Paparan Topik

Minyak Bumi Dalam Negeri: Produksi, Impor, dan Perkembangan Harga BBM

Meski Indonesia masih menghasilkan minyak bumi atau minyak mentah (petroleum), sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak neto (net oil importer) karena minyak yang diproduksi tidak mencukupi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Kru pengeboran PT Pertamina mengganti pipa pengebor di sumur eksplorasi Pondok Makmur (PDM-05) Pertamina EP di kompleks Pondok Makmur C, Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (7/1/2010). Sumur eksplorasi tersebut adalah sumur kelima yang dibor di lokasi Pondok Makmur dengan tujuan mengkonfirmasi besarnya cadangan minyak di wilayah tersebut. Sebelumnya, Pertamina EP telah berhasil menemukan cadangan minyak dan gas di area Pondok Makmur.

.

Fakta Singkat

  • Pada 1991, Indonesia masih memiliki 5,9 miliar barel cadangan minyak terbukti, namun jumlah ini menurun menjadi 3,7 miliar barel pada akhir 2014.
  • Tingginya permintaan minyak yang tidak diimbangi dengan produksi domestik, mengakibatkan Indonesia mengimpor sekitar 350.000 sampai 500.000 barel bahan bakar per hari dari beberapa negara.
  • Kemampuan produksi minyak bumi nasional adalah sekitar 800 ribu barel per hari.
  • Data BPS terkait produksi minyak 25 tahun terakhir menunjukan penurunan yang tajam.
  • Tahun 1996, produksi minyak mentah masih tercatat 548 juta barel, namun 25 tahun berselang, produksinya turun separuh, yakni hanya 259 juta barel pada tahun 2020

Konsumsi minyak Indonesia menunjukkan tren kenaikan seiring dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor, karena pertambahan jumlah penduduk, serta pertumbuhan ekonomi yang memicu peningkatan permintaan untuk bahan bakar untuk industri dan transportasi.

Tingginya permintaan minyak yang tidak diimbangi dengan produksi domestik mengakibatkan Indonesia mengimpor sekitar 350.000 sampai 500.000 barel bahan bakar per hari dari beberapa negara. Padahal, Indonesia sudah mencari sumber-sumber minyak baru untuk meningkatkan produksi di wilayah timur yang sebelumnya terkonsentrasi di wilayah barat negara ini.

Meski demikian, produksi tak serta merta meningkat karena cadangan minyak yang terbukti di seluruh Indonesia justru telah turun dengan cepat.

Pada 1991, Indonesia masih memiliki 5,9 miliar barel cadangan minyak terbukti, namun jumlah ini menurun menjadi 3,7 miliar barel pada akhir 2014. Sementara Ditjen Migas ESDM 2019 mencatat cadangan minyak bumi per 1 Januari 2019 sebesar 3,77 miliar barel. Sekitar 68 persen dari cadangan tersebut telah terbukti, dan sisanya bersifat terduga atau potensial.

Dalam perkembangannya, data SKK Migas hingga 31 Desember 2021 mencatat jumlah cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 2,36 miliar barel. Dengan kemampuan produksi minyak bumi nasional sekitar 800 ribu barel per hari, jika tidak ada penemuan ladang minyak baru, diperkirakan minyak hanya bisa diambil hingga 8 tahun ke depan atau hingga tahun 2029.

KOMPAS/AHMAD ARIF

Kilang minyak bumi Balongan di Desa Sukareja, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (21/4/2008). Kelambatan pembangunan kilang menyebabkan produksi minyak stagnan sehingga Indonesia gagal memanfaatkan kenaikan harga minyak bumi, bahkan kenaikan harga itu menjadi beban bagi APBN.

Produksi minyak Indonesia

Produksi minyak mentah Indonesia sejak 1990-an mengalami tren penurunan yang berkelanjutan karena kurangnya eksplorasi dan penemuan sumur-sumur baru. Target-target produksi minyak, ditetapkan oleh pemerintah setiap awal tahun, namun tidak tercapai untuk beberapa tahun berturut-turut karena kebanyakan produksi minyak berasal dari ladang-ladang minyak yang sudah menua.

Penurunan produksi minyak Indonesia dikombinasikan dengan permintaan domestik yang meningkat mengubah Indonesia menjadi importir minyak dari tahun 2004. Hal itu menyebabkan Indonesia harus menghentikan keanggotaan jangka panjangnya (1962–2008) di OPEC.

Untuk mengetahui produksi minyak Indonesia, bisa dicermati dari lifting minyak tiap tahun. Lifting minyak sendiri merupakan volume produksi minyak yang siap untuk dijual atau digunakan. Lifting minyak menjadi dasar dalam perhitungan beberapa komponen APBN seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minyak, penerimaan perpajakan di sektor migas, serta transfer ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH) untuk daerah penghasil migas.

Lifting minyak dapat berbeda dengan produksi minyak. Produksi minyak adalah total produksi minyak dari perut bumi yang tidak seluruhnya dipakai, namun sebagiannya digunakan untuk eksplorasi minyak bumi. Jumlah minyak total produksi dikurangi dengan bagian yang digunakan untuk eksplorasi lagi disebut minyak lifting.

KOMPAS/ADI SUCIPTO

Penyaluran minyak dan gas yang dikelola Hess Indonesia Pangkah Ltd melalui pipa bawah laut dari lokasi pengeboran di perairan Ujungpangkah ke tempat pengolahan di Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur mulai Jumat (2/11) kembali normal. Proses penyaluran minyak dan gas dihentikan sementara sejak Selasa (30/10/2012) karena ada temuan tumpahan minyak mentah di sekitar lokasi pengeboran Hess. Tahun 2012 Hess ditargetkan menghasilkan gas sebanyak 61,5 juta kaki kubik per hari (mmscfd)-70 mmscfd dan minyak 9.000 barel per hari.

Tahun 2019, lifting minyak Indonesia tidak memenuhi target APBN. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat realisasi lifting minyak sepanjang tahun lalu mencapai 746.000 barel per hari atau 96,3 persen dari APBN 2019 sebesar 775.000 barel per hari. Lifting minyak Indonesia sebetulnya berpotensi mencapai 752.000 barel per hari. Namun, produksi berkurang sepanjang 2019 karena ada kebakaran hutan di Sumatera, dampak kondensat karena curtailment gas, revisi Amdal EMCL dan kebocoran di lapangan YY blok Offshore North West Java (ONWJ).

Sementara tahun 2020, SKK Migas mencatat realisasi produksi siap jual (lifting) minyak 2020 mencapai 706 ribu barel minyak per hari (BOPD) selama 2020. Angka ini setara 100,2 persen target APBN-P di kisaran 705 ribu barel per hari. Target itu tercapai setelah dipangkas sesuai Perpres 72/2020 menjadi 705 ribu barel per hari karena pandemi Covid-19. Awalnya lifting minyak ditargetkan mencapai 755 ribu barel per hari sesuai APBN 2020 awal.

Adapun tahun 2021, lifting minyak tidak memenuhi target APBN. Realisasi lifting minyak mencapai 660.000 barel per hari atau 93,7 persen dari target sebesar 705.000 barel per hari. SKK Migas memastikan ada sejumlah penyebab lifting migas tahun lalu belum mencapai target, antara lain, beberapa proyek yang terpaksa mundur, di antaranya Tangguh (Train III) dan Jambaran Tiung Biru  akibat dampak dari pandemi pada 2020.

Tahun 2022, SKK Migas mencatat realisasi angka lifting minyak sebesar 614,5 ribu barel per hari atau capai 87 persen dari target APBN. Dalam target APBN 2022, target lifting minyak sebanyak 703 ribu barel per hari.

Menurut SKK Migas, selain masalah produktivitas yang menurun, mundurnya komersialisasi sejumlah lapangan migas menyebabkan belum tercapainya target lifting tersebut. Beberapa proyek strategis yang jadwal komersialisasinya mundur karena pandemi Covid-19 adalah Jambaran Tiung Biru di Bojonegoro, Jawa Timur, dan Tangguh Train-3 di Papua Barat.

Selain lifting minyak yang datanya mengunakan satuan barel per hari yang bersumber dari Kementerian ESDM dan SKK Migas, produksi minyak mentah Indonesia per tahun juga dicatat oleh Badan Pusat Statistik. Berdasarkan data BPS, produksi minyak mentah Indonesia tiap tahun cenderung menurun.

KOMPAS/M HERNOWO

Selain letaknya yang strategis, besarnya kandungan minyak bumi menjadi salah satu alasan mengapa Tarakan, Kalimantan Timur, diperebutkan oleh Belanda, Jepang, dan kemudian Sekutu dalam Perang Dunia II. Jejak eksplorasi yang mereka lakukan masih dapat ditemui di sekitar jalan
menuju Kampung Empat, Tarakan (10/07/2009).

Sebelum Indonesia menjadi negara pengimpor minyak, produksi minyak mentah Indonesia tiap tahun masih di atas 400 juta barel per tahun atau di atas 1 juta barel per hari. Namun, sejak tahun 2005, produksi minyak nasional di bawah 1 juta barel per hari atau sekitar 350 juta barel.

Data BPS terkait produksi minyak 25 tahun terakhir menunjukan penurunan yang tajam. Tahun 1996, produksi minyak mentah masih tercatat 548 juta barel, namun 25 tahun berselang, produksinya turun separuh yakni hanya 259 juta barel di tahun 2020. Kondisi itu mengakibatkan impor minyak terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.

Impor Minyak Indonesia

Kendati Indonesia masih menghasilkan minyak (petroleum), Namun, sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak neto (net oil importer) karena jumlah minyak yang diimpor untuk keperluan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri sudah melampaui jumlah minyak yang bisa diekspor. Indonesia melakukan impor minyak untuk memenuhi konsumsi minyak yang terus meningkat setiap tahunnya.

Minyak yang diimpor Indonesia berupa dua jenis minyak yang diperjualbelikan di pasar minyak global, yaitu minyak mentah dan hasil minyak. Minyak mentah atau minyak bumi merupakan sumber daya alam murni hasil pengeboran. Sementara hasil minyak merupakan produk olahan dari minyak mentah yang biasa diolah menjadi bensin, solar, dan BBM lainnya.

Merujuk laporan dan data dari Badan Pusat Statistik alias BPS, sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2021, jumlah impor hasil minyak di Indonesia selalu lebih besar daripada jumlah ekspor minyak. Tahun 2021, misalnya, Indonesia mengimpor sebanyak 21,9 juta ton hasil minyak dan hanya mengekspor sebanyak 3,7 juta ton hasil minyak.

Selain itu, Indonesia juga mengimpor minyak mentah atau minyak bumi yang cenderung lebih besar daripada ekspor minyak mentah. Sebagai contoh misalnya, pada tahun 2021, Indonesia mengimpor sebanyak 13,7 juta ton minyak mentah dan hanya mengekspor sebanyak 6 juta ton minyak mentah.

Berdasarkan laporan BPS, negara asal utama minyak impor di Indonesia adalah Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Arab Saudi, China, Nigeria, Uni Emirat Arab, Australia, Korea Selatan, dan Qatar. Dari 10 negara tersebut, Indonesia tidak hanya mengimpor minyak mentah, tetapi juga hasil minyak.

Tahun 2021, Indonesia telah mengimpor minyak bumi dan hasil minyak sebanyak 42,1 juta ton. Angka ini meningkat pesat dibandingkan impor pada tahun 2020 sebanyak 37,6 juta ton.

Singapura menjadi negara yang terbesar memasok hasil olahan minyak ke Indonesia. Tahun 2021, minyak yang diimpor Indonesia dari negara tersebut yang berbentuk hasil minyak mencapai 10,3 juta ton. Berikutnya  Malaysia yang mengekspor minyak ke Indonesia sebesar 5,77 juta ton.

Berikut negara-negara yang mengekspor minyak mentah dan hasil olahan minyak ke Indonesia pada 2021.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pekerja mengontrol proses produksi di anjungan lepas pantai Mike-Mike yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) di Laut Jawa, Utara Karawang, Jumat (17/7/2015). Total produksi perhari PHE ONWJ untuk minyak sebesar 40.400 barel per hari (bph) dan gas bumi mencapai 173 mmscfd, yang semuanya digunakan untuk menyuplai kebutuhan strategis nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat impor minyak mentah Indonesia. Berdasarkan data BPS impor minyak mentah terbesar pada 2021 berasal dari Arab Saudi dengan volume mencapai 4,42 juta ton dan nilai 2,27 miliar dollar AS. Volume itu mencapai 32 persen dari total impor minyak mentah Indonesia sebanyak 13,78 juta ton di tahun 2021.

Impor minyak mentah Indonesia terbesar berikutnya berasal dari Nigeria, yakni 3,92 juta ton dengan nilai 1,94 miliar dollar AS. Kemudian dari Australia mencapai 1,41 juta ton senilai 809,3 juta dollar AS, dan dari Angola sebanyak 901,7 ribu ton senilai 432 juta dollar AS.

Berikut 10 Negara asal impor minyak mentah Indonesia tahun 2021

Ketergantungan Indonesia terhadap impor energi fosil dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri itu membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlebih jika terjadi kenaikan harga minyak di pasar dunia. Hal itu terjadi karena Indonesia masih memberikan subsidi energi termasuk BBM yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah dalam APBN. Untuk mengurangi beban anggaran, salah satu langkah yang ditempuh Pemerintah, yakni dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.

Perkembangan Harga BBM

Kenaikan harga BBM sudah terjadi sejak zaman Orde Lama, Orde Baru pada masa kepemimpinan Soeharto, dan terus berlanjut hingga era Joko Widodo. Tercatat hanya era kepemimpinan Habibie yang tidak terjadi lonjakan harga BMM.

Pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang menjabat sejak 18 Agustus 1945 hingga 12 Maret 1967, sudah beberapa kali terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi. Berdasarkan sejumlah data yang ada, Soekarno menaikkan harga BBM sebanyak dua kali, yaitu pada 1965 dan 1966.

Kenaikan harga BBM pertama terjadi pada 22 November 1965, ketika harga BBM premium menjadi Rp0,3 dan solar Rp0,2. Tiga bulan setelahnya, pada 3 Januari 1966, harga BBM premium naik menjadi Rp1,00 dan solar Rp0,80. Kemudian, pada 27 Januari 1966, harga BBM premium diturunkan menjadi Rp0,5 dan solar menjadi Rp0,4.

Pada era Orde Baru, masa pemerintahan Presiden Soeharto, kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan sebanyak 21 kali. Selama menjabat sebagai presiden sejak 12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998, Presiden Soeharto Soeharto tidak selalu menaikkan harga BBM secara serentak, melainkan untuk satu, dua, atau tiga jenis BBM bersubsidi.

Sebagai gambaran misalnya pada tahun 1980, mulanya harga bensin premium sebesar Rp150, kemudian naik pada tahun 1991 menjadi Rp550, berikutnya tahun 1993 menjadi Rp700, hingga pada tahun 1998 menjadi Rp1.200.

Sementara harga solar pada tahun 1980 sebesar Rp52 rupiah, kemudian naik pada tahun 1991 menjadi Rp300, dan selanjutnya naik lagi pada tahun 1993 menjadi Rp380, hingga di penghujung kekuasaan Soeharto menjadi Rp600.

Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998, BJ Habibie didapuk menjabat Presiden. Namun, masa jabatan Habibie sebagai presiden terbilang sangat singkat, yaitu sejak 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999. Ketika BJ Habibie memimpin, harga BBM bersubsidi masih sama dengan harga terakhir pada masa pemerintah Soeharto. Dengan demikian, selama menjabat sebagai presiden, BJ Habibie tidak pernah melakukan kenaikan harga BBM bersubsidi. Ia justru menurunkan harga BBM jenis premium yang semula Rp1.200 menjadi Rp1.000.

Sementara pada masa kepemimpinan Gus Dur, harga BBM bersubsidi mengalami perubahan 6 kali. Harga premium tahun 2000 sempat mengalami penurunan dari Rp1000 menjadi Rp600 per liter. Tetapi, tidak lama dari masa kepemimpinannya pada tahun 2000, harga BBM kembali melonjak menjadi Rp1.150 per liter. Kemudian pada 2001, Gus Dur kembali menaikan harga BBM menjadi Rp1.450 per liter. Sementara harga solar dari Rp600 per liter pada tahun 2000, kemudian naik menjadi Rp1.150 pada bulan Mei 2001, dan pada bulan Juli 2021 kembali naik menjadi Rp1.280 per liter.

Selama masa kepemimpinan Presiden Megawati, 19 kali melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Harga bensin premium sendiri mengalami 3 kali perubahan. Pertama terjadi pada 2002, dari harga Rp1.450 menjadi Rp1.550 per liter. Kemudian pada awal Januari 2003, harga naik menjadi Rp1.810 per liter.

Sementara itu, harga solar pada masa Megawati berubah sebanyak 16 kali. Pada awal kepemimpinannya, harga solar Rp1.190 per liter, kemudian naik turun beberapa kali hingga mencapai Rp1.650 per liter pada akhir masa jabatan Presiden Megawati.

Selama dua periode masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, SBY menaikan dan menurunkan harga BBM sebanyak 8 kali. Tahun 2003 yang awalnya harga BBM sekitar Rp1.810, naik pada tahun 2005 menjadi Rp2.400 sampai Rp4.500, hingga pada tahun 2008 kenaikan harga BBM mencapai angka Rp6.000.

Kemudian pada tahun 2008, terjadi penurunan harga BBM pada bulan November sampai Desember menjadi harga Rp5000 sampai Rp5.500. Hingga tahun 2009, harga BBM kembali turun di angka Rp4.500. Namun kenaikan harga BBM terjadi lagi pada tahun 2013, di mana pada waktu itu menyentuh angka Rp6.500.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) di Pohon Duri Kota Kupang, Senin (12/9/2022) sedang mengisi pertalite bersubsidi. Warga yang sudah mendaftar cukup menunjukkan email dari Pertamina saat mendaftar, mereka akan dilayani. Tetapi ada kekecewaan warga. Nilai BBM subsidi itu Rp 10.000 per liter, sementara BBM non subsidi seperti pertamax senilai Rp 14.500 per liter, beda cuma Rp 4.500 per liter dengan pertalite subsidi, atau Pertamini senilai Rp 11.500 – Rp 12.500 per liter. Proses pendaftaran jauh lebih rumit ketimbang nilai BBM bersubsidi itu.

Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sudah terjadi delapan kali perubahan harga BBM bersubsidi. Pada awal kepemimpinannya terjadi kenaikan harga premium dan solar, masing-masing menjadi Rp8.500 untuk premium dan solar menjadi Rp7.500. Kemudian pada Januari 2015 harga premium turun menjadi Rp7.600, sedangkan solar turun menjadi Rp7.250. Pada bulan yang sama, kembali terjadi penurunan harga BBM, Rp6.600 untuk premium, dan solar menjadi Rp6.400 per liter.

Namun, kenaikan harga BBM per liter kembali diumumkan pada bulan Maret, menjadi sekitar Rp7.300 untuk premium dan Rp6.900 untuk solar. Pada tahun 2016, terjadi penurunan harga BBM kembali, di mana harga premium menjadi Rp6.500 dan untuk solar menjadi Rp5.150.

Pada 20 Januari 2018, Jokowi menaikkan harga Pertalite menjadi Rp7.600 per liter. Lalu, pada 24 Maret 2018 harga Pertalite kembali naik menjadi Rp7.800 per liter. Lantas pada September 2022 terjadi kenaikan BBM yang cukup signifikan. Pertalite naik dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, solar naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, dan Pertamax naik dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Basundoro, Purnawan. 2017. Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950-1960an. Surabaya: Airlangga University Press.
  • Dharmasaputra, Metta. 2013. Wajah Baru Industri Migas Indonesia: Potret Industri Hulu Minyak dan Gas Nasional di era Orde Lama, Orde Baru, dan Lanskap Baru Pasca-Reformasi. Jakarta: PT Katadata Indonesia.
Arsip Kompas
  • “Indonesia Bakal Jadi Pengimpor Minyak Mentah Tahun 2004”. Kompas, 21 Mei 2003, halaman 13
  • “Indonesia, “Net Oil Importer”!”. Kompas, 26 Mei 2004, halaman 15
  • “Untung Rugi Indonesia Tetap di Panggung OPEC”. Kompas, 21 Februari 2005, halaman 15
  • “Indonesia Keluar dari OPEC * Harga Minyak Jadi Beban”. Kompas, 29 Mei 2008, halaman 15
  • “Kilang Butuh Perhatian”. Kompas, 18 Januari 2019, halaman 13
  • “Bahan Bakar Minyak: Satu Harga, tapi Tak Sama”. Kompas, 19 Januari 2022, halaman 9
  • “Harga BBM dan Elpiji Nonsubsidi Terus Melonjak”. Kompas, 01 Maret 2022, halaman: 9