Daerah

Kota Tangerang: Kota Seribu Industri Sejuta Jasa

Kota Tangerang dikenal sebagai “Kota Seribu Industri Sejuta Jasa” karena banyaknya jumlah industri yang dibangun dan berproduksi secara aktif serta berkembangnya sektor jasa. Kota ini juga menjadi salah satu hunian favorit bagi pemukim urban. Ke depan, Pemerintah Kota Tangerang ingin membangun kota yang semakin layak huni, layak investasi, dan layak dikunjungi.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Tugu jam yang berada di pertigaan Pasar Lama, Kota Tangerang, Banten, Rabu (25/2/2015). Tugu jam tersebut merupakan penanda titik nol kilometer Kota Tangerang

Fakta Singkat

Hari Jadi
28 Februari 1993

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 02/1993

Luas Wilayah
164,54 km2

Jumlah Penduduk
1.895.486 jiwa (2020)

Kepala Daerah
Wali Kota Arief Rachadiono Wismansyah
Wakil Wali Kota Sachrudin

Instansi terkait
Pemerintahan Kota Tangerang

Kota Tangerang merupakan bagian dari Provinsi Banten. Wilayah yang termasuk ke dalam bagian Tangerang Raya ini berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta. Letaknya yang strategis ini turut mendorong bertumbuhnya aktivitas industri, pedagangan, dan jasa yang merupakan basis perekonomian dari kota ini.

Kota ini merupakan kota terbesar di Provinsi Banten yang terbesar ketiga di kawasan Jabodetabek. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga Ibu kota Negara DKI Jakarta.

Dulunya, Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang. Statusnya kemudian ditingkatkan menjadi Kota Administratif berdasarkan  PP 50/1981 tentang Pembentukan Kota Administratif Tangerang.

Sejak 28 Februari 1993, statusnya ditetapkan sebagai kotamadya berdasarkan UU 2/1993 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang. Dengan peresmian itu, ketika itu, daerah Tangerang merupakan Dati II yang ke-25 di Jawa Barat atau yang ke 295 di Indonesia.

Hari Jadi Kota Tangerang diperingati setiap tanggal 28 Februari setiap tahunnya. Penetapan hari jadi tersebut didasarkan pada tanggal disahkannya Kota Administratif Tangerang menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang pada tanggal 28 Oktober 1993.

Kota Tangerang memiliki wilayah seluas 165,54 km2 dan secara administrasi terbagi dalam 13 kecamatan yang memiliki 104 desa/kelurahan. Jumlah penduduk Kota Tangerang sebanyak 1,89 juta jiwa menurut Sensus Penduduk 2020. Adapun kepala daerah yang sedang menjabat saat ini adalah Wali Kota Arief Rachadiono Wismansyah dan Wakil Wali Kota Sachrudin.

Dalam RPJMD Kota Tangerang 2019-2023, kota ini mengusung visi: “Terwujudnya Kota Tangerang yang Sejahtera, Berakhlakul Karimah, dan Berdaya Saing.

Adapun misinya ada tiga, yakni pertama, bersama mengembangkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial dengan mewujudkan tata kelola pemerintah yang profesional dan berintegritas. Kedua, bersama meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana kota yang berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Ketiga, bersama meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mandiri dan berkeadilan.

Pada tahun 2017, Kota Tangerang mem-branding sebagai “Kota Seribu Industri Sejuta Jasa”. Sebagai salah satu pusat industri di Pulau Jawa, di kota ini berdiri banyak perusahaan lokal maupun internasional. Adapun kawasan industri di kota ini antara lain terletak  di Jatiuwung, Cimone, dan Kosambi.

Di samping itu, segala bentuk pelayanan dan perizinan dipermudah. UMKM juga menjadi salah satu yang diunggulkan untuk pengembangan sektor perdagangan.

Sejarah Pembentukan

Terbentuknya Kota Tangerang tak lepas dari sejarah perjuangan Kesultanan Banten melawan kolonialisme Belanda pada abad ke-15.

Dikutip dari laman resmi Kota Tangerang dijelaskan, lahirnya Tangerang bermula dari sebutan kepada sebuah bangunan tugu berbahan dasar bambu yang didirikan oleh Pangeran Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten.

Tugu tersebut terletak di bagian barat Sungai Cisadane yang diyakini saat ini berada di wilayah kampung Gerendeng. Oleh masyarakat sekitar, bangunan tugu tersebut disebut “tengger” atau “tetengger” yang dalam bahasa sunda berarti tanda atau penanda.

Sesuai dengan julukannya, fungsi dari tugu tersebut sebagai penanda pembagian wilayah antara Kesultanan Banten dengan pihak VOC Belanda. Wilayah kesultanan Banten berada di sebelah barat sedangkan wilayah yang di kuasai VOC di sebelah timur Sungai Cisadane.

Hingga pada sekitar tahun 1652, kala itu penguasa Banten mengangkat tiga orang maulana, yang diberi pangkat Aria. Dalam kepercayaan Islam, nama “maulana” sering diberikan kepada bayi laki-laki. Dalam bahasa Arab ditulis “mawlana” dan memiliki makna yang sangat dalam. Secara umum dalam bahasa Arab adalah ‘pelindung’ atau bisa juga dimaknai “tuan kami”.

Ketiga maulana tersebut merupakan kerabat jauh Sang Sultan yang berasal dari Kerajaan Sumedang Larang, bernama Yudhanegara, Wangsakara dan Santika. Ketiganya diminta dan diutus untuk membantu perekonomian Kesultanan Banten dengan melakukan perlawanan terhadap  VOC yang semakin merugikan Kesultanan Banten dengan sistem monopoli dagang yang diterapkannya.

Pada perjuangannya, ketiga maulana tersebut membangun benteng pertahanan hingga mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana gugur satu demi satu. Aria Santika wafat pada tahun 1717 di Kebon Besar Kecamatan Batuceper, Aria Yudhanegara wafat pada tahun 1718 di Cikolol dan pada tahun yang sama Aria Wangsakara menutup usia di Ciledug dan di makamkan di Lengkong Kiai.

Daerah di sekitar benteng pertahanan yang dibangun oleh ketiga maulana disebut masyarakat sekitar dengan istilah daerah “Benteng”. Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan Kota Benteng.

Berubahnya istilah “Tangeran” menjadi “Tangerang” bermula pada tanggal 17 April 1684, pada saat ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar  putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten dengan VOC. Pada salah satu pasal perjanjian tersebut menyebutkan bahwa wilayah yang kala itu dikenal dengan “Tangeran” sepenuhnya menjadi milik dan ditempati oleh VOC.

Dengan adanya perjanjian tersebut, daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda tetapi juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan di sekitar wilayah benteng. Tentara VOC yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”. Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.

Berlanjut ke masa pemerintahan awal di Tangerang pasca ditandatanganinya perjanjian Banten dengan VOC. Kala itu, Pemerintah Belanda membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Kesultanan Banten di bawah pimpinan seorang bupati. Para bupati yang pernah memimpin Tangerang di era pemerintahan Belanda pada periode tahun 1682-1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII.

Setelah pemerintahan keturunan Aria Soetadilaga, Belanda menghapus pemerintahan ini dan memindahkannya ke Batavia. Kemudian Belanda membuat kebijakan, sebagian tanah di Tangerang dijual kepada orang-orang kaya di Batavia.

KOMPAS/EDDY HASBY

Di sekitar Mekarsari, Neglasari, Kota Tangerang, Banten berdekatan bendung Pasar Baru di Sungai Cisadane, banyak diketemukan batu gilingan tebu (suikermolen) yang merupakan bukti sejarah adanya kilang gula di abad ke-18 sampai ke-19.

Nama Tangerang menjadi nama resmi pertama kali pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pemerintah Jepang saat itu sempat melakukan pemindahan pusat pemerintahan Jakarta Ken (wilayah administratif setingkat Kabupaten) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M. Atik Soeardi.

Peristiwa ini berdasarkan kepada keputusan Gunseikanbu, yang merupakan pimpinan Departemen Militer Jepang, tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834. Keputusan tersebut juga akhirnya menunjuk Atik Soeardi untuk menjabat pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat dan Raden Pandu Suradiningrat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944).

Seiring berjalannya waktu, daerah Tangerang yang kala itu berbentuk Kabupaten Daerah Tingkat II mengalami perkembangan yang pesat. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota menjadikan beberapa kecamatan yang berbatasan langsung menjadi pusat segala kegiatan baik pemerintah, ekonomi, industri dan perdagangan, politik, sosial budaya.

Hal tersebut mendasari pemerintah memandang perlu untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan secara khusus. Maka pada tanggal 28 Februari 1981, terbit PP 50/1981 tentang Pembentukan Kota Administratif Tangerang.  Adapun wilayah Kota Administratif Tangerang saat itu meliputi Kecamatan Tangerang, Kecamatan Batuceper, Kecamatan Ciledug, Kecamatan Benda dan Kecamatan Jatiuwung.

Dalam kurun waktu 12 tahun, Kota Administratif Tangerang berkembang pesat di segala bidang, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan.

Dinamika kehidupan perekonomian kota ditandai dengan berkembangnya unit-unit usaha dan perdagangan. Derasnya arus urbanisasi  juga memicu lajunya pertumbuhan penduduk yang mencapai mencapai 8,27 persen. Kondisi ini akhirnya berpengaruh pula pada kehidupan sosial-politik, budaya, dan perekonomian masyarakat.

Perkembangan tersebut sejalan dengan Perda Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Nomor 4 Tahun 1985 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota yang peruntukannya sebagai daerah industri, perumahan, perdagangan, dan jasa dalam skala lokal, regional, nasional, dan internasional.

Dalam perkembangannya, proses pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang diawali dengan adanya aspirasi sejumlah tokoh masyarakat yang disampaikan kepada Yitno selaku Walikota Administratif Tangerang. Aspirasi itu kemudian direstui oleh Tadjus Sobirin sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang pada waktu itu dan diproses melalui DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang.

Proses pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang secara keseluruhan berlangsung selama 5 tahun 8 bulan 27 hari yaitu sejak tanggal 1 Juni 1987 sampai dengan 28 Februari 1993 dan secara resmi Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang menjadi Daerah Otonom Ke-25 di Jawa Barat dan Ke-312 se-Indonesia.

Selanjutnya  Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, Rudini pada hari Minggu tanggal 28 Februari 1993 sekaligus melantik Djakaria Machmud sebagai Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang.

Sejalan dengan ditetapkannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebutan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang berubah menjadi Kota Tangerang.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Museum Benteng Heritage di dalam kompleks Pasar Lama Kota Tangerang.

Geografis

Kota Tangerang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang di sebelah utara dan barat, Kota Tangerang Selatan di sebelah selatan, serta Daerah Khusus Ibukota Jakarta di sebelah timur.

Adapun total luas keseluruhan dari daerah ini adalah 164,55 km2 dengan 19,69 km2 diantaranya merupakan Bandara Internasional Soekarno Hatta. Dengan luas wilayah yang hanya sekitar 1,59 persen dari luas Provinsi Banten, Kota Tangerang merupakan wilayah terkecil kedua setelah Kota Tangerang Selatan.

Sementara itu, secara astronomis Tangerang Kota terletak pada 106°36’–106°42′ Bujur Timur dan 6°06’–6°13’ Lintang Selatan. Pinang merupakan kecamatan terluas di Tangerang Kota, sedangkan kecamatan Benda merupakan kecamatan Tangerang yang paling kecil.

Secara topografis, Kota Tangerang sebagian besar berada pada ketinggian 10-30 mdpl di atas permukaan laut, sedangkan bagian utaranya meliputi sebagian besar Kecamatan Benda ketinggiannya berkisar antara 0-10 mdpl.

Wilayah Kota Tangerang dilintasi oleh Sungai Cisadane yang membagi Kota Tangerang menjadi dua bagian, yaitu bagian timur sungai dan bagian barat sungai. Selain Sungai Cisadane, terdapat pula sungai-sungai lain seperti Sungai Cirarab, Kali Ledug, Kali Sabi, Kali Cimode, Kali Pembuangan Cipondoh, Kali Angke, Kali Wetan, Kali Pasanggrahan, Kali Cantiga, dan Kali Pondok Bahar.

Adapun situ yang berfungsi sebagai reservoir atau resapan air adalah Situ Cipondoh, Gede, dan Cangkring.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Suasana kawasan Situ Cipondoh, Kota Tangerang, Jumat (10/2/2017). Situ Cipondoh tidak hanya berfungsi untuk resapan air namun juga berkembang sebagai kawasan ekowisata.

Pemerintahan

Sejak berstatus sebagai Kota Administratif, Tangerang pernah dipimpin oleh tiga Wali Kota Administratif, yaitu Karso Permana (1982-1986),  Yitno (1986-1990), dan Djakaria Machmud (1990-1993).

Kemudian ketika berstatus sebagai Kotamadya Tangerang hingga sekarang, Kota Tangerang telah dipimpin oleh empat wali kota. Djakaria Machmud terpilih sebagai Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang yang pertama untuk periode 1993 – 1998. Kemudian Wali Kota Tangerang berikutnya adalah Moch. Thamrin (1998-2003), Wahidin Halim (2003 – 2013), dan Arief Rachadiono Wismansyah (2013-2023).

Secara administratif, wilayah Kota Tangerang terbagi menjadi 13 kecamatan dan 104 kelurahan. Ke-13 kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah, Cipondoh, Pinang, Tangerang, Karawaci, Cibodas, Jatiuwung, Periuk, Neglasari, Batuceper, dan Benda.

Untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, Pemerintah Kota Tangerang didukung oleh 7.764 orang pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 2020. Berdasarkan jenis kelamin, persentase jumlah PNS perempuan sebesar 59,63 persen sedangkan PNS laki-laki sebesar 40,37 persen. Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan, PNS berpendidikan SMA ke bawah sebesar 15 persen, Diploma 10 persen dan Sarjana mencapai 75 persen.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Arief Rachadiono Wismansyah – Sachrudin, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang.

Politik

Dalam tiga kali penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), peta politik di Kota Tangerang berlangsung dinamis. Hal itu tampak dari perolehan kursi partai politik (parpol) di DPRD Kota Tangerang.

Di Pemilu Legislatif 2004, partai Golkar merupakan partai pemenang Pemilu di Kota Tangerang dengan perolehan kursi di DPRD sebanyak sembilan kursi, diikuti oleh PKS dan Demokrat tujuh kursi, PDIP, PPP dan PAN masing-masing lima kursi, PKB, PBR dan PBB dua kursi, serta PPDK dengan satu kursi.

Di Pemilu legislatif 2009, giliran  Partai Demokrat yang memenangkan perolehan kursi terbanyak di DPR Kota Tangerang  dengan perolehan 13 kursi. Disusul Golkar dan PKS yang masing-masing meraih enam kursi. Kemudian PPP, PDI-P, dan Gerindra masing-masing memperoleh lima kursi, PAN memperoleh empat kursi, PKB meraih tiga kursi, Hanura dua kursi dan PKNU hanya meraih satu kursi.

Lima tahun kemudian, di Pemilu Legislatif 2014,  giliran PDI-P yang meraih kursi terbanyak dengan perolehan 10 kursi. Disusul Golkar dan Gerindra masing-masing enam kursi, Demokrat, PKB dan PPP masing-masing lima kursi, PKS dan PAN masing-masing empat kursi, Hanura tiga kursi dan Nasdem dua kursi.

Terakhir, di Pemilu Legislatif 2019, PDI-P kembali meraih kursi terbanyak dengan 10 kursi. Sedangkan 40 kursi lainnya adalah perwakilan dari Gerindra (8), PKS (6), Golkar (6), PKB (5), Demokrat (5), Nasdem (3), PAN (3), PPP (3), dan PSI (1).

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pesan untuk tidak golput dalam pemilu disampaikan lewat salah satu mural di Kota Tangerang, Banten, Selasa (9/4/2019). Partisipasi warga untuk menggunakan hak pilihnya akan turut menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2019 yang berlangsung pada 17 April mendatang. Komisi Pemilihan Umum menargetkan partisipasi Pemilu 2019 mencapai 77,5 persen.

Kependudukan

Menurut hasil Sensus Penduduk (SP) 2020, jumlah penduduk Kota Tangerang tercatat sebanyak 1,89 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 959,01 ribu jiwa (50,59 persen) berjenis kelamin laki-laki dan 936,48 ribu jiwa (49,41 persen) berjenis kelamin perempuan.

Cipondoh tercatat sebagai kecamatan dengan penduduk terbanyak, yakni mencapai 248,21 ribu jiwa (13,09 persen) dari total populasi. Sementara Benda merupakan kecamatan dengan penduduk paling sedikit, yaitu hanya 83,53 ribu jiwa (4,41 persen) dari total populasi.

Berdasarkan kelompok umur, sebanyak 1,34 juta jiwa (70,66 persen) penduduk merupakan usia produktif (usia 15-64 tahun). Sementara 556,21 ribu jiwa (29,34 persen) adalah penduduk usia tidak produktif. Dengan rincian, sebanyak 476,95 ribu jiwa (25,16 persen) adalah usia belum produktif (usia 0-14 tahun) dan sebanyak 79,27 ribu jiwa (4,18 persen) merupakan usia sudah tidak produktif (usia 65 tahun ke atas).

Kepadatan penduduk Kota Tangerang mencapai 11.519,21 jiwa per km persegi pada 2020. Adapun Kecamatan Ciledug merupakan wilayah terpadat, yakni 18.717,33 jiwa per km persegi sementara Kecamatan Jatiuwung merupakan wilayah kepadatan terendah, yakni hanya 7.082,1 jiwa per km persegi.

Tangerang juga memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang besar. Banyak dari mereka adalah campuran China Benteng. Mereka didatangkan sebagai buruh oleh kolonial Belanda pada abad ke-18 dan 19, dan kebanyakan dari mereka tetap berprofesi sebagai buruh dan petani.

Secara etnis, mereka tercampur, namun menyebut diri mereka sebagai Tionghoa. Banyak makam Tionghoa yang berlokasi di Tangerang. Kebanyakan sekarang telah dikembangkan menjadi kawasan sub-urban seperti Lippo Village.

Kawasan pecinan Tangerang berlokasi di Pasar Lama, Benteng Makassar, Kapling dan Karawaci (bukan Lippo Village), serta Poris. Orang-orang dapat menemukan makanan dan barang-barang berkhas China. Lippo Village adalah lokasi permukiman baru. Kebanyakan penduduknya adalah pendatang, bukan asli China Benteng.

Di sisi ketenagakerjaan, komposisi tenaga kerja berdasarkan status pekerjaan utama di tahun 2019, didominasi oleh buruh/karyawan/pegawai (69 persen), kemudian diikuti berusaha sendiri (16 persen), pekerja bebas (4 persen), berusaha dibantu buruh tidak tetap (4 persen), pekerja keluarga (4 persen) dan sisanya sebanyak 3 persen adalah berusaha dibantu buruh tetap.

KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Pemilik Benteng Heritage Udaya Halim menyajikan makanan khas Kota Tangerang kepada para pengunjung museum itu. Makanan khas seperti asinan Tangerang merupakan wujud akulturasi budaya China dan lokal.

Indeks Pembangunan Manusia
78,25 (2020)

Angka Harapan Hidup 
71,60 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
13,85 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
10,69 tahun (2020)

Pengeluaran per Kapita 
Rp 14,86 juta (2020)

Tingkat Kemiskinan
5,22 persen (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka
8,63 persen (2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Kota Tangerang terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2020, IPM Kota Tangerang tercatat 78,25. Pencapaian IPM Kota Tangerang ini masuk kategori tinggi.

Dari komponen pembentuknya, angka harapan lama sekolah (HLS) tercatat 13,85 tahun dan rata-rata lama sekolah (RLS) tercatat 10,69 tahun di 2020 atau sampai kelas dua SMA.

Sementara itu, untuk angka harapan hidup tercatat selama 71,57 tahun. Adapun pengeluaran per kapita/tahun di Kota Tangerang di tahun 2020 sebesar Rp 14,48 juta, turun jika dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 14,86 juta.

BPS Kota Tangerang mencatat  tingkat pengangguran terbuka di Kota Tangerang tercatat sebanyak 97.344 jiwa atau 8,63 persen pada periode Agustus 2020. Angka tersebut meningkat dari jumlah sebelumnya pada Februari 2020 sebanyak 79.041 jiwa. Peningkatan tersebut disebabkan banyak perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19 sehingga berdampak pada banyaknya pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Adapun angka kemiskinan di Kota Tangerang di tahun 2020 tercatat sebesar 5,22 persen atau setara 118.220 orang. Angka kemiskinan tersebut naik dibanding angka kemiskinan di tahun 2019 sebesar 4,43 persen atau berjumlah 98.370 orang. Kenaikan angka kemiskinan itu diduga terjadi akibat pandemi Covid-19.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana di workshop UMKM konveksi Butik Dewi Sambi di kawasan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Selasa (29/2/2020). UMKM yang memproduksi pakaian resmi berbahan dasar batik ini awalnya terdampak pandemi Covid-19 karena kesulitan bahan baku batik dan menurunnya permintaan. Kini mereka bertahan dengan memproduksi berbagai macam model pakaian, hijab, hingga masker pesanan serta menerima orderan jahit dengan jumlah tertentu.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 2,37 triliun (2020)

Dana Perimbangan 
Rp 1,36 triliun (2020)

Pendapatan Lain-lain 
Rp 836,62 miliar (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-6,92 persen (2020)

PDRB Harga Berlaku
Rp 143,84 triliun (2020)

PDRB per kapita
Rp 63,26 juta/tahun (2020)

Ekonomi

Nilai produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Tangerang pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 143,84 triliun. Dari total PDRB tersebut, tiga lapangan usaha yang dominan di kota ini yaitu industri pengolahan, transportasi dan pergudangan dan reparasi mobil dan sepeda motor. Masing-masing memiliki kontribusi sebesar 34,20 persen, 16,08 persen, dan 12,67 persen.

Sebagai wilayah penyangga Ibu Kota Negara DKI Jakarta, Kota Tangerang diarahkan menjadi kawasan industri, baik industri sedang, industri kecil, dan jasa pelayanan. Pengembangan kegiatan industri ini terkonsentrasi di Kecamatan Jatiuwung dan Kecamatan Batuceper. Adapun yang berlokasi di dekat permukiman hanyalah industri kecil nonpolutif, terutama di Kecamatan Cipondoh, Karang Tengah, dan Kecamatan Larangan.

Menurut data BPS Kota Tangerang, jumlah industri besar dan sedang (IBS) pada tahun 2017 tercatat sebanyak 638 perusahaan yang terdiri dari 284 perusahan industri besar dan 354 perusahaan industri sedang. Adapun kategori industri pengolahan yang paling banyak jumlahnya di 2017 yaitu industri karet, barang dari karet dan plastik sebanyak 100 perusahaan.

Pada tahun 2017, tenaga kerja yang terserap di sektor industri pengolahan sebanyak 189.056 orang. Industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu industri pakaian jadi dan industri kuit, barang dari kulit dan alas kaki. Sedangkan industri yang paling sedikit menyerap tenaga kerja adalah industri minuman.

Berdasarkan lokasi, perusahaan industri besar sedang terbanyak berada di Kecamatan Jatiuwung (36,68 persen), kemudian diikuti oleh Kecamatan Periuk (14,26 persen), Kecamatan Neglasari (10,19 persen), Kecamatan Karawaci (9,40 persen), Kecamatan Cibodas (8,31 persen), Kecamatan Batuceper (7,68 persen), Kecamatan Cipondoh (3,92 persen), Kecamatan Benda (3,29 persen) dan sisanya terdapat di Kecamatan Tangerang, Pinang, Cipondoh, Larangan, dan Ciledug.

Sementara itu, usaha kecil menengah (UKM) di Kota Tangerang pada tahun 2018 tercatat sebanyak 11.746 usaha. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan tahun 2017. Jumlah UKM terbesar di tahun 2018 terdapat di Kecamatan Cibodas, yaitu sebesar 3.979 unit UKM.

Bandar Udara Soekarno-Hatta adalah potensi lain Kota Tangerang. Gerbang utama nasional lewat udara ini menjadi pendorong perkembangan industri serta perdagangan, dan laju perkembangan kehadiran perkantoran dan pusat perdagangan di wilayah bagian barat Jakarta dan Tangerang.

Pada tahun 2020, PDRB per kapita Kota Tangerang mencapai Rp 63,26 juta, mengalami kontraksi 18,01 persen bila dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebesar Rp 77,16 juta.

Di bidang keuangan daerah, dari realisasi pendapatan daerah sebesar Rp 43,57 triliun di tahun 2020, pendapatan asli daerah sebesar Rp 2,37 triliun, dana perimbangan sebesar Rp 1,36 triliun, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp 836,62 miliar.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lanskap Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, dilihat dari udara, Rabu (8/2/2017). Terminal yang mulai beroperasi pada Agustus tahun lalu tersebut mampu menampung 25 juta penumpang per tahun.

Di sektor pariwisata, Kota Tangerang memiliki berbagai macam tempat destinasi wisata seperti wisata taman, wisata air, wisata religi, hingga wisata sejarah. Menurut data BPS Kota Tangerang, di Kota Tangerang terdapat 23 wisata budaya yang sebagian besar berada di Kecamatan Tangerang. Selain itu, terdapat pula 12 wisata air, tujuh wisata sejarah dan tiga museum.

Destinasi wisata itu antara lain Bendungan Pintu Air 10, Wihara Boen Tek Bio, Wihara Boen San Bio, Museum Benteng Heritage, Masjid Kali Pasir, Masjid Pintu Seribu, dan Masjid Raya Al Azhom. Juga terdapat Museum Juang, Sungai Cisadane, Flying Deck Cisadane, dan Situ Cipondoh.

Selain itu, terdapat wisata taman dan Kampung Bekelir. Setidaknya ada 28 ruang terbuka hijau berkarakter taman tematik di kota ini.

Untuk menunjang sektor wisata, Kota Tangerang memiliki 52 usaha perjalanan wisata, 241 restoran, 6 bar/pub/karaoke, 6 bioskop, dan 17 pusat perbelanjaan di Kota Tangerang di tahun 2018. Sebagai tempat istirahat, juga terdapat 56 hotel yang terdiri dari 31 hotel berbintang dan 25 hotel non bintang. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Payung warna-warni dipasang di salah satu gang perkampungan warga di Kelurahan Babakan, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Sabtu (7/4/2018). Kampung yang penuh dengan cat warna-warni dan mural pada setiap dinding bangunannya tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu kampung wisata. Penataan kampung ini mengubah wajah kampung menjadi lebih tertata, rapi, dan cerah.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Tangerang, Kota yang Semakin Sesak dan Padat”, Kompas, 19 Februari 1990, hlm. 03
  • “Info: Kotif Tangerang Jadi Kodya”, Kompas, 20 Juli 1992, hlm. 07
  • “Kotif Tangerang Jadi Kodya”, Kompas, 24 Februari 1993, hlm. 07
  • “Status Kodya Tangerang Diresmikan Hari Minggu”, Kompas, 25 Februari 1993, hlm. 07
  • “Kodya Tangerang Diresmikan: Djakaria Machmud Dilantik sebagai Wali Kota Pertama”, Kompas, 01 Maret 1993, hlm. 07
  • “Tangerang Jadi Kotamadya: Segudang Tantangan Menghadang”, Kompas, 15 Maret 1993, hlm. 07
  • “Kota Tangerang *Otonomi”, Kompas, 02 Januari 2001, hlm. 06
  • “Kota Tangerang Belum Mandiri”, Kompas, 02 Januari 2001, hlm. 06
  • “Profil Kota Tangerang: Plus Minus Daerah Penyangga Jakarta”, Kompas, 19 September 2006, hlm. 27
  • “3 Treasures of Tangerang”, Kompas, 17 April 2009, hlm. 38
  • “Redup Jantung Kota Tangerang * Riwayat Kota”, Kompas, 25 Februari 2019, hlm. 21
  • “HUT Kota Tangerang: Tangerang Menepis Sejarah Kelam, Menggenggam Masa Depan”, Kompas, 26 Februari 2019, hlm. 20
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung

Editor
Topan Yuniarto