang Dipertanyakan” (Kompas, 18 Februari 1979 halaman 9)
- 7 Desember 1948
Pesawat Seulawah sedang berada di India untuk mendapatkan perbaikan. Agresi Militer yang tejadi di Tanah Air membuat pesawat tidak dapat kembali. Muncul keputusan untuk mengoperasikan pesawat di India, namun izin terbang internasional hanya mengizinkan beroperasi di angkasa Burma. Tercetus gagasan mendirikan sebuah maskapai penerbangan yang dikenal sebagai Indonesian Airways. Para pendiri terdiri dari Opsir Muda II Wiweko Soepono dan Kepala Perwakilan RI di Ranggon, Burma (sekarang Yangoon, Myanmar) Marjuni, Kepala Perwakilan RI di New Delhi, Dr. Sudarsono, Alan Ladmore, dan JH Maupin.
Sumber: “Garuda 20 Tahun: Moda Pertama Dakota RI-001” (Kompas, 25 Januari 1969 halaman 2)
- 19 Desember 1948
Avro Anson RI-004 pesawat sumbangan rakyat Sumatera lainnya hancur dibom Belanda.
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
- 28 Desember 1948
RI-005, pesawat amfibi PBY Catalina yang disewa dari Australia dan milik warga AS, James Fleming, gagal meloloskan diri dari serangan Belanda. Catalina jatuh dan tenggelam di Sungai Batanghari, menewaskan RR Cobley, kopilot Warton, dan juru teknik Opsir Muda Udara IJ Londu. Hanya Letkol Parangko yang terhindar dari maut, tapi mengalami cacat tubuh.
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
- 26 Januari 1949
Perusahaan penerbangan nasional Indonesian Airways memulai operasinya di dirgantara Burma. Operasi pertamanya mengangkut pasukan Burma ke daerah yang sedang mengalami pergolakan. Jenis penerbangan charter diterapkan dengan jam layanan dari pukul 05.00 s.d. 20.00. Kerja sama ini bermula ketika pemerintah Burma membutuhkan sarana angkutan udara. Saat itu, Burma sedang menghadapi serangan dari para pemberontak dalam negeri. Para anggota AURI gembira mendapatkan kesempatan ini.
Sumber: “Garuda 20 Tahun: Moda Pertama Dakota RI-001” (Kompas, 25 Januari 1969 halaman 2) dan “Hibah yang Dipertanyakan” (Kompas, 18 Februari 1979 halaman 9)
- 29 Januari 1949
Pesawat Seulawah RI-001 DC-3 Dakota Indonesian Airways memulai operasi komersial pertamanya, dengan mengangkut pasukan pemerintah Myanmar ke tempat-tempat yang dikepung pemberontak.
Sumber: “Garuda 20 Tahun: Moda Pertama Dakota RI-001” (Kompas, 25 Januari 1969 halaman 2)
- April/Mei 1949
Perusahaan berkembang dengan mampu menambah armada pesawatnya. Indonesian Airways membeli pesawat Dakota lain yang dikenal dengan registrasi RI-007 (pesawat ini kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Myanmar sebagai rasa terima kasih pemerintah RI). Selain RI-007, dari hasil operasinya, Indonesian Airways mampu menyewa pesawat DC-3 Dakota lainnya yang diberi registrasi RI-009.
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
Setelah pengakuan kedaulatan berdasarkan kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), bentuk negara berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Setidaknya ada 8 peraturan peninggalan masa kolonial mengenai penerbangan sejak tahun 1932–1940. Peraturan-peraturan tersebut tentunya tidak sama dengan semangat nasional.
- 23 Desember 1949
Operasi ketiga pesawat Dakota RI-002 mengangkut delegasi RI yang dipimpin Syarifudin Prawiranegara ke konferensi internasional di Baguio, Filipina. Dua operasi lainnya adalah penerobosan blokade Belanda dan pengiriman enam calon penerbang untuk mengikuti pendidikan penerbang pesawat tempur Mustang di Manila, Filipina pada tanggal 18 Oktober 1947. Nasib buruk menimpa RI-002 dalam operasi keempatnya dalam rangka pembelian pesawat. Dalam penerbangan rute Maguwo-Gorda-Tanjungkarang-Bukittinggi hilang kontak.
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
- 28 Desember 1949
Sehari setelah pengakuan kedaulatan, pesawat Dakota 47 milik RI membawa kepala negara dari Yogyakarta ke Jakarta. Penerbangan ini dikenal dengan Maiden Flight yang mendahului kelahiran Garuda Indonesia Airways (GIA).
Sumber: “RI-001 Seulawah: Pesawat Sumbangan Masyarakat Aceh * 50 Tahun Indonesia Merdeka” (Kompas, 30 Juni 1995 halaman 1)
Berjalannya waktu, sebuah perusahaan patungan didirikan. Latar belakang pendiriannya berkaitan dengan perundingan lanjutan dari hasil keputusan Konferensi Meja Bundar. Pembicaraan itu melibatkan beberapa pihak, seperti Moh Hatta, Djuanda, Laoh, dan Ali Sastroamijoyo. Dari pihak KLM ada Emile van Konijnenburg, kepala divisi KLM Interinsulair.
- 31 Maret 1950
Maskapai Naamlose Venootschaap (NV) Garuda Indonesian Airways didirikan. Tambahan kata Garuda merupakan usul dari Presiden Soekarno sementara padanan kata Indonesian Airways tetap dipertahankan dengan tujuan mengenang perusahaan tersebut di kemudian hari. Setengah saham dimiliki Indonesia dan paruh lainnya dimiliki maskapai Belanda Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM).
Sumber: “Garuda 20 Tahun: Moda Pertama Dakota RI-001” (Kompas, 25 Januari 1969 halaman 2)
Dalam akta pendirian, Indonesia diwakili Sekjen Kementerian Perhubungan, Tenaga, dan Pekerjaan Umum Mas Soetoto atas nama RIS. Sementara KLM diwakili Emile van Konijnenburg. Pengumuman tersebut dimuat dalam Berita Negara RIS Nomor 136 Tahun 1950 berdasarkan akta notaris Raden Kadiman di Jakarta tentang Perseroan Terbatas (PT) Garuda Indonesia Airways N.V. Nomor 137 (Angkasa, 3, Desember, XVI, 2005, hal.77 dalam buku Penerbangan Perintis di Indonesia)
Setelah Indonesia dari RIS menjadi negara kesatuan, GIA tetap menjadi milik Belanda dan Indonesia. Pucuk pimpinan dan direktur dipegang oleh Belanda, sementara jabatan wakil dipegang Indonesia. Para mantan pimpinan dan pegawai IA, yang umumnya perwira AURI, mereka kembali bertugas ke instansi asal, yakni Djawatan Angkutan Udara Militer (DAUM).
Kesempatan bergabung dengan Belanda dimanfaatkan untuk memperkaya keterampilan di bidang penerbangan, tanpa menyurutkan pembuatan industri pesawat sendiri.
- 1953
Menteri Perhubungan Djuanda menginginkan sebuah perusahaan yang seutuhnya milik negara. Berdasarkan kesepakatan dengan KLM Interinsulair pada tahun 1949, mereka akan menyerahkan seluruh aset kepada Indonesia. Namun, mereka terus menunda dengan dalih Indonesia belum memiliki SDM yang mumpuni. Gagasan Nasionalisasi menyeruak, seirama juga dengan pernyataan Suryadarma sekitar tahun 1951.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 24 Maret 1954
GIA mengalami nasionalisasi. Seluruh saham KLM dibeli oleh GIA. Dengan begitu, GIA menjadi milik nasional sepenuhnya. Beberapa media di Belanda menanggapi secara negatif. Sebuah berita dengan judul “Indonesie Ondankbaar” (“Indonesia Tidak Berterimakasih”) terbit.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 12 Juli 1954
Menteri perhubungan melantik jajaran direksi GIA.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 1960
Untuk mengatur masalah teritorial, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4/1960 dan No. 8/1962 dikeluarkan. Dalam proses ini, konsep wawasan Nusantara dan Tanah Air mulai digulirkan.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 17 April 1961
Terbitnya PP 102/1961 menetapkan pendirian Perusahaan Negara Perhubungan Udara “Garuda Indonesian Airways”. Perusahaan milik Negara “Garuda Indonesian Airways NV” yang berkedudukan di Jakarta didirikan berdasarkan akte Notaris Raden Kadiman Nomor 137, tertanggal 31 Maret 1950 (sebelumnya Akte Notaris Raden Kadiman Nomor 58 tertanggal 15 Agustus 1960). Dengan ini GIA dilebur ke dalam perusahaan negara.
Sumber: PP No. 102/1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara Perhubungan Udara “Garuda Indonesian Airways”
- 30 Oktober 1971
Terbitnya PP 67/1971 menetapkan pengalihan bentuk Perusahaan Bangunan Negara (P.N.) Perhubungan Udara “Garuda Indonesian Airways” menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Sumber: PP No. 67/1971 tentang Pengalihan bentuk Perusahaan Bangunan Negara (P.N.) Perhubungan Udara “Garuda Indonesian Airways” menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)
- 6 September 1962
Pembentukan maskapai Merpati Nusantara Airlines (MNA) berdasarkan PP 19 Tahun 1962. Perusahaan ini memiliki modal awal 10 juta rupiah.
Sumber: PP No. 19/1962 tentang Pendirian Perusahaan Negara Perhubungan Udara Daerah dan Penerbangan Serba Guna “Merpati Nusantara”
- 6 September 1962
Garuda Indonesian Airways (GIA) mengambil alih tugas penerbangan perintis Belanda, Kroonduif, di Irian Barat dengan MNA. MNA diarahkan untuk melayani penerbangan perintis dalam negeri.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 1969
Daerah operasi MNA dibagi menjadi 2 yaitu Operasi Merpati Irian Barat (MIB) dan Merpati Operasi Barat (MOB).
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 25 Januari 1971
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. SK 13/S/1971, rute penerbangan komersil dibagi menjadi 2, yakni rute nusantara dan rute daerah. Rute nusantara hanya boleh diterbangi oleh PN Garuda dan PN Merpati dengan atau tanpa usaha bersama pihak swasta/asing. Sementara di rute daerah, perusahaan swasta atau asing boleh ikut beroperasi, selain PN Garuda dan PN Merpati.
Sumber: “Penerbangan Komersiil Menurut SK 13/S/1971: Hanja PN Garuda & PN Merpati Nusantara Boleh Menerbangi ‘Route Nusantara'” (Kompas, 25 Januari 1971 halaman 8)
- 3 Desember 1971
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 1971 maka bentuk perusahaan Merpati Nusantara yang semula adalah Perusahaan Negara Perhubungan Udara dan Penerbangan Serbaguna menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Sumber: PP No. 70/1971 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Merpati Nusantara
- 26 Oktober 1978
Melalui PP No. 30 tahun 1978, Pemerintah mengalihkan pengelolaan MNA ke manajemen PT Garuda Indonesian Airways.
Sumber: “Sejak 26 Oktober Merpati Dialihkan Jadi Anak Perusahaan Garuda” (Kompas, 31 Oktober 1978 halaman 1)
- 31 Desember 1990
Melalui SK Menteri Perhubungan No. 126 tahun 1990 dilakukan pembenahan transportasi udara berupa penyederhanaan jalur penerbangan dalam dan luar negeri. Jalur penerbangan dibagi menjadi jalur utama, pengumpan, dan perintis.
Sumber: SK Menteri Perhubungan No. 126 tahun 1990
- 1990
MNA memperkenalkan misi dan program perusahaan yang dikenal dengan “Jembatan Udara Nusantara”.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 25 Mei 1992
UU Nomor 15/1992 tentang penerbangan dikeluarkan. Sektor penerbangan diberi peran dan tugas sebagai penggerak, penunjang, dan pendorong pembangunan nasional demi mencapai kesejahteraan rakyat.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 17 November 1995
Dalam Peraturan Pemerintah No. 40/1995 diatur pengaturan rute angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga. Angkutan udara niaga meliputi angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan niaga tidak berjadwal. Mengenai jaringan penerbangan dalam negeri, peraturan itu menyebutkan adanya rute utama (hub), rute pengumpan (spoke), dan rute perintis.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- Januari 2004
MNA merintis dan mengadakan kerjasama pelayanan penerbangan perintis dengan para gubernur di Pulau Kalimantan. Bentuk model kerjasama ini menjadi model di daerah lain. MNA menawarkan 3 pola bentuk kerjasama berupa sistem subsidi, penanaman modal, dan pembelian block seat.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 7 Juni 2005
Keputusan Menteri Perhubungan No. 35/2005 diterbitkan. Keputusan ini mengatur larangan terbang pesawat-pesawat bekas dengan kondisi fisik di bawah standar atau yang telah mencetak terbang di atas 70.000 jam. Peraturan ini membatasi umur pesawat hingga 35 tahun.
Sumber” “Pemerintah Tetap Akan Batasi Usia Pesawat: Tidak Ada Toleransi demi Keselamatan Penumpang” (Kompas, 26 September 2005 halaman 18)
- April 2007
Menhub Hatta Rajasa menyampaikan gagasan untuk menghidupkan kembali sistem hub and spoke, atau poros pengumpul dan pengumpan dalam penerbangan nasional. Selama ini, perusahaan penerbangan nasional umumnya hanya berminat melayani jalur-jalur yang menguntungkan, sehingga terjadi persaingan yang gemuk (tidak merata).
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 2007
MNA mendapat gugatan dari perusahaan industri pesawat China, Xian Aircraft Industry Ltd, terkait persoalan kontrak pembelian pesawat MA-60. Industri tersebut menggugat triliunan rupiah kepada MNA. Hal ini merugikan MNA yang sedang berupaya menambah armada dalam meningkatkan pelayanan penerbangan.
Sumber: Buku Penerbangan Perintis di Indonesia (Yuda Benharry Tangkilisan, 2015)
- 1 Februari 2014
MNA berhenti beroperasi akibat masalah keuangan (utang). MNA menanggung utang sebesar Rp 7 triliun dan tak lagi mampu membeli bahan bakar secara tunai ke PT Pertamina (Persero).
Sumber: “Penerbangan: Garuda Perpanjang Napas Bisnis Merpati” (Kompas, 17 Oktober 2019 halaman 14)
- 18 November 2018
Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan Merpati. Maskapai ini tak berstatus pailit dan dinyatakan harus menanggung utang Rp 10,9 triliun.
Sumber: “Penerbangan: Garuda Perpanjang Napas Bisnis Merpati” (Kompas, 17 Oktober 2019 halaman 14)