Lembaga

Komisi Yudisial

Hadirnya lembaga Komisi Yudisial penting untuk menjaga akuntabilitas kehakiman di Indonesia. Komisi Yudisial aktif melakukan pemantauan, pengawasan, hingga investigasi dan mendengarkan laporan dari masyarakat.

Fakta Singkat

Komisi Yudisial

  • Komisi Yudisial merupakan bagian dari lembaga yudikatif dalam konsep trias politica.
  • “Yudisial” memiliki arti berkaitan dengan lembaga hukum atau lembaga yudikatif.
  • Visi lembaga Komisi Yudisial adalah “Menjadi Lembaga yang Kredibel untuk Akuntabilitas Hakim”.
  • Komisi Yudisial memiliki tugas diantaranya seleksi hakim agung, pemantauan dan pengawasan perilaku hakim, investigasi pelanggaran hakim, dan menerima laporan masyarakat.
  • Gagasan akan terciptanya lembaga pengawas kehakiman telah muncul sejak tahun 1968 dalam pembahasan RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
  • Komisi Yudisial baru hadir melalui proses amandemen UUD 1945 ketiga, melalui Pasal 24B sebagai perwujudan dari reformasi peradilan rezim Orde Baru.
  • Kehadiran dan fungsionalitas Komisi Yudisial secara lebih khusus diatur melalui UU Nomor 22 Tahun 2004, kemudian direvisi dengan UU Nomor 18 Tahun 2011.
  • Pada awal pembentukannya, Komisi Yudisial memperoleh resistensi dari para hakim, secara khusus hakim MA dan MK. Dampaknya, Komisi Yudisial mengalami pelemahan wewenang lewat kekuasaan MK pada 2006.
  • Hingga 2023 ini, Komisi Yudisial telah dipimpin oleh tujuh pasangan Ketua dan Wakil Ketua.
  • Di sektor peradilan, wewenang dan fungsi Komisi Yudisial dengan MA saling beririsan dan mendukung. Diharapkan keduanya dapat menjalin kemitraan strategis untuk perbaikan kehakiman Indonesia.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Aktivitas di kantor Komisi Yudisial (KY), Jakarta, Rabu (28/12/2011). KY mengumumkan hasil penelitian mereka mengenai pengadilan khusus seperti Pengadilan Tipikor, Pengadilan Pajak, dan Pengadilan Penyelasian Persilihan Hubungan Industrial yang masih mempunyai permasalahan di berbagai sektor.

Kelembagaan Komisi Yudisial atau disingkat KY sangat berkaitan dengan konsep “yudisial”. Mengacu pada KBBI, yudisial berarti “berhubungan dengan yudisium” atau terkait perihal “lembaga hukum atau lembaga yudikatif”.

Maka dari itu, konsep yudikatif yang terkandung dalam yudisial mengacu pada fungsi pelaksanaan lembaga peradilan. Artinya, lembaga yudikatif adalah lembaga yang memiliki fungsi kehakiman dalam kekuasaan negara. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa Komisi Yudisial merupakan bagian dari lembaga yudikatif.

Merujuk pada buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo, lembaga yudikatif merupakan salah satu perwujudan dari gagasan trias politica, dimana dua lembaga lainnya adalah lembaga legislatif dan eksekutif.

Pada konteks ini, lembaga yudikatif adalah lembaga kekuasaan dalam bidang penegakkan hukum dan peradilan, dimana Komisi Yudisial termasuk di dalamnya.

Meski termasuk dalam lembaga yudikatif, Komisi Yudisial memiliki fungsi yang berbeda dengan lembaga kehakiman lainnya seperti MA, Mahkamah Konstitusi (MK), Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tinggi. Secara khusus, Komisi Yudisial memegang tanggung jawab pengawasan peradilan terhadap aktor dalam lembaga kehakiman yang disebutkan tersebut.

Dalam laman resmi Komisi Yudisial (komisiyudisial.go.id) disebutkan kehadiran Komisi Yudisial merespon tuntutan masyarakat pada masa reformasi yang kurang percaya terhadap lembaga peradilan sehingga menginginkan adanya perbaikan. Komisi Yudisial merupakan amanat undang-undang (UU) yang lahir dari keinginan masyarakat. Karenanya, masyarakat juga memiliki kewewenangan untuk mengawasi kinerja Komisi Yudisial.

Kehadiran Komisi Yudisial merupakan amanat UU secara implisit terkait dengan UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Melalui UU tersebut pemerintah menetapkan sekaligus mengatur kehadiran lembaga Komisi Yudisial. UU yang merevisi produk hukum sebelumnya soal Komisi Yudisial tersebut memuat wewenang, struktur lembaga, dan pedoman kode etik lembaga.

Lebih daripada itu, lembaga Komisi Yudisial juga sesuai dengan amanat terhadap dasar konstitusi nasional, yakni Undang-Undang dasar (UUD) 1945. Secara spesifik, amanat tersebut kadang Pasal 24B ayat (1). Pada pasal tersebut dituliskan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri dengan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung. Selain itu, Komisi Yudisial juga diamanatkan untuk mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Dukung Komisi Yudisial – Komisioner Komisi Yudisial Maradaman Harahap (berbaju batik) menerima puluhan advokat muda yang tergabung dalam Koalisi Advokat Muda Indonesia (KAMI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Kamis (18/5/2017).

Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Lembaga Komisi Yudisial

Arah dasar dan fungsionalitas Komisi Yudisial tersebut dapat dipahami melalui visi dan misi lembaga ini. Mengacu kembali pada laman resminya, visi lembaga Komisi Yudisial adalah untuk “Menjadi Lembaga yang Kredibel untuk Akuntabilitas Hakim”. Sementara untuk misi kelembagaan, terdapat dua poin yakni “meningkatkan integritas dan kapasitas hakim” serta “meningkatkan penguatan kelembagaan dan pemberdayaan partisipasi publik”. Melalui visi dan misi inilah Komisi Yudisial mengerakkan kekuasaannya dalam sejarah dan sistem kenegaraan Indonesia.

Arah kelembagaan Komisi Yudisial juga secara lebih spesifik dan khusus termuat dalam konsep sasaran strategis dan tujuan kelembagaan. Termaktub dalam laman resminya, sasaran strategis yang ingin dicapai lembaga Komisi Yudisial terdiri atas enam poin.

Pertama, adalah tersedianya Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di lembaga MA dan hakim yang memiliki kualitas kompeten dan integritas. Kedua, untuk terwujudnya peningkatan kompetensi hakim dengan pelatihan dan capaian kesejahteraan. Ketiga, untuk mewujudkan pengambilan langkah hukum atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

Keempat, adalah untuk mewujudkan sosok hakim yang berkomitmen melaksanakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kelima, untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap hakim. Keenam adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan menjadi organisasi yang efektif dan efisien.

Sementara untuk tujuan dibentuknya kelembagaan Komisi Yudisial terdiri atas lima poin. Pertama adalah mendapatkan calon Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di MA, dan hakim di seluruh badan peradilan sesuai kebutuhan dan standar kelayakan. Kedua, untuk mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Ketiga, tercapainya peningkatan kepatuhan hakim terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Keempat, terwujudnya kepercayaan publik terhadap hakim. Terakhir, meningkatkan kapasitas kelembagaan Komisi Yudisial yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sejarah Lembaga Komisi Yudisial

Menghidupkan Gagasan Komisi Yudisial

Sejarah pembetukan Komisi Yudisial dimulai dari munculnya gagasan pembentukan suatu lembaga yang secara khusus berwenang terhadap kekuasaan kehakiman.Dalam pelaksanaan kekuasaanya, bagaimanapun juga hakim harus tunduk pada ketentuan sekaligus bergerak dalam kontrol untuk menjaga akuntabilitasnya.

Gagasan ini telah diwujudkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1968. Pada periode pembahasan tersebut, sempat diusulkan pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH).

Majelis ini diharapkan dapat memiliki fungsi untuk memberikan pertimbangan sekaligus mengambil keputusan akhir terkait perihal jabatan kekuasaan hakim, seperti pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan hukuman jabatan yang diajukan oleh lembaga MA maupun oleh Menteri Kehakiman. Namun, gagasan majelis tersebut tidak berhasil masuk ke dalam materi RUU yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Meski begitu, gagasan ini terbukti masih hidup dan bertahan dengan kemunculannya kembali pada era Reformasi pasca 1998. Muncul suara-suara yang kembali mengusung gagasan ini, terutama dari anggota MPR yang terlibat dalam perumusan. Salah satunya disampaikan oleh Anggota MPR Fraksi PDI Perjuangan I Gede Dewa Palguna pada Juni 2000. Dengan latar belakang hukum dan kelak menjadi hakim MK termuda, Palguna mengusulkan suatu lembaga mandiri yang bertugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim.

Mengutip artikel akademik Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Etik Hakim: Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi 005/PUU-IV/2006 oleh Muhammad Hasan Basri, Palguna menyampaikan, “Untuk menghindari intervensi kekuasaan eksekutif terhadap para hakim, kami mengusulkan pembentukan suatu badan yang mandiri yang kami sebut Komisi Yudisial (Komisi Yudisial) pada tingkat nasional maupun daerah, sehingga kalau dahulu hakim agung diangkat oleh Presiden dan hakim-hakim diangkat oleh Menteri kehakiman, sekarang kami mengusulkan untuk hakim agung diangkat oleh Presiden, berdasarkan usul Komisi Yudisial nasional, dan untuk hakim biasa maksudnya diluar hakim agung, diangkat oleh Presiden berdasarkan Komisi Yudisial di daerah.”

Selain itu, Basri juga menuliskan adanya dukungan serupa dari Anggota MPR Pataniari Siahaan terhadap gagasan ini. Pada September 2001, Pataniari menggarisbawahi diperlukannya penanganan untuk masalah seleksi hakim agung dan hakim-hakim lainnya. Hal ini perlu dicarikan solusi mengingat mutu hakim Indonesia yang masih belum mumpuni. “Kita sekarang sama-sama sepakat mutu hakim kita masih tetap menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat. Mekanisme rekrutmen seyogyanya ditangani oleh suatu lembaga yang lebih layak dan tepat untuk mengatasi masalah tersebut,” katanya.

Pengusulan lembaga khusus tersebut akhirnya lolos dan terejawantahkan dalam Amendemen Ketiga UUD 1945 pada November 2001 dengan diamanatkannya kehadiran lembaga Komisi Yudisial. Amanat tersebut termaktub secara khusus pada Pasal 24B dengan keempat ayatnya. Pembentukan tersebut didasari pada semangat keprihatinan akan situasi wajah peradilan Indonesia yang muram dan polemik keadilan yang tak kunjung tegak. 

Seiring dengan kelahiran ini, Basri menuliskan bahwa kehadiran Komisi Yudisial merupakan pemenuh bagi semangat reformasi peradilan Indonesia – terutama pasca rezim Orde Baru yang begitu bobrok. Pelembagaan Komisi Yudisial memberikan nafas pembenahan segar bagi tata kelola kehakiman, secara khusus bagi dua hal yakni terhadap sistem pengangkatan hakim (judicial appointment) dan pengawasan terhadap perilaku hakim (judicial conduct).

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY), Maradaman Harahap (kiri) dan Kepala PusatAnalisis dan Layanan Informasi KY, Roejito sebelum memberikan keterangan terkait seleksi Calon Hakim Agung di Gedung KY, Jakarta, Jumat (26/1/2018). Dalam kesempatan itu KY mengumumkan sebanyak 74 orang lolos seleksi administrasi Calon Hakim Agung.

Dinamika Lembaga Komisi Yudisial

Selanjutnya, UUD 1945 kembali mengalami amandemen pada tahun 2002. Dengan semangat keadilan dan keperihatinan yang masih bertahan, Pasal 24B beserta ayat-ayatnya tetap dipertahankan. Pada ayat pertama, dituliskan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga dengan sifat mandiri dan memiliki dua kewenangan konstitutif. Kewenangan yang pertama adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan yang kedua menyangkut wewenang lainnya terkait penjagaan dan penegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Pasal 24B ayat (4) mengamanatkan agar kehadiran Komisi Yudisial diatur lebih lanjut melalui UU yang lebih khusus. Dalam rangka tersebut, juga untuk mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, maka pemerintah mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pada 13 Agustus 2004. UU ini menjadi produk hukum pertama yang secara khusus mengatur dan mengakomodasi fungsionalitas lembaga Komisi Yudisial.

Di dalam UU inilah termaktub hal-hal terperinci terkait kelembagaan Komisi Yudisial. Secara struktural, Komisi Yudisial terdiri atas tujuh orang anggota termasuk dengan seorang Ketua dan Wakil Ketua. Menghidupi amanat UUD 1945 Pasal 24B ayat (2) bahwa anggota Komisi Yudisial haruslah sosok yang berpengalaman, berpengetahuan, dan berintegritas, maka Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2004 menyebutkan bahwa anggota Komisi Yudisial dapat terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, juga anggota masyarakat.

Setelah kehadiran UU khusus tersebut, langkah pemerintah dilanjutkan dengan pembentukan panitia untuk melakukan seleksi calon anggota Komisi Yudisial untuk periode pertamanya, yakni 2005-2010. Dari seleksi ini, terpilihlah tujuh anggota Komisi Yudisial pertama, yakni M. Busyro Muqoddas, M. Thahir Saimima, Mustafa Abdullah, Irawady Joenoes, Zainal Arifin, Chatamarrasjid Ais, dan Soekotjo Soeparto.

Setelah terpilih, ketujuh anggota Komisi Yudisial ini mengucapkan sumpah jabatan pada 2 Agustus 2005. Pengucapan sumpah dilakukan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai awal memulai masa tugasnya. Untuk periode keanggotaan tersebut, juga telah terpilih Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial pertama, yakni M. Busyro Muqoddas dengan Wakilnya M. Thahir Saimima.

Baru satu tahun, kerja internal anggota Komisi Yudisial pertama ini dihadapkan pada dinamika dari eksternal. Kembali merujuk pada Basri, upaya menegakan kehormatan dan perilaku hakim yang dilakukan olek Komisi Yudisial cenderung mendapatkan resistensi cukup besar dari lembaga-lembaga peradilan, secara khusus hakim-hakim MA dan MK. Tidak diterimanya kehadiran apalagi wewenang Komisi Yudisial menjadi problem utama fungsi pengawasan guna menegakan kehormatan dan perilaku hakim.

Akhirnya hakim agung MA pun mengajukan peninjauan kembali atau judicial review terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 kepada MK. Alasan yang digunakan adalah bahwa sejumlah tugas dan wewenang Komisi Yudisial yang ditetapkan UU Nomor 22 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945. Hasil dari situasi tersebut, keluarlah Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006.

Melalui putusan tersebut, MK mencabut kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi. Atas hal ini, berbagai pihak menilai Komisi Yudisial tengah mengalami pelemahan kewenangan. Seharusnya, hakim konstitusi jugalah bagian dalam definisi “hakim” sebagaimana konsepsi UUD 1945 – dan oleh karenanya harus turut diawasi oleh Komisi Yudisial sebagai lembaga penegak kehakiman.

Pada 20 Desember 2010, periode keanggotaan Komisi Yudisial yang pertama berakhir. Kembali dilakukan pemilihan Anggota Komisi Yudisial Periode 2010-2015. Pengucapan sumpah pun kembali dilakukan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta.

Pada periode keanggotaan ini dilakukan upaya untuk merevisi UU Nomor 22 Tahun 2004 yang telah dianggap usang. Hasilnya, pada 2011 pemerintah menerbuitkan UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Perubahan UU ini berdampak positif terhadap penguatan wewenang dan tugas Komisi Yudisial. 

Mengacu pada Kompas (7/10/2011, Kewenangan Komisi Yudisial Makin Kuat), UU terbaru ini menambah kewenangan Komisi Yudisial untuk dapat mengusulkan pengangkatan hakim agung dan juga hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung ke DPR. Dalam kepengurusan struktural, Komisi Yudisial juga diberi kewenangan untuk mengangkat penghubung lembaga di daerah sesuai dengan kebutuhannya. Maksud dari penghubung adalah organ resmi Komisi Yudisial di daerah yang bertugas untuk membantu pelaksanaan tugas Komisi Yudisial.

Selain itu, juga dilakukan perubahan terhadap komposisi keanggotaan. Setelah sebelumnya komposisi Komisi Yudisial hanya disebutkan terdiri atas tujuh anggota, UU Nomor 18 Tahun 2011 mengatur secara spesifik bahwa keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas dua mantan hakim, dua praktisi hukum, dua akademisi hukum, dan satu anggota masyarakat.

UU Nomor 18 Tahun 2011 juga merubah periode kepemimpinan lembaga Komisi Yudisial. Periode jabatan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial tidak lagi lima tahun, melainkan dua tahun enam bulan dan dapat dipilih kembali untuk waktu yang sama setelahnya. Oleh karenanya, satu periode keanggotaan yang berdurasi lima tahun dapat dipimpin atas dua pasangan Ketua dan Wakil Ketua yang berbeda – dimana juga dalam satu periode keanggotaan akan terbagi atas Paruh I dan Paruh II.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) M Taufiq HZ didampingi Anggota KY Binziad Kadafi (kiri) dan Juru bicara KY Miko Ginting (kanan) memberi keterangan pers terkait pemeriksaan etik sejumlah hakim Mahkamah Agung yang tertangkap KPK di depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (26/12/2022). Selain pemeriksaan secara etik, Komisi Yudisial juga akan menelisik dan mempelajari pola suap yang terjadi di lingkup MA untuk perumusan antisipasi agar tidak terjadi lagi.

Wewenang dan Tugas Lembaga

Dengan perubahan yang telah dilakukan melalui UU Nomor 18 Tahun 2011, maka hingga kini wewenang dari lembaga Komisi Yudisial terdiri atas:

  • Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
  • Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
  • Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan MA.
  • Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). 

Dalam melaksanakan wewenang pertama, maka Komisi Yudisial memiliki empat tugas spesifik. Yang pertama adalah untuk melakukan pendaftaran calon hakim agung. Kedua, melakukan melakukan seleksi terhadap calon hakim agung. Ketiga, menetapkan calon hakim agung. Keempat, mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Sementara untuk melaksanakan wewenang keduanya, terdapat perubahan pada Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2011 dari UU lamanya. Tugas tersebut terdiri atas lima poin, dimana yang pertama adalah melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim. Kedua, menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Lalu yang ketiga, melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup. Keempat memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kelima, mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

Selain kesembilan tugas tersebut, Komisi Yudisial juga memiliki satu tugas terkait kehakiman lainnya. Masih dalam Pasal 20, tugas tersebut adalah mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Dalam melaksanakan tugas-tugas ini, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum, atau dalam hal ini pihak kepolisian. Bantuan yang dapat dimintakan termasuk untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh hakim.

KOMPAS/SUSANA RITA

Sejumlah hakim mengikuti kelas pelatihan kode etik yang diselenggarakan Komisi Yudisial, Rabu (8/6/2022). Mereka membahas laporan pengaduan masyarakat yang masuk ke KY.

Kepemimpinan Komisi Yudisial

Dalam sejarah kelembagaannya, sejak kepengurusan pertama kali pada 2005 hingga saat ini, Komisi Yudisial telah mengalami pergantian periode kepemimpinan sebanyak empat kali. Bersamaan dengan itu, mengacu pada laman resminya, tercatat telah terdapat masing-masing tujuh pasangan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial.

  1. Periode 2005-2010 : M. Busyro Muqoddas dan M. Thahir Saimima
  2. Periode 2010-2013 : Eman Suparman dan Imam Anshori Saleh (Paruh I)
  3. Periode 2013-2015 : Suparman Marzuki dan Abbas Said (Paruh II)
  4. Periode 2016-2018 : Aidul Fitriciada Azhari dan Sukma Violetta (Paruh I)
  5. Periode 2018-2020 : Jaja Ahmad Jayus dan Maradaman Harahap (Paruh II)
  6. Periode 2021-2023 : Mukti Fajar Nur Dewata dan M. Taufiq HZ (Paruh I)
  7. Periode 2023-2025 : Amzulian Rifai dan Siti Nurdjanah (Paruh II)

Kemitraan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, lembaga Mahkamah Agung (MA) merupakan pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi. Segala Badan Peradilan di Indonesia berada di bawah MA, baik itu lembaga peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, hingga pengadilan khusus.

Dengan kekuasaan dan posisi demikian, Komisi Yudisial dengan wewenangnya melakukan pengawasan dan penelurusan kehakiman memiliki hubungan kerja sama yang formil dan erat dengan MA. Jalinan hubungan kedua lembaga ini juga berulang kali dituliskan dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 dalam berbagai bentuk, tujuan, dan fungsionalitas.

Salah satunya tertulis pada Pasal 1 mengenai pembentukan perangkat Majelis Kehormatan Hakim. Dengan tugasnya untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, wewenang pembentukan majelis ini berada di tangan lembaga MA dan Komisi Yudisial.

Begitu pula apabila hakim telah terbukti melakukan pelanggaran, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang menelusuri tidak dapat langsung memberikan sanksi kepada hakim terkait. Pembertian sanksi haruslah dilakukan oleh MA melalui rekomendasi Komisi Yudisial. Selain itu, sebagaimana telah tertulis sebelumnya, Komisi Yudisial jugalah yang berwewenang untuk merekomendasikan hakim agung dan hakim ad hoc di MA.

Pada awal Mei lalu, Komisi Yudisial telah melakukan seleksi terhadap calon hakim agung dan calon hakim ad hoc MA. Seleksi ini dilakukan kembali setelah DPR hanya menyetujui tiga calon hakim agung dari delapan nama yang sebelumnya telah diajukan Komisi Yudisial. Untuk calon hakim ad hoc, DPR bahkan tidak menyetujui satu pun nama dari tiga calon yang diusulkan Komisi Yudisial (Kompas, 28/4/2023, Kilas Politik & Hukum: Awal Mei, Seleksi Calon Hakim Agung).

Selain itu, pentingnya kemitraan antara Komisi Yudisial dan MA juga disoroti langsung oleh Presiden Joko Widodo. Pada momen Penyampaian Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2021 secara virtual dari Istana Negara, Jakarta, pada Maret 2022 lalu, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa kemitraan antara Komisi Yudisial dan MA adalah kunci untuk menjaga marwah para hakim dalam memutus perkara.

Komisi Yudisial juga diminta untuk mengoptimalkan perannya dalam memilih hakim yang transparan, objektif, profesional, dan berintegritas. Presiden berharap kemitraan ini akhirnya dapat membatasi bahkan memutus kotornya gerak para mafia peradilan (Kompas, 10/3/2022, Kilas Politik & Hukum: Presiden Jokowi: Komisi Yudisial Optimalkan Peran Hakim Putus Mafia Peradilan).

Salah satu perwujudan strategis dari kemitraan ini telah terjadi pada Desember 2021. Menyadari pentingnya kemitraan kedua lembaga, Komisi Yudisial dan MA lantas membentuk tim penghubung untuk mengintensifkan komunikasi sekaligus melakukan pemeriksaan antar kedua lembaga. Tim penghubung yang dibentuk tersebut terdiri atas tiga perwakilan Komisi Yudisial dan tiga perwakilan Mahkamah Agung. (LITBANG KOMPAS)

Peraturan
  • Pemerintah Pusat. (2011). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Jakarta.
  • Pemerintah Pusat. (2016). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diambil kembali dari dpr.go.id: https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945
Jurnal
  • Basri, M. H. (2021). Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Etik Hakim : Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi 005/PUU-IV/2006. Lex Renaissan Nomor 3 Volume 6, 520-537.
Buku
  • Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arsip Kompas
  • Kompas.id. (2023, April 13). Komisi Yudisial Usulkan Penjatuhan Sanksi terhadap 14 Hakim. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/04/12/Komisi Yudisial-usulkan-penjatuhan-sanksi-terhadap-14-hakim
  • Kompas. (2023, Maret 6). Putusan Keliru Penundaan Pemilu. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 6.
  • Kompas. (2023, Juni 15). Kilas Politik & Hukum: Komisi Yudisial Analisis Keterangan Tiga Hakim PN Jakpus. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.
  • Kompas. (2011, Oktober 7). Kewenangan Komisi Yudisial Makin Kuat. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
  • Kompas. (2023, April 28). Kilas Politik & Hukum: Awal Mei, Seleksi Calon Hakim Agung. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 3.
  • Kompas. (2022, Maret 10). Kilas Politik & Hukum: Presiden Jokowi: Komisi Yudisial Optimalkan Peran Hakim Putus Mafia Peradilan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.
  • Kompas. (2022, Desember 21). Kilas Politik & Hukum: Komisi Yudisial dan MA Bentuk Tim Penghubung. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.
Internet
  • Komisi Yudisial. (2015, Mei 22). RaKomisi Yudisialat Berwenang Awasi Kinerja Komisi Yudisial . Diambil kembali dari komisiyudisial.go.id: https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/6/raKomisi Yudisialat-berwenang-awasi-kinerja-Komisi Yudisial
  • Komisi Yudisial. (2020). Sejarah Pembentukan. Diambil kembali dari komisiyudisial.go.id