IPPHOS
Fakta Singkat
Jumlah pelaku Industri Pertahanan (KKIP)
- 8 perusahaan BUMN
- 33 perusahaan swasta
Program modernisasi alutsista pada 2020
- Matra darat : Rp 4,59 triliun
- Matra laut : Rp 4,16 triliun
- Matra udara : Rp 2,11 triliun
- Total dana : Rp 10,86 triliun
Aturan Pendukung
- UU 16/2012 tentang Industri Pertahanan
- PP 141/2015 tentang Pengelolaan Industri Pertahanan
- Perpres 42/2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan
Industri pertahanan merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung kekuatan pertahanan suatu negara, terlebih pada era modern sekarang ini. Negara yang memiliki industri pertahanan yang maju akan mempunyai kemampuan lebih dalam kekuatan pertahanannya.
Kekuatan pertahanan suatu negara akan lebih mumpuni bila ditunjang dengan kemampuan negara tersebut memproduksi berbagai macam sarana dan prasarana pendukung pertahanan melalui industri pertahanan yang dimilikinya.
Bagi Indonesia, upaya membangun kembali industri pertahanan merupakan kebijakan yang tak terelakkan. Kebutuhan menjaga teritori, proyeksi ancaman masa depan, dinamika politik-keamanan di kawasan, dan menumbuhkan kebanggaan nasional adalah beberapa faktor strategis untuk mengkaji serta menetapkan arah untuk mencapai kemandirian industri pertahanan.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Presiden dan Ny. Tien Soeharto hari Senin (15/4/1985) mengamati Kapal Patroli Cepat tipe 57 yang turun ke air selesai peluncuran. Penyangga kapal milik PT. PAL Indonesia yang digunakan dalam peluncuran merupakan peralatan langka di dunia.
Sejarah industri pertahanan
Industri pertahanan nasional telah berkembang sejak masa pemerintah kolonial Belanda. Ketika itu, terdapat sejumlah industri strategis milik Pemerintah Belanda yang bertugas memasok kebutuhan senjata mereka. Beberapa di antaranya adalah NV de Broom (1865), NV de Vulcaan (1913), NV de Industrie (1887), NV Braat (1901), dan NV Molenvliet (1920).
Setelah Indonesia merdeka, sebagian besar perusahaan tersebut kemudian dinasionalisasi menjadi perusahaan nasional pada masa Kabinet Djuanda, di antaranya PN Boma, PN Bisma, PN Indra, PN Barata, PN Sabang Merauke, dan PN Peprida.
Pada tahun 1960-an, pemerintah menggalakkan pengembangan industri dan manufaktur. Perusahaan-perusahaan nasional tersebut kemudian berkembang menjadi Boma Bisma Indra (1971), Barata Indonesia (1971), Krakatau Steel (1971), Inti (1974), PAL Indonesia (1980), Pindad (1983), LEN Industri (1992), dan Dahana (1973).
Memasuki era 1980-an, pola manajemen industri strategis yang lebih terintegrasi mulai dibangun pemerintah. Awal tahun 1980-an, dibentuk Tim Pengkajian Industri Hankam (TPIH), dilanjutkan dengan Tim Pelaksana Pengkajian Industri Strategis (TPPIS). Kedua tim ini kemudian menghasilkan rekomendasi pembentukan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS).
Sepuluh industri strategis nasional lalu dikonsolidasikan di bawah naungan BPIS. Badan ini kemudian dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 44 Tahun 1989 tentang Badan Pengelola Industri Strategis dengan tujuan agar lebih kompetitif di pasar global.
Keberadaan industri strategis mengalami pukulan berat ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1997/1998. Kemudian berlanjut dengan adanya tekanan dari International Monetary Fund (IMF) yang saat itu memberikan suntikan dana bagi Pemerintah.
Setelah krisis moneter 1998, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 1998 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Industri, industri strategis nasional itu dilebur dalam holding company PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS) untuk mengonsolidasikan orientasi bisnis dan korporasi.
BPIS lalu dibubarkan pemerintah pada tahun 2002 dan industri strategis nasional tersebut berubah lagi menjadi perseroan yang berada di bawah Kementerian BUMN.
Pada tahun 2005, pihak Departemen Pertahanan mulai merancang untuk membangkitkan kembali kinerja industri strategis nasional. Kemudian, disepakati perubahan sebutan dari industri strategis menjadi industri pertahanan.
Langkah tersebut dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pasokan alat peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) dari luar negeri. Selanjutnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 dikukuhkan sebuah badan yang diberi nama Komite Kebijakan Industri Pertahanan atau KKIP. Upaya membangkitkan kinerja industri pertahanan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Payung hukum tersebut diharapkan dapat menjadi akselerator pertumbuhan industri pertahanan nasional. Tidak saja pada modal, padat karya dan menyerap teknologi tinggi, tetapi juga membuka kesempatan bagi Industri milik pemerintah (BUMN-IP) dan kalangan industri milik swasta untuk berkiprah di sektor industri pertahanan dengan batasan yang digariskan dalam UU 16/2012.
Cakupan dan ruang lingkup industri pertahanan
Dalam UU 16/2012, dijelaskan mengenai definisi, tujuan, fungsi, dan ruang lingkup industri pertahanan. Selain itu, diatur pula mengenai kelembagaan, KKIP, pengelolaan industri pertahanan, dan pemasaran produk.
UU tersebut juga mengatur semua pihak yang terlibat dalam kegiatan produksi industri pertahanan agar bekerja secara sinergis sehingga pada akhirnya industri pertahanan dapat berkembang dan dimanfaatkan secara optimal.
Secara umum, industri pertahanan merupakan industri nasional yang terdiri atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan usaha milik swasta baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pengaturan tersebut merupakan suatu upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan industri pertahanan menuju kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dan jasa pemeliharaan alat peralatan TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, serta pihak yang diberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Industri pertahanan bertujuan mewujudkan industri pertahanan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi, dan inovatif; mewujudkan kemandirian pemenuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan meningkatkan kemampuan memproduksi alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan yang akan digunakan dalam rangka membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal.
Adapun industri pertahanan berfungsi, antara lain untuk memperkuat industri pertahanan dan mengembangkan teknologi industri pertahanan yang bermanfaat bagi pertahanan, keamanan, dan kepentingan masyarakat.
Selain itu, industri pertahanan juga berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja; memandirikan sistem pertahanan dan keamanan negara; serta membangun dan meningkatkan sumber daya manusia yang tangguh untuk mendukung pengembangan dan pemanfaatan industri pertahanan.
Secara garis besar, terdapat empat kelompok usaha dalam industri hankam ini. Jenis produk tersebut meliputi land system (matra darat), naval system (matra laut) aerospace (matra udara) serta security (keamanan dan kepolisian).
Industri pertahanan meliputi industri alat utama, industri komponen utama dan/atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan), dan industri bahan baku.
Artikel Terkait
Revitalisasi industri pertahanan
Industri pertahanan mulai dibangkitkan kembali sejak terbitnya UU 16/2002 sebagai payung hukum. Sejak saat itu pula, beragam langkah strategis dilakukan pemerintah untuk membangkitkan industri pertahanan.
Pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) adalah langkah awal untuk membenahi industri pertahanan dalam negeri. Komite yang dipimpin langsung oleh Presiden ini bertugas menentukan arah strategis pembangunan industri pertahanan dalam negeri. Di dalamnya terdapat lima menteri kabinet yang terkait, yaitu Menteri Pertahanan sebagai leading sektor, Menteri BUMN, Menteri Perindustrian, Menteri Riset dan Teknologi, serta Menteri Keuangan.
Komite tersebut memiliki tugas pokok membina industri pertahanan dalam negeri. KKIP juga menyusun rencana induk dan cetak biru industri pertahananan dengan mengutamakan produksi dalam negeri. Selain itu, KKIP bertugas mendorong percepatan pembangunan Minimum Essential Force (MEF) TNI, yang juga dikenal dengan sebutan Kekuatan Pokok Minimum TNI untuk operasi militer dengan pendanaan dari APBN.
KKIP bertugas mendorong percepatan pembangunan MEF TNI dengan memanfaatkan keberadaan PT Dirgantara Indonesia (DI), PT Pindad, dan PT PAL sebagai tiga industri pertahanan terbesar milik negara.
KKIP juga berkontribusi membentuk masterplan revitalisasi industri pertahanan, kriteria industri pertahanan, kebijakan dasar pengadaan alutsista TNI dan Polri, serta verifikasi kemampuan industri pertahanan dan revitalisasi manajemen BUMN industri pertahanan.
KKIP dibentuk untuk mengawal pembangunan alutsista dalam negeri hingga tahun 2029 yang dibagi menjadi empat tahap. Dalam masterplan pembangunan industri pertahanan, program-program pada tahap pertama (2010–2014), yakni penetapan program, stabilisasi dan optimalisasi industri pertahanan, persiapan regulasi, serta persiapan new future products. Program pada tahap kedua (2015–2019), yakni mendukung postur minimal (MEF), peningkatan kemampuan kerja sama produksi, serta pembangunan produk baru.
Selanjutnya, tahap ketiga (2020–2024) memiliki program mendukung postur ideal, pengembangan industri (produk jangka menengah), serta peningkatan kerja sama internasional. Pada tahap keempat (2025–2029), program KKIP adalah kemandirian industri pertahanan, kemampuan berkolaborasi secara internasional, serta pengembangan yang berkelanjutan.
Pada tahun 2029, diharapkan industri pertahanan Indonesia sudah bisa disejajarkan dengan industri pertahanan dunia. Dengan terwujudnya kebangkitan industri pertahanan dalam negeri, Indonesia siap bersaing dengan pasar internasional.
Potret Industri Pertahanan Indonesia
Industri pertahanan Indonesia terus dikembangkan dari hulu sampai hilir dalam satu dekade terakhir. Pelaku industri pertahanan Indonesia meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta. Bisnis yang mereka lakukan seputar memproduksi peralatan militer, memproduksi komponen, menyuplai bahan baku, dan menawarkan jasa perbaikan dan perawatan.
Setidaknya terdapat 41 pelaku usaha yang bergerak di bidang industri pertahanan seperti tercatat dalam Direktori Industri Pertahanan Indonesia Tahun 2018-2019. Para pelaku usaha tersebut terdiri dari delapan industri pertahanan BUMN dan 33 pelaku usaha industri pertahanan milik swasta.
Kedelapan BUMN itu adalah Pindad (Persero), PAL Indonesia (Persero), Dirgantara Indonesia, Nusantara Turbin dan Propulsi, Len Industri (Persero), Inti (Persero), Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero), serta Dahana (Persero).
Adapun Kementerian Pertahanan (Kemhan) mencatat terdapat 102 Badan Usaha Milik Negara/Swasta (BUMN/BUMS) yang bergerak di sektor industri pertahanan di Indonesia. Akan tetapi dari total tersebut, hanya separuh yang aktif atau sebanyak 54 perusahaan. Jika ditotal, BUMN dan BUMS itu memiliki aset senilai Rp 17,3 triliun.
Sementara itu, menurut hasil inventarisasi Persatuan Industri Pertahanan Swasta Nasional (Pinhantanas), terdapat 81 pelaku usaha swasta yang berkecimpung dalam pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) dalam negeri. Mulai dari pabrik pembuat kapal di Tanjung Priok, pembuat radio komunikasi, sistem manajemen perang, hingga bom untuk pesawat tempur. Pinhantanas bertindak sebagai payung bagi badan usaha milik swasta penyedia alpalhankam.
Di sisi perdagangan, selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, hasil industri pertahanan juga dipasarkan ke luar negeri. Tercatat nilai transaksi ekspor yang dibukukan empat industri pertahanan Indonesia, yaitu PT PAL, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Lundin mencapai 284,1 juta dolar AS atau setara lebih dari Rp 4 triliun.
Namun di sisi impor, kebutuhan Indonesia untuk impor alutsista masih cukup tinggi. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebutkan bahwa selama periode 2014–2018, Indonesia rata-rata berada di urutan 12 negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Pemasok senjata tersebut didominasi negara Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda.
Pada 2018, total nilai impor senjata Indonesia sebesar 7,4 miliar dolar AS. Dengan nilai tersebut, Indonesia berada di urutan ke-26 terbesar di dunia dalam hal belanja senjata.
Anggaran yang digelontorkan untuk Kemhan dalam APBN 2020 juga tak main-main. Besarnya mencapai Rp 127,36 triliun, meningkat dari anggaran pertahanan pada 2019, yakni Rp 121 triliun. Jumlah itu terbesar dibandingkan kementerian atau lembaga lainnya.
Dari total anggaran tersebut, Kemhan menganggarkan program modernisasi alutsista pada 2020 sebesar Rp 10,86 triliun, naik 20 persen dari tahun sebelumnya. Nilai itu terdiri dari Rp 4,59 triliun untuk modernisasi alutsista matra darat, Rp 4,16 triliun untuk matra laut, dan Rp 2,11 triliun untuk matra udara.
Perkembangan industri pertahanan di negara lain
Gambaran mengenai perkembangan industri militer di dunia setidaknya dapat dilihat dari data penjualan senjata yang dirilis oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). Menurut laporan SIPRI tersebut, total penjualan senjata secara global di tahun 2018 sebesar 420 miliar dollar AS atau naik 4,6 persen dibanding tahun 2017.
Lembaga riset kekuatan militer dunia yang berpusat di Swedia ini mencatat, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) jadi yang paling mendominasi penjualan senjata maupun jasa terkait militer di berbagai belahan dunia.
Negeri Paman Sam ini menjadi rumah bagi 5 dari 10 perusahaan senjata terbesar di dunia. Bahkan, dari daftar 100 perusahaan produsen senjata paling besar di dunia, sebanyak 43 perusahaan berasal dari AS.
Perusahaan-perusahaan AS itu menyumbang 59 persen dari total penjualan senjata dari 100 kontraktor pertahanan teratas yang ada secara global pada tahun 2018, meningkat 7,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam sejarahnya, Amerika Serikat membangun industri pertahanan secara masif yang dikemudian hari dikenal dengan istilah Military-industrial complex pasca PD I, lalu dikembangkan lagi pada masa kepresidenan Dwight D. Eisenhower era tahun 1950-an. Selanjutnya, Amerika Serikat memerlukan keberadaan industri pertahanan yang masif untuk menyongsong era Perang Dingin ketika dunia sudah dibagi menjadi dua kekuatan besar, yaitu Blok Barat (NATO) dan Blok Timur (Pakta Warsawa).
Di Eropa, pembangunan industri pertahanan di sejumlah negara, seperti Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Rusia, juga berkembang dengan pesat. Lima dari 10 besar perusahaan senjata terbesar di Eropa adalah BAE System (Inggris), Leonardo (Italia), Almaz-Antey (Rusia), dan Thales (Perancis). Hingga saat ini, Amerika Serikat juga banyak membeli peralatan militer dari pihak industri Eopa seperti dari BAE Systems, Leonardo, dan lainnya.
Seiring dengan berbagai krisis ekonomi yang melanda dunia dan tujuan efisiensi, berbagai industri pertahanan ternama di benua Eropa saling melakukan merger sehingga biaya penelitian dan pengembangan dan produksi dapat ditekan. Hasilnya, muncul grup perusahaan seperti EADS (sekarang dikuasai Airbus) dan MBDA yang merupakan industri misil gabungan dari Matra, BAE Dynamics, dan Alenia.
Di Asia Tenggara, negara kecil Singapura juga melakukan upaya mandiri untuk pemenuhan kebutuhan Angkatan Bersenjatanya. Chartered Industrial Singapore merupakan Industri pertahanan Singapura yang cukup dikenal secara global.
Untuk mendukung kegiatan industri pertahanan ini, Singapura juga membentuk badan yang disebut sebagai Defence Science and Technology Agency (DSTA), badan pemerintah yang ditujukan sebagai badan yang mengatur dan mengawasi kegiatan penelitian dan pengembangan, produksi peralatan pertahanan serta pengembangan infrastruktur pertahanan bagi Kementerian Pertahanan Singapura. Badan ini juga melibatkan perguruan-perguruan tinggi terkemuka di Singapura.
Capaian dan tantangan industri pertahanan nasional
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024, disebutkan mengenai pencapaian dan beragam upaya menjaga stabilitas keamanan nasional. Salah satu yang disebut adalah dukungan industri pertahanan yang dinilai belum optimal.
Di sisi pencapaian, pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan telah berhasil menciptakan Indonesia yang lebih aman dan pertahanan negara yang lebih kuat. Hal itu dapat dilihat dari pencapaian target tiga sasaran pokok pembangunan bidang pertahanan dan keamanan, yaitu pencapaian Minimum Essential Force (MEF), kontribusi industri dalam negeri terhadap industri pertahanan, dan laju prevalensi penyalahgunaan narkoba.
Beberapa kebutuhan alutsista TNI sudah mampu dipenuhi oleh industri pertahanan. Namun, untuk beberapa jenis alutsista strategis seperti, pesawat tempur, kapal perusak, roket, rudal, UCAV, dan radar masih belum mampu didukung oleh industri pertahanan.
Tantangan yang dihadapi, di antaranya ada pada keterlibatan dalam penguasaan teknologi kunci dan kemampuan integrasi sistem. Dua hal tersebut merupakan syarat agar industri pertahanan dapat meningkatkan kontribusi bagi pemenuhan alutsista TNI, sekaligus memiliki daya saing internasional guna menjadi bagian dari global supply chain. Hal tersebut dapat terwujud dengan dukungan reformasi anggaran di bidang pertahanan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Kemandirian Industri Pertahanan”, Kompas, 26 April 2012, hlm. 7.
- “Era Kebangkitan Industri Pertahanan”, Kompas, 23 November 2012, hlm. 7.
- “Aspek Strategis Industri Pertahanan”, Kompas, 14 Februari 2015, hlm. 7.
- “Induk Pertahanan Dibentuk”, Kompas, 08 April 2019, hlm. 15.
- “Industri Pertahanan: Aturan Kerahasiaan Perlu Disusun”, Kompas, 8 November 2019, hlm. 3.
- “Pertahanan: Prabowo Ingin Anggaran Lebih dari Rp 127 Triliun”, Kompas, 12 November 2019, hlm. 2.
- “Optimalisasi Anggaran Pertahanan”, Kompas, 16 Desember 2019, hlm. 7.
- Anggaran Naik, Modernisasi Malah Tersendat”, Kompas, 17 Desember 2019, hlm. D.
- “Pertahanan Semesta 4.0”, Kompas, 22 Januari 2020, hlm. 7.
- “Industri Pertahanan: Produksi Pesawat Tempur dan Kapal Selam Dievaluasi”, Kompas, 23 Januari 2020, hlm. 2.
- “Indonesia 2045 Pertahanan Modern Butuh Penguatan Kapabilitas Sipil”, Kompas, 13 Februari 2020, hlm. 1.
- “10 Perusahaan yang Untung Gede karena Perang, dari AS Mendominasi”, Kompas.com, 8 Januari 2020.
- https://www.sipri.org/databases/milex. Diakses 3/10/2020
- https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=indonesia. Diakses 3/10/2020
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
- Peraturan Pemerintah Nomor 141 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Industri Pertahanan
- Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan ALPALHANKAM dari Luar Negeri
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan
- Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 tentang Organisasi, Tata Kerja, dan Sekretariat Komite Kebijakan Industri Pertahanan
- Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024
- Kementerian Pertahanan Republik Indonesia Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/104/M/I/2020 tentang Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2020
- Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara Tahun 2015-2019
- Karim, Silmy. 2014. Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis Untuk Pertahanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2011