IPPHOS
Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Sumohardjo bersama para perwira TKR.
Fakta Singkat
Perkembangan Organisasi TNI
- Tentara Keamanan Rakyat (1945)
- Tentara Keselamatan Rakyat (1946)
- Tentara Republik Indonesia (1946)
- Tentara Nasional Indonesia (1947)
- Angkatan Perang Republik Indonesia (1948)
- Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (1949)
- Angkatan Perang Republik Indonesia (1950)
- Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1962)
- Tentara Nasional Indonesia (1999)
Setiap tanggal 5 Oktober, bangsa Indonesia memperingati hari TNI. Peringatan tersebut bertepatan dengan hari pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Pembentukan TKR didahului dengan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas menjaga keamanan secara umum.
Sebagai tentara kebangsaan, nama TNI baru digunakan secara resmi pada tanggal 3 Juni 1947. Sebelumnya, tentara kebangsaan Indonesia pernah disebut sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan sekarang kembali lagi disebut Tentara Nasional Indonesia (TNI).
IPPHOS
Upacara pelantikan opsir-opsir tinggi TRI di Istana Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 1946.
Badan Keamanan Rakyat (1945)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia belum memiliki kesatuan tentara secara resmi. Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 menghasilkan keputusan bahwa presiden perlu memanggil pemuda-pemuda yang memiliki kecakapan militer untuk membentuk tentara kebangsaan yang kokoh. Untuk mempersiapkan pembentukan tentara kebangsaan dan kepolisian, presiden membentuk panitia yang terdiri atas Abdul Kadir (ketua) dibantu Kasman Singodimedjo serta Otto Iskandardinata.
Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 diputuskan pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Keputusan membentuk badan keamanan alih-alih tentara kebangsaan didasarkan pada pertimbangan bahwa pembentukan tentara akan menimbulkan reaksi dari pasukan Jepang serta pasukan Sekutu yang akan mendarat. Mengikuti keputusan tersebut, Presiden Soekarno mengumumkan berdirinya Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945.
BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit atau Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sendiri sudah berdiri sejak zaman Jepang dan bertugas untuk memelihara anggota tentara Pembela Tanah Air (Peta) dan Heiho.
IPPHOS
Laskar Bambu Runcing siap menghadapi musuh negara (1946).
Badan keamanan yang dibentuk tersebut bertugas sebagai penjaga keamanan umum di daerah-daerah di bawah koordinasi KNI Daerah. Dengan tugas tersebut, BKR lebih berfungsi sebagai penjaga keamanan, bukan tentara kebangsaan.
Terpilih sebagai ketua BKR Pusat adalah Mr. Kasman Singodimedjo, mantan daidanco Jakarta. Setelah Kasman Singodimedjo terpilih sebagai Ketua KNIP, ketua BKR diganti oleh Kaprawi, mantan daidanco Sukabumi.
Pada saat itu, pimpinan BKR Pusat terdiri atas Kaprawi sebagai ketua umum, Sutalaksana sebagai Ketua I, dan Latief Hendraningrat sebagai Ketua II dengan dibantu oleh Arifin Abdurrahman, Mahmud, dan Zulkifli Lubis. Beberapa pimpinan BKR daerah pada saat itu adalah Mufreini (Jakarta), Moestopo (Jawa Timur), Soedirman (Jawa Tengah), Arudji Kartawinata (Jawa Barat).
Artikel Terkait
Badan perjuangan dan laskar
Pembentukan BKR tak sepenuhnya memenuhi keinginan para pemuda. Mereka yang tidak setuju dengan pembentukan BKR membentuk berbagai badan perjuangan dengan berbagai nama.
Beberapa badan perjuangan tersebut, antara lain, Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Jakarta, Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (P3I) di Bandung, Angkatan Muda Indonesia (AMI) di Surabaya, Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) di Padang, Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI) di Kalimantan, maupun badan perjuangan bersenjata di Pare-Pare, Palopo, dan Bonthain.
Beberapa badan perjuangan di atas sudah didirikan sejak zaman Jepang dan memiliki bagian yang dipersenjatai yang disebut laskar. Selain itu, hampir setiap partai politik juga memiliki laskarnya masing-masing. Berbagai badan perjuangan yang muncul dapat dikelompokkan berdasarkan sifat keanggotaannya, yakni etnis, lingkungan kerja (profesi), lokal, maupun ideologis.
IPPHOS
Barisan pasukan Laskar Hisbullah.
Beberapa badan perjuangan yang cukup besar pengaruhnya pada saat itu adalah Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Sulawesi, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), serta Hizbullah. Terlepas perbedaan sifat keanggotaannya, berbagai badan perjuangan tersebut bertujuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Berbagai badan perjuangan serta laskar yang bermunculan pada saat itu umumnya tidak memiliki hubungan organisasi satu sama lain. Bahkan, walaupun merupakan bagian dari badan yang sama, antara pusat dan daerah tak selalu bekerja atas dasar garis komando.
Mengingat belum adanya tentara kebangsaan serta munculnya ancaman dari kedatangan pasukan Inggris, muncul desakan untuk membentuk tentara. Salah satu tuntutan muncul dari sekelompok mantan prajurit Peta yang mendesak pembentukan tentara dan mencalonkan Supriyadi, komandan Peta Blitar, sebagai pemimpin tertinggi.
Artikel Terkait
Tentara Keamanan Rakyat (1945)
Mengikuti desakan pembentukan tentara kebangsaan, pada 5 Oktober 1945, dikeluarkan Maklumat Pemerintah oleh Presiden Soekarno yang berbunyi “Untuk memperkuat perasaan keamanan umum maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.” Sehari kemudian, keluar Maklumat Pemerintah yang mengangkat Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat.
Selanjutnya, pada tanggal 9 Oktober 1945, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP Pusat memobilisasi para pemuda untuk mendaftarkan diri menjadi anggota TKR melalui kantor BKR di ibu kota kabupaten masing-masing. Mobilisasi tersebut juga ditanggapi oleh para mantan perwira KNIL dengan suatu maklumat pada tanggal 14 Oktober 1945. Mereka mendukung pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri dan siap menerima perintah dengan segala kekuatan lahir dan batin.
Untuk melengkapi kementerian, pada tanggal 20 Oktober 1945 diumumkan pembentukan Kementerian Keamanan Rakyat. Sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad interim, diangkat Muhammad Sulyoadikusumo. Selain itu, diangkat pula pemimpin tertinggi TKR Supriyadi dan Kepala Staf Umum Mayor Oerip Sumohardjo. Mayor Oerip kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi letnan jenderal.
Dalam menjalankan tugasnya, Letjen Oerip membentuk Markas Tertinggi TKR (MT TKR) di Yogyakarta dengan susunan: 1) Markas Tertinggi TKR, 2) Markas Besar Umum TKR, dan 3) Empat Komandemen.
Keempat komandemen itu adalah Komandemen I Jawa Barat di bawah pimpinan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Komandemen II Jawa Tengah di bawah pimpinan Jenderal Mayor Suratman, Komandemen III Jawa Timur di bawah pimpinan Jenderal Mayor Muhammad, dan Komandemen Sumatera di bawah koordinasi dr. AK Gani.
Pada tanggal 14 September 1945, Kabinet Sjahrir mengangkat Amir Sjarifuddin sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Selanjutnya, Kementerian Keamanan menetapkan dasar-dasar TKR pada tanggal 17 September 1945.
Di luar pembentukan TKR, masih terdapat pula laskar/kesatuan/barisan rakyat sebagai kekuatan perjuangan. Pada saat itu, muncul kesadaran bahwa rakyat berhak untuk memiliki tentaranya sendiri di luar tentara negara.
Oleh karena itu, Markas Tertinggi TKR mengeluarkan Maklumat tanggal 6 Desember 1945 yang ditandatangani oleh Kepala Staf Umum Letjen Oerip Sumohardjo. Dalam maklumat tersebut, TKR tidak meniadakan laskar rakyat yang terbentuk, tetapi berusaha merangkul laskar-laskar untuk ikut serta menjadi kekuatan pendukung sekaligus mengajak untuk memiliki disipilin militer.
Supriyadi tidak pernah datang untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan maupun Pemimpin Tertinggi TKR sehingga diadakan konferensi pemilihan pimpinan tertinggi TKR yang baru pada bulan November 1945. Dalam konferensi tersebut, terpilih Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V/Banyumas. Pada saat itu, sudah terbentuk 10 divisi TKR di Pulau Jawa dan enam divisi TKR di Pulau Sumatera.
Pada 18 Desember 1945, Kolonel Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dan dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal. Sedangkan Oerip Soemohardjo tetap menduduki jabatan Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat letnan jenderal. Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX terpilih menjadi Menteri Pertahanan.
Tindakan pertama Panglima Besar Sudirman sebagai Panglima Besar TKRI adalah mengundang semua panglima daerah untuk merancang kembali organisasi TKR di Yogyakarta.
Mengikuti pembentukan TKR, muncul pula TKR Laut pada 15 November 1945 yang merupakan transformasi dari BKR Laut yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, muncul pula TKR Jawatan Penerbangan yang kemudian diresmikan masuk dalam bagian penerbangan Markas Tertinggi TKR pada 12 Desember 1945.
Artikel Terkait
Tentara Republik Indonesia (1946)
Pada 1 Januari 1946, berdasarkan usulan Menteri Keamanan, pemerintah menetapkan nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Selain itu, Kementerian Keamanan diganti menjadi Kementerian Pertahanan.
Tak sampai satu bulan, pada 26 Januari 1946, nama Tentara Keselamatan Rakyat diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan Penetapan Pemerintah Nomor 4/SD. Dalam penetapan tersebut, disebutkan pula bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer negara Republik Indonesia dan akan diperbaiki susunannya sesuai bentuk ketentaraan yang sempurna.
Untuk mendukung upaya perbaikan tersebut, dibentuk panitia yang terdiri dari Letjen Oerip Sumohardjo, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Jenderal Mayor drg. Mustopo, Kolonel Sutirto, Kolonel Sunjoyo, Kolonel Hollan Iskandar, Mayor Simatupang, Profesor Supomo, dan Profesor Roosseno.
Panitia tersebut menyusun peraturan tentang bentuk Kementerian Pertahanan, bentuk ketentaraan, kekuatan tentara, organisasi tentara, serta kedudukan laskar dan barisan bersenjata di luar bentukan pemerintah. Hasil kerja panitia tersebut diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 17 Mei 1946.
Upaya penyempurnaan struktur organisasi tentara dilanjutkan dengan pembentukan Panitia Besar Reorganisasi Tentara. Panitia tersebut mengadakan sidang pada 23 dan 25 Mei 1946 yang dihadiri berbagai komandan divisi, resimen, dan pengurus laskar.
Pada saat sidang, para komandan resimen memilih komandan divisinya. Pada saat itu pula, tentara mengatur sendiri pemilihan komandannya. Hasil pemilihan tersebut kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk disahkan. Selain itu, disetujui pula pengurangan jumlah divisi di Pulau Jawa, dari 10 menjadi 7 divisi.
Selanjutnya, Presiden dan Menteri Pertahanan mengangkat panglima besar, yakni Jenderal Sudirman, dan menetapkan formasi pendukungnya di Markas Besar Tentara dan di Kementerian Pertahanan pada 25 Mei 1946.
Mereka yang dilantik oleh Presiden adalah 1 orang jenderal, 1 orang letnan jenderal, 7 orang, kepala staf divisi dengan pangkat kolonel, 3 orang komandan brigade dengan pangkat kolonel, 10 orang jenderal mayor pada Kementerian Pertahanan, 4 orang kolonel pada Markas Besar Umum, 2 orang letnan kolonel, dan 1 orang mayor pada Markas Besar Umum.
Dokumen Terkait
Tentara Nasional Indonesia (1947)
Hingga awal tahun 1947, organisasi tentara di Indonesia saling beririsan dan belum berada dalam satu komando. Di tingkat pusat, terdapat Panglima Tertinggi, Menteri Pertahanan, Dewan Militer, dan Dewan Pertahanan Negara.
Dari sisi tenaga perjuangan, terdapat 1) TRI dan divisi-divisinya di bawah komando panglima besar, 2) laskar-laskar di bawah partai-partai pendiri dan secara administratif berada di bawah Menteri Pertahanan, 3) barisan cadangan di bawah Menteri Pertahanan, 4) Divisi-divisi Tentara Laut, Divisi Polisi Tentara Laut, dan Divisi Polisi Tentara di bawah Menteri Pertahanan dan di bawah Panglima Besar, serta 5) Korps opsir-opsir politik yang bertugas memelihara ideologi di bawah Menteri Pertahanan.
Melihat situasi tersebut, Menteri Pertahanan mengusulkan untuk menyatukan berbagai komponen tersebut ke dalam satu organisasi yang bernama Tentara Nasional Indonesia. Selanjutnya, pada 15 Mei 1947, Presiden mengeluarkan penetapan untuk mempersatukan TRI dan laskar-laskah menjadi satu organisasi tentara.
Penetapan tersebut juga berisi penugasan terhadap sebuah panitia untuk mempersiapkan penggabungan TRI, laskar-laskar, TLRI, dan barisan-barisan. Panitia tersebut dipimpinan langsung oleh Presiden Soekarno dengan dibantu oleh Wakil Presiden Moh. Hatta, Menteri Pertahanan, serta Panglima Besar Soedirman. Selain itu, dipilih juga 18 anggota panitia lain.
IPPHOS
Para pimpinan TNI, Juni 1947. Barisan depan dari kiri ke kanan: Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Jenderal Soedirman, Laksamana Muda Nazir, dan Jenderal Mayor Jokosuyono. Barisan belakang dari kiri ke kanan: Komodor Suryadharma, Jenderal Mayor Sutomo (Bung Tomo), dan Jenderal Mayor Ir. Sakirman.
Setelah melalui berbagai kesulitan dalam upaya penyatuan, Menteri Pertahanan mengajukan konsep pelaksanaan penyatuan secara bertahap yang disetujui oleh badan-badan kelaskaran.
Pada tahap pertama, laskar dalam daerah divisi diperbolehkan memiliki satu resimen dari masing-masing partai politik. Resimen tersebut kemudian digabungkan menjadi satu brigade laskar. Pada tahap kedua, brigade laskar menggabungkan diri pada TRI kemudian dilebur menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Panitia penggabungan menghasilkan keputusan bahwa pimpinan TNI nantinya merupakan kepemimpinan kolektif dalam wadah Pucuk Pimpinan TNI. Hasil kerja panitia yang telah diterima Presiden kemudian ditetapkan menjadi keputusan pada tanggal 3 Juni 1947.
Terdapat lima hal yang ditetapkan Presiden. Pertama, mulai tanggal 3 Juni 1947, disahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kedua, segenap anggota angkatan perang dan anggota laskar mulai saat itu dimasukkan serentak ke dalam TNI.
Ketiga, ditetapkan struktur pucuk pimpinan tertinggi TNI yang terdiri atas tujuh orang. Ketua pucuk pimpinan TNI adalah Panglima Besar Angkatan Perang Soedirman dengan anggota Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo, Laksamana Muda Nazir, Komodor Suryadarma, Jenderal Mayor Sutomo, Jenderal Mayor Sakirman, dan Jenderal Mayor Jokosuyono.
Keempat, pucuk pimpinan TNI menjalankan tugas kewajiban terkait siasat dan organisasi TNI selama proses penyempurnaan TNI yang sedang berlangsung. Dan Kelima, semua satuan angkatan perang dan laskar yang mulai saat itu tergabung dalam TNI diwajibkan taat dan tunduk pada segala perintah dan instruksi yang dikeluarkan oleh pucuk pimpinan TNI.
Organisasi TNI yang baru berdiri satu setengah bulan tersebut langsung mendapatkan tantangan ketika Belanda melancarkan agresi pada 21 Juli 1947. Pasukan TNI yang tidak dapat mempertahankan serbuan Belanda menyingkir dan membentuk kantong-kantong pertahanan gerilya di daerah pedalaman. Di sisi lain, pemerintah mengupayakan perjuangan diplomasi.
Artikel Terkait
Angkatan Perang Republik Indonesia (1948)
Setelah Perjanjian Renville pada akhir 1947 dan awal 1948, wilayah Republik Indonesia semakin sempit sehingga tidak memungkinkan untuk memelihara pasukan di kantong perlawanan.
Selain wilayah RI yang semakin sempit, pada akhir Desember 1947 juga muncul Mosi Baharuddin tentang rancangan reorganisasi dan rasionalisasi (rera) dalam Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Selain itu, sejak akhir tahun 1947, keuangan negara semakin kesulitan membiayai tentaranya. Dengan pertimbangan tersebut, muncul usulan reorganisasi dan rasionalisasi (rera) angkatan perang dengan mengurangi pasukan dan meningkatkan mutunya.
Pada 2 Januari 1948, Presiden menandatangani Penetapan Nomor 1 Tahun 1948. Penetapan tersebut berisi pembubaran pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang serta diadakan susunan baru dalam Pusat Pimpinan Angkatan Perang, yakni Staf Umum Angkatan Perang dalam Kementerian Pertahanan serta Markas Besar Pertempuran.
Staf Umum Angkatan Perang bertugas untuk melaksanakan siasat umum angkatan perang dan menyusun koordinasi di antara Kementerian Pertahanan dan angkatan perang. Sedangkan Markas Besar Pertempuran bertugas sebagai pucuk pimpinan taktis operasional angkatan perang mobil.
Untuk jabatan Kepala Staf Umum dan wakilnya, sementara ditunjuk Komodor Suryadarma dan Kolonel TB Simatupang. Di samping itu, Jenderal Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil atau Panglima Pertempuran. Anggota staf Markas Besar Pertempuran yang dipilih adalah Kolonel S. Cokronegoro sebagai Kepala Staf, Letkol A. Latif sebagai Wakil Kepala Staf, Letkol Susatijo sebagai Kepala Bagian I (intel militer), Kolonel S. Cokronegoro sebagai Kepala Bagian II (siasat), Letkol Bustami sebagai Kepala Bagian III (personalia), dan Mayor Prabowo sebagai Kepala Bagian V (perlengkapan).
Mengingat penetapan tersebut juga memuat personalia yang menjabat, terdapat pro dan kontra di kalangan militer yang selama ini mengangkat pemimpinnya sendiri. Mereka yang merasa tidak diajak berdiskusi menghadap Presiden dan mempertanyakan keputusan tersebut.
Selanjutnya, Presiden mengeluarkan Maklumat Pemerintah Nomor 1 tahun 1948 yang berisi permintaan maaf atas tersebarnya isi Penetapan Nomor 1 Tahun 1948 beserta dengan personalianya di surat kabar dan radio.
Pada 27 Februari 1948, dikeluarkan Penetapan Presiden Nomor 9 Tahun 1948. Isi penetapan tersebut hampir sama dengan Penetapan 1/1948. Pertama, menarik Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1948. Kedua, membubarkan Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Angkatan Perang. Ketiga, membentuk Staf Umum Angkatan Perang dalam Kementerian Pertahanan. Untuk sementara, Kepala Staf Umum ditetapkan dijabat oleh Komodor Suryadarma dan wakilnya Kolonel TB Simatupang. Staf umum ini bertugas untuk melaksanakan rencana siasat umum angkatan perang, menyusun koordinasi antara Kementerian Pertahanan dengan angkatan perang dan antara bagian-bagian Kementerian Pertahanan lama dengan yang baru, serta merencanakan susunan baru Kementerian Pertahanan.
Keempat, membentuk Markas Besar Angkatan Perang Mobil. Jenderal Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil sedangkan wakilnya adalah Letjen AH Nasution. Kelima, memperbantukan sementara kepada Menteri Pertahanan semua opsir dari pucuk pimpinan TNI dan dari Staf Gabungan Angkatan Perang yang belum mendapat tugas kewajiban ke dalam susunan baru dari pusat pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia.
IPPHOS
Pasukan Kala Hitam dari TNI/Divisi Siliwangi tiba di Jakarta tanggal 23 Desember 1949.
Pada tanggal 5 Maret 1948, melanjutkan Mosi Baharuddin tentang rancangan reorganisasi dan rasionalisasi (rera) dalam Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang, ditandatangi UU Nomor 3 Tahun 1948 oleh Presiden. Undang Undang tersebut diumumkan satu hari kemudian.
UU 3/1948 mengatur susunan Kementerian Pertahanan yang berkewajiban untuk melenggarakan pertahanan negara dalam arti yang seluas-luasnya. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, Kementerian Pertahanan menyelenggarakan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang terbentuk dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Kementerian Pertahanan dipimpinan oleh seorang Menteri Pertahanan yang dibantu oleh Kabinet Menteri Pertahanan, Staf Angkatan Perang, serta Staf Tata Usaha. Sementara, Kabinet Menteri Pertahanan terdiri dari sekjen, kepala staf angkatan perang dengan tiga anggotanya, serta kepala bagian.
Dalam UU tersebut, jabatan Panglima Besar Angkatan Perang akan diangkat oleh Presiden saat terjadi peperangan. Panglima perang akan bertanggung jawab terhadap Menteri Pertahanan. Di sisi lain, panglima perang berkuasa atas seluruh kesatuan perang dari ketiga angkatan dan mengepalai Markas Besar Angkatan Perang Mobil.
Reorganisasi dan rekonstruksi angkatan perang terus dijalankan hingga akhir tahun 1948. Pada saat itu pula, 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer ke-2 dengan merebut Ibukota RI, Yogyakarta. Presiden dan Wakil Presiden beserta sejumlah pejabat negara ditawan oleh Belanda.
Pemerintahan RI diteruskan dengan Pemerinahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera oleh Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara. Di sisi lain, satu bulan setelah Agresi Belanda ke-2, TNI berhasil melakukan konsolidasikan sambil menjalankan perang gerilya. Salah satunya tampak dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap Belanda di Yogyakarta.
Serangan tersebut membuktikan keberadaan TNI dan Indonesia di mata dunia internasional. Dengan didukung oleh berbagai langkah diplomasi yang terus berjalan, akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949, dilakukan penandatangan naskah penyerahan kedaulatan antara Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) di Belanda dan Indonesia.
Pada tanggal tersebut, pemerintahan RIS juga dibentuk yang terdiri atas 16 negara bagian. Presiden dan Wakil Presiden RIS pertama adalah Soekarno dan Mohammad Hatta. Hatta sekaligus merangkap sebagai Perdana Menteri pertama RIS.
Kabinet Hatta memutuskan untuk mengurangi jumlah militer setelah perang karena keuangan negara tidak mendukung. Pada saat itu, dibentuk Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang diambil dari TNI dan bekas KNIL.
Pada 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga APRIS diubah menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pada saat itu, Panglima Tertinggi APRI dijabat oleh Presiden Soekarno.
Artikel Terkait
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1962)
Pada 21 Juni 1962, pemerintah menyatukan angkatan-angkatan dan Polri dalam satu wadah, yakni Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 225/Plt/1962.
Upaya integrasi tersebut telah mulai dibicarakan sejak Kabinet Karya (1958) dengan pembentukan panitia yang dipimpin Deputi Menteri Keamanan Nasional Letnan Jenderal Hidayat. Panitia tersebut beranggotakan para Kepala Staf Angkatan dan Kepala Kepolisian Negara.
Pada awalnya, panitia tersebut mengusulkan konsep organisasi ABRI dengan jabatan tertinggi seorang Panglima Angkatan Bersenjata yang membawahi para Kepala Staf Angkatan dan Kapolri. Konsep tersebut disampaikan kepada Presiden sekaligus Panglima Tertinggi APRI. Akan tetapi, Presiden menolak. Presiden Soekarno menginginkan agar presiden merupakan Panglima Tertinggi ABRI. Di bawahnya terdapat seorang Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab) yang hanya memiliki wewenang pada bidang administratif.
Panitia kemudian mengusulkan konsep kedua dengan mencantumkan jabatan Kepala Staf Operasi Angkatan Bersenjata (Kosab) sebagai pengganti Kasab yang bertugas membantu Panglima Tertinggi ABRI dalam bidang operasi. Akan tetapi, konsep tersebut juga ditolak Presiden Soekarno.
Selanjutnya, lahir Keputusan Presiden No. 225/Plt/1962 yang menetapkan bahwa pucuk pimpinan angkatan bersenjata adalah Presiden/Panglima Tertinggi yang memegang kekuasaan tertinggi dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Kepala Staf ini dibantu oleh tiga deputi, yakni Deputi Operasi, Deputi Pembinaan, dan Deputi Khusus.
Susunan Staf Angkatan Bersenjata pada saat itu terdiri dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab) Jenderal AH Nasution, Deputi Operasi Komodor Laut OB Sjaaf (kemudian diganti Komodor Laut Rachmat Sumengkar), Deputi Pembinaan Komodor Udara Makki Perdanakusuma, dan Deputi Khusus Brigadir Jenderal Polisi Suparno Surjaatmadja.
Dalam susunan organisasi yang baru ini, para Kepala Staf Angkatan diberi jabatan Panglima Angkatan. Selain itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan para Panglima Angkatan diberi jabatan menteri. Kepala Staf Angkatan Bersenjata menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan atau Menko Hankam/Kasab.
Pemberian jabatan menteri berarti juga pembentukan lembaga baru sehingga dalam bidang pertahanan keamanan terdapat enam lembaga yang saling beririsan fungsi. Keenam lembaga tersebut adalah Komando Operasi Tertinggi (Koti), Kompartemen Hankam, Departeman/Angkatan Darat, Departemen/Angkatan Laut, Departemen/Angkatan Udara, dan Departemen/Angkatan Kepolisian.
Artikel Terkait
Reorganisasi ABRI
Pada tahun 1967, Menteri Utama Hankam Jenderal TNI Soeharto memerintahkan Mayor Jenderal MMR Kartakusuma untuk menyusun organisasi ABRI yang baru. Hasilnya, Pemerintah mengeluarkan surat keputusan Presiden Nomor 132 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan Keamanan. Dalam keputusan tersebut, organisasi ABRI dibagi atas dua tingkat, yaitu tingkat departemen dan angkatan.
Departemen Pertahanan Keamanan (Dephankam) memiliki tugas pokok menyelenggarakan pengendalian secara integratif fungsional semua kegiatan negara dan masyarakat untuk mengamankan revolusi, mempertahankan negara serta melindungi rakyat pada umumnya. Selain itu, Dephamkam juga menyelenggarakan pengendalian secara koordinatif terhadap angkatan-angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian, serta badan-badan hukum lainnya.
Pemegang kekuasaan tertinggi Angkatan Bersenjata dan Pimpinan Hankam adalah Presiden dibantu Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata. Selanjutnya, masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Panglima Angkatan yang bertanggung jawab terhadap Menhamkam/Pangab. Menhamkam/Pangab juga membawahi komando utama operasional Hamkam/ABRI.
Kelompok pimpinan Departeman Hankam terdiri atas Menhamkam, Staf Hankam, Musyarawah Komando, Pengawas Keuangan, Angkatan dan Komando-komando Utama, Instansi Pusat ABRI, Komando dan Badan-badan pelaksana dan pembinaan Hankam/ABRI.
Menhamkam adalah perwira tinggi ABRI yang merangkap sebagai Panglima Angkatan Bersenjata. Pada reorganisasi ABRI 1967, Menhamkam/Pangab dijabat oleh Jenderal TNI Soeharto, Kepala Staf Hankam dijabat oleh Mayor Jenderal TNI MMR Kartakusuma.
Reorganisasi berdasarkan Keppres 132/1967 dianggap belum berhasil menciptakan organisasi yang kompak. Oleh karena itu, pemerintah kembali mengevaluasi organisasi ABRI dengan membentuk tim evaluasi yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soemitro. Langkah tersebut diikuti dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1969.
Prinsip penyempurnaan organisasi ABRI dalam Keppres tersebut adalah penentuan dan pembagian fungsi yang dilaksanakan sebagai wujud fungsionalisasi sesuai dengan kemampuan dan hakikat angkatan. Konsekuensinya, ditegaskan perbedaan fungsi antara Angkatan Perang dan Kepolisian sehingga ABRI terdiri atas APRI dan Kepolisian RI. APRI bertugas di bidang keamanan nasional dengan pendekatan defensif sedangkan Kepolisian RI berfungsi di bidang keamanan nasional dengan pendekatan sosial. Di sisi lain, semua fungsi yang bersifat politis dan strategis yang memengaruhi politik dan strategi nasional dipusatkan dalam satu tangan yaitu Menhamkam/Pangab.
Dalam Keppres tersebut, Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atas APRI dan Kepolisian RI serta menentukan kebijaksanaan nasional di bidang Hankamnas. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI adalah pembantu presiden di bidang pimpinan dan pembinaan tertinggi ABRI, penentu kebijaksanaan Hankam dan pengendali ABRI di bidang operasi, administrasi dan kekaryaan. Badan Staf Utama yaitu Staf Umum dipimpin oleh Kepala Staf Umum (Kasum). Menteri Hankam/Pangab dibantu oleh Wapangab, para Kepala Staf (Kas) Angkatan dan Kapolri.
Di sisi lain, ABRI terdiri atas TNI dan Polri yang dipimpinan oleh Kepala Staf Angkatan dan Kapolri. Pada saat itu, Kasad dijabat Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah, Kasau dijabat Marsekal TNI Suwoto Sukendar, Kasal dijabat Laksamana TNI R Sudomo, dan Kapolri dijabat Hoegeng Iman Santoso
Pada tahun 1974 kembali terjadi reorganisasi di bidang Hankam dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1974 pada tanggal 18 Februari 1974. Dalam keppres tersebut, fungsi hankamnas pada dasarnya diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan Keamanan.
Departeman Hankam disusun dalam bentuk organisasi garis dan staf yang dibagi dalam dua tingkat, yakni tingkat departemen dan tingkat komando utama. Di tingkat departeman dibentuk eselon pimpinan yang terdiri atas Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI dan Wakil Pangab. Eselon pembantu pimpinan terdiri atas Kepala Staf Operasi (Kasops), Kepala Staf Administrasi (Kasmin), Kepala Staf Kekaryaan (Kaskar), dan Inspektorat jenderal dan Perbendaharan Hankam (Itjen Hankam).
Pada saat itu, Menhankam/Pangab dijabat Jenderal TNI M Panggabean, Wapangab Jenderal TNI Soerono, Kasops Hankam dijabat Marsekal Madya TNI Soedarmono S, Kasmin Hankam dijabat Letnan Jenderal TNI A Hasnan Habib, Kaskar Hankam dijabat Letnan Jenderal TNI Daryatmo, dan Irjen Hankam dijabat Letnan Jenderal Polisi Soejoed Binwahjoe.
KOMPAS/JB SURATNO
Ketiga jenderal TNI-AD berbintang empat yang masih aktif melaporkan kepada Presiden Soeharto di kediaman Jl. Cendana pada 2/4/1983 tentang pelaksanaan serah terima jabatan mereka 1983, yakni dari Menhankam/ Pangab Jenderal M. Jusuf kepada Menhan Jenderal Poniman dan Pangab Jenderal LB Moerdani. Jabatan Menhan/ Pangab semula dirangkap oleh Jenderal M. Jusuf.
Pada tahun 1982, muncul Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 yang mengatur Pertahanan Keamanan Negara. Mengikuti UU 20/1982,di bidang organisasi, dipisahkan Departemen Hankam dan Organisasi Angkatan Bersenjata. Selain itu, pembentukan Kodam yang sebelumya didasarkan atas struktur wilayah diubah berdasarkan strategi pertahanan pulau.
Dalam reorganisasi tersebut, jabatan Menhamkam dipisahkan dari Pangab. Situasi ini bertahan hingga tahun 1998, sempat digabung pada Kabinet Pembangunan VII (1998), Kabinet Reformasi Pembangunan (1998–1999) dan kembali dipisah sejak Kabinet Persatuan Nasional (1999–2001) hingga sekarang.
Untuk menegaskan hal tersebut, dikeluarkan dua perpres, pertama Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 1983 tentang Pokok-Pokok dan Susunan Organisasi Departeman Hankam dan Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1983 tentang Pokok-Pokok dan Susunan Organisasi Angaktan Bersenjata.
Sesuai Keppres 46/1983, tugas dan fungsi Departemen Hankam adalah sebagai bagian dari pemerintah negara yang dipimpin oleh seorang menteri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pada saat itu, Menhankam dijawab oleh Jenderal TNI Poniman. Bentuk organisasi Departeman Hankam terdiri atas menteri, sekretariat jenderal, inspektorat jenderal, dan direktorat jenderal.
Di sisi lain, berdasarkan Keppres 60/1983, fungsi ABRI dipertegas di bidang pertahanan keamanan dengan ciri angkatan bersenjata sehingga mudah dikembangkan dan mampu mengikuti perkembangan sistem senjata modern. Di dalamnya, ABRI dipimpin oleh Panglima Angkaan Bersenjata (Pangab) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pada saat itu, Pangab dijabat oleh Jenderal TNI Benny Moerdani.
Reorganiasi di tubuh ABRI dilaksanakan di semua tingkatan, mencakup Tingkat Markas Besar, Tingkat Badan Pelaksana Pusat, Tingkat Angakatan/Polri dan Tingkat Komando Utama (Kotama) Operasi.
Pembantu Pimpinan terdiri atas Kepala Staf Umum (Kasum), Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol), dan Inspektur Jenderal dan Perbendaharaan (Irjen).
Tingkat Badan Pelaksana Pusat terdiri atas berbagai bagian, antara lain Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Sekolah Staf dan Komando ABRI (Sesko ABRI), Akademi ABRI (Akabri), Pusat Penerangan ABRI (Puspen ABRI), Mahkamah Militer, hingga Badan Intelijen ABRI (BIA).
Tingkatan angkatan dan kepolisian terdiri atas TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan Polri. Sedangkan tingkat Komando Utama Operasi terdiri atas Komando Strategis Nasional (Kostranas), Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), dan Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan).
Reorganisasi ABRI kembali dilakukan pada tahun 1992 dengan reorganisasi di tiap angkatan. Pada tahun 1997, dilakukan penyempurnaan reorganisasi di tingkat TNI AL, TNI AU, dan Polri.
Artikel Terkait
Tentara Nasional Indonesia (1999)
Pada tahun 1998–1999 jabatan Menteri pertahanan sempat kembali digabungkan dengan Pangab, yakni dalam Kabinet Pembangunan VII (1998) dan Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999) dengan Menhamkam/Pangab dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto. Dalam kabinet selanjutnya, kedua jabatan tersebut kembali dipisahkan hingga saat ini.
Di awal masa Reformasi, mengikuti Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, pemerintah menyiapkan pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijaksanaan dalam rangka pemisahan Polri dan ABRI.
Mengikuti Inpres tersebut dan Keputusan Menghankam/Pangab Nomor Kep/05/P/III/1999, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara resmi berpisah dari ABRI sejak 1 April 1999. Mulai saat itu pula, nama ABRI diganti menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) hingga saat ini. (LITBANG KOMPAS)
KOMPAS/JOHNNY TG
Serah terima jabatan Panglima TNI dari Jenderal Wiranto kepada Laksamana Widodo AS berlangsung di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (4/11/1999).
Catatan Akhir
Markas Tertinggi, Kementerian Pertahanan, Markas Besar Tentara
- Pemimpin Tertinggi TKR Supriyadi (20 Oktober 1945 – 18 Desember 1945), (tak pernah menduduki jabatan)
- Panglima Besar TKR Jenderal Soedirman (1945–1946), Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo (1945–1946)
- Panglima Besar TRI Jenderal Soedirman (17 Mei 1946 – 1947), Kepala Staf TRI Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo (1946–1948)
- Panglima Besar Angkatan Perang Mobil Letnan Jenderal Soedirman (2 Januari 1948–1949), Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Mobil Jenderal Mayor AH Nasution (1948)
- Kepala Staf Angkatan Perang Komodor Suryadarma (1948), Wakil Kepala Staf Angkatan Perang I Kolonel Hidayat (1948), Wakil Kepala Staf Angkatan Perang II Kolonel TB Simatupang (1948–1949)
- Kepala Staf APRIS Letnan Jenderal Soedirman (1949–1950)
- Kepala Staf APRIS Jenderal Mayor TB Simatupang (1950–1954)
- Ketua Gabungan Kepala Staf Jenderal TNI AH Nasution (1955–1959)
- Ketua Gabungan Kepala Staf Laksamana Udara Suryadi Suryadarma (1959–1961)
Markas Besar TNI-Departeman Pertahanan Keamanan
- Menteri Koordinator Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal TNI AH Nasution (1962–1965)
- Menteri Utama Bidang Hankam Jenderal TNI Soeharto (1966–1967), Kepala Staf Hankam Mayor Jenderal TNI MMR Kartakusuma (1966–1969)
- Menhamkam/Pangab Jenderal TNI Soeharto (1967–1973), Wakil Pangab Jenderal TNI Maraden Panggabean (1969–1973), Kepala Staf Hankam Letnan Jenderal Soemitro (1969)
- Menhamkam/Pangab Jenderal TNI Maraden Panggabean (1973–1978), Wakil Pangab Jenderal TNI Soerono Reksodimedjo (1974–1978)
- Menhamkam/Pangab Jenderal TNI M Jusuf (1978–1983), Wakil Pangab Laksamana TNI Soedomo (1974–1983)
Markas Besar TNI-Departemen Pertahanan Keamanan
- Panglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani (1983–1988)
- Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno (1988–1993)
- Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung (1994–1998)
- Menhamkan/Pangab Jenderal TNI Wiranto (1998–2000), Wakil Pangab Laksdya TNI Widoso AS (1998–1999)
- Panglima TNI Laksamana TNI Widodo AS (1999–2002), Wakil Panglima TNI Jenderal TNI Fachrul Razi (1999–2000).
- Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto (2002–2006)
- Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Suyanto (2006–2007)
- Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Santoso (2007–2010)
- Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono (2010–2013)
- Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (2013–2015)
- Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (2015–2017)
- Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (2017–sekarang)
Referensi
- Depdikbud. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV: Republik Indonesia dari Proklamasi sampai Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Depdikbud.
- Depdikbud. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VII: Lahir dan Berkembangnya Orde Baru. Jakarta: Depdikbud.
- Markas Besar TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid I (1945-1949). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.
- Markas Besar TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid II (1950-1959). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.
- Markas Besar TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid III (1960-1965). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.
- Markas Besar TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid IV (1966-1983). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.
- Markas Besar TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid V (1984-2000). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.
- Markas Besar TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid VI (1960-1965). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.
- Nasution, A.H. 1963. TNI:Tentara Nasional Indonesia Jilid 1 (cetakan 2). Jakarta: Ganaco NV.
- Nasution, A.H. 1968. TNI:Tentara Nasional Indonesia Jilid 2 (cetakan pertama). Jakarta: Seruling Masa.
- Nasution, A.H. 1973. TNI:Tentara Nasional Indonesia Jilid 3 (cetakan pertama). Jakarta: Seruling Masa.