Daerah

Kota Bekasi: Kota Satelit yang Jadi Hunian Kaum Urban dan Sentra Industri

Kota Bekasi merupakan kota satelit penopang ibu kota DKI Jakarta. Wilayah yang dulunya merupakan ibu kota Kerajaan Tarumanagara ini, kini terus bertransformasi menjadi kawasan hunian bagi kaum urban dan pusat industri barang dan jasa.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto aerial lalu lintas di Jalan Ahmad Yani di Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (12/4/2020). Menyusul DKI Jakarta, lima wilayah di Provinsi Jawa Barat juga  menjalankan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB yang mulai diterapkan pada 15 April 2020.

Fakta Singkat

Hari Jadi
10 Maret 1997

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 9/1996

Luas Wilayah
210,49 km2

Jumlah Penduduk
2.543.676 jiwa (2020)

Kepala Daerah
Wali Kota Rahmat Effendi
Wakil Wali Kota Tri Adhianto Tjahyono

Instansi terkait
Pemerintahan Kota Bekasi

Kota Bekasi merupakan salah satu kota metropolitan yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Letaknya yang berada di dekat DKI Jakarta menjadikan Bekasi sebagai kota satelit dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di Indonesia. Dengan pesatnya perkembangan, Kota Bekasi kini menjadi sentra industri dan kawasan tempat tinggal kaum urban.

Jauh sebelum tumbuh menjadi kawasan padat dan penuh industri, Kota Bekasi dulunya merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Bekasi. Tahun 1981, wilayah ini resmi beralih status menjadi kota administratif berdasarkan PP 48/1981. Ketika itu, peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982.

Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1996, Kota Administratif Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya atau sekarang lebih dikenal dengan Kota Bekasi. Sebelumnya, Yogie Suardi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat keputusan Mendagri tertanggal 10 Maret 1997 yang menjadi dasar atas UU 9/1996 tentang pembentukan Kotamadya Bekasi.

Secara hukum, status Bekasi sebagai kotamadya dikukuhkan melalui Perda 2/1998, dan diubah statusnya menjadi kota bersamaan dengan kotamadya-kotamadya lain lewat UU 22/1999.

Hari jadi Kota Bekasi ditetapkan tanggal 10 Maret 1996. Pada tanggal tersebut, Mendagri meresmikan pembentukan daerah tingkat II Bekasi. Acaranya dilaksanakan di Stadion Bekasi yang sekarang menjadi Stadion Patriot Candrabhaga.

Kota Bekasi dan juga Kabupaten Bekasi dikembangkan menjadi penyangga Jakarta berdasarkan Inpres 13/1976. Inpres tersebut menempatkan Bekasi sebagai kota satelit Jakarta dan menjadi bagian kawasan pengembangan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek).

Kota Bekasi memiliki wilayah seluas 210,49 km persegi yang terdiri atas 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Penduduk Kota Bekasi pada tahun 2020 berjumlah 2,54 juta jiwa. Saat ini, kepala daerah yang sedang memerintah adalah Wali Kota Rahmat Effendi dan Wakil Wali Kota Tri Adhianto Tjahyono.

Visi Kota Bekasi adalah “Cerdas, Kreatif, Maju, Sejahtera dan Ihsan”. Sedangkan misinya adalah meningkatkan kapasitas tata kelola pemerintahan yang baik; membangun, meningkatkan dan mengembangkan prasarana dan sarana kota yang maju dan memadai; meningkatkan perekonomian berbasis potensial jasa kreatif dan perdagangan yang berdaya saing; meningkatkan dan mengembangkan kualitas kehidupan masyarakat yang berpengetahuan, sehat, berakhlak mulia, kreatif dan inovatif; dan membangun, meningkatkan dan mengembangkan kehidupan kota yang aman dan cerdas, serta lingkungan hidup yang nyaman.

Nama Bekasi tercatat heroik dalam sejarah perjuangan (revolusi) Indonesia. Bahkan Bekasi dijuluki Kota Patriot yang berarti semangat pengabdian dalam perjuangan bangsa. Lambang Kota Bekasi dengan julukan ‘Kota Patriot’ tersebut tertuang dalam Perda Kota Bekasi nomor 1 tahun 1998 tentang Lambang Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi.

Sejarah pembentukan

Nama Bekasi berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu Chandrabhaga. Berdasarkan jurnal berjudul “Sejarah Sosial Kota Bekasi” (2014) yang ditulis Adeng, teori ini diutarakan oleh seorang ahli bahasa Sansekerta yang bernama Poerbatjaraka.

Menurut Poerbatjaraka, ”Chandra” memiliki makna ”Bulan” dan ”Bhaga” bermakna ”bagian”. Jadi secara etimologis berarti ”bagian dari bulan”. Kata Chandrabhaga lalu berubah menjadi Bhagasasi yang berarti sama dengan candrabaga yang tertulis di dalam Prasasti Tugu, yaitu nama sungai yang melintasi kota ini. Kata ini sering disingkat menjadi Bhagasi. Kata Bhagasi diubah menjadi Bacassie oleh orang Belanda. Kata Bacassie berubah menjadi Bekasi dalam ucapan orang Indonesia.

Sejumlah literatur menyebutkan Bekasi dulu disebut Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri saat menjadi ibu kota Kerajaan Tarumanegara (358–669). Wilayah Kerajaan Tarumanagara mencakup Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, hingga ke wilayah Sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan fisiologi, letak Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai ibu kota Tarumanagara adalah di wilayah Bekasi sekarang.

Dayeuh Sundasembawa inilah asal Maharaja Tarusbawa (669–723 M) pendiri kerajaan Sunda dan seterusnya menurunkan raja-raja Sunda sampai generasi ke-40, yaitu Ratu Ragumulya (1567–1579 M) Raja Kerajaan Sunda atau masa itu dikenal dengan nama kerajaan Pajajaran yang terakhir.

Wilayah Bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak menunjukkan bukti keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau, dengan ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Kebantenan.

Keempat prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482–1521 M) yang ditulis dalam lima lembar lempeng tembaga. Sejak abad ke-5 Masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara, abad ke-8 Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni sebagai penghubung antara pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).

Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, Bekasi merupakan kawasan yang tak lepas dari berbagai kebijakan pemerintah Hindia-Belanda di mana masa itu Bekasi merupakan salah satu kewedanaan (District) di dalam Kabupaten (Regenschap) Meester Cornelis, yang termasuk dalam wilayah karesidenan Batavia En Ommelanden.

Dahulu, wilayah Bekasi hanyalah terdiri dari tanah-tanah partikelir. Sebagai  akibat dari kebijakan yang dijalankan oleh Gubernur Jenderal Herman William  Daendels menjual tanah-tanah di sekitar Batavia dan Buitenzorg akibat adanya defisit keuangan pada masa pemerintahan Daendels dalam pembangunan jalan raya pos sepanjang Anyer sampai Panarukan.

Tanah-tanah partikelir yang ada di wilayah Bekasi hampir semuanya dikuasai oleh tuan-tuan tanah China, dan sebagian besar penduduknya bermata pencarian menjadi buruh tani. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan kolonial dengan mengeluarkan Undang-Undang Agrarische Wetdan Agrarische  Besluit tahun 1870.

Kemudian, pada tahun 1903 dilaksanakan Undang-Undang Decentralisatie Wet yang didalamnya mengandung undang-undang pemerintah daerah pertama yang mengatur masalah otonomi daerah. Dengan dasar undang-undang  tersebut, kota-kota besar di Hindia Belanda yang memenuhi syarat diubah menjadi kota otonom yang memiliki pemerintahan sendiri yang terpisah dari  pemerintah pusat tetapi dalam praktek pemerintahannya tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.

Bekasi, pada waktu itu, masuk ke dalam Regentschap Meester Cornelis dengan status Distrik Bekasi (kawedanan). Hal tersebut tercatat di dalam pembentukan daerah otonom Regentschap Meester Cornelis berdasarkan Staatblad 1925 No.383 pada tanggal 14 Agustus 1925.

Di antara beberapa distrik yang ada di residensi Batavia, jumlah penduduk di distrik Bekasi berkembang cukup pesat. Tercatat pada tahun 1905, jumlah penduduknya telah mencapai 160.000 jiwa, yang kebanyakan dari penduduknya tersebut menjadi petani penggarap.

Distrik Bekasi terkenal sebagai wilayah yang subur dan sangat produktif sebagai lahan agraris. Sebagaimana tanah-tanah yang ada di daerah dataran utara  Jawa Barat, di daerah Bekasi terdiri atas tanah-tanah persawahan yang luasnya kurang lebih 65.000 ha. Selain itu, juga banyak lahan yang juga digunakan  sebagai lahan perkebunan seperti di wilayah Cakung, Pondok Gede, dan Tambun.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lampion menyala di jalan masuk Klenteng Hok Lay Liong di Margahayu, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (10/2/2021) malam. Klenteng pertama dan terbesar di Kota Bekasi tersebut siap menyambut Tahun Baru Imlek 2572 yang tiba pada Jumat 12 Februari 2021. Hok Lay Kiong diperkirakan dibangun pada abad ke-18 oleh para buruh dan pedagang asal Tiongkok saat itu. Perkiraan kelenteng berdiri sekitar abad ke-18 berdasarkan penuturan lisan secara turun-temurun oleh warga Tionghoa di Bekasi.

Pada tanggal 8 Maret 1942, secara resmi pemerintahan Belanda menyerah kepada Jepang dan kemudian mengalihkan semua kekuasaannya pada Jepang. Termasuk juga berbagai aktivitas administrasi pemerintahan dan keamanan.

Pendudukan Jepang yang berlangsung selama tiga tahun tersebut membawa perubahan besar bagi kota-kota di Indonesia. Salah satunya dalam bidang administrasi pemerintahan.

Kala itu, Jepang melaksanakan Japanisasi di semua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti dengan nama Jakarta. Regenschap Meester Cornelis menjadi KEN Jatinegara yang wilayahnya meliputi Gun Cikarang, Gun Kebayoran dan Gun Matraman.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan kembali berubah, nama Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa/Kelurahan.

Saat itu Ibu Kota Kabupaten Jatinegara berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu ke Cikarang, kemudian ke Bojong (Kedung Gede). Pada waktu itu, Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Bapak Rubaya Suryanaatamirharja.

Tidak lama setelah pendudukan Belanda, Kabupaten Jatinegara dihapus. Kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis menjadi Kewedanaan. Kewedanaan Bekasi masuk kedalam wilayah Batavia En Omelanden. Batas Bulak Kapal ke Timur termasuk wilayah negara Pasundan di bawah Kabupaten Kerawang, sedangkan sebelah Barat Bulak Kapal termasuk wilayah negara Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandsch Indie 1948 No.178 Negara Pasundan.

Sejarah setelah tahun 1949, ditandai dengan aksi unjuk rasa sekitar 40.000 rakyat Bekasi pada tanggal 17 Februari 1950 di alun-alun Bekasi. Hadir pada acara tersebut Bapak Mu’min sebagai Residen Militer Daerah V.

Inti dari unjuk rasa tersebut adalah penyampaian pernyataan sikap sebagai berikut: Rakyat Bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan (termasuk Kecamatan Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan moto “SWATANTRA WIBAWA MUKTI”.

Pada tahun 1960, kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke Kota Bekasi (Jl. H Juanda). Kemudian pada tahun 1982, saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah Gedung Perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. A. Yani No.1 Bekasi.

Pasalnya, perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi yang terdiri atas 4 kecamatan berdasarkan PP 48/1981, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, bekasi Selatan, Bekasi Barat dan Bekasi Utara, yang seluruhnya menjadi 18 kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982,

Dalam perkembangannya, Kota Administratif Bekasi terus berkembang pesat sehingga status Kota Administratif Bekasi ditingkatkan lagi statusnya menjadi kotamadya atau sekarang disebut kota melalui UU 9/1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi.

KOMPAS/IMAN NUR ROSYADI

Pemda Bekasi Pilih Industri tak Berpolusi untuk Kawasan Industri. Pemerintah Daerah Bekasi akan memilih industri yang tidak menimbulkan polusi untuk kawasan industri di Kecamatan Cibitung, Lemahabang dan sebagian Cikarang. Tapi kawasan industri itu masih memerlukan SK Menteri Perindustrian karena luasnya memang besar, 3.000 hektar.

Geografis

Secara geografis, Kota Bekasi berada pada posisi 106°55‟ Bujur Timur dan 6°7‟ — 6°15‟ Lintang Selatan, dengan ketinggian rata-rata kurang 25 meter di atas permukaan laut.

Ketinggian kurang dari 25 meter berada pada Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi  Selatan, Bekasi  Timur, dan Pondok Gede, sedangkan ketinggian antara  25–100 meter di atas permukaan air laut berada di Kecamatan Bantargebang, Jatiasih dan Jatisampurna.

Kota Bekasi merupakan daerah perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta dengan luas sekitar 210,49 km2. Batas wilayah di sebelah utara dan timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, wilayah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok, dan di sebelah barat berbatasan dengan DKI Jakarta.

Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km2) sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2).

Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi Kota Bekasi terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi menjadi salah  satu daerah penyeimbang DKI Jakarta.

Wilayah Kota Bekasi dialiri tiga sungai utama, yaitu Sungai Cakung, Sungai  Bekasi, dan Sungai Sunter, beserta anak-anak sungainya. Sungai Bekasi mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari gunung dengan ketinggian kurang lebih 1.500 meter dari permukaan air laut.

Iklim di Kota Bekasi tergolong iklim kering dengan tingkat kelembaban yang rendah. Kondisi lingkungan sehari hari sangat panas. Selama tahun 2019, keadaan iklim di Kota Bekasi cenderung panas, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April, yaitu tercatat 1.349,5 mm dengan jumlah hari hujan 25 hari. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni, yaitu 10,00 mm, dengan jumlah hari hujan sebanyak 1 hari. Sedangkan pada bulan Juli, Agustus, September tidak terjadi hujan di Kota Bekasi.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto aerial Situ Rawa Gede di Bojong Menteng, Rawalumbu, Kota Bekasi, Jawa Barat, Senin (28/1/2019). Selain menjadi lokasi wisata baru, Situ Rawa Gede yang memiliki luas 7,3 hektare ini menjadi tempat konservasi air, resapan air, dan cadangan air ketika musim kemarau serta untuk meminimalisir banjir.

Pemerintahan

Sejak pemerintah membentuk status kota administratif tahun 1982 hingga memperoleh status kotamadya atau kota pada tahun 1997, Kota Bekasi telah dipimpin oleh delapan kepala daerah.

Ketika berstatus kota administratif, Bekasi pernah dipimpin oleh Wali Kota Administratif pertama yang dijabat oleh H. Soejono selama lima tahun (1982–1988). Kemudian dilanjutkan oleh Wali Kota Administratif Andi Sukardi (1988–1991), dan Wali Kota Administratif H. Kailani, AR (1991–1997).

Setelah resmi memisahkan diri dari Kabupaten Bekasi dan berstatus Kotamadya Bekasi pada tanggal 10 Maret 1997, pejabat wali kota sementara diemban oleh H. Kailani AR (Maret — Oktober 1997. Satu tahun kemudian, Nonon Sonthanie terpilih menjadi Wali Kota Bekasi yang pertama. Nonon Sonthanie menjabat selama lima tahun (1998–2003).

Selanjutnya, Wali Kota Bekasi dijabat oleh Akhmad Zurfaih, didampingi oleh Wakil Wali Kota Mochtar Mohamad untuk periode 2003–2008. Kepemimpinan Kota Bekasi kemudian diteruskan oleh Mochtar Mohamad yang sebelumnya Wakil Wali Kota Bekasi (2008–2013). Kali ini, Mochtar Mohamad didampingi oleh Rahmat Effendi sebagai Wakil Wali Kota Bekasi.

Lima tahun kemudian, Rahmat Effendi terpilih sebagai Wali Kota Bekasi yang berpasangan dengan Wakil Wali Kota Ahmad Syaikhu untuk masa jabatan 2013–2018. Rahmat Effendi kembali memenangkan pemilihan wali kota Bekasi di Pilwako 2018 dan terpilih kembali untuk periode 2018–2023. Kali ini, Rahmat berpasangan dengan Tri Adhianto.

Terdiri dari 12 kecamatan dan 56 kelurahan,Pemerintah Kota Bekasi didukung oleh 10.747 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dari jumlah tersebut; 13,57 persen di antaranya berpendidikan sarjana Strata-1 dan sederajat (S1+DIV); 16,65 persen berpendidikan SLTA; 57,10 persen berpendidikan diploma; dan 3,07 berpendidikan SLTP dan SD.

KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi

Politik

Dalam tiga kali penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), peta politik di Kota Bekasi berlangsung dinamis. Hal itu tampak dari perolehan kursi partai politik (parpol) di DPRD Kota Bekasi.

Di Pemilu 2009, Partai Demokrat meraih mayoritas kursi parlemen di Kota Bekasi dengan memperoleh 14 kursi. Disusul Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 10 kursi. PDI Perjuangan (PDI-P) memperoleh delapan kursi, sementara Partai Golkar dengan enam kursi. Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN) masing-masing memperoleh tiga kursi.

Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meraih dua kursi. Ada pun Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bulan Bintang (PBB) masing-masing mendapat satu kursi di DPRD Kota Bekasi periode 2009–2014.

Di Pemilu Legislatif 2014, PDI-P berhasil mendapatkan jatah kursi terbanyak di Kota Bekasi, mengalahkan Partai Demokrat. Partai berlambang banteng gemuk dengan atribut sebagai partainya wong cilik ini mendapat perolehan 12 kursi.

Kemudian posisi kedua ditempati oleh Golkar yang mendapat delapan kursi. Pada urutan ketiga, ada PKS yang memperoleh tujuh kursi. Di urutan berikutnya, ditempati oleh Gerindra yang meraih enam kursi.

Sementara itu, PAN, PPP, Demoktra dan Hanura masing-masing mendapatkan empat kursi. Selanjutnya, PKB hanya mendapatkan satu kursi. Adapun Nasdem, PBB, dan PKPI tidak mendapatkan kursi sama sekali.

Sementara itu, di Pemilu Legislatif 2019, PDI-P dan PKS berhasil unggul dengan memperoleh 12 kursi di DPRD Kota Bekasi. Disusul Golkar mendapatkan delapan kursi, Gerindra memperoleh enam kursi, dan Demokrat meraih lima kursi. Berikutnya, PAN memperoleh empat kursi, PPP mendapatkan dua kursi, dan PKB meraih satu kursi.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Bingkai Swafoto di TPS. Warga berswafoto di bingkai swafoto Instagram yang disediakan panitia pemilihan di TPS 01 di Pekayon Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (27/6/2018). Keunikan di TPS ini bertujuan untuk membangkitkan minat warga untuk menggunakan hak pilih mereka dalam ajang pilkada serentak ini.

Kependudukan

Kota Bekasi dihuni oleh 2.543.676 jiwa menurut Sensus Penduduk 2020. Dibandingkan 10 tahun sebelumnya, jumlah penduduk Kota Bekasi tersebut bertambah 208.000 jiwa. Rinciannya, sebanyak 1,28 juta jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 1,26 juta jiwa berjenis kelamin perempuan.

Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi tahun 2010-2020 tercatat sebanyak 0,83 persen, atau menurun sebesar 3,45 persen dibandingkan pada periode 2000-2010.

Kecamatan Bekasi Utara tercatat memiliki jumlah penduduk terbanyak di Kota Bekasi, yakni mencapai 337,01 ribu jiwa atau 13,25 persen dari total populasi. Sementara Bantargebang merupakan kecamatan dengan penduduk paling sedikit, yaitu hanya 107,22 ribu jiwa atau 4,22 persen.

Menurut kelompok umur, sebanyak 72,56 psern penduduk Kota Bekasi adalah kelompok usia produktif (usia 15–64 tahun). Hal Ini mengindikasikan bahwa Kota Bekasi masih dalam masa bonus demografi. Sedangkan sebanyak 7,91 persen adalah penduduk sudah tidak produktif/lanjut usia (usia di atas 65 tahun) dan 19,53 persen merupakan penduduk belum produktif (usia 0–14 tahun).

Warga Kota Bekasi didominasi kaum millenial atau Gen Y yang lahir pada rentang tahun antara 1981–1996. Tercatat kaum milenial di Kota Bekasi sebesar 27,67 persen atau sebesar 703.835 jiwa.

Bekasi mengalami proses asimilasi dan akulturasi kebudayaan dari berbagai daerah seperti Bali, Melayu, Bugis, dan Jawa. Pengaruh etnis tersebut tersebar di wilayah Bekasi.

Suku Sunda banyak bermukim terutama di wilayah Lemahabang; Cibarusah, Setu, sebagianPebayuran dan sebagian Pondok Gede.

Suku Jawa dan Banten banyak bermukim di Kecamatan Sukatani dan sebagian Cabang Bungin. Suku bangsa Melayu banyak bermukim di Kecamatan Bekasi (daerah kota), Cilincing (sekarang masuk Jakarta), Pondok Gede, Babelan, Tambun, Cikarang, Cabang Bungin, dan Setu.

Suku Bali terdapat di sebuah kampung di Kecamatan Sukatani, bahkan sampai sekarang namanya masih Kampung Bali. Keberadaan penduduk yang berasal dari berbagai etnis tersebut telah memengaruhi pola hidup dan bahasa.

Struktur penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan pada Agustus 2019 masih didominasi oleh tiga lapangan pekerjaan utama, yaitu Perdagangan dan Penyedia Akomodasi dan Makan Minum sebesar 29,86 persen; Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 22,98 persen; dan Industri Pengolahan sebesar 19,19 persen.

Dari seluruh penduduk bekerja pada Agustus 2019, status pekerjaan utama yang terbanyak sebagai buruh/karyawan/pegawai (67,17 persen). Diikuti status berusaha sendiri (21,30 persen), berusaha dibantu buruh tidak tetap (3,72 persen), berusaha dibantu buruh tetap (3,03 persen) dan pekerja bebas (2,43 persen). Sementara penduduk yang bekerja dengan status pekerja keluarga/tidak dibayar memiliki persentase paling kecil, yaitu 2,35 persen.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Penjual buah keliling melintas di depan mural keberagaman di kolong jalan layang Rawa Panjang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (7/8/2020). Keberagaman, toleransi dan menghormati perbedaan terus disuarakan untuk menumbuhkan kebersamaan dalam membangun bangsa.

Indeks Pembangunan Manusia
81,50 (2020)

Angka Harapan Hidup 
75,01 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
14,00 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
11,16 tahun (2020)

Pengeluaran per Kapita 
Rp15,77 juta (2020)

Tingkat Kemiskinan
4,38 persen (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka
10,68 persen (2020)

Kesejahteraan

Dalam kurun waktu 2010–2019, pembangunan manusia di Kota Bekasi terus menunjukkan kemajuan. Namun pada tahun 2020, pembangunan manusia di Kota Bekasi sedikit menurun akibat merebaknya pandemi Covid-19 di tanah air.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bekasi pada tahun 2020 tercatat sebesar 81,50, menurun 0,09 dibandingkan tahun 2019 sebesar 81,59 persen. Pencapaian IPM Kota Bekasi tersebut terhitung sangat tinggi dan menempat urutan kedua tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat.

Beberapa aspek dalam penyusunan IPM di tahun 2020 masih menunjukkan peningkatan, kecuali pengeluaran per kapita penduduk. Angka harapan hidup masyarakat Kota Bekasi masih berada di 75,01 tahun, dibandingkan tahun sebelumnya 74,89 tahun.

Pada sektor pendidikan, harapan lama sekolah naik menjadi 14 tahun, rata-rata lama sekolah naik menjadi 11,16 tahun. Sedangkan, pengeluaran per kapita penduduk tahun lalu Rp15,7 juta, dibandingkan tahun lalu Rp16,1 juta.

Angka pengangguran di Kota Bekasi pada tahun 2020 naik 2,8 persen menjadi 10,68 persen. Sebelumnya, pada tahun 2019, angka pengangguran di Kota Bekasi masih sebesar 8,30 persen. Tingginya angka pengangguran tahun 2020 itu terutama disebabkan lesunya ekonomi karena pandemi Covid-19.

Seiring naiknya pengangguran, angka kemiskinan di Kota Bekasi juga meningkat pada tahun 2020. Angka kemiskinan di Kota Bekasi tercatat sebanyak 134,01 ribu orang atau 4,38 persen. Angka kemiskinan tersebut meningkat dibanding tahun 2019 yang mencapai 113,65 ribu orang (3,81 persen).

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

Suasana bagian dalam SMPN 1 Bekasi di Jalan KH Agus Salim, Kelurahan Bekasi Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jumat (13/7/2018). Sekolah ini merupakan sekolah negeri pertama yang dibangun di Bekasi setelah revolusi fisik 1945-1949.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp2,04 triliun (2020)

Dana Perimbangan 
Rp1,63 triliun (2020)

Pendapatan Lain-lain 
Rp1,21 triliun (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-2,55 persen (2020)

PDRB Harga Berlaku
Rp96,56 triliun (2020)

PDRB per kapita
Rp31,40 juta/tahun (2020)

Ekonomi

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Bekasi pada 2020 tercatat sebesar Rp96,56 triliun. Dari jumlah PDRB tersebut, sektor industri pengolahan menyumbang kontribusi paling besar, yaitu sebesar 33,79 persen dari total PDRB.

Selain itu, sektor perdagangan juga menyumbang kontribusi yang besar terhadap PDRB, yakni sebesar 22,07 persen dari PDRB 2020. Kemudian, sektor konstruksi serta sektor transportasi dan pergudangan berkontribusi cukup tinggi masing-masing sebesar 11,17 persen dan 10,08 persen. Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum berkontribusi sebesar 4,05 persen dari total PDRB.

Keberadaan kawasan industri di Kota Bekasi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, dengan menempatkan industri pengolahan sebagai yang utama. Lokasi industri di Kota Bekasi terdapat di kawasan Rawa Lumbu dan Medan Satria.

Berdasarkan data BPS Kota Bekasi, pada tahun 2018, tercatat 5.920 perusahaan yang mendapatkan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP). Sedangkan untuk jumlah pasar di Kota Bekasi tahun 2019 tercatat sebanyak 122 pasar.

Dalam kurun waktu 2011–2020, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi selalu di atas pertumbuhan ekonomi Jawa Barat kecuali pada tahun 2020. Pada tahun 2020, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi terkontraksi 2,55 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang terkontraksi 2,44 persen.

Berdasarkan data BPS Kota Bekasi, total pendapatan Kota Bekasi pada 2020 mencapai Rp4,88 triliun. Pendapatan asli daerah (PAD) mendominasi dengan kontribusi senilai Rp2,04 triliun atau 41,8 persen dari total pendapatan daerah.

Kemudian, realisasi dana perimbangan senilai Rp1,63 triliun atau sebesar 33,4 persen dari total pendapatan daerah pada tahun yang bersangkutan. Adapun komponen lain-lain pendapatan yang sah berkontribusi senilai Rp1,21 triliun atau sebesar 24,8 persen.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara bentang jembatan proyek tol Bekasi Cawang Kampung Melayu (Becakayu) di Jalan Ahmad Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (9/3/2021). Proyek jalan tol berkonstruksi layang sepanjang 21,04 kilometer yang masuk dalam salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) itu akan melengkapi sistem jaringan jalan tol pada kawasan metropolitan Jabodetabek. Kehadiran tol Becakayu akan menambah kapasitas jalan, menambah pilihan pengguna jalan dan mengurangi kemacetan yang kerap terjadi di Jalan Raya Kalimalang dan jalan tol Jakarta-Cikampek akibat penumpukan di Gerbang Tol Halim.

Di bidang pariwisata, potensi yang ada di Kota Bekasi tidak terlalu banyak seperti wilayah Jakarta dan Bandung. Destinasi wisata di kota ini, antara lain, Curug Parigi, Hutan Kota Patriot Bina Bekasi, dan Danau Duta Harapan.

Namun demikian, fasilitas yang menunjang kegiatan pariwisata yaitu penyediaan akomodasi di Kota Bekasi cukup memadai. Pada tahun 2019, terdapat 19 hotel bintang dan 32 hotel nonbintang yang beroperasi di Kota Bekasi.

Adapun jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kota Bekasi pada tahun 2019 sebanyak 51.766 orang dan wisatawan nusantara sebanyak 925.657 orang. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pengunjung obyek wisata Curug Parigi di Desa Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (26/7/2020). Curug (air terjun) kecil tersebut kini banyak didatangi wisatawan lokal saat akhir pekan, terutama pesepeda. Tiket masuk sekaligus parkir kendaraan ke curug yang dikelola karang taruna setempat Rp. 5000. Curug di aliran Sungai Cileungsi tersebut sering tercemar limbah pabrik ataupun rumah tangga hingga menimbulkan busa, air keruh, dan bau menyengat.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota Bekasi: Dari Mal Sampai Kampung Kumuh”, Kompas, 01 Desember 1996, hlm. 04
  • “Bekasi Semakin Diberati Beban Kemacetan *Laporan Akhir Tahun Metropolitan”, Kompas, 06 Desember 2001, hlm. 44
  • “Bayi Berjenggot yang Masih Tertatih *Otonomi”, Kompas, 29 Januari 2002, hlm. 08
  • “Kota Bekasi *Otonomi”, Kompas, 29 Januari 2002, hlm. 08
  • “Lima Tahun Kota Bekasi: Tantangan dan Peluang yang Ada Makin Beragam”, Kompas, 11 Maret 2002, hlm. 18
  • “Kota Bekasi 12 Tahun: Masalah Kepadatan Penduduk Menghadang”, Kompas, 16 Maret 2009, hlm. 27
  • “Survei Warga: Berharap Citra Kota Bekasi Tak Bikin Risi * Barometro”, Kompas, 11 Maret 2015, hlm. 27
  • “Lintasan Sejarah Terbentuknya Kota Bekasi”, Kompas, 11 Maret 2015, hlm. 27
  • “Momentum untuk Berbenah * Kota Bekasi Rayakan Ulang Tahun Ke-19”, Kompas, 11 Maret 2016, hlm. 28
  • “Bekasi Kelola Kemajemukan * Modal Utama Merajut Kedamaian dan Membangun Kota”, Kompas, 10 Maret 2017, hlm. 28
  • “Jalan Panjang Pendidikan di Kota Bekasi * Riwayat Kota”, Kompas, 16 Juli 2018, hlm. 23
  • “Bekasi, Bangkit dari Reruntuhan Perang * Riwayat Kota”, Kompas, 24 September 2018, hlm. 24
  • “Bekasi Pangkas Birokrasi”, Kompas, 19 Desember 2018, hlm. 20
  • “Kali Malang, Penanda Perubahan Peradaban * Riwayat Kota”, Kompas, 29 April 2019, hlm. 24
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung
  • UU 14/1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat
  • UU 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
  • UU 9/1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi
  • UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • PP 48/1981 tentang Pembentukan Kota Administratif Bekasi
  • Inpres 13/1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabodetabek

Editor
Topan Yuniarto