Lembaga

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Kehadiran DKPP memberikan harapan akan terlaksananya kode etik dalam penyelenggaraan pemilu yang tak pernah luput dari polemik, termasuk pada konteks Pemilu 2024.

Fakta Singkat

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

  • DKPP bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu melalui pemeriksaan dan pemutusan aduan.
  • Landasan kehadiran DKPP adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
  • Bentuk awal dari DKPP adalah DK-KPU yang lahir pada tahun 2003 melalui UU Nomor 12 Tahun 2003.
  • Waktu itu, DK-KPU adalah bagian ad hoc dari KPU sehingga tidak berdiri mandiri dan memungkinkan banyaknya hambatan dari lembaga lain.
  • DKPP lahir pada tanggal 12 Juni 2012 dengan mengacu pada UU Nomor 15 Tahun 2011.
  • DKPP terdiri atas tujuh anggota, dengan dua di antaranya sebagai perwakilan dari KPU dan Bawaslu.
  • Sejak kelahirannya, DKPP telah dipimpin oleh tiga periode keanggotaan, yakni 2012–2017, 2017–2022, dan 2022–2027.
  • Hingga Desember 2023, DKPP telah menerima 299 aduan penyelenggaraan Pemilu 2024.
  • Untuk mempermudah akses aduan oleh masyarakat, DKPP telah menyediakan layanan digital Sietik di https://sietik.dkpp.go.id/.

KOMPAS/RONY ARIYANTO

Suasana saat mendengarkan saksi ahli ketika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang etik terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) di ruang sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta, Senin (15/1/2024).

Pelaksanaan Pemilu 2024 di Indonesia terus memperoleh sorotan publik, secara khusus akibat banyaknya polemik negatif yang mewarnai. Hal-hal tersebut kebanyakan disebabkan oleh sepak terjang para peserta pemilu. Namun, juga muncul sejumlah laporan yang menunjukkan adanya insiden dari pihak penyelenggara pemilu itu sendiri.

Salah satu polemik paling ramai yang diakibatkan peserta Pemilu 2024 muncul dari pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Pencalonan Gibran dinilai pekat dengan praktik dinasti politik dan tindakan melangkahi hukum.

Anak sulung Presiden Joko Widodo dan keponakan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ini dengan mulus diangkat sebagai calon wakil presiden untuk menjadi pasangan dari calon presiden Prabowo Subianto.

Lancarnya pengangkatan Gibran terjadi setelah pada 16 Oktober 2023 lalu MK merevisi kebijakan pemilu dan mengizinkan kepala daerah maju di pemilu presiden meski belum berusia 40 tahun. Putusan mengejutkan tersebut segera menuai keramaian pro-kontra karena MK dinilai melampaui kewenangannya (Kompas.id, 23/10/2023, “Gibran dan Polemik Dinasti Politik”).

Sementara itu, polemik dari pihak penyelenggara pemilu sendiri datang dari lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pada 8 Desember 2023 lalu, anggota Bawaslu Kalimantan Tengah Winsi Kuhu dipecat. Penyebabnya, Winsi rupanya memiliki afiliasi dengan Partai Nasdem (Kompas.id, 9/1/2024, “Anggota Bawaslu Kalteng Dipecat DKPP, Penggantian Tunggu Bawaslu RI”).

Terdapat keselarasan antara kedua kasus tersebut, yakni dengan hadirnya keterlibatan lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. Pada kasus Gibran, DKPP hadir untuk memeriksa netralitas KPU dalam menertibkan pencalonan kandidat. Sementara pada kasus Winsi, DKPP sendirilah yang melakukan pemecatan langsung – termasuk juga teguran keras kepada Ketua dan Anggota Bawaslu Pusat karena dinilai tidak cermat memastikan keterpenuhan syarat anggota Bawaslu Kalimantan Tengah.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asyari saat mengikuti sidang etik terhadap para pimpinan KPU yang digelar oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) di ruang sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta, Senin (15/1/2024).

Sekilas tentang Lembaga DKPP

Melalui kasus-kasus demikian, lembaga DKPP sekilas langsung tampak sebagai salah satu benteng terakhir dalam mengusung pesta elektoral yang bersih dan berintegritas. Hal demikian lantas terelaborasi secara lebih mendalam melalui profil dan karakter lembaga tersebut, baik dari tugas hingga kewenangannya.

Sebagai landasan hukum, kehadiran lembaga DKPP berdiri di atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 1 dituliskan bahwa lembaga DKPP, bersamaan dengan lembaga KPU dan Bawaslu, termasuk dalam kesatuan struktur yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemilu.

Masih pada pasal yang sama, DKPP didefinisikan sebagai lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Artinya, sebagaimana kembali ditegaskan pada Pasal 155 ayat (2), DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran kode etik. Pihak yang wajib memenuhi kode etik dalam hal ini adalah anggota KPU dan anggota Bawaslu di berbagai tingkatan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota).

Dengan tugas dan tujuan pembentukan demikian, DKPP juga mengusung sejumlah wewenang. Mengacu Pasal 159 ayat (2), wewenang DKPP yang pertama adalah memanggil penyelenggara pemilu (anggota KPU dan Bawaslu) yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan.

Kedua, apabila terdapat pelaporan, memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain. Wewenang ketiga, memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Terakhir, apabila keterangan dan laporan yang telah dikumpulkan terbukti, maka DKPP berwenang untuk memutus pelanggaran kode etik.

Berbagai tugas dan wewenang tersebut diusung DKPP sembari tetap mengacu pada kewajiban kelembagaan. DKPP harus menerapkan prinsip keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi; menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi penyelenggara pemilu; bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus untuk popularitas pribadi; serta menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

Lebih lanjut, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan lembaganya, DKPP juga dilengkapi dengan kesekretariatan yang dipimpin oleh seorang sekretariat. Sekretaris DKPP bertanggung jawab terhadap Ketua DKPP. Lebih lanjut terkait struktur pendukung ini sendiri ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Organisasi, dan Tata Kerja Sekretariat DKPP.

Ketua DKPP sendiri dipilih dari dan oleh anggota DKPP melalui rapat pemilihan Ketua DKPP yang dipimpin oleh anggota yang tertua dan termuda. Masa tugas keanggotaan DKPP sendiri 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat dilantiknya anggota DKPP yang baru.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad Tio Aliansyah (kanan), Ratna Dewi Pettalolo (kiri), dan James Kristiadi (tidak tampak) bersiap membacakan putusan terkait dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu 2024 di Gedung DKPP, Jakarta, Rabu (12/7/2023). Sidang membacalan putusan sengketa terkait verifikasi faktual partai politik dengan taradu ketua dan angota KPU Sulawesi Selatan, dan ketua dan anggota KPU Kabupaten Pinrang.

Sejarah

Mengacu pada situs resminya (dkpp.go.id), implementasi akan fungsi lembaga DKPP pertama kali muncul pada tahun 2003. Kala itu, pemerintah pusat membentuk Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU) dengan berlandaskan pada UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Lembaga DK-KPU bersifat ad hoc sebagai bagian dari KPU.

Tugas tunggal dari DK-KPU adalah memeriksa pengaduan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU. Tugas ini dijalankan oleh tiga orang anggotanya, yang terdiri atas seorang ketua dan dua anggota yang dipilih oleh anggota KPU. Dari hasil pemeriksaan, DK-KPU lantas menyerahkana rekomendasi kepada KPU.

DK-KPU melakukan pemeriksaan terhadap berbagai pengaduan dan/atau laporan akan kemungkinan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU Pusat dan anggota KPU Provinsi. Untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU Kabupaten/Kota, secara khusus dibentuk DK-KPU Provinsi.

Mengacu pada Muhammad dan Prasetyo dalam buku Eksistensi DKPP-RI dalam Mengawal Demokrasi dan Pemilu Bermartabat, posisi DK-KPU yang tidak mandiri membuat kehadiran dirinya mendapatkan tentangan. Berbagai pihak dari lembaga yang diawasinya jelas tidak senang dengan kehadiran DK-KPU. Tidak hanya itu, ujian tersebut juga datang dari lembaga eksekutif yang anggotanya terlibat aktif dalam perebutan suara pada pemilu, misalnya DPR/DPD.

Untuk memperkecil kadar tentangan tersebut, lembaga DK-KPU haruslah berdiri sendiri. Bahkan diperkuat posisinya dengan menjadi suatu lembaga independen. Tidak hanya itu, dalam perspektif di luar hukum murni, kehadirannya juga harus dilandasi pada basis hukum yang kuat, seperti konstitusi atau UU.

Sumber hukum memengaruhi kuatnya kuasa suatu lembaga – di mana dalam konteks ini, UU merupakan sumber hukum yang tinggi yang membawahi, misalnya Peraturan Perundang-Undangan.

Atas hal ini, setelah bertahan selama hampir 10 tahun, lembaga DK-KPU mengalami perombakan besar pada tanggal 12 Juni 2012. Sebagai hasil tindak lanjut dari perubahan UU Pemilu terbaru kala itu, yakni UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, maka DK-KPU resmi diubah menjadi DKPP.

Perubahan nama, terutama dengan dikeluarkannya kata KPU, menunjukkan struktur kelembagaannya yang bersifat tetap dan lebih mandiri. DKPP dibangun dengan struktur yang lebih profesional dengan jangkauan tugas dan kewenangan yang juga diperluas. DKPP menjangkau seluruh jajaran penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), baik level pusat sampai tingkat kelurahan/desa.

Berbeda dengan struktur DK-KPU, komposisi DKPP terdiri atas tujuh orang anggota. Ketentuannya, satu orang anggota berasal dari unsur KPU, satu orang anggota dari unsur Bawaslu, dan lima anggota lain merupakan tokoh masyarakat. Ketujuh anggota ini dipilih berdasarkan profesionalitas di bidang kepemiluan dan ditetapkan bertugas per lima tahun.

Pada tahun 2017, DKPP kembali memperoleh penguatan untuk menjalankan fungsinya. Hal tersebut dilakukan dengan menambahkan lembaga kesekretariatan pada tubuh DKPP melalui UU Nomor 7 Tahun 2017. Sebelumnya, persoalan kesekretariatan DKPP masih bergantung pada dukungan dari Sekjen Bawaslu. Dengan hadirnya kesekretariatan ini, DKPP dapat berdiri semakin mandiri dalam mengerjakan tugas dan wewenangnya.

Pada tahun yang sama, kehadiran Tim Pemeriksa Daerah (TPD) milik DKPP juga diperkuat dengan dituliskan secara eksplisit pada UU. Sebelumnya, TPD hanya dibentuk berdasarkan Peraturan DKPP. TPD sendiri memiliki fungsi sebagai hakim di daerah guna membantu dan/atau menjadi hakim pendamping anggota DKPP dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran kode etik pemilu di daerah.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Suasana sidang putusan dugaan pelanggaran etik terkait manipulasi hasil verifikasi faktual parpol, di Jakarta, Senin (3/4/2023). DKPP memutuskan enam anggota KPU Sulawesi Utara terbukti melanggar etik dalam kasus kecurangan verifikasi parpol, satu orang diberhentikan. Sementara anggota KPU Idham Holik yang menjadi salah satu teradu, tidak terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait dugaan intimidasi kepada jajaran KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Kinerja DKPP Dari Masa ke Masa

Periode 2012 – 2017

Sejak kelahirannya pertama kali pada 2012 hingga saat ini, DKPP telah dipimpin oleh tiga periode keanggotaan. Pada periode pertamanya (2012–2017), DKPP diketuai oleh Jimly Asshiddiqie.

Masuk dalam anggota dari kelompok masyarakat adalah Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, Valina Singka, dan Anna Erliyana (menggantikan Abdul Bari Azed yang mengundurkan diri pada 2013). Sementara dua anggota lain adalah Ida Budhiati dari unsur KPU dan Endang Wihdatiningtyas (menggantikan Nelson Simanjuntak) dari unsur Bawaslu.

Mengacu kembali pada situs resminya, selama periode ini, DKPP menyidangkan 903 perkara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 449 anggota lembaga penyelenggara pemilu diberhentikan tetap, sebanyak 1968 orang direhabilitasi, dan 45 orang diberhentikan sementara.

Ida Budhiati mengomentari bahwa “capaian” pemberian sanksi ini bukanlah suatu prestasi bagi DKPP. Sebaliknya, justru menjadi alarm penting bagi diperlukannya perbaikan mekanisme seleksi oleh penyelenggara pemilu, terutama di tingkat kabupaten/kota. Pengaduan terbanyak datang dari tingkat penyelenggaraan pemilu di kabupaten/kota.

Menurut Ida, pengaduan dugaan pelanggaran kode etik seharusnya bisa dihindari jika penyelenggara pemilu mampu bekerja dengan penuh integritas. “Integritas itu berarti bekerja secara profesional, mandiri, cermat, teliti, jujur, dan adil,” katanya.

Banyaknya pengaduan justru menunjukkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu – yang harus dijawab oleh penyelenggara pemilu dengan membangun kepercayaan masyarakat, sehingga hasil pemilu pun bisa diterima dengan lapang dada.

Periode 2017 – 2022

Pada periode keduanya (2017–2022), DKPP dipimpin oleh Harjono sebagai perwakilan dari unsur pemerintah. Sementara menjadi anggotanya adalah Muhammad, Ida Budhiati, Teguh Prasetyo, Alfitra Salaamm, Hasyim Asy’ari (unsur KPU), dan Ratna Dewi Pettalolo (unsur Bawaslu). Nama yang disebutkan terakhir hanya menjalani tugas selama satu tahun hingga kemudian digantikan oleh anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar pada 2018.

Pada periode ini, DKPP memperoleh tugas besar untuk mengawal pelaksanaan Pemilu 2019. Tidak hanya karena skalanya yang begitu luas sebagai pemilu presiden, namun juga karena untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia mengadakan pemilu nasional serentak.

Artinya, para anggota DKPP harus awas terhadap lima bentuk pemilu sekaligus, yakni pemilihan anggota DPR, pemilihan DPD, pemilihan DPRD provinsi, pemilihan DPRD kabupaten/kota, dan yang paling panas pemilihan presiden dan wakil presiden. Kelimanya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang sama, yakni Rabu, 17 April 2019.

Mengacu pada Laporan Kinerja DKPP 2019, menghadapi periode pemilu ini, DKPP memperoleh total 506 pengaduan dalam rentang waktu 1 Januari — 10 Desember 2019. Dari grafik rekapitulasi laporan, tampak bahwa perolehan pengaduan terbanyak dicapai pada kisaran empat bulan pertama pada tahun 2019 – yang merupakan masa-masa terdekat menyambut pelaksanaan Pemilu 2019.

Puncak penerimaan pengaduan sendiri terjadi pada Mei 2019 sebanyak 125 pengaduan. Sementara angka terendah pengaduan terjadi pada bulan November 2019 dengan hanya sembilan pengaduan. DKPP menganalisis bahwa tingginya angka pengaduan di bulan Mei mengindikasikan peningkatan pengaduan setelah penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara pada 17 April 2019.

Periode 2022 – 2027

Masuk pada periode kepengurusan ketiganya (2022–2027), DKPP kini diketuai oleh Heddy Lugito. Sementara sebagai anggota, ada Muhammad Tio Aliansyah, Ratna Dewi Pettalolo, J. Kristiadi, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Yulianto Sudrajat (unsur KPU), dan Lolly Suhenty (unsur Bawaslu) yang menggantikan Puadi.

Mengacu pada data terakhir melalui Laporan Kinerja DKPP Tahun 2022, diperoleh 83 laporan pelanggaran kode etik dalam penyelenggaraan pemilu. Dari jumlah tersebut, pihak yang paling banyak diadukan kepada DKPP sepanjang tahun 2022 adalah jajaran Bawaslu pada tingkat Kabupaten/Kota, mencapai 45 laporan. Disusul juga dengan laporan terhadap anggota KPU Kabupaten/Kota mencapai 30 laporan.

Dari 83 pengaduan tersebut, 44 di antaranya dinyatakan lengkap dan dilanjutkan oleh lembaga DKPP ke tahap verifikasi materiil. Dari angka tersebut, lantas hanya 19 laporan di antaranya yang dinyatakan layak untuk dilakukan sidang pemeriksaan.

Kepengurusan DKPP pada periode ketiga ini memegang pekerjaan besar dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu 2024 yang juga mengusung pelaksanaan pemilihan serentak. Mengacu pada tingginya angka pengaduan pada Pemilu 2019 yang juga mengusung sistem serupa, pengawasan terhadap lembaga penyelenggara pemilu menjadi sangat penting untuk dilakukan oleh DKPP.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito (kiri), didampingi anggota DKPP I Dewa Raka Sandi mengikuti sidang etik dugaan pelanggaran verifikasi faktual partai politik peserta pemilu dengan mengubah data dari tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi memenuhi syarat (MS), di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jakarta, Rabu (8/2/2023).

Peran DKPP pada Pemilu 2024

Layaknya periode kepengurusan sebelumnya, pelaksanaan pemilu selalu menjadi tantangan paling utama bagi DKPP. Kecurangan, permainan, dan polemik yang bertentangan dengan kode etik pasti tersebar dalam dinamika pemilu. Menjadi tugas utama DKPP untuk kemudian mengawasi dan menindak pelanggaran dengan basis pelaporan.

Hal tersebut turut terjadi pada tahun 2023 yang telah pekat dengan nuansa politik menjelang Pemilu 2024. Per Januari hingga Agustus 2023, DKPP sudah menerima 280-an pengaduan – yang artinya hampir setiap hari ada pengaduan ke DKPP. Sementara hingga awal November 2023, jumlah pengaduan yang telah diputus baru 109 perkara.

Jumlah pengaduan ini sendiri terbilang besar, apalagi bila disandingkan dengan Pemilu 2019. Diakui Ketua DKPP Heddy Lugito, dalam periode tahapan pemilu yang sama, terdapat peningkatan jumlah pengaduan hingga kira-kira 30–40 persen lebih banyak dalam periode menuju Pemilu 2024 dibanding menuju Pemilu 2019 (Kompas.id, 29/11/2023, “DKPP Wasit Pemilu 2024”).

Lebih lanjut, diperbaharui kembali pada Desember 2023, jumlah aduan yang diterima sudah mencapai 299 aduan. Mengacu pada Kompas.id (18/12/2023, “Publik Lebih Mudah Lapor Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu”), jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah mengingat masa kampanye yang tengah berjalan.

“Di masa kampanye, pasti jumlah pengaduan meningkat. Karena sekarang yang bekerja KPU, maka KPU yang banyak diadukan,” terang Lugito dalam sosialisasi Sietik pada pertengahan Desember 2023 lalu.

Sebagai upaya pelaksanaan tugas kelembagaannya, DKPP mengupayakan kemudahan bagi publik luas untuk melaporkan dugaan-dugaan pelanggaran kode etik. Dalam konteks ini, masyarakat sendiri merupakan kelompok yang turut punya peran serta dalam melancarkan tugas dan wewenang DKPP.

Subjek penanganan perkara DKPP (subjectum litis) terdiri atas pengadu dan teradu – di mana disebutkan pada Pasal 458 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 bahwa pengadu sendiri terdiri atas peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat, dan/atau pemilih yang dilengkapi dengan identitas pengadu kepada DKPP.

Kini, masyarakat bisa mengadukan temuannya melalui laman daring atau aplikasi resmi yang telah dibuat oleh DKPP, sekaligus memantau prosesnya dari laporan mereka secara langsung. Namun, setiap pengadu hanya bisa mengakses laporan masing-masing.

Situs tersebut pelaporan bisa diakses melalui laman Sistem Informasi Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu (Sietik) pada https://sietik.dkpp.go.id/. Hal ini menjadi kemudahan tersendiri yang signifikan dalam pengawasan pemilu. Sebelumnya, untuk mengadukan pelanggaran etik, masyarakat harus bersurat secara elektronik, melalui surel atau pos, bahkan datang langsung ke kantor DKPP di Jakarta.

Kemudahan ini memang dibangun DKPP untuk masyarakat membuat pengaduan. Dengan demikian, masyarakat yang jauh dari Jakarta tidak perlu repot-repot datang atau bersurat lagi. Tak hanya itu, masyarakat luas juga bisa dengan mudah mengakses fasilitas DKPP.

“Lewat aplikasi Sietik ini bisa dipantau pengaduannya sampai di mana, sudah diverifikasi administrasi atau belum. Kemudian, sudah lolos verifikasi material apa belum, kapan disidangkan. Tapi, yang bisa mantau adalah masing masing pengadu. Di luar pengadu, enggak bisa mantau,” ujar Lugito. (LITBANG KOMPAS)

Buku
  • Muhammad, & T. Prasetyo. (2018). Eksistensi DKPP-RI dalam Mengawal Demokrasi dan Pemilu Bermartabat. Depok: Raja Grafindo Persada.
Arsip Kompas
  • Kompas.id. (2023, Oktober 23). “Gibran dan Polemik Dinasti Politik”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2023/10/23/gibran-dan-polemik-dinasti-politik
  • Kompas.id. (2024, Januari 9). “Anggota Bawaslu Kalteng Dipecat DKPP, Penggantian Tunggu Bawaslu RI”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/01/09/anggota-bawaslu-di-kalteng-dipecat-dkpp-penggantian-tunggu-bawaslu-ri?open_from=Section_Nusantara
  • Kompas.id. (2023, September 29). “DKPP Wasit Pemilu 2024”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/video/2023/09/28/dkpp-wasit-pemilu-2024
  • Kompas.id. (2023, Desember 18). “Publik Lebih Mudah Lapor Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/12/18/publik-lebih-mudah-lapor-pelanggaran-etik-penyelenggara-pemilu
Aturan
  • Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Organisasi, dan Tata Kerja Sekretariat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
  • UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 
Internet
  • Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. (2017). Sejarah DKPP. Diambil kembali dari dkpp.go.id: https://dkpp.go.id/sejarah-dkpp/
  • Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. (2019). Laporan Kinerja DKPP 2019. Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
  • Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. (2022). Laporan Kinerja DKPP Tahun 2022. Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.