Kronologi | HUT DKI Jakarta

Perjalanan Lenong Betawi dari Masa ke Masa

Kesenian Lenong merupakan salah satu kesenian masyarakat Betawi yang menyatukan pertunjukan sandiwara dengan komedi, musik, serta tarian. Asal-usul lenong tak dapat dilepaskan dari tenarnya musik Gambang Kromong serta Komedi Stambul.

Pesta Seni dalam rangkaian acara HUT PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki) ke-22 bertambah semarak dengan penampilan teater tradisional, Lenong Betawi (16/11/1990). Disponsori TVRI, lakon berjudul “Ke Mane Kite” ini dibawakan oleh Teater CB Cagar Budaya Condet dengan pengunjung cukup besar. 

Foto: Kompas/Hasanuddin Assegaff.

Terdapat beragam pendapat mengenai asal-usul kata Lenong. Salah satu yang paling banyak dituturkan oleh para penggiat Lenong, yaitu dari nama seorang Tionghoa Betawi, Lian Ong. Lian Ong menciptakan sebuah pertunjukkan yang mengadaptasi Teater Pakiu, Komedi Stambul, musik Gambang Kromong, serta tak lupa pencak silat dan pantun.

Dikisahkan, Lian Ong menciptakan lenong agar bisa ditonton banyak orang. Karenanya, elemen-elemen yang dia gabungkan dalam pertunjukannya adalah elemen-elemen yang telah lebih dahulu disukai khalayak ramai, seperti Teater Pakiu, teater keliling menggunakan Bahasa Melayu, serta Komedi Stambul, pertunjukan sandiwara yang memasukkan unsur musik dan tarian sebagai daya tariknya.

Dalam tulisan “Teater Rakyat sebagai Media Kritik Sosial: Fungsi Humor dalam Seni Pertunjukan Lenong Betawi” (Ibrahim, 2006) disebutkan, lenong berasal dari wayang abdul muluk, wayang yang telah dijumpai di Riau dan Sumatera Utara pada tahun 1886. Pertunjukan ini masih diiringi alat musik sambayan, biola, kendang, kempul, dan tambur barongsai. Namun, seiring berkembangnya waktu, alat musik pengiringnya berubah menjadi Gambang Kromong.

Tontonan ini muncul karena pengaruh pertunjukan dari luar yang telah berkembang sebelumnya. Pertama, berkat populernya komedi persi di Malaka. Kedua, adanya wayang China yang sudah dimainkan di Surabaya dan pesisir timur Sumatera. Sementara wayang abdul muluk baru dijumpai di Jakarta pada tahun 1914. Waktu itu, pertunjukan ini masih diiringi alat musik sambayan, biola, kendang, kempul, dan tambur barongsai

Pertunjukan lenong memiliki beberapa ciri khas yang sangat kental, antara lain, improvisasi, spontanitas, komedi, serta tiadanya jarak penjiwaan antara pertunjukan dan penonton. Bahkan menurut buku karangan Syaiful Amri yang berjudul Rekacipta Lenong dalam Komedi Betawi, tiang penting dari pertunjukan lenong adalah komedi. Bukanlah lenong jika tanpa komedi.

Berdasarkan cerita yang dibawakan, Lenong dibedakan menjadi 2 macam lenong, yaitu Lenong dines atau lenong denes serta lenong preman. Lenong denes adalah lenong yang mengisahkan lakon raja-raja atau orang-orang yang berkedudukan dengan mengenakan pakaian dinasnya, pakaian raja, pakaian pangeran, pakaian sang putri, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan bukan Bahasa Betawi, namun Bahasa Melayu tinggi yang sudah klasik.

Sedangkan, lenong preman mementaskan cerita-cerita kehidupan sehari-hari, seperti tentang tuan tanah, tukang pukul, drama rumah tangga, dan lain-lain. Bahasa yang digunakan Bahasa Betawi sehingga sangat komunikatif dan terasa akrab dengan penontonnya, juga mudah melahirkan humor-humor spontan.

Tahun 1950-an, lenong mulai dijauhi penonton. Dalam kajian Dinamika Kesenian Lenong Betawi 1970–1990 (Ary Setyaningrum, 2011) disebutkan, waktu itu sudah banyak orang bekerja di kantor. Akibatnya, kian banyak orang tidak punya cukup waktu menonton lenong semalam suntuk. Ditambah lagi tanah lapang semakin berkurang karena tingginya arus urbanisasi. Masyarakat juga lebih memilih pertunjukan layar tancap sebab biayanya lebih murah.

Sejak saat itu, lenong seakan mati suri. Namun, lenong mulai bangkit kembali setelah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1968. Acara ini digagas oleh sejumlah seniman Betawi, yaitu SM Ardan, Sumantri Sastrosuwondo, Djadoek Djajakusuma, dan Alwi Shahab.

1886
Wayang Abdul Muluk sebagai cikal bakal lenong dijumpai di Riau dan Sumatera Selatan.

1914
Wayang Abdul Muluk mulai dijumpai di Jakarta. Pertunjukan ini masih diiringi alat musik sambayan, biola, kendang, kempul, dan tambur barongsai.

1920
Pertunjukan wayang Abdul Muluk sedikit berubah, khususnya di bagian layar. Semula, pertunjukan dilangsungkan di belakang layar dengan rangkaian manik-manik disusun menyilang diagonal, kemudian diganti layar yang digambar. Perubahan juga ditemukan pada komposisi instrumen musik dengan pergantian tambur barongsai dengan tambur tanji.

1922
Alat musik sambayan diganti dengan harmonium. Adegan perang juga mulai ditampilkan dengan senggal-senggol. Hal ini yang kemudian membuat pertunjukan ini sering disebut dengan wayang senggol.

1926
Nama lenong muncul ketika iringan musiknya diganti menjadi gambang kromong. Gambang kromong sebagai instrumen musik yang mengiringi terdiri dari gambang, suling, tekyang, kongan yan, sukong, kempul, cecer, kromong, dan gong.

1930
Mulai tahun 1930 nama lenong kian dikenal banyak orang. Cerita yang dipentaskan berupa lakon-lakon jagoan cerita rakyat daerah setempat dan dipelopori oleh Grup Lenong Si Ronda dari Curug.

1950
Lenong mulai dijauhi penonton. Dalam kajian “Dinamika Kesenian Lenong Betawi 1970–1990” disebutkan, waktu itu sudah banyak orang bekerja di kantor. Akibatnya, kian banyak orang tidak punya cukup waktu menonton lenong semalam suntuk. Ditambah lagi tanah lapang semakin berkurang karena tingginya arus urbanisasi.

1968
Lenong mulai bangkit kembali setelah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Acara ini digagas oleh sejumlah seniman Betawi, yaitu SM Ardan, Sumantri Sastrosuwondo, Djadoek Djajakusuma, dan Alwi Shahab. Demi menciptakan pertunjukan yang menarik, durasi lenong pun dipersingkat dari semula delapan jam menjadi dua hingga tiga jam saja.

1970
Lenong mulai dipertunjukan di TVRI. Di acara itu, deretan artis Betawi menghibur pemirsa televisi dengan banyolan-banyolan kocaknya. Mereka di antaranya Bokir, Mpok Siti, Nasir, Anen, dan Mandra.

1977
Mulai banyak diselenggarakan festival-festival lenong di Jakarta, yang umumnya diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki. Salah satunya Festival Teater Rakyat Jakarta dimana Grup Lenong “Rindu Malam” dari Prumpung Jakarta Timur, pimpinan S. Nasrin pernah menjadi juara pertama. Grup ini menampilkan lakon “Jampang Jago Betawi”.

1989
Lenong mulai merambah dunia televisi. Format pertunjukkan terjadi interaksi antara pemain dan penonton dilengkapi iringan musik gambang kromong diterapkan sebagai salah satu bentuk penyesuaian lenong di media televisi.  Lenong Rumpi ditayangkan dengan format drama komedi dari tahun 1989 hingga 1993 di stasiun RCTI.

1990
Lenong Bocah dengan format drama komedi disiarkan di stasiun TPI.

2014
Lenong Rempong tayang di stasiun televisi Trans7 menggantikan acara Opera Van Java.

2018
Lenong Legenda di MNC TV ditayangkan setiap Senin hingga Jumat sejak 2018 dan masih diputar hingga tahun 2020.

2019
Ada pengembangan terhadap perkembangan seni lenong, memadukan lenong dengan kekinian dan menyesuaikan di era milenium namun tetap memiliki pakem-pakem. Agenda festival lenong diagendakan setiap tahun dan menjadi agenda resmi Badan Musyawarah (Bamus) Betawi. Festival kali ini mengundang 10 grup lenong yang tersebar di lima wilayah Jakarta, antara lain, Lenong Gema Beta Daya, Sanggar Jiih Kemandoran, Lenong LSBB, Lenong PSBB HKS, Lenong FKPBB, Blantek Ibnu Sina, Lenong Kampung Silat Petukangan, Theater Kawan, Sanggar Fandus, dan Sanggar Abang Rawa Belong. Festival lenong ini bukan mencari pemenang, tetapi seluruh peserta yang ikut menjadi kewajiban untuk tampil bagus.

2020
Lenong dilaksanakan secara virtual bertujuan untuk memberdayakan kembali seniman Betawi yang sempat terhenti di masa pandemi.

2021
Pada 3 Februari 2021, pertunjukan rakyat lenong secara daring hadir kembali, dengan situasi dan kondisi yang tidak berbeda jauh dengan tahun 2020. 

Referensi

Arsip Harian Kompas

Buku

  • Amri, Syaiful. 2019. Rekacipta Lenong dalam Komedi Betawi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta.
  • Kleden-Probonegoro, Ninuk. 1996. Teater Lenong Betawi. Studi Perbandingan Diakronik. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Internet

Penulis
Agustina Rizky Lupitasari

Editor
Santi Simanjuntak