- Sejarah kelahiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berangkat dari situasi otoriter pemerintahan Orde Baru yang menguasai segala sumber penyiaran.
- Pada masa Orde Baru, siaran menjadi alat melanggengkan kepentingan pemerintah dengan legitimasi lewat UU Nomor 24 Tahun 1997.
- Pada era Reformasi, demokratisasi mengembalikan kekuasaan siaran pada masyrakat melalui UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
- Kehadiran KPI menjadi manifestasi utama dari demokratisasi siaran, dimana KPI menjadi wakil dari kepentingan masyarakat.
- Lembaga KPI terbagi menjadi dua, yakni KPI Pusat dan KPI Daerah. Entitas terakhir hadir untuk mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dan otonomi daerah.
- Tantangan dalam menjaga kualitas siaran yang dihadapi KPI adalah ketergantungan pada rating, dimana logika bisnis menutup usaha perusahaan untuk membuat program yang mendidik.
- Salah satu usaha KPI untuk menjawab masalah dangkalnya kualitas siaran adalah dengan mengadakan riset kualitas siaran untuk menjadi patokan baru bagi ragam perusahaan stasiun televisi.
- Indeks kualitas program siaran televisi Indonesia mengalami kenaikan menjadi 3,2 pada 2022. Sebelumnya, selama 2021 indeks tersebut berada pada level 3,13 dan 3,09.
- Dari delapan kategori siaran televisi, konten infotaiment (2,8) dan sinetron (2,7) memiliki kualitas terendah dan berada di bawah standar baik.
Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV di Indonesia menunjukkan kualitas program siaran televisi Indonesia pada triwulan pertama 2022 menunjukkan tren positif. Pada skala 1–4, indeks kualitas program siaran televisi mencapai nilai 3,2. Capaian nilai tersebut mengarah ke kecenderungan indeks kualitas yang baik. Indeks kualitas yang dicapai ini mengalami peningkatan dibandingkan dua periode sebelumnya pada 2021.
Pada triwulan pertama di 2021, indeks kualitas program siaran televisi berada pada nilai 3,13. Sementara pada triwulan kedua tahun 2021, indeks tersebut justru mengalami penurunan menjadi 3,09. Oleh karena itu, kualitas siaran televisi Indonesia mengalami kenaikan hingga 0,11.
Nilai-nilai tersebut diperoleh dari Riset Indeks Kualitas Program Siaran. Pelaksanaan riset pada tahun 2022 menjadi kali ke-8 pelaksanaan. Data yang dirilis merupakan hasil kerja sama riset antara Komisi Penyiaran Indonesia dengan Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Rilis hasil riset indeks kualitas program siaran televisi tahun 2022 dilakukan di Jakarta pada akhir Oktober 2022 lalu (Kompas, 26/10/2022, “Langkan: Indeks Kualitas Siaran TV dan Berita Positif”).
Meski begitu, masih terdapat catatan kritis untuk kualitas penyiaran Indonesia. secara khusus, catatan diberikan kepada media dan jenis siaran yang memiliki nilai di bawah standar. Dilansir dari laman resmi KPI (KPI.go.id), terdapat delapan kategori program siaran yang dinilai. Dari jumlah tersebut, enam program mencapai standar baik dengan nilai indeks di atas 3,0.
Dimulai dari yang tertinggi, ada kategori program Religi (3,53), Talkshow (3,46), Wisata dan Budaya (3,44), Berita (3,31), Variety Show (3,2), dan Anak (3,18). Sementara itu, dua kategori program siaran memiliki kualitas yang rendah. Keduanya adalah siaran infotainment dengan indeks kualitas 2,8 dan Sinetron dengan 2,7. Kedua kategori berkualitas rendah ini menjadi catatan kritis untuk diperhatikan demi perkembangan konstruktif masyarakat selaku konsumen siaran televisi.
Hingga titik ini, di balik capaian indeks positif pada 2022 serta catatan kritis akan siaran yang ada, terdapat lembaga yang memiliki tanggung jawab langsung akan kedua hal tersebut, yakni KPI. Kehadiran KPI menaungi segenap unsur dalam koridor penyiaran Indonesia, tidak semata televisi, namun juga radio. Tanggung jawabnya dilandaskan pada produk legislatif Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, Amirudin saat menjadi nara sumber pada diskusi bertajuk “Menyoal Perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran 10 Stasiun TV” di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (29/3/2016). Sebanyak 10 televisi akan berakhir izin penyiarannya pada 2016 mendatang.
Sejarah
Masa rezim penyiaran Orde Baru
Sebelum kehadiran KPI dengan bentuk dan semangat yang diusungnya saat ini, urgensitas perihal koridor penyiaran telah lebih dahulu disadari oleh rezim Orde Baru. Dengan kuasa otoritarian, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto ini memandang dunia pemyiaran sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan.
Semangat demikian lantas dilanggengkan melalui UU Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran. Secara spesifik hal ini ditunjukkan lewat Pasal 7 yang berbunyi, “Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”. Pasal tersebut menegaskan bagaimana pemerintah memiliki kontrol absolut terhadap penyiaran di masyarakat, semata-mata bagi kepentingan pemerintah.
Dengan kontrol demikian, rezim Orde Baru mampu menghegemoni wacana yang beredar di masyarakat. Hegemoni akan wacana menjadi alat strategis untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Lebih daripada itu juga, kekuasaan atas penyiaran digunakan oleh rezim untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dalam kolaborasi di antara segelintir elite penguasa dan pengusaha (Kompas, 18/9/2021, “Dinamika Penyiaran dan Peran KPI”).
Keruntuhan Orde Baru lantas membuka era Reformasi, dengan demokrasi sebagai anak kandungnya. Situasi historis yang ada lantas turut melatarbelakangi kesadaran akan perlunya demokratisasi pada ranah penyiaran. Posisi publik perlu dikembalikan sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran.
Apa yang berada di sekeliling masyarakat, termasuk frekuensi siaran, adalah milik publik dan harus digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Hingga titik ini, berarti media penyiaran pun harus menjalankan fungsi pelayanan informasi dan narasi publik yang sehat tanpa secara dominan menguasai wacana yang ada.
Dengan penyegaran semangat demokrasi yang baru tersebut, maka landasan hukum penyiaran pun turut berubah. UU Nomor 24 Tahun 1997 digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dengan semangat yang jauh berbeda. Secara sekaligus, UU baru yang dilahirkan pada 28 Desember 2002 ini juga menjadi dasar utama bagi kelahiran KPI.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas pemantau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memonitor siaran televisi lokal di kantor KPI, Jakarta, Kamis (5/12/2013). Dalam pemantauan KPI, sebanyak enam lembaga penyiaran dinilai tidak proporsional dalam penyiaran politik. KPI juga telah mengeluarkan surat peringatan kepada semua lembaga penyiaran untuk menjaga netralitas dan melarang penggunaan frekuensi untuk kepentingan golongan tertentu.
Era Reformasi dan Kelahiran KPI
Semangat demokratisasi penyiaran diterjemahkan melalui UU ini dengan menyatakan perlunya sebuah organisasi/badan independen. Organisasi tersebut akan secara khusus mengelola sistem penyiaran sebagai ranah publik yang dikelola secara independen, terbebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.
Kehadiran KPI pertama kali diamanatkan pada Pasal 6 Ayat (4) yang berbunyi, “Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran”. Lantas pada Pasal 8 Ayat (1), dituliskan secara lebih spesifik bahwa KPI merupakan “wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran”. Dengan demikian, KPI menjadi pengejawantahan dari perwakilan publik, sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran.
Maka sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar terletak dalam semangat kehadiran limited transfer of authority (pembatasan penyaluran kekuasaan).
Dari pengelolaan penyiaran yang selama ini ekslusif dilakukan pemerintah, kepada sebuah badan pengatur independen bernama KPI. Semangat ini menegaskan bahwa pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan. Penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.
Sementara semangat kedua adalah penguatan entitas dan otonomi lokal lewat pemberlakuan sistem siaran berjaringan. Setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah tersebut. Semangat ini hidup untuk menjamin tidak adanya sentralisasi dan monopoli narasi seperti Orde Baru.
Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga bertujuan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Sebelumnya, sentralisasi lembaga penyiaran membuat hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas terabaikan. Dengan ini, UU Nomor 32 Tahun 2002 turut melindungi hak masyarakat secara lebih merata.
Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia memaparkan bagaimana semangat UU Nomor 32 Tahun 2002 ini begitu memberikan dampak nyata yang masif. Selama satu dekade pertama sejak kejatuhan Orde Baru, jumlah stasiun televisi swasta meningkat dari lima menjadi lebih dari 10. Dalam dekade yang sama, 150 jaringan televisi lokal beroperasi di seluruh negeri, dari yang sebelumnya sama sekali tidak ada.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kantor Komisi Penyiaran Indonesia di Jakarta, Jumat (26/2/2016). Di tempat ini KPI melakukan monitoring atau pemantaun terhadap siaran televisi dan radio selama 24 jam.
Penguatan Organisasi KPI
Untuk meningkatkan semangat demokrasi tersebut, UU Nomor 32 Tahun 2002 juga membagi kekuasaan KPI dalam tingkatan pusat dan daerah (provinsi). Dengan perbedaan tingkat tersebut, maka anggaran kerja KPI Pusat berasal dari APBN, sementara APBD diperuntukkan bagi kerja KPI Daerah.
Anggota KPI Pusat terdiri dari sembilan orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara KPI Daerah tingkat provinsi terdiri atas tujuh orang dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mekanisme pembentukan KPI yang demikian menjadi usaha memenuhi amanat UU Nomor 32 Tahun 2002 untuk menjamin sistem penyiaran yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Mengacu kembali pada halaman resmi KPI, demokratisasi dalam pelayanan informasi yang sehat dikandung lewat dua prinsip dalam UU Nomor 32 Tahun 2002, yakni prinsip Diversity of Content (Keberagaman Isi) dan Diversity of Ownership (Keberagaman Kepemilikan). Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI.
Prinsip yang pertama disebutkan merujuk pada variasi ketersediaan informasi yang beragam bagi publik. Beragam dalam hal jenis program maupun isi program. UU Nomor 32 Tahun 2002 menyoroti bahwa pelayanan informasi yang sehat akan tercapai melalui keragaman isi yang disalurkan.
Sementara Diversity of Ownership menjamin agar kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Tak hanya itu, melalui prinsip ini juga dapat menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Pada akhirnya, organisasi KPI yang bertahan hingga saat ini menjadi unsur penting dalam menciptakan demokratisasi di pada penyiaran di Indonesia. Tak hanya demokrasi, kehadiran KPI juga menjadi sarana menjamin nilai-nilai positif dari penyiaran. Nilai positif tersebut dirangkum pada Pasal 3 UU Nomor 32 Tahun 2002.
Di dalamnya berbunyi, “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.”
Setelah kelahirannya melalui UU Nomor 32 Tahun 2002, kelengkapan KPI terus diperbaiki. Untuk KPI Daerah, peningkatan kelengkapan dilakukan pada 2008 melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KPI Daerah. Sementara untuk KPI Pusat pada 2013 melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KPI Pusat.
Perubahan utama yang diberikan kedua produk hukum tersebut adalah membentuk lembaga sekretariat bagi masing-masing tingkatan KPI. Lembaga sekretariat tersebut berisi unsur staf untuk membantu penyelenggaraan kesekretariatan bagi masing-masing lingkungan KPI.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Warga menonton tayangan televisi di rumahnya di Pondok Karya, Tangerang Selatan, Selasa (23/6/2015). Survey Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebutkan bahwa kualitas acara televisi masih di bawah standar.
Artikel Terkait
Visi dan Misi Lembaga
Visi: Terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Misi:
- Mengembangkan kebijakan pengaturan, pengawasan dan pengembangan Isi Siaran.
- Melaksanakan kebijakan pengawasan dan pengembangan terhadap Strutur Sistem Siaran dan Profesionalisme Penyiaran.
- Membangun Kelembagaan KPI dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran.
- Meningkatkan kapasitas Sekretariat KPI.
Struktur Lembaga KPI
Mengacu kembali pada laman resmi KPI, untuk mencapai tujuan kehadirannya, struktur organisasi diisi oleh seorang ketua, wakil ketua di bawahnya, dan anggota KPI. Secara lebih rinci, capaian tujuan membuat KPI dibagi menjadi tiga bidang dengan wewenang tanggung jawab yang berbeda-beda, antara lain:
- Bidang Kelembagaan. Memiliki tugas untuk menangani persoalan hubungan antar-kelembagaan KPI, koordinasi dengan KPI Daerah, dan mengembangkan kelembagaan KPI.
- Bidang Struktur Penyiaran. Memiliki tugas untuk menangani perizinan, industri dan bisnis penyiaran. Bidang ini menjadi bagian yang berwenang dalam menentukan kehadiran sebuah program siaran.
- Bidang Pengawasan Isi Siaran. Setelah memperoleh izin, isi siaran dari pihak penyiar akan terus dipantau. Pantauan dilakukan melalui bidang ini, yang juga menangani pengaduan masyarakat, advokasi, dan literasi media.
Sementara itu, lembaga sekretariat juga memiliki struktur tersendiri yang terpisah dengan lembaga KPI. Struktur Sekretariat KPI Pusat berpedoman pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2013. Sementara struktur Sekretariat KPI Daerah mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2008 tentang Organisasi dan tata Kerja Sekretariat KPI Daerah. Meski begitu, struktur Sekretariat KPI Daerah berbeda-beda pada tiap daerah, bergantung pada kebutuhan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pemantauan atau monitoring siaran televisi yang dilakukan petugas di Kantor Komisi Penyiaran Indonesia, Jakarta, Jumat (26/2/2016). Pemantauan yang dilakukan selama 24 jam juga dilakukan terhadap siaran radio.
Tantangan Menjaga Kualitas Siaran
Sebagaimana telah tersampaikan sebelumnya, meski mengalami peningkatan indeks kualitas pada keseluruhan program siaran, namun KPI masih harus menyelesaikan masalah pada program dengan kualitas siaran yang rendah. Pada konteks ini, dangkalnya siaran infotaimen dan sinetron merusak rata-rata keseluruhan kualitas siaran televisi di Indonesia.
Kompas (15/6/2021, “Menjaga Kualitas Tontonan”) menyoroti bagaimana siaran televisi Indonesia begitu ramai diisi tayangan tak berkualitas. Kehadiran sinetron-sinetron ataupun live streaming begitu sarat dengan berbagai pesan tidak mendidik. Tak hanya itu, yang pertama disebut juga kerap diisi dengan adegan kekerasan, toxic masculinity, dan poligami. Lebih jauh, hal-hal seperti ini dapat memengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak, kekerasan seksual, hingga tindak pidana.
Antropolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari, menegaskan sudah saatnya tayangan sinetron tak mendidik dihentikan seterusnya, bukan sementara. “Pemerintah harus hadir menghentikan tontonan tanpa tuntunan yang tidak ada muatan pendidikan dan berpotensi merusak masa depan anak bangsa,” ujarnya. Pinky menilai masyarakat Indonesia sangat membutuhkan tontonan edukatif, yang membawa pesan-pesan keragaman serta menebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian.
Dangkalnya kualitas siaran televisi di Indonesia didorong oleh bentuk ketergantungan pada rating. Sebagai contoh, meski kerap dikritik ke KPI dan jelas-jelas memperoleh indeks kualitas yang rendah, sinetron tetap saja diproduksi. Kehadirannya telah menjadi alat utama sejumlah stasiun televisi untuk menaikkan rating.
Perolehan rating share dari sinetron cenderung lebih tinggi – sehingga menjadi faktor yang begitu menguntungkan stasiun televisi penayangnya. Dengan modal tersebut, stasiun televisi dapat menarik berbagai pihak untuk menaruh iklan (Kompas, 6/6/2021, “Mengapa Sinetron Dicaci, tapi Tetap Ada?”).
Sebagai salah satu lembaga terdepan dalam koridor penyiaran, KPI pun merespon dengan melakukan program riset indeks KPI. Riset ini digunakan untuk mengukur kualitas program siaran televisi, sehingga dapat mengurai ketergantungan lembaga penyiaran TV pada logika bisnis yang lahir dari faktor rating.
Kehadiran riset kualitas ini diharapkan dapat menjadi rujukan baru dalam produksi siaran televisi Indonesia – sehingga pada kelanjutannya, dapat mendorong peningkatan kualitas program siaran televisi. Menyadari urgensitas akan kualitas penyiaran, KPI menjadikan program riset ini sebagai program prioritas dan menjalin kerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Staf Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengamati tayangan televisi melalui layar-layar monitor di Gedung KPI, Jakarta (13/11/2008)
Pertimbangan lain KPI, riset ini dapat menjadi bentuk penilaian KPI pada seluruh program siaran yang diawasi. Hingga saat ini, terdapat 18 siaran televisi berjaringan yang diawasi atau dipantau langsung KPI. Hasil riset dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan, terutama terkait kategori program siaran infotaimen, variety show, dan sinetron.
Merujuk kembali pada laman resmi KPI, Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi menegaskan urgensitas riset dan rendahnya kualitas sinetron Indonesia. Salah satu masalah utama adalah sinetron kerap kali tayang tanpa perencanaan matang. “Kebanyakan tayangan sinetron seperti tidak ada ujung ceritanya dan kejar tayang setiap hari. Bagaimana bisa berharap kualitas dari sinetron seperti itu,” katanya.
Untuk itu, KPI juga menjalin kerja sama dengan Lembaga Sensor Film (LSF) untuk membuat kebijakan persiaran. Harapannya, melalui kebijakan dengan sensor paket, acara yang ditampilkan lebih direncanakan dengan matang dan jelas.
Kehadiran riset siaran oleh KPI selaras dengan rekomendasi mantan Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Sebagaimana dipaparkan melalui laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada Oktober 2013 Tifatul menjelaskan bahwa Indonesia seharusnya memiliki lembaga yang secara independen melakukan penelitian rating terhadap program televisi. Nantinya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan kualitas.
Sebelumnya, selain didasarkan pada rating siaran, program televisi di Indonesia hanya mengacu kepada jasa hasil penelitian rating dari perusahaan Amerika Serikat, AC Nielsen. Menurut Tifatul, pihak Indonesia padahal tidak tahu kebenaran dari hasil tersebut. Dengan dijadikannya hasil rating dari AC Nielsen, perusahaan penyiaran di Indonesia pun hanya mengacu pada logika bisnis. Sementara bila disandingkan, kualitas dari program televisi yang memiliki rating tinggi kerap tidak sebanding dengan kualitasnya. (LITBANG KOMPAS)
Artikel terkait
Referensi
- Heryanto, A. (2019). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Kementerian Komunikasi dan Informasi. (2013, Oktober 28). Menkominfo Nilai Saatnya Indonesia Miliki Lembaga Rating Program. Diambil kembali dari kominfo.go.id: https://www.kominfo.go.id/index.php/content/detail/3350/Menkominfo+Nilai+Saatnya+Indonesia+Miliki+Lembaga+Rating+Program/0/berita_satker
- Komisi Penyiaran Indonesia. (2019, Agustus 5). Profil KPI. Diambil kembali dari KPI.go.id: https://kpi.go.id/id/tentang-kpi/struktur-sekretariat
- Kompas. (2021, September 18). Dinamika Penyiaran dan Peran KPI. Jakarta: Harian Kompas. Hlm A.
- Kompas. (2021, Juni 6). Mengapa Sinetron Dicaci, tapi Tetap Ada. Jakarta: Harian Kompas. Hlm D.
- Kompas. (2021, Juli 15). Menjaga Kualitas Tontonan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
- Kompas. (2022, Oktober 26). Langkan: Indeks Kualitas Siaran TV dan Berita Positif. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 8.
- Pemerintah Pusat. (1997, September 29). Undang-undang No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran. Jakarta.
- Pemerintah Pusat. (2002, Desember 28). Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Jakarta.