Paparan Topik

Industri Nikel Indonesia: Sejarah, Produksi, Kebijakan, dan Tantangan

Pada tahun 2021, tercatat bahwa Indonesia memproduksi hingga 1.040 ribu ton nikel. Badan geologi Pemerintah AS mengestimasikan bahwa produksi nikel di Indonesia tahun 2022 meningkat hingga 20 persen.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Sejumlah kapal tongkang dengan muatan ore nikel berlabuh di Teluk Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, seperti terlihat pada Kamis (12/5/2022).

Fakta Singkat

  • Lambang Unsur: Ni
  • Produksi Nikel 2021: 1.040 ribu ton.
  • Peringkat Dunia: Tahun 2021 Peringkat 1 (38%)
  • Sektor Permintaan 2021: Industri baja (70%)
  • Sektor Permintaan 2030: Baterai Kendaraan Listrik (Sepertiga)
  • Lokasi Cadangan Nikel: Sulawesi dan Maluku (90%)
  • Total Smelter 2020: 13 Smelter

Nikel adalah salah satu unsur kimia yang merupakan logam transisi (memiliki campuran sifat-sifat logam dan non-logam) dengan simbol Ni dan nomor atom 28 dalam tabel periodik unsur. Unsur ini ditemukan dalam bijih mineral nikel dan merupakan salah satu logam yang paling sering digunakan di dunia karena sifatnya yang kuat (massa jenis tinggi), tahan korosi, dan mudah dibentuk.

Selain itu, sifat kimia nikel adalah mudah bereaksi dengan oksigen dan asam, sifat magnetik kuat, dan konduktivitas termal maupun listrik yang tinggi. Logam putih keperakan ini paling banyak terdapat di Indonesia, Kanada, Rusia, dan Australia.

Nikel memiliki berbagai aplikasi industri yang sangat penting. Salah satu aplikasi utamanya adalah dalam pembuatan baterai, terutama baterai nikel-kadmium dan nikel-metal hidrida. Karena sifat logamnya yang tahan terhadap korosi dan abrasi, nikel juga digunakan dalam pembuatan senjata api dan amunisi. Selain itu, nikel juga digunakan sebagai katalis dalam produksi bahan kimia dan sebagai pigmen dalam industri percetakan.

Nikel juga digunakan untuk pencampuran dengan logam lainnya (logam paduan), misalnya untuk produksi baja tahan karat dengan bahan nikel-kromium, industri pesawat terbang dan mesin turbin yang menggunakan campuran nikel-titanium. Tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, nikel juga ditemukan dalam logam peralatan dapur seperti panci, alat masak, basin tempat cuci piring, serta perhiasan (sebagai pelapis perak atau emas).

Penggunaan nikel untuk industri baja memang paling tinggi, mencapai 70 persen dari total permintaan mineral nikel ini. Akan tetapi, para ahli memprediksi bahwa permintaan nikel untuk industri baterai mobil listrik akan meningkat dari enam persen pada tahun 2020 menjadi sepertiga dari total permintaan nikel pada tahun 2030.

Terlepas dari kegunaannya, nikel beracun bagi mahluk hidup jika sampai terpapar dalam jumlah besar. Nikel dapat menyebabkan alergi kulit, gangguan pernafasan, bahkan kerusakan organ internal. Hal ini menyebabkan industri nikel dapat membawa dampak lingkungan yang serius dan memerlukan kebijakan Pemerintah yang baik untuk mengelola dampak-dampak eksternal tersebut.

Dalam sejarahnya, nikel ditemukan sudah ada pada artefak logam kuno yang berusia hingga 2000 tahun silam, tetapi baru teridentifikasi secara ilmiah pada tahun paruh awal abad ke-18 dengan penemuan nikel dari pertambangan tembaga di Saxony Jerman pada tahun 1700 dan penelitian kimia oleh Baron Axel Fredrik Cronstedt di Swedia pada tahun 1751. Pemanfaatan nikel lalu berkembang pada abad ke-19 untuk tujuan utama pelapisan logam.

Pencapaian peningkatan produksi nikel Indonesia diikuti perhatian khusus Pemerintah dan badan usaha terhadap industri nikel dan keberhasilan pengembangannya.

Akan tetapi, mengingat rendahnya kapasitas industri hilir setelah produksi nikel tersebut, produksi nikel yang pesat dikhawatirkan hanya akan menghabiskan cadangan nikel Indonesia tanpa disertai kemajuan teknologi, industri, dan ekonomi yang berarti. Data perkembangan industri ini memberikan harapan akan keberhasilan upaya hilirisasi industri nikel di Indonesia, terlepas dari beragam tantangannya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Kawasan perbukitan yang menjadi lokasi penambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (5/6/2021). Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.

Sejarah dan Produksi Nikel di Indonesia

Pertambangan nikel di Indonesia bukanlah hal baru. Pemanfaatan sumber daya alam nikel Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Catatan sejarah menunjukkan bahwa ahli geologi Belanda, Krut, menemukan bijih nikel pertama di pegunungan Verbeek, Sulawesi pada tahun 1901. Kandungan nikel lalu ditemukan kembali di daerah Pomalaa, Sulawesi Tenggara pada tahun 1909 oleh Abdendanon. Ekplorasi kembali dilakukan pada tahun 1934 di Pulau Maniang dan Pulau Lemo.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1968 dibentuklah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang menyatukan beragam perusahaan tambang milik negara, seperti Perusahaan Negara (PN) Tambang Bauksit Indonesia, PN Tambang Mas Tjikotok, PN Logam Mulia, dan PN Nikel Indonesia.

Perusahaan BUMN ini pada tahun 1974 beralih dari PN Aneka Tambang menjadi PT Aneka Tambang atau yang kini dikenal sebagai PT Antam. PT Antam bergerak di bidang tambang nikel, emas, dan bauksit. Penambangan nikel pertama dilakukan pada tahun 1979 di Pulau Gebe, Maluku Utara. Pada tahun 2017, ia mendirikan pabrik feronikel di Halmahera Timur.

Dalam perkembangannya, perusahaan-perusahaan tambang nikel baru bermunculan. Salah satu perusahaan besar tambang nikel di Indonesia adalah PT International Nickel Indonesia (INCO) atau dikenal sebagai PT Vale. Pada tahun 2014 ia memproduksi hingga 77 persen dari total nikel Indonesia.

Namun, pada tahun 2018 PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) berhasil melampaui produksi PT Vale tersebut dengan total produksi mencapai 50 persen dari total produksi nikel Indonesia, meninggalkan PT Vale dengan produksi 22 persen. Sementara itu, produksi nikel PT Antam sendiri pada tahun 2014 sebesar 19 persen dan pada tahun 2018 menjadi 5 persen. Pemain lainnya adalah PT Virtue Dragon dan Harita.

Pada tahun 2021 Indonesia telah menjadi produsen nikel terbesar dunia dengan total produksi mencapai 1.040 ribu ton, meningkat menjadi 1.600 ribu ton pada 2022. Produksi tahun 2021 tersebut jauh melampaui Filipina dengan total 387 ribu ton, Rusia dengan 205 ribu ton, Kaledonia Baru dengan 186 ribu ton, Australia dan Kanada dengan 151 ribu dan 134 ribu ton. Dengan total produksi global tahun 2021 sebesar 2735.4 ribu ton, produksi nikel Indonesia mencakup hingga 38 persen total produksi global.

Grafik: 

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Kapal Motor Pan Begonia berbendera Panama labuh jangkar di Perairan Tambelas, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Kamis (18/6/2020). Kapal itu disergap petugas bea dan cukai pada 12 Februari lalu di perairan dekat Pulau Mapur, Kabupaten Bintan, saat membawa 14.050 metrik ton bijih nikel dari Pomalaa, Sulawesi Tenggara, ke Singapura.

Total produksi yang spektakuler tersebut merupakan hal yang baru. Produksi nikel Indonesia melaju pesat sejak tahun 2015. Pada tahun 2015 tersebut Indonesia hanya menghasilkan 130 ribu ton nikel. Angkanya meningkat menjadi 199 ribu ton pada tahun berikutnya, dan terus berkembang hingga 853 ribu ton pada tahun 2019.

Produksi nikel sempat menurun pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19, menjadi 771 ribu ton, tetapi lalu dengan lebih pesat lagi meningkat hingga 1600 ribu ton pada tahun 2022. Bila dihitung perkembangannya, peningkatan dari periode 2015-2019 mencapai 556 persen.

Grafik:

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pemukiman penduduk berdekatan dengan bukit yang ditambang untuk diambil kandungan nikelnya di Desa Tapunggaya, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Rabu (7/8/2019). Penambangan yang dilakukan masif di pegunungan di daerah tersebut menimbulkan bencana ekologis.

Meski produksi nikel Indonesia menunjukkan kemajuan yang menakjubkan, data cadangan nikel Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya bukanlah satu-satunya negara yang memiliki cadangan nikel besar.

Data dari US Geology Survey menunjukkan bahwa cadangan nikel yang besar juga dimiliki oleh Australia, dengan total sekitar 21 juta ton, sama besarnya dengan estimasi cadangan nikel Indonesia.

Brazil juga memiliki cadangan nikel besar sekitar 16 juta ton. Beberapa negara lain secara kesatuan memiliki total cadangan nikel sekitar 20 juta ton.

Cadangan nikel Indonesia sebagian besar terletak di kawasan Sulawesi dan Maluku, khususnya Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Totalnya mencapai 90 persen dari total cadangan nikel Indonesia. Lebih detail lagi, daerah-daerah tambang nikel berada di kabupaten berikut:

  • Kolaka, Sulawesi Tenggara
  • Luwu Timur, Sulawesi Selatan
  • Morowali, Sulawesi Tengah
  • Halmahera Timur, Maluku Utara
  • Pulau Gag, Papua Barat

Data cadangan nikel tersebut menunjukkan bahwa produksi nikel yang tinggi bukanlah ukuran untuk menunjukkan kemajuan industri nikel Indonesia dan standar keberhasilan strategi industri Pemerintah.

Cadangan nikel Indonesia tidak dapat bertumbuh, artinya memiliki batasnya dan produksi nikel yang tinggi tanpa industri hilir yang matang bisa jadi hanya akan menghabiskan cadangan nikel Indonesia untuk keperluan industri yang lebih maju milik negara lain. Mengingat pentingnya mineral nikel untuk industri masa depan, tingginya produksi nikel Indonesia perlu dibarengi dengan strategi hilirisasi yang lebih matang.

Industri Hilir Nikel dan Kebijakan Pemerintah

Kekayaan alam Indonesia adalah fakta yang sudah diketahui sejak dahulu dan perkembangan industri tambang nikel merupakan salah satu contoh pemanfaatan sumber daya alam yang tidak semua negara memilikinya.

Mengubah ekonomi Indonesia dari sekedar eksploitasi sumber daya alam dengan teknologi rendah menjadi ekonomi dengan industri maju merupakan tantangan besar yang masih menjadi persoalan hingga hari ini, terlepas dari kemajuan sektor jasa yang terus meningkat baik di level global maupun nasional. Kebijakan Pemerintah untuk pengembangan industri hilir di Indonesia merupakan faktor kunci yang menjadi perhatian para peneliti maupun para investor lokal dan asing.

Secara umum kebijakan industri hilirisasi baru mulai diperhatikan oleh Pemerintah dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini lalu diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

UU 4/2009 bertujuan untuk meningkatkan keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia dari eksploitasi sumber daya alamnya dengan cara mengharuskan perusahaan-perusahaan tambang untuk meningkatkan nilai ekonomi dari produk tambang mereka sebelum diekspor keluar. Hal ini tertuang pada Pasal 130 dan Pasal 170. UU 4/2009 juga mengharuskan investor asing mengurangi persentase saham mereka pada perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia.

Pada tahun 2014, Pemerintah baru mempertegas implementasi dari peraturan undang-undang tersebut. Kebijakan larangan ekspor bijin nikel (nickel ore) diterbitkan waktu itu, meski banyak perusahaan tambang belum memenuhi keharusan membangun smelter di Indonesia.

Akan tetapi, ketika Pemerintah mengalami defisit anggaran pada tahun 2016, dibarengi turunnya nilai produksi nikel Indonesia tahun itu dan mulai dibangunnya sembilan smelter nikel, Pemerintah memutuskan mengendorkan sementara larangan ekspor nikel pada tahun 2017.

Gebrakan kembali dibuat Pemerintah pada tahun 2020 dengan menerbitkan larangan ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen. Kebijakan ini efektif sejak 1 Januari 2020. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) yang diterbitkan pada Agustus 2019.

Di samping itu, upaya juga dibuat Pemerintah dengan mengalihkan sahamnya atas perusahaan-perusahaan tambang kepada BUMN MIND ID. Lebih lanjut MIND ID bergerak pemegang saham utama pada perusahaan tambang besar seperti Freeport Indonesia dan Vale Indonesia.

Untuk khusus menangani upaya hilirisasi industri nikel (khususnya untuk baterai kendaraan listrik), Pemerintah membentuk konsorsium (joint-venture) BUMN bernama PT Indonesia Battery yang terdiri atas MIND ID, PT Aneka Tambang, PT Pertamina, dan PT PLN. Perusahaan holding ini dimaksudkan agar BUMN lebih leluasa mengembangkan usaha dan menggandeng investor.

Kebijakan intervensi industri yang diambil Pemerintah bukanlah tanpa risiko. Pada awalnya, kebijakan larangan ekspor menyebabkan beberapa orang kehilangan pekerjaan, berkurangnya devisa dari ekspor, juga penurunan pendapatan Pemerintah.

Akan tetapi risiko tersebut merupakan akibat jangka pendek. Kini kebijakan industri tersebut mulai membuahkan hasil baiknya. Kini Indonesia telah memiliki mata rantai industri baja yang terintegrasi. Indonesia pada tahun 2020 memiliki 13 smelter nikel (hanya 2 di tahun 2014) dan menargetkan 30 smelter pada tahun 2023 ini.

Investor-investor besar yang terlibat dalam gerak hilirisasi sektor nikel ini termasuk Tsingshan Holding Group dari RRT dan Korea Inc dari Korea Selatan. Hyundai juga telah meresmikan pabriknya di Indonesia yang merupakan pabrik pertamanya di Asia Tenggara untuk merebut pasar mobil listrik di Indonesia.

Data realisasi investasi pada sektor pertambangan dan industri logam juga menunjukkan bukti keberhasilan hilirisasi industri nikel tersebut. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan bahwa sejak pertengahan tahun 2018 investasi asing di sektor industri logam telah melampaui investasi di sektor pertambangan. Trend ini sempat muncul pada akhir tahun 2015 hingga awal tahun 2016 tetapi lalu berubah pada tahun 2017 (berbarengan dengan situasi pelonggaran kebijakan larangan ekspor nikel pada waktu itu). Namun, tren perkembangan tersebut tidak tercerminkan dalam data perkembangan investasi domestik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan industri logam terutama dimotori oleh investasi asing.

Grafik:

 

Grafik:

 

Bersamaan dengan data perkembangan investasi tersebut, data ekspor Indonesia juga menunjukkan perkembangan di sektor metal yang mengandung nikel (nikel-containing metals). Produksi nickel pig iron meningkat dari 24 ribu ton di tahun 2014 menjadi 636 ribu ton di tahun 2020.

Grafik di bawah ini menunjukkan perubahan nilai ekspor bijih nikel dan nikel ferro-alloy di mana yang pertama semakin turun dan yang kedua melesat tinggi. Keduanya bukanlah satu-satunya kategori produk industri nikel, tetapi keduanya cukup mewakilkan perkembangan industri nikel dari sekadar ekspor tambang mentah menjadi ekspor produk turunan nikel yang lebih memiliki nilai tambah.

Negara yang menjadi rekan ekspor utama Indonesia untuk nikel ferro-alloy adalah RRT. Demikian pula halnya dengan ekspor bijih nikel. Tetapi ekspor bijih nikel sudah terjun habis sejak tahun 2020, dengan perkecualian munculnya data ekspor ke Australia dan Prancis pada tahun 2022.

Grafik:

 

Grafik:

 

Grafik: 

 

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Aktivitas pabrik pengolahan dan pemurnian nikel (smelter) yang dikelola PT Virtue Dragon Nickel Industry anak perusahaan Jiangsu Delong Nickel Industry asal China di Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (29/4/2019). Keberadaan smelter nikel yang mulai beroperasi bulan Februari lalu diharapkan dapat menyerap tenaga kerja lokal dan memberdayakan masyarakat selama masa produksi dan penambangan. Kapasitas produksi smelter mencapai 600.000 – 800.000 metrik ton nickel pig iron (NPI).

Tantangan: Politik, Lingkungan, Teknologi

Upaya hilirisasi ini mendapat perlawanan dari pihak-pihak yang sebelumnya meraup keuntungan dari pertambangan bijih nikel Indonesia. Pada tahun 2019, Uni Eropa sempat mengajukan tuntutan kepada World Trade Organization terhadap kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang dinilai sebagai kebijakan proteksionis.

WTO menjatuhkan putusan bahwa kebijakan tersebut memang bertentangan dengan perdagangan bebas. Akan tetapi, Pemerintah Indonesia kekeh untuk melanjutkan upaya hilirisasi ini, bahkan berencana melarang ekspor mineral tambang mentah lainnya seperti bauksit, tembaga, dan timah.

Akan tetapi, berbeda dengan nikel, karena persentase produksi dan ekspor Indonesia untuk mineral lainnya termasuk kecil, larangan ekpor tersebut mungkin tidak dapat memberikan dampak signifikan yang membuat perusahaan-perusahaan tambang dunia mengembangkan smelter dan pengolahan lanjutan di Indonesia. Alih-alih mereka mungkin beralih kepada supplier bijih tambang dari negara lainnya.

Tantangan lain datang dari Amerika Serikat yang menerbitkan Inflation Reductuon Act pada Agustus 2022. Kebijakan ini menetapkan bahwa untuk mendapatkan tax credit dari pembelian mobil listrik, masyarakat AS mesti membeli mobil listrik yang sekian persen dari mineral dalam baterai mobil tersebut merupakan mineral yang berasal dari AS dan rekan perdagangan bebasnya, atau diolah di negara-negara tersebut, serta sekian persen komponen dari baterai mobil tersebut di produksi di Amerika Utara.

Kebijakan yang dimaksudkan untuk menekan persaingan dengan RRT tersebut turut memengaruhi Indonesia. Ia akan mengempiskan niat investasi perusahaan baterai mobil listrik di Indonesia karena pada akhirnya mereka akan kesulitan mendapatkan keuntungan dari penjualan di AS.

Di tengah tantangan politik internasional tersebut, Indonesia pada sela-sela pertemuan G20 antara Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Menteri Perdagangan Kanada Mary Ng menyampaikan perlunya organisasi semacam OPEC untuk bidang industri nikel. Organisasi ini diharapkan dapat mengkoordinasi kebijakan produksi nikel antarnegara. Indonesia dan Kanada yang merupakan negara produsen nikel utama dunia dapat menginisiasi pendirian organisasi ini.

Isu lain yang terkait dengan industri nikel dan baterai mobil listrik di Indonesia adalah isu lingkungan. Seperti telah dijelaskan di atas, paparan nikel dalam jumlah besar dapat membahayakan makhluk hidup dan proses produksi mulai dari penambangan hingga pengolahan nikel menghasilkan dampak lingkungan yang serius. Pemerintah perlu memonitor dan mengontrol dampak eksternalitas dari industri nikel di Indonesia, khususnya bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan industri intensif tersebut.

Terlepas dari tantangan isu politik dan lingkungan tersebut, upaya pengembangan industri nikel untuk industri baterai kendaraan listrik di Indonesia masih merupakan proyek yang panjang. Industri nikel Indonesia saat ini baru dapat menghasilkan nikel kelas 2 (Class 2 Nickel) yang diperlukan untuk industri baja.

Hal ini dikarenakan bijih nikel Indonesia terutama adalah jenis laterite ore atau limonite. Nikel yang diperlukan untuk industri baterai kendaraan listrik adlaah nikel kelas 1 (Class 1 Nickel), yakni produk nikel dengan kandungan minimum 99,8 persen nikel.

Kelas ini memerlukan jenis sulfide ore. Untuk dapat memproduksi nikel kelas 1, Indonesia memerlukan teknologi hydrometallurgical process seperti high pressure acid leaching (HPAL) yang mampu mengolah limonite menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP) yang selanjutnya dapat dimurnikan lagi menjadi nikel kelas 1.

Pengembangan teknologi HPAL yang diperlukan untuk industri baterai kendaraan listrik tersebut masih dalam tahap awal. Pada Mei 2021 proyek pertama dimulai oleh joint-venture antara Perusahaan Ningbo Lygend dari RRT dan Harita Grup dari Indonesia. Beberapa proyek HPAL lain juga mulai menyusul.

Rencananya, ketika MHP mulai diproduksi di Indonesia, ketika industri baterai kendaraan listrik belum siap, MHP sementara akan diekspor ke RRT. Meski demikian, LG Energy Solution dan Hunday Motor Group dari Korea Selatan telah mulai membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Indonesia. Industri ini yang akan siap menerima produksi MHP Indonesia dan akhirnya mewujudkan cita-cita industri baterai kendaraan listrik nasional.

Keberhasilan hilirisasi industri nikel di Indonesia tergantung pada konsistensi kebijakan Pemerintah dan kemampuannya menangani isu-isu politik, lingkungan, serta teknologi di atas. Berbagai kebijakan lain tengah dipertimbangkan untuk turut menunjang perkembangan industri nikel tersebut, mulai dari kemungkinan mengenakan pajak ekspor pada produk nikel dengan kandungan di bawah 70 persen seperti ferronickel atau nickel pig iron, pembatasan pendirian smelter yang diperuntukan untuk industri baja, serta kebijakan lainnya. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Jurnal
Regulasi
  • Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
  • Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  • Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  • Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle)
Internet