Daerah

Kota Subulussalam: Potensi Agribisnis di Kota Termuda Aceh

Kota Subulussalam terus mengembang diri menjadi kota agribisnis. Selain sektor perkebunan, perdagangan dan jasa juga menjadi pilar pembangunan ekonomi Subulussalam. Di masa lalu, kota ini tak terlepas dari sejarah Kesultanan Aceh.

DOKUMENTASI DISDUKCAPIL KOTA SUBULUSSALAM

Kantor Wali Kota Subulussalam.

Fakta Singkat

Hari Jadi 
14 April 1962

Dasar Hukum
Undang-Undang No.8/2007

Luas Wilayah
1.391 km2

Jumlah Penduduk
95.199 jiwa (2022)

Kepala Daerah
Wali Kota H. Affan Alfian Bintang
Wakil Wali Kota Salmaza

Instansi terkait
Pemerintah Kota Subulussalam

 

Subulussalam merupakan kota termuda di Provinsi Aceh. Kota ini berkembang melalui transformasi sejarah yang panjang. Bermula dari kampong kecil yang masih menjadi bagian dari Aceh Selatan kemudian menjadi bagian dari Aceh Singkil dan terakhir tahun 2007 ditetapkan sebagai daerah otonom.

Subulussalam dibentuk berdasarkan UU 8/2007 tentang Pembentukan Kota Subulussalam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hari Jadi kota ini ditetapkan pada 14 September 1962 berdasarkan Qanun Kota Subulussalam Nomor 17 tahun 2010 tentang Hari Jadi Subulussalam.

Kota dengan luas 1.391 km persegi ini berpenduduk 95.199 jiwa (2022). Dengan tingkat kepadatan 68 jiwa per kilometer persegi, kota ini kerap disebut sebagai kota paling sepi di Indonesia. Predikat tersebut disematkan kepada Kota Subulussalam karena kepadatan penduduknya yang cenderung sangat kecil.

Kota yang terdiri dari lima kecamatan ini dipimpin oleh Wali Kota Affan Alfian Bintang bersama Wakil Wali Kota Salmaza untuk periode 2019-2024.

Kota ini terhitung strategis karena dilewati oleh jalan nasional yang menghubungkan kota-kota di pantai Barat Provinsi Aceh. Kota ini juga merupakan pintu masuk ke Aceh dari sebelah selatan karena berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara.

Subulussalam memiliki semboyan “Sada Kata” yang terpampang pada logo kota. Semboyan “Sada Kata” bisa diartikan sebagai satu kata (sepakat), yang bermakna kebulatan tekad atau satu kata dalam mufakat. Hal ini yang menjadi awal mula dari pemberian julukan “Kota Sada Kata” kepada Kota Subulussalam.

Sejarah pembentukan

Dilansir dari laman resmi Pemerintah Kota Subulussalam dan dalam buku “Asal-usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe” yang ditulis Zaenuddin HM disebutkan, pemberian nama kota ini dilakukan pada tanggal 14 September 1962. Pemberi nama Subulussalam adalah Prof. Ali Hasyimi yang menjabat Gubernur Aceh pada 1957-1964. Ali Hasyimi merupakan ulama, sastrawan, sekaligus tokoh kharismatik yang sangat dihormati.

Nama Subulussalam diambil dari bahasa Arab yang berarti ‘jalan menuju kedamaian atau kesejahteraan’. Pemberian nama Subulussalam mengandung harapan akan menjadi Kota Ibadah yang berkembang dengan berlandaskan Syariat Islam.

Bila dirunut lebih jauh, cikal bakal Kota Subulussalam tak lepas dari Kesultanan Aceh di masa lalu. Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh berhasil memukul mundur kekuatan Portugis di Selat Malaka.

Kejadian ini dilukiskan dalam “La Grand Encyclopedie” bahwa pada 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu.

Selain itu, Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada 1586, Kesultanan Aceh  melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu.

Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persengkongkolan antara Portugis dengan Kesultanan Pahang.

Namun demikian, Kesultanan Aceh sempat mengalami kemunduran sejak mangkatnya Sultan Iskandar Tsani pada 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya makin menguatnya kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera dan Selat Malaka.

Hal itu ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli, Mandailing, Deli, dan Bengkulu ke dalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan Inggris di Sumatera, sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi Inggris untuk menguasai Singapura.

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, yang disebutkan dengan jelas, “Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan”. Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia.

Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh dan digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda.

Pada 1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasaan Jepang. Pada 1945, Jepang dikalahkan Sekutu sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur Belanda (Indonesia) memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Ketika itu Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik Indonesia atas ajakan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh Muhammad Daud Beureueh.

Awalnya Subulussalam merupakan daerah dari Kabupaten Aceh Singkil yang merupakan salah satu kabupaten yang baru mekar dari Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1999. Kabupaten Aceh Singkil lahir lewat UU 14/1999, sebagai pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan.

Berselang 8 tahun baru mekarlah kota Subulussalam. Kota ini dibentuk berdasarkan UU 8/2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah penduduk, luas wilayah yang memadai, pertanian atau perkebunan yang merupakan potensi utama penunjang kebutuhan masyarakat Kota Subulussalam sehingga memungkinkan Subulussalam menjadi sebuah kota

Pada tanggal 15 Juni 2007, Kota Subulussalam diresmikan pemerintahannya oleh Menteri Dalam Negeri Ad Interim Bapak Widodo AS di Banda Aceh sekaligus pelantikan Penjabat Walikota yang pertama yaitu H. Asmauddin.

KOMPAS/TJAHJA GUNAWAN

Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Siswono Yudohusodo, meresmikan penanaman kelapa sawit pola Perkebunan Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) di kebun plasma Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) IV Patek, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Aceh, hari Senin (10/6/1996). Dalam kunjungan kerja selama dua hari di Aceh, Menteri Siswono juga mengunjungi UPT bermasalah Trumon, dan UPT Subulussalam.

Geografis

Secara astronomis, Kota Subulussalam terletak diantara 2° 27’ 30” – 3° 00’ 00” LU dan 97° 45’ 00’ – 98° 10’ 00” BT. Secara geografis Kota Subulussalam berada di bagian paling selatan Provinsi Aceh.

Kota Subulussalam berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara di sebelah utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Singkil, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan, serta sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Keadaan topografi di kecamatan Simpang Kiri pada umumnya datar, hanya dua desa yang sebagian besar keadaan topografinya berbukit yaitu Desa Sekelondang dan Desa Subulussalam Barat. Ketinggian rata-rata antara 70-221 mdpl.

Dari struktur geologis, kota ini memiliki struktur geologi yang terdiri atas arrenite sandstone, boulder-sandstone, conglomerate, sandstone, tuff, volcanic rock. Dari beragamnya struktur geologis tersebut, Kota Subulussalam didominasi oleh struktur geologi conglomerate. Sedangkan struktur geologi yang memiliki komposisi terkecil adalah tuff.

Kota ini memiliki empat Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Kota Subulussala Lawe Alas, DAS Trumor, DAS Simpang Kanan, dan DAS Simpang Kiri.

Menurut penggunaan lahan, berdasarkan Qanun RTRW Kota Subulussalam Nomor 3 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Subulussalam Tahun 2014-2034, luas kawasan lindung ditetapkan seluas 25.926,93 hektar (21,90 persen) dan kawasan budidaya seluas 92.477,50 hektar (78,10 persen).

KOMPAS/ZULKARNAINI

Tegakan pohon yang rapat di hutan Leuser di kawasan Subulussalam dan Aceh Selatan, Aceh.

Pemerintahan

Sejak ditetapkan sebagai kota otonom pada 2007, Kota Subulussalam telah dinakhodai oleh sejumlah wali kota dan penjabat wali kota. Penjabat wali kota pertama yang memimpin Kota Subulussalam adalah Asmauddin yang menjabat hingga Juni 2008. Kemudian pada tanggal 30 juni 2008 dilantik Penjabat Wali Kota H. Marthin Desky yang menjabat sampai April 2009.

Selanjutnya terpilih H. Merah Sakti yang terpilih sebagai wali kota definitif selama dua kali periode (2009 – 2014, 2014 – 2019). Kemudian sejak sejak 14 Mei 2019 hingga tahun 2024 nanti, Subulussalam dipimpin oleh Wali Kota H. Affan Alfian.

Secara administratif, kota ini memiliki 82 gampong atau desa yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Simpang Kiri, Kecamatan Penanggalan, Kecamatan Rundeng, Kecamatan Sultan Daulat, dan Kecamatan Longkib.

Kecamatan Sultan Daulat merupakan kecamatan terluas di kota ini, sedangkan Kecamatan Penanggalan menjadi kecamatan terkecil dengan luas wilayah 93 kilometer persegi.

Untuk mendukung jalannnya pemerintahan, Pemerintah Kota Subulussalam didukung oleh 2.095 Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah pada tahun 2022. Rinciannya, 968 orang PNS laki-laki dan 1.127 orang PNS perempuan.

SERAMBINEWS.COM/IST

Pasangan H Affan Alfian SE- Salmaza MAP sebagai Wali Kota/Wakil Wali Kota Subulussalam periode 2019-2024.

Politik

Peta politik di Kota Subulussalam berlangsung dinamis. Setidaknya hal itu terlihat dari tiga kali tiga kali pemilihan umum legislatif. Dari 20 kursi yang tersedia, beberapa partai politik tercatat memperoleh kursi terbanyak di tingkat parlemen.

Pada Pemilu Legislatif 2009, kursi di DPRD Kota Subulussalam terbanyak diraih oleh PKPI dan Golkar, Masing-masing parpol tersebut memperoleh tiga kursi. Disusul PBB, Hanura, PAN, dan Kedaulaan sama-sama meraih dua kursi. Sementara PDI Perjuangan, PPP, Demokrat, PBR, PKB, dan PKPB masing-masing memperoleh satu kursi di DPRD Kota Subulussalam.

Di Pemilu Legislatif 2014, terdapat lima partai yang mendapatkan tiga kursi di DPRD Kota Subulussalam, yakni Partai Aceh, Golkar, Hanura, PAN, dan PKB. Kemudian Demokrat mendapatkan dua kursi serta PPP, PKPI, dan PBB sama-sama memperoleh satu kursi di parlemen.

Di Pemilu Legislatif 2019, Hanura berhasil memperoleh kursi terbanyak dengan empat kursi. Disusul Golkar dan PAN memperoleh tiga kursi sementara Partai Aceh, PNA, dan Demokrat masing-masing memperoleh dua kursi. Adapun Gerindra, PKPI, PBB, dan PKS masing-masing mendapatkan satu kursi di DPRD Kota Subulussalam.

ZULKARNAINI/KOMPAS

Para calon legislatif, pengurus, dan kader dari Partai Aceh berkonvoi ke Kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh/KPU Aceh, Kamis (11/5/2023), untuk mendaftarkan bakal calon anggota DPR Aceh.

Kependudukan

Kota Subulussalam kerap disebut sebagai kota tersepi di Aceh. Jumlah penduduknya tercatat hanya 95.199 jiwa pada 2022. Rinciannya, penduduk laki-laki sebanyak 48.341 jiwa dan perempuan sebanyak 46.858 jiwa.

Penduduk Subulussalam terbanyak bekerja di sektor pertanian, atau sekitar 38,98 persen dari penduduk bekerja. Sektor sektor lain yang cukup besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja diantaranya sektor sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi (24,21 persen), serta sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan (22,89 persen).

Masyarakat Kota Subulussalam merupakan masyarakat yang multikultural. Wilayah dengan julukan “Kota Syekh Hamzah Fansuri” ini dihuni oleh banyak suku, bahasa, dan keyakinan.

Penduduk Subulussalam berasal dari berbagai latar belakang etnis diantaranya Etnis Singkil (boang), etnis Batak (Pak-pak), etnis Aceh, Etnis Alas, Minang, dan Jawa. Dalam komunikasi sehari-hari penduduk Kota Subulussalam menggunakan bahasa daerah yaitu Bahasa Boang dan Bahasa Pak-pak.

Mayoritas masyarakat Subulussalam beragama Islam. Selain itu, agama lainnya seperti Kristen dan Katolik juga dapat hidup berdampingan dengan saudaranya yang muslim. Sebagian dari mereka mempunyai hubungan pertalian kekeluargaan.

KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD

Masyarakat Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, baru bisa menikmati listrik setelah mereka membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro dengan memanfaatkan air terjun yang ada di kampung mereka.

Indeks Pembangunan Manusia
66,20 (2022)

Angka Harapan Hidup 
64,30 tahun (2022)

Harapan Lama Sekolah 
14,62 tahun (2022)

Rata-rata Lama Sekolah 
88,22 tahun (2022)

Pengeluaran per Kapita 
Rp 7,689 juta (2022)

Tingkat Pengangguran Terbuka
6,17 persen (2022)

Tingkat Kemiskinan
16,94 persen (2022)

Kesejahteraan

Sebagai kota termuda di Aceh, Kota Subulussalam termasuk daerah yang pembangunan manusianya tergolong cukup. Nilai indeks pembangunan manusia atau IPM masuk kategori sedang.

Pada tahun 2022, tercatat angka IPM Kota Subulussalam mencapai 66,20, meningkat dibanding pencapaian pada 2021 sebesar 65,27. Namun demikian, angka IPM tersebut masih tergolong rendah dibandingkan Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Aceh

Ditilik dari komponen pembentuknya, tercatat angka harapan hidup selama 66,20 tahun. Sementara untuk aspek pendidikan, harapan lama sekolah selama 14,62 tahun dan rata-rata lama sekolah selama 8,22 tahun. Adapun pengeluaran per kapita tercatat sebesar Rp 7,689 juta.

Tingkat pengangguran terbuka di Kota Subulussalam pada tahun 2022 tercatat sebesar 6,17 persen, turun 0,64 persen dibandingkan tahun 2021 sebesar 6,26 persen. Angka pengangguran di Subulussalam 2022 mencapai 2.042 jiwa dengan rincian laki-laki 792 jiwa dan perempuan 1.250 jiwa.

Sementara itu, angka kemiskinan di Subulussalam pada tahun 2022 tercatat sebesar 16,94 persen, atau sebanyak 14,06 ribu jiwa. Angka itu turun 0,41 persen dibandingkan angka kemiskinan pada tahun 2021 yang sebesar 17,65 persen atau sekira 14,46 ribu orang. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka penduduk miskin di Subulussalam termasuk yang tertinggi di Aceh.

KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO

Jubaidah (16), warga Kampong Gelombang, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, mendapat perawatan intensif dari tenaga medis di ruang rawat inap kelas II Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Subulussalam, Jumat (17/4/2015). RSUD Subulussalam yang beroperasi sejak 2011 mampu mendekatkan layanan kesehatan lanjutan kepada warga. Sebelum rumah sakit ini ada, warga Subulussalam harus ke Medan, Sumatera Utara, untuk mendapatkan pengobatan lanjutan yang membutuhkan teknologi tinggi.

 

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 51,81 miliar (2019)

Dana Perimbangan 
Rp 459,03 miliar (2019)

Pendapatan Lain-Lain
Rp 211,18 miliar (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
4,12 persen (2022)

PDRB Harga Berlaku
Rp 2,32 triliun (2022)

PDRB per kapita
Rp 24,47 juta/tahun (2022)

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto Kota Subulussalam atas dasar harga berlaku (PDRB ADHB) pada tahun 2022 tercatat sebesar Rp 2,32 triliun. Dari total PDRB tersebut, kontribusi terbesar masih ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 21,88 persen. Kemudian disusul industri pengolahan sebesar 19,90 persen, serta sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 16,91 persen.

Di sektor pertanian, produksi tanaman pangan terbesar di Subulussalam pada tahun 2021 adalah produksi jagung yakni sebesar 17.361 ton, diikuti oleh padi sebesar 2.625 ton, ubi kayu 1.290 ton, dan kacang tanah 150 ton.

Perkebunan selama ini menjadi salah satu  andalan terbesar Kota Subulussalam. Selain memiliki lahan yang luas, sebagian besar penduduk Subulussalam merupakan petani tradisional.

Salah satu komoditas perkebunan yang menjadi primadona bagi masyarakat di sana adalah kelapa sawit selain karet, coklat, dan pinang. Pada tahun 2020, tercatat luas perkebunan kelapa sawit mencapai 11.878 hektar dengan produksi panen sebesar 35.729 ton.

Di bidang keuangan daerah, realisasi pendapatan Pemerintah Kota Subulussalam pada 2019, tercatat sebesar  Rp 722,03 miliar. Dari jumlah itu, terbesar masih ditopang oleh pendapatan transfer sebesar Rp 459,03 miliar, sementara pendapatan lain-lain yang sah sebesar Rp 211,18 miliar dan pendapatan asli daerah atau PAD sebesar Rp 51,81 miliar.

Di sektor pariwisata, Subulussalam memiliki sejumlah tempat wisata menarik. Salah satunya adalah wisata air terjun yang tersebar di sejumlah lokasi, bahkan ada lokasi yang memiliki air terjun berdampingan dengan jarak tidak terlalu jauh. Salah satu yang mulai ramai dikunjungi yaitu Air Terjun Silelangit (Silangit-langit) yang berada di Desa Singgersing, Kecamatan Sultan Daulat.

Selain air terjun, ada juga wisata religi Makam Syekh Hamzah Al Fansuri di Oboh, Kecamatan Rundeng. Hamzah Fanzuri adalah ulama sufi, ahli tasawuf, dan sastrawan penganut aliran wahdatul wujud yang hidup pada abad ke-16.

Nditak Matak merupakan salah satu makanan tradisional Subulussalam. Makanan ini terbuat dari beras yang ditumbuk kasar dan dicampur gula, garam, sepotong ayam, dan kelapa parut.

Kota ini tercatat memiliki 11 tempat penginapan. Selain itu, tercatat 48 unit restoran/rumah makan, dengan jumlah terbesar di Kecamatan Simpang Kiri sebanyak 37 unit. (LITBANG KOMPAS) 

KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD

Satu-satunya batang pohon menjulang di antara perkebunan kelapa sawit di Desa Belo, Kecamatan Sultan Daulat, Subulussalam. Lahan yang semula masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser kini berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Investasi: Subulussalam Undang Investor Sawit”, Kompas Sumbagut, 16 Februari 2009, hlm. 026
  • “Kota Subulussam: Sehat Dahulu, Cerdas Kemudian * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 23 April 2015, hlm. 22
  • “Perekonomian Daerah: Kota Agrobisnis di Selatan Aceh *Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 23 April 2015, hlm. 22
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung

Editor
Topan Yuniarto