Daerah

Provinsi DKI Jakarta: Ibu Kota Negara dan Pusat Perekonomian Nasional

Provinsi DKI Jakarta merupakan ibu kota Republik Indonesia yang sekaligus menjadi pusat kegiatan ekonomi nasional, politik, dan kebudayaan. Provinsi ini termasuk salah satu dari 20 megalopolitan atau mega-urban menurut catatan Bank Dunia.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pemandangan Tugu Monas, Jakarta Pusat dan taman Medan Merdeka yang mengelilinginya, Kamis (3/1/2019). Kompleks tugu Monas yang menempati areal seluas 80 hektar selain menjadi lokasi tujuan wisata bersejarah dan monumen ikon di ibukota juga menyediakan ruang terbuka hijau yang menjadi paru-paru kota sebagai penghasil oksigen yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Selain itu taman di sekeliling Monas juga menjadi habitat satwa dan resapan air di tengah kepuangan gedung bertingkat.

Fakta Singkat

Hari Jadi
22 Juni 1527

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 10/1964

Luas Wilayah
661,52 km2

Jumlah Penduduk
10.562.088 jiwa (September 2020)

Pasangan Kepala Daerah
Gubernur Anies Baswedan

Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau disingkat DKI Jakarta terletak di pesisir bagian barat laut Pulau Jawa. Sebagai kota terbesar di Indonesia, DKI Jakarta menjadi pusat bisnis nasional dan barometer  Indonesia di mata dunia internasional.

Dalam sejarahnya, Kota Jakarta telah berdiri sejak awal abad ke-16, tepatnya tahun 1527. Dimulai dengan nama “Gemeente dan Stadgemeente Batavia” atau singkatnya Batavia. Pada masa pendudukan Jepang namanya berubah menjadi “Jakarta Toku-betsushi”.

Setelah Jepang jatuh dan Proklamator Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta menyatakan kemerdekaan, nama kota diganti menjadi Jakarta. Sebagai tindak lanjut proklamasi, pada tanggal 19 September 1945, pemerintah membentuk Pemerintahan (Peralihan) Djakarta Raja. Presiden Soekarno menunjuk Soewirjo sebagai Wali Kota Jakarta Raya.

Pada Januari 1946, situasi politik menyebabkan ibu kota negara yang semula di Jakarta dipindah ke Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, saat para pemimpin ditangkapi oleh Belanda yang berusaha berkuasa kembali, ibu kota dipindahkan sementara ke Sumatera Barat. Pada 1949, ibu kota RI dikembalikan ke Yogyakarta dan 1950 dipindah lagi ke Jakarta. Statusnya daerah swatantra (otonomi) dan masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Baru pada 1961, Presiden Soekarno membentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya.

DKI Jakarta Raya dinyatakan tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta melalui  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964 pada tanggal 31 Agustus 1964. Kemudian pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 1999, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan otonominya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota. Selain itu, wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi lima wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif Kepulauan Seribu.

Hari kelahiran Kota Jakarta ditetapkan tanggal 22 Juni 1527 berdasarkan surat keputusan Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja pada tanggal 23 Februari 1956. Tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan keberhasilan panglima perang Kerajaan Demak, Fatahillah, mengambil alih kekuasaan lewat pertempuran 22 Juni 1527. Nama kota lalu diganti dari sebelumnya Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang kira-kira berarti kemenangan.

Dengan luas sekitar 661,52 km², provinsi ini dihuni oleh 10,56 juta jiwa menurut Sensus Penduduk 2020. Secara administratif, DKI Jakarta saat ini terdiri dari 6 Kota/Kabupaten, 44 kecamatan dan 267 kelurahan. Provinsi DKI Jakarta ini dipimpin oleh Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria.

Sejarah Pembentukan

Kota Jakarta menyimpan riwayat sejarah yang amat panjang, bahkan hingga ke masa prasejarah. Keberadaan masa prasejarah di Jakarta dibuktikan dengan adanya penemuan benda-benda yang sederhana. Sebut saja, kapak batu, serpih bilah, serta benda-benda lain yang terbuat dari gerabah, manik-manik, kapak perunggu dan sebagainya.

Peninggalan arkeologis dari masa prasejarah di Jakarta, yang paling banyak adalah dalam bentuk pecahan gerabah. Bukti-bukti tersebut diperoleh dari hasil survei dan penggalian arkeologi di beberapa tempat antara lain di sepanjang sungai Ciliwung (Condet, Pasar Minggu, Kampung Kramat), Buni, Kelapa Dua dan Bukit Kucong.

Dari aneka temuan tersebut, masa prasejarah Jakarta berlangsung selama dua periode berdasarkan masanya, antaranya lain Zaman Batu atau Neolitikum, yakni masa bercocok tanam antara tahun 3000 Sebelum Masehi hingga 1000 Masehi. Kedua, zaman Logam atau masa perundingan antara 1000 Sebelum Masehi hingga 500 Masehi.

Jauh sebelum bernama Jakarta, kota ini sudah beberapa kali mengalami perubahan nama. Pergantian nama Jakarta biasanya terkait dengan momen peristiwa sejarah yang berlangsung saat itu.

Dalam sejumlah literatur disebutkan sebelum berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh-Pakuan di abad ke-12, nama kota ini adalah Sunda Kelapa. Bukti mengenai adanya pemukiman penduduk bernama Sunda Kelapa adalah Prasasti Tugu yakni sebuah peninggalan yang tertanam di daerah Jakarta Utara. Prasasti Tugu memiliki hubungan dengan empat prasasti lain yang diyakini berasal dari zaman kerajaan Hindu, yakni kerajaan Tarumanegara ketika dipimpin oleh Raja Purnawarman pada abad ke-5.

Empat prasati tersebut adalah prasasti Kebon Kopi, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Lebak, dan Prasasti jambu. Nama ‘Sunda’ dari kata Sunda Kelapa yang muncul pada abad ke-10 terdapat dalam Prasasti Kebon Kopi II yang diperkirakan ada pada tahun 942 Masehi.

Pada tahun 1030-1579, berdiri sebuah Kerajaan bernama Padjajaran di wilayah Jawa Barat. Keberadaan Kerajaan Padjajaran diketahui tepatnya di daerah batu tulis yang kini bernama kota Bogor. Letak ibu kota kerajaan ini dinyatakan dalam prasasti Batu tulis tahun 1433 Masehi.

Bangsa Portugis tiba di Sunda Kelapa ketika Kerajaan Padjajaran tengah berkembang pada 1513 Masehi yang dipimpin oleh De Alvin. Selanjutnya pada perjalanan kedua bangsa Portugis ke Indonesia dengan tujuan awal ingin mencari rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di wilayah Eropa yang memiliki musim dingin dan mendirikan benteng perdagangan. Benteng perdagangan itu pun akhirnya berhasil didirikan pada tahun 1522 setelah Portugis melakukan perjanjian yang disebut ‘Luso Sundanese Padrao’ dengan Prabu Surawisesa, seorang Raja Padjajaran.

Setelah perjanjian tersebut, kekuasaan Portugis berkembang yang membuat kerajaan-kerajaan lain merasa terganggu dan melakukan penyerangan pada tahun 1526-1527 antara Kerajaan Demak yang dibantu oleh Kerajaan Cirebon di bawah kepimpinan Pangeran Fatahillah. Portugis kalah dalam serangan tersebut dan Sunda Kelapa jatuh ke tangan Pangeran Fatahillah. Pada 22 Juni 1527, Pangeran Fatahilla kemudian mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Pada tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta.

Bangsa Portugis yang kalah dalam penyerangan dipaksa harus meninggalkan Jayakarta. Kemudian datanglah bangsa Eropa kedua yakni bangsa Belanda yang dipimpin Cornelis De Houtman dengan tujuan yang serupa dengan bangsa Portugis yani mencari rempah-rempah dan memperdagangkannya. Perdagangan yang terjadi di pelabuhan Jayakarta saat itu tidak teratur dan menyebabkan Belanda kalah dari Inggris yang juga datang ke bumi Hindia (sebutan Indonesia pada saat itu). Akhirnya Belanda mengatur strategi untuk membuat sebuah persekutuan dagang bernama Verednigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.

Berdirinya VOC ini bertujuan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dan mencari kekuatan untuk menghindari ancaman persatuan dagang miliki Inggris yakni East India Company (EIC). Gubernur Jenderal VOC yang pertama yakni Pieter Both menjadikan Jayakarta sebagai basis untuk administrasi dan perdagangan VOC. Di tahun 1611 VOC mendapatkan tugas pertamanya yakni membangun satu rumah dari kayu dengan fondasi berupa batu yang kemudian mereka mendirikannya di lahan seluas 1,5 hektar di bagian timur sungai Ciliwung.

Tahun 1618-1623 diangkat seorang Gubernur Jenderal yang baru yakni Jan Pieterszoon Coen yang mendirikan bangunan bernama Mauritius Huis yang bertembok tinggi dan tembok batu di sekitarnya untuk ditempatkan beberapa Meriam. Selang beberapa waktu Gubernur Jenderal Coen memerintahkan kembali untuk membangun tembok setinggi 7 meter hingga bangunan itu menjadi benteng.

Kemudian Belanda menyerang Jayakarta tanggal 30 Mei 1619. Mereka membumi hanguskan Jayakarta dan Belanda berhasil merebut kekuasaan dari kerajaan-kerajaan. Gubernur Jenderal Coen mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia setelah sebelumnya mencetuskan ide dengan nama Nieuwe Hollandia. Ia pun memberikan motonya sebagai semboyan kota Batavia yakni ‘Dispereert Niet’ yang artinya ‘Jangan Putus Asa’.

Melalui kesepakatan De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), maka pada 4 Maret 1621 nama Jayakarta diubah menjadi Batavia. Nama ini berasal dari nama etnis Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein, dan dianggap sebagai nenek moyang bangsa Belanda dan Jerman, Bataf. Selain itu, Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar yang cukup besar buatan Belanda (VOC). Kapal tersebut dibuat pada 29 Oktober 1628 dan dinahkodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz.

Pembangunan Batavia baru selesai pada 1650. Kota Batavia semula terletak di tengah kastil dengan tembok tinggi dan banyak parit. Abad ke-17 dibentuk perbatasan antara Batavia dengan wilayah kekuasaan Banten oleh adanya kali Angke dan kali Cisadane. Daerah diluar benteng dan tembok menjadi tidak aman. Tahun 1659 dan 1684 terdapat persetujuan bersama yakni antara Banten dengan Mataram utuk menetapkan daerah Cisaden dan Citarum. Tahun 1799 VOC resmi dibubarkan setelah mengalami kebangkrutan, korupsi, dan ketidak beresan. Bubarnya VOC juga sebagai sambutan untuk Kerajaan Belanda yang diperintah oleh Raja Louis Napoleon.

Tahun 1808 diangkat seorang Gubernur Jenderal yang baru yakni Herman Willem Daendels yang terkenal akan kedisiplinannya. Daendels memerintahkan didirikannya pabrik senjata di Batavia, pembangunan jalan raya hingga pembangunan benteng pertahanan.

KOMPAS/JOHNNY TG

MUSEUM SEJARAH JAKARTA — Sebuah batu prasasti dalam Museum Sejarah di Jalan Taman Fatahillah No. 1, Jakarta Barat. Luas museum ini lebih dari 1.300 meter persegi. Bangunan ini dahulu merupakan balai kota Batavia (Stadhuis van Batavia), yang dibangun pada tahun 1707-1712 atas perintah Gubernur JendEral Joan van Hoorn. Bangunan ini menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat, serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, bangunan ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.

Kekuasaan Kolonial Belanda berakhir di Indonesia pada tahun 1942 ketika pihak Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Jepang. Penjajahan di Indonesia terus berlanjut dengan datangnya pemerintahan Jepang dan berkuasa dari tahun 1942 sampai tahun 1945.

Kemudian, sejalan dengan kebijakan de-Nederlandisasi oleh Pemerintah Jepang, nama kota sengaja diganti dengan bahasa Indonesia atau Jepang. Pada 1942 nama Batavia berubah menjadi Djakarta sebagai akronim Djajakarta.

Menurut Lasmijah Hardi dalam bukunya “Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita” (1987), pergantian nama itu bertepatan dengan perayaan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. Nama lengkap Jakarta ialah Jakarta Tokubetsu Shi.

Keterlibatan Jepang dalam perang Dunia II menjadi bumerang untuk negeri matahari terbit itu. tahun 1945 pihak sekutu melepaskan bom atom dari udara di kota Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dan di kota Nagasaki 9 Agustus 1945. Dengan keadaan Negara yang tengah luluh lantak maka terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia karena pihak Jepang yang tengah fokus pada tragedi pengeboman. Hal tersebut membuat sebagian pemuda bersikeras untuk segera memproklamirkan kemerdekaan dan ketegangan pun sempat terjadi dengan golongan tua.

Akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 bertempat di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta yakni rumah Bung Karno pada pukul 10.00 pagi dibacakan proklamasi oleh Bung Karno yang didampingi Bung Hatta dan diteruskan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Berita tentang telah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia dilakukan melalui stasiun radio RRI Jakarta.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2 dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, nama Jakarta tetap dipakai orang Indonesia dengan meninggalkan nama Jepang-nya. Sebagai tindak lanjut proklamasi, pada 19 September 1945, pemerintah membentuk Pemerintahan (Peralihan) Djakarta Raja. Presiden Soekarno menunjuk Soewirjo sebagai Wali Kota Jakarta Raya. Dialah pemimpin Jakarta pertama setelah kemerdekaan.

Memasuki zaman Indonesia merdeka, Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat saat itu Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu menegaskan, sejak 30 Desember 1949 tak ada lagi sebutan Batavia bagi kota ini. Sejak saat itu, nama Ibu Kota Republik Indonesia adalah Jakarta. Pemberian nama Jakarta ini kembali dikukuhkan pada 22 Juni 1956 oleh Wali Kota Jakarta Sudiro (1953-1960). Saat itu, sebelum 1959, posisi Jakarta masih merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat.

Kemudian, pada 1959, status Jakarta mengalami perubahan dari sebuah kota praja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat Satu yang dipimpin oleh gubernur. Gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo. Pada 1961, status Jakarta diubah kembali dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Raya.

Kemudian pada tanggal 31 Agustus 1964 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dinyatakan tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.

Kemudian pada tanggal 10 Juni 1966, Ali Sadikin saat menjadi gubernur, membagi Jakarta ke dalam lima kotamadya. Pembagian itu berjalan 11 tahun sampai akhirnya dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1978, dan pada 1999 dikukuhkan lewat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 dengan menambah kabupaten administratif Kepulauan Seribu.

Geografis

Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi 6o12” Lintang Selatan dan 106o 48” Bujur Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut. Provinsi ini mempunyai luas daratan 661,52 km2 dan lautan seluas 6.977,5 km2 serta memiliki 110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu.

Di sebelah selatan, DKI Jakarta berbatasan dengan Kota Depok, Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kota Bekasi, Jawa Barat, sebelah barat berbatasan dengan Kota Tangerang, Banten dan sebelah Utara dengan Laut Jawa.

Kota Jakarta dilintasi 13 aliran sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Ke-13 sungai itu adalah Mookervaart, Angke, Pesanggrahan, Krukut, Grogol, Baru Barat, Ciliwung, Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Karena terletak di dataran rendah, sungai-sungai tersebut pada musim puncak hujan acapkali tidak mampu menampung air sehingga beberapa kawasan di Jakarta tergenang banjir.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara kenaikan tinggi muka air Sungai Ciliwung di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur dan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Selasa (22/9/2020). Tinggi muka air di Bendung Katulampa pada hari Senin 21/9/2020) pukul 18.00 WIB menyentuh angka 240 cm dan memberikan peringatan awas/siaga 1, namun lambat laun surut dan kembali normal. Ibu Kota berupaya agar siap menghadapi musim hujan pada paruh kedua tahun ini dengan mengeruk sedimentasi di badan air atau waduk-waduk, serta membersihkan saluran-saluran air. Langkah itu baik, tetapi kurang berjangka panjang. Pemeliharaan saluran air dan tempat penampungan air yang terkoneksi dengan peta pembuangan air Ibu Kota lebih penting daripada sekadar membangun mekanisme resapan. Kian berkurangnya lahan resapan akibat alih fungsi untuk pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya mendesak untuk dibuatkan tali-tali air yang berhubungan.

Pemerintahan

Soewirjo merupakan Gubernur DKI Jakarta pertama yang menjabat pada periode 23 September 1945-November 1947. Dia menjabat setelah proklamasi RI digaungkan. Sebelum menjabat sebagai gubernur, Soewirjo merupakan Wali Kota Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta kedua adalah Daan Jahja yang menjabat selama dua tahun, yaitu pada 1948-1950. Ia pernah menjabat sebagai redaktur pimpinan sebuah surat kabar nasional. Selama menjabat, ia berhasil menyelesaikan masalah administratif yang membuat Indonesia tetap bertahan.

Sjamsuridjal adalah Gubernur DKI Jakarta yang ketiga. Ia mulai memimpin Jakarta pada 29 Juni 1951 dan selesai pada 9 November 1953. Sebelum memimpin Jakarta, ia pernah menjadi Wali Kota di dua kota di Indonesia. Terdapat beberapa proyek yang dikerjakan selama Sjamsuridjal memimpin Jakarta seperti, pembangunan pusat tenaga listrik di Ancol, tempat penjernihan air, pembangunan rumah rakyat, dan dua rumah sakit.

Pada tahun 1953-1960, Jakarta dipimpin oleh Sudiro yang merupakan Gubernur DKI Jakarta yang keempat. Selama pemerintahannya, ia membentuk rukun tetangga (RT) dan rukun kampung (RK) yang saat ini berubah menjadi RW. Ia juga membangun beberapa proyek, antara lain Waduk Pluit, Jalan Raya Tanjung Priok ke Cililitan, persiapan pembangunan Masjid Istiqlal dan Hotel Indonesia.

Gubernur kelima adalah Soemarno Sosroatmodjo. Ia memimpin Jakarta mulai dari 1960-1964. Pada masa kepemimpinannya, status Kota Praja Jakarta Raya berubah menjadi tingkat I yang kepala daerahnya dipimpin oleh gubernur. Selama masa pemerintahannya terdapat beberapa proyek yang sedang dijalankan. Salah satunya pembangunan kompleks olah raga di Senayan untuk menyambut Asian Games pada 1962.

Hendrik Joel Hermanus Ngantung adalah gubernur kelima DKI Jakarta. Pria yang akrab disapa Henk Ngantung ini merupakan putra asli Manado. Selama masa pemerintahannya, ia membangun beberapa proyek, antara lain Taman Ismail Marzuki, Tugu Selamat Datang, dan Tugu Pembebasan Irian Barat.

Setelah Jakarta dipimpin oleh Hendrik Joel Hermanus Ngantung, selanjutnya dipimpin oleh gubernur ketujuh Ali Sadikin. Ia menjabat pada periode 1966-1977. Setelah menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia langsung membereskan masalah-masalah yang dihadapi oleh Kota Jakarta saat itu. Dalam masa pemerintahannya terdapat beberapa proyek yang berhasil dijalankan seperti pembukaan Djakarta Fair pertama di Kawasan Monas, peresmian Taman Ismail Marzuki, dan lain sebagainya.

Gubernur kedelapan Tjokropranolo memimpin Jakarta selama lima tahun, yaitu pada 1977-1982. Selama masa kepemimpinannya, terdapat beberapa program yang dilaksanakan selama masa pemerintahan Tjokropranolo seperti angkutan kereta api Jabodetabek, pengoperasian metromini dan kopaja, dan lain-lain.

Gubernur kesembilan R Soeprapto adalah gubernur kelahiran Solo yang menjabat sejak 1982-1987. Selama masa pemerintahannya, yang menjadi fokusnya adalah pendisiplinan aparat pemerintah daerah dan masyarakat Jakarta.

Selanjutnya, Gubernur Wiyogo Atmodarminto merupakan gubernur ke-10 yang memimpin Jakarta. Pada 1990, ia melarang pengoperasian becak di Jakarta. Untuk menggantikan profesi sebelumnya, terdapat beberapa penarik becak yang dialihkan menjadi tukang sayur. Untuk mengganti becak, disediakan ribuan bajaj dan bemo, serta ratusan mikrolet.

Surjadi Soedirja adalah gubernur ke-11 yang memimpin Kota Jakarta. Dalam masa pemerintahannya, Jakarta meraih berbagai prestasi salah satunya seperti, Piala Adipura kelima kotamadya di DKI Jakarta.

Gubernur ke-12 Sutiyoso menjabat selama 10 tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta. Selama masa pemerintahannya, terdapat beberapa proyek, salah satunya adalah Taman Semanggi.

Fauzi Bowo adalah gubernur ke-13 yang memimpin DKI Jakarta. Ia mulai memimpin Jakarta pada 2007-2012. Dalam masa kepemimpinannya, terdapat beberapa program yang direncanakan oleh Fauzi untuk mengatasi kemacetan. Salah satunya adalah pembangunan Moda Raya Terpadu (MRT) yang kini sudah bisa digunakan.

Joko Widodo yang saat ini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, sebelumnya pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Wali kota Solo. Ia adalah gubernur ke-14. Selama masa jabatannya, terdapat sejumlah program yang dilaksanakan seperti melanjutkan dan meresmikan program MRT, Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, dan  program lainnya.

Gubernur ke-15, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memimpin Jakarta selama 2014-2017. Selama masa pemerintahannya, banyak program yang dijalankan dari berbagai bidang seperti salah satunya adalah pembangunan Simpang Susun Semanggi di sekeliling Jembatan Semanggi.

Gubernur ke-16 adalah Djarot Saiful Hidayat, wakil gubernur pada masa Ahok saat itu, kemudian menggantikan Ahok, karena pada saat itu ia mengundurkan diri karena kasus yang menimpanya. Djarot menjabat sejak 15 Juni 2017-15 Oktober 2017.

Setelah kepemimpinan Djarot Saiful Hidayat, DKI Jakarta dipimpin oleh gubernur ke-17 Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno serta dilanjutkan oleh Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria.

Untuk menjalankan roda pemerintahan, Pemerintah DKI Jakarta didukung oleh 64.159 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terdiri dari 29.704 pegawai laki-laki dan 34.455 pegawai perempuan.

Adapun jumlah anggota DPRD terbanyak berasal dari PDI-P sebanyak 25 orang, disusul oleh Gerindra sebanyak 19 orang, PKS 16 orang, Demokrat 10 orang, PAN 9 orang, PSI 8 orang, Nasdem 7 orang, Golkar 6 orang, PKB 5 orang, dan PPP 1 orang.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Mendagri Amir Machmud (kiri) Senin(14/2/1972) pagi melantik Ali Sadikin sebagai Gubernur Kepala Daerah DCI Djaya. Nampak Gubernur Ali Sadikin sedang membubuhkan tandatangannya pada surat ketetapan pengangkatannya. Ali Sadikin menjadi Kepala Daerah yang pertama ditetapkan setelah Pemilihan Umum, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kompas/Pat Hendranto

Politik

Pemilihan Umum 1955 menjadi saksi bagaimana partai-partai dengan basis massa Islam tampil memukau, mengungguli partai-partai non-agama. Era selanjutnya kondisi justru berbalik menjadi keunggulan partai-partai berbasis massa nasionalis dengan Golkar sebagai mesin politik. Namun, geliat partai-partai agama pada Pemilu 1999 mampu mengimbangi persaingan pembagian suara.

Pada Pemilu 1955, partai Islam cukup mendominasi hasil pemilu di Jakarta. Dari 39 peserta pemilu, hanya lima kontestan yang tampil menawan. Dengan pemilih sebesar satu juta orang, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) memimpin dengan merebut 26,1 persen pemilih. Kemenangan Masyumi tersbut sekaligus menyisihkan saingannya, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang hanya mampu meraih 19,8 persen suara. Urutan selanjutnya, Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), masing-masing berbagi posisi di tempat ketiga dan keempat.

Atas perolehan suara tersebut, dari lima kursi DPR yang diperebutkan, dua kursi diambil oleh Masyumi, satu oleh PNI, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah Orde Lama tumbang, Golkar sebagai mesin politik penguasa Orde Baru dapat dikatakan sebagai “penguasa” Jakarta. Sama dengan penampilan Golkar di tingkat nasional, tercermin juga di tingkat Provinsi DKI Jakarta. Golkar praktis menang dalam setiap pemilihan umum yang pernah ada dalam kurun waktu tersebut, kecuali pada tahun 1977. Pada pemilihan umum saat itu, untuk pertama kalinya perolehan suara Golkar dikalahkan PPP. Namun, sekalipun kalah suara, komposisi pembagian kursi DPR antara Golkar dan PPP sama.

Pada Pemilu 1977, PPP di bawah kepemimpinan HMS Mintaredja berhasil merebut 43,5 persen suara di DKI Jakarta. Gabungan partai dengan basis massa Islam ini meninggalkan Golkar yang hanya memperoleh 39,3 persen suara meskipun perolehan kursi DPR keduanya sama-sama lima.

Prestasi gemilang Golkar di DKI Jakarta diperoleh pada Pemilu 1997. Saat itu, Golkar meraih 65,3 persen suara. Kemenangan itu menghantarkan Golkar meraih 12 kursi anggota DPR yang merupakan dua kali lipat dari kursi yang diperoleh PPP, serta membiarkan PDI pergi dengan tangan kosong dari daerah pemilihan DKI Jakarta.

Sementara itu, bagi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pemilihan umum di bawah pemerintahan Orde Baru merupakan catatan keterpurukan belaka. Namun, di antara keterpurukan itu, PDI masih bisa berbangga hati, karena pada Pemilihan Umum 1987, partai ini meraih empat kursi DPR, lebih banyak dari yang diperoleh PPP (tiga kursi).

Pada saat itu, Golkar yang menguasai 50 persen suara pemilih DKI Jakarta merebut 8 kursi. Sedangkan PDI berhasil merebut 28,4 persen suara pemilih. Pada saat itu PDI pimpinan Soerjadi berhasil mengambil hati massa lewat pencalonan Megawati Soekarnoputri dalam daftar calon legislatif.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Pemilu di Indonesia kali ini juga mendapat perhatian dunia Internasional, seperti mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dengan Carter Center, untuk melihat bagaimana pemilu di Indonesia dijalankan. Tampak Jimmy Carter sedang meninjau salah satu TPS di Jakarta dalam coblosan Senin (7/6/1999) lalu.

Memasuki era Reformasi, peta kekuatan politik di DKI Jakarta berubah seiring semakin banyaknya partai politik yang bersaing di ajang pemilihan umum. Pada Pemilu 1999, dari 48 partai peserta pemilihan umum, tujuh partai berhasil merebut jatah 18 kursi DPR di DKI Jakarta, yaitu PDI Perjuangan, PPP, Partai Amanat Nasional (PAN), Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan (PK).

PDI Perjuangan (PDI-P) berhasil merebut kursi terbanyak tujuh buah. PPP dan PAN mampu meraih masing-masing tiga kursi. Adapun Golkar hanya mendapat dua kursi. Sedangkan partai-partai dengan nuansa Keislaman, seperti PK, PKB, dan PBB masing- masing memperoleh satu kursi.

Secara keseluruhan, PDI-P mendapatkan 38,75 persen suara pemilih DKI Jakarta, sementara PPP yang berada di posisi kedua dengan perolehan 16,48 persen suara. Pada posisi berikutnya, PAN sebagai partai politik pendatang baru dalam ajang pemilihan umum, mampu mengantongi 16,30 persen suara. Sedangkan PK, PKB, dan PBB tidak mendapatkan banyak suara. Di antara ketiganya PK merupakan partai dengan perolehan suara terbesar (4,7 persen), disusul PKB (3,6 persen), dan PBB (1,9 persen).

Pada Pemilu 2004, peta kekuatan politik di DKI Jakarta kembali berubah. Kali ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil memenangkan pemilu di Jakarta. Saat itu, PKS memperoleh 1 juta suara dari 4,5 juta pemilih di Jakarta atau 23 persen suara. Sedangkan PDI-P harus puas di posisi ketiga dengan meraih 13,56 persen suara. Di posisi kedua dimenangkan oleh Partai Demokrat dengan meraih 21,09 persen suara.

Lima tahun kemudian, pada Pemilu 2009, Peta politik Jakarta kembali berganti wajah. Pada pemilu ini, Partai Demokrat, sebagai partai baru, ternyata mampu memikat hati warga Jakarta. Bahkan perolehan suaranya mampu melebihi PKS. Partai Demokrat berhasil meraup 35 persen suara dan disusul PKS yang meraih 18,4 persen suara. Sedangkan PDI-P tetap di posisi ketiga dengan meraih 11,2 persen suara.

Dengan perolehan suara tersebut, Demokrat berhasil meraih sembilan kursi DPR, disusul PKS sebanyak empat kursi, PDI-P dan Golkar masing-masing tiga kursi, dan PPP satu kursi.

Pada Pemilu 2014, PDI-P tak tertandingi di Ibukota DKI Jakarta. Perolehan suaranya mencapai 1.410.173 suara atau sekitar 28,83 persen suara. Berdasarkan perolehan suara tersebut, PDIP memperoleh 6 kursi di DPR RI pada periode 2014-2019.

Sedangkan Parpol yang memperoleh suara terbanyak kedua adalah Gerindra dengan memperoleh 610.780 suara atau 12,49 persen suara dan mendapatkan jatah tiga kursi di DPR. Di tempat ketiga perolehan suara terbanyak ditempati oleh PKS dengan perolehan suara 537.905 atau sekitar 11,00 persen. Parpol ini mendapatkan jatah tiga kursi DPR RI.

Pada Pemilu 2019, PDI-P kembali memenangkan simpati warga ibu kota Jakarta. Partai berlambang banteng ini mengantongi 1.625.042 suara. Partai ini meraih suara terbanyak di ketiga dapil. Posisi PDI-P disusul oleh PKS yang meraih 1.116.705 suara. Setelah PKS, Partai Gerindra menjadi juara ketiga dengan perolehan 988.859 suara dan PAN di posisi keempat dengan meraup 412.843 suara.

Dengan hasil perolehan suara tersebut, PDI-P mendapatkan tujuh kursi DPR RI. PKS mendapatkan lima kursi. Kemudian, disusul Partai Gerindra yang mendapatkan tiga kursi. PAN dan Partai Demokrat masing-masing dua kursi. Partai Golkar dan Partai Nasdem masing-masing mendapatkan satu kursi.

Kependudukan

Penduduk DKI Jakarta menurut Sensus Penduduk 2020 sebanyak 10,56 juta jiwa, terdiri laki-laki dari sebanyak 5,33 juta orang (50,51 persen) dan penduduk perempuan sebanyak 5,23 juta orang (49,49 persen). Rasio jenis kelamin penduduk DKI Jakarta sebesar 102, yang artinya terdapat 102 laki-laki per 100 perempuan di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2020.

Dalam kurun waktu 10 tahun, penduduk DKI Jakarta bertambah sebanyak 954 ribu jiwa atau rata-rata 88 ribu jiwa setiap tahun. Adapun Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta sebesar 0,92 persen per tahun.

Wilayah Jakarta Timur merupakan area terpadat dengan persentase 28,76 persen. Lalu, Jakarta Barat dengan persentase 23,05 persen, Jakarta Selatan sebesar 21,08 persen, Jakarta Utara 16,84 persen, Jakarta Pusat 10,01 persen, dan Kepulauan Seribu 0,26 persen.

Penduduk di Jakarta didominasi oleh masyarakat berusia produktif dengan usia 15-64 tahun dengan persentase sebesar 71,98 persen. Lalu, penduduk yang lahir pada 1946-1964 atau baby boomer dengan persentase 11,09 persen, gen X atau penduduk yang lahir pada tahun 1965-1980 dengan persentase 23,64 persen.

Kemudian, generasi milenial atau mereka yang lahir pada 1981-1996 sebesar 26,78 persen, gen Z yang lahir tahun 1997-2012 sebesar 25,65 persen, dan post gen Z atau penduduk yang lahir setelah tahun 2012 dengan persentase 11,25 persen.

Penduduk DKI Jakarta terhitung heterogen dari segi etnis. Beragam suku tinggal di DKI Jakarta, antara lain Jawa, Betawi, Sunda, Tionghoa, Batak, Minangkabau, Melayu,  Bugis, Madura, Banten, dan Banjar. Menurut data BPS 2010, tidak ada suku yang tinggal di Jakarta dominan dengan persentase di atas 50 persen. Suku Betawi yang lebih mencitrakan suku asli persentasenya hanya sekitar 27,65 persen.

Mayoritas penduduk DKI Jakarta pada 2020 beragama Islam. Menurut data BPS, jumlah warga Jakarta yang memeluk agama Islam mencapai 9,28 juta jiwa atau 87,95 persen dari total populasi, yaitu 10,56 juta jiwa. Sementara warga Jakarta yang beragama Kristen mencapai 954.799 jiwa, Katolik 435.845  jiwa, Hindu 20.295 jiwa, Budha 398.666 jiwa, Konghucu 1.576 jiwa dan Aliran Kepercayaan 257 jiwa.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Arak-arakan ondel-ondel turut memeriahkan karnaval Lebaran Betawi melintasi Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat menuju lapangan silang Monas saat berlangsung acara Lebaran Betawi, Minggu (21/7/2019)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
83,77 (2020)

Angka Harapan Hidup 
72,91 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
12,98 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
11,13 tahun (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
10,95 persen (Agustus 2020)

Tingkat Kemiskinan
4,69 persen (September 2020)

Rasio Gini
0,399 (September 2020)

Kesejahteraan

Secara umum, pembangunan manusia di DKI Jakarta terus mengalami kemajuan selama periode 2010-2020. IPM DKI Jakarta meningkat dari 76,31 pada tahun 2010 menjadi 80,77 pada tahun 2020. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, DKI Jakarta menjadi provinsi yang paling tinggi IPM-nya dibanding provinsi lain di Indonesia.

Seluruh komponen pembentuk IPM juga mengalami peningkatan. Angka harapan hidup saat lahir (AHH) tahun 2010 sebesar 72,49 tahun, meningkat dibandingkan tahun 2020 sebesar 72,91 tahun. Angka harapan lama sekolah (HLS) tahun 2020 mencapai 12,98 tahun, meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 11,86 tahun.

Rata-rata lama sekolah meningkat dari 10,37 tahun pada tahun 2010 menjadi 11,13 tahun pada tahun 2020. Komponen terakhir, yaitu pengeluaran perkapita yang disesuaikan juga meningkat dari Rp 15,11 juta di tahun 2010 menjadi Rp 18,22 juta pada tahun 2020.

Tingkat  pengangguran  terbuka  (TPT) Provinsi  DKI  Jakarta  pada  Agustus  2020 tercatat sebesar 10,95 persen atau setara 572.780 orang. Jika dibandingkan  dengan  keadaan Agustus  tahun  lalu,  pengangguran  DKI  Jakarta  naik  4,41  persen  atau  bertambah 233.378 orang.

Pandemi  Covid-19  menjadi  salah satu  faktor  penyebab  kenaikan  tingkat pengangguran  di  Ibu  Kota.  Sebanyak 175.890 pengangguran disebabkan karena Covid-19. Mereka berhenti bekerja karena perusahaannya  terdampak  Covid-19  atau  pemberlakuan  kebijakan  Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Selama  pandemi,  sektor formal  kehilangan  453.295  pekerja  tetapi hanya  259.597  pekerja  yang mampu  diserap oleh  sektor  informal.  Akibatnya, 193.698 orang kehilangan pekerjaan. Selain itu, pandemi bukan saja terjadi terhadap pengurangan tenaga kerja, tetapi juga mempengaruhi produktivitas pekerja. Sebanyak  1.673.028  pekerja  mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19.

Kenaikan TPT tersebut berdampak pula pada kenaikan angka kemiskinan di DKI Jakarta. Menurut data BPS, pada September 2020, jumlah penduduk miskin di Jakarta kembali meningkat menjadi 496,84 ribu orang atau 4,69 persen dari total penduduk Jakarta. Sementara itu, gini rasio DKI Jakarta tercatat sebesar 0,399 pada September 2020.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Ketua RT dan warga mengambil paket bantuan sosial yang tiba di RW 01 Kelurahan Kembangan Selatan, Kembangan, Jakarta Barat, Sabtu (6/6/2020). Sebanyak 649 paket bansos tahap ke-2 Pemprov DKI Jakarta tersebut akan disalurkan ke warga terdampak pandemi Covid-19 di tiap-tiap RT.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 57,56 triliun (2020)

Dana Perimbangan 
Rp 21,61 triliun (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-2,36 persen (2020)

PDRB per kapita
Rp 34,21 juta/tahun (2020)

Inflasi
1,59 persen (2020)

Nilai Ekspor
2.771,16 juta dolar AS (Januari-Maret 2020)

Nilai Impor
4.408,81 juta dolar AS (Februari 2020)

Ekonomi

Sebagai ibu kota Negara, DKI Jakarta telah menjadi pusat perekonomian nasional. Instansi pemerintah maupun swasta mayoritas berpusat di DKI Jakarta. Tidak heran jika pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik di provinsi ini paling cepat dan maju. Dengan perekonomian yang tinggi, Jakarta telah dianggap sebagai jantung bisnis di Indonesia.

Bila ditinjau dari komponen PDRB, sektor sektor perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor menjadi penyumbang tertinggi. Disusul sektor industri pengolahan, konstruksi, serta jasa keuangan dan asuransi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor menyumbang Rp 460,74 triliun atau sekitar 16,62 persen dari total PDRB 2020 sebesar Rp 2.772,38 triliun. Kemudian sektor industri pengolahan sebesar Rp 315,19 triliun (11,37 persen),  sektor konstruksi sebesar Rp 312,38 triliun (11,27 persen) dan jasa keuangan dan asuransi sebesar 11,27 persen.

Di sektor industri pengolahan, menurut data BPS terdapat 2.118 industri besar/sedang pada tahun 2018 yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 324.740 orang. Industri yang mendominasi adalah klasifikasi pakaian jadi, yaitu sebanyak 411 perusahaan.

Sementara itu, industri mikro kecil tercatat berjumlah 62.929 perusahaan di DKI Jakarta pada tahun 2019 yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 214.730 orang. Industri yang mendominasi adalah klasifikasi makanan, yaitu sebanyak 22.412 perusahaan dengan tenaga kerja sebanyak 45.821 orang.

Laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta dalam kurun 2010-2019 selalu berada di atas rata-rata nasional. Namun untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta terkontraksi hingga 2,36, di atas pertumbuhan nasional yang terkontraksi 2,07 persen. Hal itu tidak terlepas dari dampak merebaknya pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian ibu kota merosot tajam karena kebijakan pembatasan sosial berskala besar.

Dari sisi pendapatan, Provinsi DKI Jakarta bertopang pada pendapatan asli daerah (PAD). Kontribusi PAD mencapai Rp 57,56 triliun atau 70 persen dari total pendapatan Rp 82,19 triliun pada 2020. Dana perimbangan hanya berkontribusi Rp 21,61 triliun atau 26,3 persen dari total pendapatan. Itu pun berasal dari dana bagi hasil pajak/bukan hasil pajak sebesar Rp 18,38 triliun, dana alokasi khusus Rp 3,23 triliun, dan bagi hasil bukan pajak Rp 0,115 triliun. Provinsi ini sama sekali tidak meneriman dana alokasi umum.

KOMPAS/HERU SRI KUMOROA

Karnaval budaya memeriahkan rangkaian pembukaan Festival kali Besar di Kawasan Kota Tua, Jakarta, Kamis (30/8/2018). Festival bertajuk Batavia in The Past ini akan berlangsung hingga 1 September. Festival itu bertujuan memperkenalkan destinasi wisata baru di wilayah Jakarta Barat dan memeriahkan Asian Games 2018.

Di bidang pariwisata, DKI Jakarta memiliki 216 destinasi wisata yang dibagi menjadi empat kawasan yakni heritage, nature, urban, youth, dan culinary destination.

Heritage adalah destinasi yang kaya warisan budaya, seperti kawasan Kota Tua dan Taman Benyamin Sueb. Kawasan Kota Tua menjadi salah satu tempat wisata untuk menelusuri berbagai peninggalan sejarah kota Jakarta sejak zaman prasejarah, masa kejayaan pelabuhan Sunda Kelapa, era penjajahan, hingga ke masa setelah kemerdekaan.

Nature adalah destinasi yang memberikan wisata alam, misalnya Pulau Seribu. Untuk urban, warga bisa singgah ke kawasan Cikini dan Kemang Art Center. Youth, misalnya Pasar Kreatif Petodjo Enclek. Sementara itu, jika ingin menikmati kuliner dalam kawasan kuliner, Jalan Sabang menjadi tujuannya.

Sepanjang Januari-Maret 2021, jumlah kunjungan wisman ke Jakarta mencapai 17.412 kunjungan. Jika dibandingkan kunjungan wisman pada periode yang sama tahun 2020 yang berjumlah 372.881 kunjungan, terjadi penurunan sebesar 95,33 persen.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Peta Politik Pemilihan Umum: Provinsi DKI Jakarta *Pemilihan Umum 2004”, Kompas, 14 Februari 2004, hal. 32
  • “Pemilu, Ekspresi Kemarahan Warga Jakarta * Pemilihan Presiden 2004”, Kompas, 10 Juni 2004, hal. 32
  • “Peta Politik: Jakarta-Cermin Pemilih Kritis”, Kompas, 17 Maret 2009, hal. 08
  • “Pilihan Politik “Dibawa Mati”, Kompas, 17 Maret 2009, hal. 08
  • “Hasil Pemilu: DKI Jakarta * Pendulum Politik yang Terus Berubah”, Kompas, 27 Juni 2009, hal. 08
  • “Kota Jakarta Menjelang 492 Tahun Berdirinya”, Kompas, 10 Juni 2019, hal. 11
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung

Editor
Topan Yuniarto