Manuver rendah Pesawat Tempur F-16 (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)
Fakta Singkat
Dibuat pertama kali tahun 1974
Pesawat ini awalnya merupakan prototipe uji coba guna menciptakan pesawat yang ringan dan berbiaya rendah
Gagasan dari The Lightweight Fighter Mafia
Mantan pilot pesawat tempur Angkatan Udara Kolonel John Boyd dan sekelompok analis teknologi tempur yang dikenal sebagai “Mafia Tempur” mengusulkan bentuk jet tempur yang ideal.
Program Lightweight Fighter (LWF)
Program untuk menciptakan prototipe dinamakan Lightweight Fighter dimulai tahun 1971.
Pesawat tempur paling laris
Hingga sekarang pesawat tempur ini telah dioperasikan oleh 25 negara dan sebanyak 4.588 telah diproduksi.
139 versi jet F16
Menurut Lockheed Martin, telah ada 10 blok produksi F-16, dari Blok 1 pada 1979 hingga Blok 70/72 terbaru. Total 139 versi jet telah diproduksi selama empat dekade terakhir.
Masa perang dingin ditandai dengan persaingan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet (US). Persaingan keduanya tidak hanya berebut pengaruh antara paham liberal dengan sosialis komunis, tetapi juga persaingan dalam hal pengembangan teknologi khususnya teknologi militer.
Pada tahun 1970, ketika Rusia melalui pabrikan Mikoyan Gurevich merilis pesawat tempur supersonic MiG-25 Foxbat, pihak AS merasa khawatir. Informasi yang beredar bahwa pesawat tempur MiG-25 Fokbat memiliki keunggulan di udara yang mampu mengalahkan kekuatan udara AS karena selain memiliki kecepatan tinggi, juga dibekali radar canggih dan empat buah misil udara. Merespons kabar tersebut, AS segera melakukan pengembangan teknologi terhadap pesawat tempur F-15 Eagle yang kala itu memang sedang tahap penyempurnaan.
Namun, desain F-15 Eagle mendapat masukan dari seorang mantan pilot pesawat tempur Angkatan Udara Kolonel John Boyd dan sekelompok analis teknologi tempur dari Dinas AU dan Departemen Pertahan AS yang bernama The Lightweight Fighter Mafia. Mereka menginginkan sebuah desain alternatif pesawat tempur yang lebih ringan dan efektif dalam bermanuver. Pesawat tempur yang telah ada seperti F-15 Eagle, F-4 Phantom, dan F-14 Tomcat dinilai masih terlalu berat dan kompleks.
Pesawat tempur F-16 TNI AU terbang saat perayaan HUT Ke-72 TNI AU di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta (9/4/2018). (KOMPAS/RIZA FATHONI)
Infografik Terkait
Program Lightweight figher (LWF)
Sebagai mantan pilot kombatan, Boyd berpendapat bahwa sebuah pesawat tempur tangguh harus memperhitungkan faktor aerodinamika dan daya dorong mesin. Pemikiran Boyd ini kemudian diformulasikan hingga menjadi dasar pembuatan pesawat tempur generasi baru melalui program yang dinamakan Lightweight figher (LWF). Program yang dimulai pada Mei 1971 ini, mendapat dukungan dari Kongres Amerika Serikat yang menggelontorkan anggaran sebesar US$ 50 Juta.
Pada Februari 1972, enam pabrikan mengajukan proposal desain, semuanya berdasarkan dua pertimbangan utama: radius putar dan akselerasi. Dua bulan kemudian, terpilih prototipe dari General Dynamics Model 401-16B dan Northrop P-600. Kedua prototipe ini diberi kode YF-16 dan YF-17. Prototipe keduanya memiliki berat sekitar 20.000 pon kosong, yang relatif ringan dibandingkan dengan F-15 seberat 28.000 pon dan F-14 seberat 40.000 pon.
Pada tanggal 2 Januari 1974 ketika kedua protipe diuji coba terbang di Pusat Uji Penerbangan Angkatan Udara di Edwards AFB, California, empat Negara NATO yaitu Belgia, Belanda, Denmark, dan Norwegia berkeinginan memesannya. Adanya permintaan keempat negara tersebut membuat program LWF diganti menjadi program Air Combat Fighter (ACF). Keputusan ini diambil oleh Sekretaris pertahanan James R. Schlesinger yang mengubah program ini bukan lagi program demo teknologi.
Setelah 10 bulan pengujian, dipilih prototipe YF-16 karena dinilai memiliki kemampuan manuver yang jauh lebih baik dan biaya yang lebih rendah daripada YF-17. YF-16 resmi diproduksi secara massal dengan nama F-16. Sementara itu, prototipe YF-17 kendati kalah tender tetap dikembangkan dan menjadi cikal bakal F/A-18 Hornet Angkatan Laut AS.
Pada Januari 1975, Angkatan Udara AS mengumumkan akan membeli setidaknya 650 unit dari General Dynamics. Pesanan juga datang dari empat negara NATO, yaitu Belgia, Denmark, Belanda, dan Norwegia. Total jumlah unit yang dipesan keempatnya mencapai 998 unit yang digunakan sebagai pengganti pembom tempur Lockheed F-104G Starfighter mereka.
Sebelum dekade pertama produksi berlalu, sebanyak 17 angkatan udara dari 16 negara telah memesan lebih dari 3.000 F-16. AS membentuk konsorsium bersama Belgia, Denmark, Belanda, Norwegia dalam memproduksi massal F-16. Keempat negara ini bersama-sama memproduksi 348 F-16 awal untuk angkatan udaranya masing-masing. Konsorsium ini juga menyatukan pabrikan komponen di lima negara bersangkutan.
Pesawat tempur F-16 Fighting Falcon ketika diresmikan menjadi bagian dalam Skadron Udara 3 TNI-AU. Peresmian dilakukan oleh Pangab Jenderal Try Sutrisno dalam suatu upacara di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur.(KOMPAS/ KARTONO RYADI)
Infografik Terkait
Swing fighter
Sebagai pesawat tempur generasi ke 4, teknologi F-16 mengungguli F-15. Inovasi F-16 terletak pada fly by wire hingga negative stability. Teknologi fly by wire memungkinan F-16 dari awal tidak menghubungkan kontrol pilot dan pesawat secara langsung. Sebaliknya, tuas control dan kendali dihubungkan dengan komputer sehingga sangat membantu pilot dalam mengontrol pesawatnya secara otomatis. Karakter negative stability yang dimiliki F-16 juga turut mengurangi beban dan gaya hambat pesawat.
Segala kelebihan F-16 tersebut tidak lantas mengganti peran pesawat tempur F-15. Superior F-15 telah lama dibuktikan oleh angkatan udara AS. Dalam beberapa kondisi, F-15 masih tetap lebih unggul. Untuk itu, Angkatan udara AS menempatkan F-16 sebagai “swing fighter”. Selain berperan dalam misis air-to-air, F-16 juga berperan dalam misi air-to-ground. Sementara misi F-15 meneruskan misi murni air-to-air.
Pengembangan F-16
Peran F-16 dalam misi air-to-ground mengubah F-16 produksi pertama menjadi pesawat tempur multiperan. Sepanjang masa produksinya, F-16 telah melalui serangkaian perubahan evolusioner. Pesawat F-16 model kursi tunggal pertama kali terbang 1976. Sedangkan F-16A diterima oleh Angkatan Udara AS Januari 1979. Huruf A pada F-16A mengacu pada pesawat kursi tunggal Block 1-20. Istilah “block” sendiri menunjukkan evolusi F-16. Pesawat Block 15 adalah yang paling banyak jumlahnya, dan banyak di antaranya masih terbang hingga saat ini.
Disamping F16A, General Dynamics juga memproduksi F-16B. Pesawat dengan model kursi ganda ini ditingkatkan pada bagian kokpitnya. Melalui program multinasional stage improvement F-16, dihasilkan varian terbaru F-16C dan F-16D. F16C merupakan penyempurnaan dari F-16A. Sedangkan F16D merupakan penyempurnaan dari F16B. Pesawat Block 25 menandai evolusi dari F-16A/B ke F-16C/D. Blok 25 ini memungkinkan F-16 untuk membawa AMRAAM sebagai senjata dasar.
Versi Block 30/32 (tahun 1986) menambahkan dua mesin baru ke lini F-16, yaitu Pratt & Whitney F100-PW-220 dan General Electric F110-GE-100. Blok 30/32 dapat membawa rudal anti-radiasi berkecepatan tinggi AGM-88A, atau HARM.
F-16 Block 40/42 (tahun 1988) ditingkatkan kemampuannya untuk navigasi dan serangan presisi di malam hari dan dalam segala kondisi cuaca. Seri ini juga menukar kontrol penerbangan analog aslinya dengan sistem digital dan avionik inti baru.
Pada tahun 1991, mulai dikembangkan F-16 Blok 50/52 yang mampu membawa empat rudal HARM serta dilengkapi dengan radar APG-68(V9) yang mampu mendeteksi target jarak jauh udara.
Hingga kini, pabrik F-16 di Greenville, Carolina Selatan, milik Lockheed Martin, masih aktif memproduksi pesawat tempur. Lockheed Martin mengakuisisi bisnis pesawat General Dynamics pada 1993. Saat ini, Lockheed Martin terus mengembangkan versi Block 70/72. F-16 Block 72 dijuluki The Viper.
Artikel Terkait
Pesawat tempur supersonik F-16 Fighting Falcon mendarat usai melakukan atraksi demo di udara Halim Perdanakusuma. (10/4/1995). (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)
Jet Tempur Terlaris
Berbagai pengembangan yang telah dilakukan menjadikan F-16 sangat evolusioner dan banyak digunakan sejumlah negara guna mendukung operasi. Di antaranya operasi penyapuan rudal-rudal pertahanan udara milik The Palestine Liberation Organization (PLO) di Lembah Bekka, Lebanon (1978) hingga operasi Badai Gurun di Teluk Persia (1991).
Pada Juli 1981, Angkatan Udara Israel (IAF) meluncurkan Operasi Opera, yang menampilkan delapan F-16A, masing-masing membawa dua bom tak terarah seberat 2.000 pon. Kemenangan udara pertama Fighting Falcon datang dari IAF pada April 1982 ketika menembak jatuh MiG-23 Angkatan Udara Suriah.
Kesuksesan dalam pertempuran dikombinasikan dengan biaya yang relatif rendah dan keserbagunaannya membuat F-16 menjadi jet tempur terlaris. Pada Mei 1982, Venezuela sudah menjadi pelanggan Fighting Falcon ke-10. Pada bulan April 1983, tim demonstrasi Thunderbirds AS menerbangkan pertunjukan udara publik pertamanya dengan F-16.
Hingga sekarang pesawat tempur ini telah dioperasikan oleh 25 negara dan sebanyak 4.588 telah diproduksi. Hal ini menjadikan F-16 jet tempur supersonik Amerika kedua yang paling banyak diproduksi setelah F-4 Phantom. Menurut Lockheed Martin, telah ada 10 blok produksi F-16, dari Blok 1 pada 1979 hingga Blok 70/72 terbaru. Totalnya sebanyak 139.
F-16 TNI AU
Pesawat Tempur F-16 juga diminati oleh Angkatan Udata Indonesia sebagai penjaga kedaulatan wilayah udaranya. Keinginan memiliki F-16 mulai direalisasikan setelah pameran Indonesia Air Show tanggal 22 Juni – 1 Juli 1986. Panglima ABRI kala itu, Jenderal LB Moerdani mengatakan Indonesia memilih F-16 karena terbukti banyak negara yang memakainya juga relatif murah.
Satu tahun kemudian, tahun 1987, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) bersama General Dynamics sepakat melakukan perjanjian dalam pengadaan 12 F-16 secara imbal produksi. Dalam imbal produksi itu, IPTN mendapatkan kesempatan memproduksi komponen pesawat tempur dan pengalihan teknologi dari General Dynamics senilai 35 persen dari total biaya.
Tanggal 12 Desember 1989, dua pesawat Tempur F-16, yaitu F-16A dan F-16B yang telah tiba, dari 12 yang dipesan, diresmikan menjadi bagian Skuadron 3 Lanud Iswajhudi, Madiun, Jawa Timur. Gelombang selanjutnya kemudian datang pada 7 Januari 1990, 7 Mei 1990, dan 22 September 1990.
Indonesia kembali menambah pesawat tempur F-16 pada tahun 2014 dengan varian F-16 C/D. Sebanyak 24 F-16 unit didapat Indonesia melalui model hibah dari AS. Pengadaan melalui hibah ini sempat menuai polemik dari berbagai pihak karena pesawat yang didapat merupakan pesawat bekas.
Saat itu, DPR awalnya ingin memprogramkan pembelian enam pesawat F-16 baru blok 52 dengan anggaran 430 juta dollar AS yang dimulai pada APBN 2011. Alasannya, agar kehadiran pesawat tempur itu bisa menjadi efek getar dan daya tangkal yang cukup untuk menggantikan F-16 yang lama. Namun, akhirnya pemerintah memutuskan menerima hibah 24 pesawat F-16 dari AS.
Anggaran yang awalnya untuk pengadaan enam pesawat F-16 baru dipakai untuk ongkos hibah dan meningkatkan kemampuan 24 pesawat hibah itu dari blok 25 menjadi blok 52. Proyek peremajaan ini dinamakan Peace Bimasena II senilai 700 juta dollar AS (sekitar Rp9,1 triliun). Ke-24 F-16 tersebut mengisi kekuatan utama Skuadron Udara 3 Lanud Iswahyudi, Madiun, dan Skuadron Udara 16 Lanud Rusmin Nuryadin, Pekanbaru.
Artikel terkait
Referensi
- Green, William. 2004. The Complete Book of Fighter: An Illustrated Encyclopedia of Every Fighter Aircraft Built and Flown. London: Greenwich Editions.
- 1979. The World’s Air Forces. New Jersey: Chartwell Books.
- 2008. Majalah Angkasa edisi koleksi No.XLIV. Jakarta
- “Pemberian Nama Pesawat Tempur Serba Guna F-16 Fighting Falcon”. KOMPAS, 23 Juli 1980, hal.7.
- “RI pilih pesawat F-16, biayanya lebih murah, KOMPAS, 19 Juni 1986, hal. 1.
- “Pembelian Pesawat F-16 Secara Imbal Produksi”, KOMPAS, 20 Juni 1987, hal. 2.
- “Dua pesawat F-16 tiba di Iswahyudi “, KOMPAS, 12 Desember 1989, hal. 1.
- “Sebanyak 18 F-16 Sudah Diterima”, KOMPAS, 22 Maret 2017, hal. 5.