Paparan Topik

Jejak Sejarah dan Perkembangan Regulasi Pertambangan di Indonesia

Jejak sejarah pertambangan di Indonesia sudah ada sejak zaman Hindu Budha, masa kolonialisme Belanda, penjajahan Jepang, hingga Indonesia merdeka pada 1945. Sejak itu pula, regulasi pertambangan terus mengalami perubahan dari masa ke masa mulai dari era Orde Baru hingga era Reformasi.

KOMPAS/AGUS MULYADI

Dari puluhan meter bahkan lebih dari 100 meter ke dalam perut bumi, batu-batu yang mengandung emas dibawa keluar untuk diolah (30/7/1992). Batu dibawa dari dalam gua, dengan diseret menggunakan karung plastik. Selesai dipakai sehari, gua ditutup pintu agar tidak dimasuki penambang lain. Para penambang emas di tebing Sungai Cikaso, Kabupaten Sukabumi tidak memikirkan risiko tertimbun tanah ambruk di dalam gua. Tampak tiga penambang di depan mulut gua yang pintunya ditutup, karena mereka akan beristirahat sementara.

Fakta Singkat

Masa kolonial Belanda:

  • Dibentuk Dinas Pertambangan Dienst van het Mijnwezen, 1850
  • Terbit Indische Mijnwet Staatblad Tahun 1899 Nomor 214
  • Terbit Mijn Ordonnantie 1907 yang mengatur tentang pengawasan keselamatan kerja
  • Terbit Mijn Ordonnantie 1930 yang menghapus ketentuan pengawasan kerja
  • Dibentuk Nederlandsche Indische Ardalie Maatschappij (NIAM), 1930
  • Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan 471 konsesi dan izin

Masa penjajahan Jepang

  • Dokumen Dienst van den Mijnbouw diganti namanya menjadi Chisitsu Chosasho
  • Membuka beberapa lahan pertambangan baru

Masa Orde Lama

  • Terbit UU 78/1958 tentang Penanaman Modal Asing
  • Terbit UU 10/1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan
  • Terbit Perppu 37/1960 tentang Pertambangan
  • Terbit Perppu 44/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Masa Orde Baru

  • Disahkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan
  • Terbit UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
  • Terbit UU 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan

Masa Reformasi

  • Terbit UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • Terbit UU 4/2009 tentang Pertambangan
  • Terbit UU 3/2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  • Terbit PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

“Molukken is het verleden, Java is het heden, en Sumatra is de toekomst”, artinya “Maluku masa lampau, Jawa masa kini, dan Sumatra masa depan”. Ungkapan ini begitu mengemuka sejak abad ke-19 di kalangan kolonialis Hindia Belanda.

Popularitas rempah memudar, sementara Sumatera disebut sebagai masa depan. Pasalnya, Kepulauan Sumatera ketika itu mulai dikenal sebagai wilayah pertambangan minyak sebagai sumber energi kegiatan industri. Pada masa lampau, Sumatra adalah daerah tambang emas.

Dalam sejarahnya, aktivitas pertambangan di Nusantara setidaknya bisa ditelusuri sejak zaman Hindu-Budha. Pada masa Kerajaan Majapahit, misalnya, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan Adityawarman, raja Kerajaan Melayu yang merupakan vasal Majapahit, untuk menguasai Sungai Batanghari di Jambi.

Penyebabnya, di sana ada pertambangan emas. Pada masa pra-kolonial, emas digunakan sebagai alat tukar dan bahkan bahan utama pembuat senjata tradisional seperti keris, patung-patung, maupun arca.

Pada masa kolonial, misi militer tentara Belanda juga menyertakan ahli-ahli geografi dan geologi. Kelompok peneliti ini bernama Royal Dutch Geographical Society atau Masyarakat Geografi Kerajaan Belanda. Mereka kemudian mengambil sampel batu-batuan untuk ditelisik kandungan mineralnya. Dengan data-data yang terhimpun, pemerintah Belanda membuat peta tambang Hindia Belanda.

Salah satunya, ilmuwan Belanda bernama F.W. Junghuhn yang melakukan penyelidikan di Pulau Jawa pada tahun 1835–1848 dan 1855–1864, dan melaporkan, antara lain, tentang topografi, geologi, dan struktur pulau ini.

Sejarah panjang pertambangan di Nusantara itu menjadi saksi betapa kayanya barang-barang tambang yang dimiliki Indonesia. Berawal dari kolonialisme Belanda lalu berpindah tangan ke penjajahan Jepang hingga pada akhirnya Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk menyatakan kepemilikannya terhadap industri nasional.

KOMPAS/EDDY HASBY

Tambang emas tradisional yang di Monterado Kabupaten Sambas, atau sekitar 20 kilometer dari Singkawang, Kalbar masih terus berjalan (22/9/1994). Penggalian dengan sistem sewa lokasi dengan pemilik tanah ini, setiap tambang dapat menghasilkan 56 hingga 78 gram emas sehari. Tapi sayangnya para pemilik tambang tidak memperhatikan lingkungan, hingga daerah ini banyak liang yang dalam dan berbentuk danau.

Masa kolonial Belanda

Pada masa kolonial, pertambangan tak lepas dari tujuan kolonialisasi, yakni mengeruk kekayaan alam di wilayah jajahan. Mulanya, kekayaan alam yang dikeruk adalah rempah-rempah. Namun dalam perkembangannya, revolusi industri menggeser rempah sebagai primadona dari Hindia Belanda. Sebagai gantinya, muncullah produk tambang yang menjadi komoditas ekonomi.

Bertolak dari pertambangan sederhana, era tambang baru dan modern di Indonesia dimulai pada tahun 1602. Tepatnya saat Belanda datang dan tergabung dalam kelompok dagang Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Dagang Hindia Timur Belanda. Kongsi dagang ini dibentuk untuk memonopoli perdagangan di kawasan Asia pada era kolonialisme Eropa, dan mencegah kerugian akibat persaingan dagang dengan Portugis di Nusantara.

Pada 1 Januari 1800, VOC dibubarkan dan kekuasaan diambil alih sepenuhnya oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Sepeninggal VOC hingga jatuh ke tangan Inggris pada 1811, peraturan pertambangan tidak mengalami banyak perubahan.

Namun, selepas kekuasaan kembali didapat Belanda pada 1816, Pemerintah Hindia belanda mulai melakukan beberapa perubahan. Di masa ini, pemerintah mulai melibatkan pihak swasta dalam urusan perekonomian, termasuk pertambangan.

Untuk mempermudah keterlibatan swasta, pada 1850, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Dinas Pertambangan Dienst van het Mijnwezen yang berkedudukan di Batavia. Tujuannya untuk lebih mengoptimalkan penyelidikan geologi dan pertambangan menjadi lebih terarah.

Upaya Belanda melakukan kegiatan pertambangan tersebut diwarnai pula dengan kebijakan-kebijakan yang berlaku di negara asalnya. Aturan pertambangan pertama yang dibentuk bernama Mijn Reglement 1850.

Dengan adanya aturan pertambangan ini, pemerintah berwenang untuk memberikan hak atau konsesi penambangan untuk pihak swasta (warga negara Belanda). Namun, pemberlakukan Mijn Reglement kala itu hanya diterapkan secara terbatas untuk daerah di luar Pulau Jawa.

Pasalnya, Belanda menghindari adanya kemungkinan konflik tumpang tindih antara hak pertambangan dan sistem cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah lebih dulu diberlakukan di Pulau Jawa.

Namun di sisi lain, pemberian konsesi mulai dirasa memberikan lebih banyak keuntungan kepada pihak swasta. Sementara Pemerintah Hindia Belanda hanya menerima 20 persen hasil keuntungan bersih.

Karena itu, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai melakukan perubahan dengan membentuk Nederlandsche Indische Ardalie Maatschappij (NIAM) pada 1930-an. NIAM ini merupakan perusahaan patungan antara Pemerintah dengan perusahaan minyak asal Belanda, BPM atau Bataafsche Petroleum Maatschappij, dengan pembagian keuntungan 50-50.

Kemudian, pada 1899, Belanda menerbitkan Indische Mijnwet Staatblad Tahun 1899 Nomor 214. Cikal bakal regulasi ini adalah Undang-undang Pertambangan tahun 1810 yang menggantikan Undang-Undang Pertambangan 1791 di Kota Limburg.  Indische Mijnwet 1899 mengatur secara khusus masalah perizinan publik di bidang pertambangan, termasuk penggolongan bahan galian dan perizinan yang bersifat konsesi.

Ditetapkannya aturan pertambangan tersebut, menegaskan bahwa akses eksplorasi tambang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda semata. Adapun pemberian konsesi kepada swasta dapat dilakukan untuk jangka waktu hingga 75 tahun. 

Bentuk konsesi ini pun diterangkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 35 Indische Mijnwet Stb. 1899 Nomor 214. Disebutkan bahwa manajemen pengusahaan dan pemilik hasil produksi bahan galian atau mineral sepenuhnya berada di tangan pihak pemegang konsesi pertambangan, dan Pemerintah Kolonial hanya menerima bersih iuran pertambangan sebesar 0,25 Gulden per hektar setiap tahunnya serta (pembagian hasil) 46 persen dari hasil kotor.

Pemegang hak pengusahaan juga diharuskan membayar sewa tanah kepada pemerintah kolonial. Sementara mineral, minyak, dan gas yang dihasilkan dari areal konsesi menjadi milik pemegang konsesi.

Setelah Indische Mijnwet Stb. 1899 Nomor 214, Belanda menetapkan sejumlah aturan lain terkait pertambangan. Beberapa di antaranya Mijn Ordonnantie 1907 yang mengatur tentang pengawasan keselamatan kerja dan Mijn Ordonnantie 1930 yang mencabut aturan sebelumnya (Mijn Ordonnantie 1907) dan menghapus ketentuan pengawasan kerja.

Pada perubahannya di 1904, Indische Mijnwet menetapkan hanya warga negara Belanda, penduduk Hindia Belanda, atau perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Belanda atau Hindia Belanda yang berhak diberikan konsesi. Pada perubahan di 1918, Indische Mijnwet memungkinkan kepentingan asing non-Belanda untuk mendapatkan hak konsesi, tetapi hanya untuk jangka waktu hingga 40 tahun.

Selama penerapan Indische Mijnwet, pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan 471 konsesi dan izin. Tercatat 268 di antaranya merupakan konsesi pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum dalam Indische Mijnwet.

Kemudian tiga perusahaan pertambangan milik pemerintah Hindia Belanda, dua usaha pertambangan patungan antara pemerintah dan swasta, serta dua usaha pertambangan oleh swasta untuk pemerintah dengan perjanjian khusus. Lalu 14 kontrak eksplorasi dan 34 kontrak eksploitasi, serta 142 izin pertambangan mineral/bahan galian yang tidak tercantum dalam Indische Mijnwet.

KOMPAS/AHMAD ZULKANI

Koperasi Unit Desa (KUD) Sisawah, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung (Sumbar), merupakan koperasi pengelola tambang pertama di daerah ini (26/2/1991). Berbagai kegiatan penambangan, seperti sarana pencucian (washingplant) yang sederhana ini, dilakukan di lokasi tambang di pinggiran hutan nagari itu. Kegiatan dilakukan secara manual oleh tenaga manusia.

Masa penjajahan Jepang

Seiring masuknya Jepang dan adanya peralihan kependudukan pada Maret 1942, kegiatan pertambangan tidak mendapatkan perhatian khusus. Selama tiga tahun masa penjajahan Jepang, tidak ada peraturan baru mengenai pertambangan.

Peraturan yang yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, juga tidak mengalami perubahan, bahkan tetap dilaksanakan. Dokumen Dienst van den Mijnbouw hanya diganti namanya menjadi Chisitsu Chosasho.

Di bawah Pemerintahan Jepang, kegiatan pertambangan berada di tangan Komando Militer Jepang dan disesuaikan dengan situasi perang saat itu. Beberapa lahan pertambangan digarap demi keperluan perang, antara lain minyak bumi, batubara, timah, bauksit, dan nikel.

Selama tiga tahun menjajah Indonesia, Jepang mengembangkan potensi pertambangan dengan membuka beberapa lahan pertambangan baru. Beberapa di antaranya, batubara kokas di Kalimantan Selatan, tambang tembaga di Jawa Tengah, biji besi di Lampung, dan lain sebagainya.

Masa Orde Lama

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mengantarkan perubahan yang sangat besar di segala bidang, termasuk pertambangan. Dengan proklamasi kemerdekaan, tatanan hukum kolonial diganti. Selanjutnya dibangun tatanan hukum baru, yaitu sistem hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter bangsa.

Pasca-penjajahan, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi menetapkan landasan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk pada pertambangan mineral dan batubara.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, industri pertambangan masih terus dilanjutkan, hanya saja pada waktu itu Pemerintah Indonesia masih memakai Undang-Undang Indische Mijnwet (IMW) yang dibentuk oleh Belanda untuk mengatur mengenai pokok-pokok pertambangan.

Untuk menyempurnakan UU IMW, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU 78/1958 tentang Penanaman Modal Asing. Di dalam UU ini, diatur mekanisme Penanaman Modal Asing. Hanya saja untuk sektor pertambangan bahan vital masih tertutup bagi pemodal asing.

Namun pada prakteknya, UU 78/1958 ini tidak berpengaruh terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah. Seperti yang terlihat sejak tahun diterbitkannya UU ini, terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.

Setahun kemudian, Pemerintah mengeluarkan UU 10/1959 tentang Pembatalan Hak-hak Pertambangan. Melalui UU ini, Pemerintah berwenang membatalkan hak pertambangan yang diberikan sebelum tahun 1949. Apabila pertambangan tersebut masih tahap awal pengerjaan atau terkesan tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh, Pemerintah dapat membatalkan secara hukum.

Namun, pencabutan hak penambangan melalui UU 10/1959 memiliki pengecualian bagi pertambangan minyak bumi. Untuk itu, sepanjang program Nasionalisasi hingga tahun 1960 masih tersisa tiga perusahaan minyak milik swasta, yaitu Stanvac, Caltex, dan Shell.

Memasuki tahun 1960, Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan pertambangan untuk yang pertama kalinya, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan. Peraturan ini kemudian disebut dengan istilah UU No. 37 Prp Tahun 1960. Dengan berlakunya Perppu 37/1960, Indische Mijnwet Stb. 1899 No.214 yang dibuat Belanda dinyatakan tidak berlaku.

Melalui aturan ini, pemerintah memberikan peluang yang besar kepada perusahaan-perusahaan negara, sekaligus perusahaan swasta yang dimiliki oleh orang yang berkebangsaan Indonesia untuk melakukan eksplorasi bahan tambang.

Bahkan Pemerintah juga memberikan keleluasaan untuk mengeksploitasi galian yang sifatnya galian strategis maupun galian vital. Di samping itu, juga menunjukkan semangat nasionalisme dan anti barat. Hal ini turut didukung dengan prioritas eksplorasi tambang diberikan kepada badan usaha koperasi.

Kemudian, diterbitkan pula Perppu 44/1960 tentang Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi. Dengan Perppu ini memungkinkan pemerintah dalam menarik modal asing untuk mengembangkan bidang eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dengan pola production sharing contract. Pola bagi hasil ini lebih lanjut diatur dalam Perpres 20/1963 tentang Pemberian Fasilitas bagi Proyek-Proyek yang Dibiayai dengan Kredit Luar Negeri atas Dasar “Production Sharing”.

KOMPAS/MARKUS DUAN ALLO

Tambang batubara anthrasit di Tanjung Enim, Sumatera Selatan yang lebih banyak ditangani untuk ekspor dan peleburan timah dalam negeri (14/12/1980).

Masa Orde Baru

Memasuki Orde Baru, kebijakan terkait pertambangan lebih dominan ditujukan untuk menarik investor asing. Hal ini terlihat dari disahkannya Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan. Dalam Ketetapan MPRS tersebut, disebutkan bahwa potensi modal, teknologi, dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk mengolah potensi kekayaan alam demi pembangunan Indonesia.

Ketetapan MPRS ini akhirnya menjadi dasar hukum mengenai kebijakan ekonomi dan pembangunan yang memerlukan investasi asing, yaitu dalam bentuk penanaman modal asing. Tujuan utamanya adalah untuk mempercepat perbaikan ekonomi dan pembangunan.

Bukan hanya itu, sehubungan dengan aktivitas pertambangan yang memerlukan dukungan modal dalam jumlah besar, selanjutnya Pemerintah mengeluarkan UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). UU ini menjadi titik awal masuknya investasi asing di Indonesia.

Setelah disahkannya UU PMA, pada tanggal 5 April 1967 dilakukan penandatanganan kontrak karya (KK) Penanaman Modal Asing yang pertama kalinya, yaitu antara Freeport Sulphur Company(FCS/PT. Freeport Indonesia. Inc), milik Amerika, dengan Pemerintah Indonesia.

Tercatat juga dalam kurun waktu antara tahun 1967-1972, setidaknya terdapat 16 perusahaan pertambangan luar negeri yang melakukan Kontrak Karya. Beberapa perusahaan tambang asing ternama yang masuk diantaranya ALCOA, Billton Mij, INCO, Kennecott, dan US Steel. Ketika itu, total penanaman modal asing masuk di Indonesia mencapai 2.488,4 juta dollar AS.

Di tahun yang sama, Pemerintah mengeluarkan UU 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui UU ini, negara memiliki otoritas mutlak untuk memberikan izin dalam melakukan ekstraksi semua sumber daya mineral kepada individu maupun perusahaan. Regulasi ini memberi kesempatan kepada investor asing untuk menanamkan modalnya dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia.

Selain itu, juga memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada pemerintah pusat, yang diserahkan kepada Menteri Pertambangan (khususnya untuk bahan galian golongan a dan golongan b). Undang-undang ini juga memperkenalkan sistem pengusahaan kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, kuasa pertambangan seperti tercantum dalam pasal 10.

Berkaitan dengan jenis kontrak dan perizinan untuk melakukan penambangan, setidaknya ada lima hal yang diatur dalam UU 11/1967. Pertama, Kuasa Pertambangan (KP), diperuntukkan bagi perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Kedua, Kontrak Karya (KK) yang diperuntukkan bagi penambangan golongan a dan b, serta modal asing.

Ketiga, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi modal dalam negeri dan modal asing yang mengusahakan pertambangan batubara. Keempat, Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) bagi perusahaan nasional dan koperasi untuk mengusahakan bahan galian industri. Kelima Surat Ijin Pertambangan Rakyat (SIPR).

KOMPAS/HIKMAT ISHAK

Seorang buruh tambang karya di Bangka sedang menyemprotkan air ke tanah di bukit-bukit (11/12/1980). Dengan tangan, ia mengarahkan semprotan itu seakan-akan hanya bermain-main. Tapi sedikit demi sedikit ia berhasil mengumpulkan biji timah dari dalam tanah tersebut, mengalirkannya ke alat penyaring, lalu membersihkannya.

Masa Reformasi

Era Reformasi membawa angin segar bagi tatanan baru pemerintahan di Indonesia. Jatuhnya rezim Orde Baru yang diiringi dengan reformasi, ikut mengubah model pemerintahan secara luas. Otonomi yang semula dikuasai oleh Pemerintah Pusat (sentralistik), kemudian diberikan kepada daerah (desentralisasi).

Disahkannya UU 32/2004 untuk menggantikan UU 22/1999, yang membahas tentang Pemerintahan Daerah, kemudian mengatur beberapa kewenangan perihal pemanfaatan sumber daya alam, khususnya yang berada di wilayah pemerintahan daerah.

Salah satu kewenangan yang pada masa itu mendapat kritik yakni terkait model perjanjian seperti Kontrak Karya. Melalui perjanjian ini, posisi perusahaan pertambangan swasta sejajar dengan negara. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Selain disahkannya UU tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah menerbitkan UU 4/2009 tentang Pertambangan, yang kemudian disebut dengan UU Minerba. Terbitnya regulasi ini menjadi momentum pembaruan hukum pertambangan Indonesia.

Melalui UU Minerba yang menjadi acuan baru dalam pelaksanaan aktivitas pertambangan mineral dan batu bara, rezim orde baru yang menganut sistem kontrak pada UU sebelumnya, diganti dengan rezim perizinan.

Di dalam UU Minerba, setidaknya terdapat beberapa bentuk perizinan yang diatur, diantaranya yakni: Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang berlaku untuk jenis badan usaha, koperasi dan perorangan. Kemudian ada Ijin Pertambangan Rakyat (IUP) yang diberikan kepada penduduk setempat, baik perorangan, kelompok maupun koperasi, dengan luasan tertentu. Terakhir adalah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang berlaku untuk badan usaha sepertu BUMN, BUMD serta perusahaan swasta.

Disamping mengatur perihal jenis izin bagi yang akan membuka lahan untuk aktifitas pertambangan, di dalam UU Minerba juga terdapat aturan kewenangan untuk berbagai level pemerintahan. Pembagian level kewenangan ini dibagi menjadi tiga, yaitu: pemerintah daerah tingkat II, tingkat I dan Pemerintah Pusat.

Perubahan-perubahan lain yang cukup menonjol dalam UU Minerba dibandingkan dengan UU 11/1967, yakni adanya pengaturan tentang aspek-aspek lingkungan hidup, divestasi, pengolahan dan pemurnian di dalam negeri (hilirisasi) guna meningkatkan nilai tambah. Bukan hanya itu, di dalam UU Minerba juga dibahas mengenai sanksi administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang ijin, serta sanksi terhadap pemberi atau penerbit ijin.

Untuk Kontrak Karya dan PKP2B yang telah berjalan, maka masih akan tetap berlaku hingga habis masa kontraknya. Dalam ketentuan peralihan UU Minerba ini dijelaskan bahwa pemegang Kontrak Karya yang sudah berproduksi saat UU Minerba diberlakukan, wajib untuk melakukan pemurnian selambatnya lima tahun sejak UU Minerba ini diberlakukan.

Pada 2020, kembali terjadi perubahan kebijakan pertambangan melalui UU 3/2020 tentang Perubahan UU Minerba 2009 (UU Minerba 2020). Pada UU ini, kewenangan penyelenggaraan pertambangan minerba yang semula masih ada sebagiannya pada pemerintah provinsi beralih ke pemerintah pusat.

Sebagai turunannya, Pemerintah menerbitkan PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang mempertegas sentralisasi kewenangan minerba ke pemerintah pusat.

Meskipun dalam Pasal 35 UU Minerba 2020 kewenangan perizinan dapat didelegasikan ke pemerintah daerah melalui sebuah peraturan pemerintah, kenyataannya peraturan pemerintah yang menjadi delegasi UU Minerba 2020 tidak memberikan kewenangan perizinan selain kepada Menteri ESDM.

UU Minerba 2020 pernah dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Putusan Nomor 64/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan Pasal 169A UU Minerba 2020 bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 169A UU Minerba 2020 mengatur, “KK dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi KK/PKP2B setelah memenuhi persyaratan”. Putusan MK ini menjadi titik balik penguatan BUMN dan BUMD tambang untuk mendapatkan prioritas atas IUPK bekas KK dan PKP2B. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Jurnal
Arsip Kompas
  • “Industri Migas: Pertamina, Tari Pendet, dan Petronas”, Kompas, 12 September 2009, hlm. 40
  • “Moratorium Pertambangan”, Kompas, 05 Februari 2010, hlm. 06
  • “Negosiasi Ulang Kontrak Tambang?”, Kompas, 09 November 2011, hlm. 06
  • “Deregulasi Aturan Tambang”, Kompas, 11 Desember 2015, hlm. 06
Peraturan

Artikel terkait