Daerah

Kota Magelang: Kota Sejuta Bunga yang Lekat dengan Sejarah Militer

Magelang merupakan salah satu kota tua di Indonesia. Pada era kolonial, kota ini dijuluki ”Tuin van Java” alias taman indah berapit gunung dan bukit. Kota ini dikenal pula sebagai Kota Sejuta Bunga dan lekat dengan sekolah pendidikan militer. Kota ini juga menyimpan potensi geoekonomi karena letaknya strategis, menghubungkan kawasan utara dan selatan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Bangunan menara air memperindah pemandangan di Alun-alun Magelang, Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (28/10/2020). Bangunan tersebut bagian dari saluran air kota yang dibangun saat masa pendudukan Belanda pada tahun 1916. Magelang masih memiliki berbagai bangunan peninggalan Belanda yang terus dilestarikan keberadaannya.

Fakta Singkat

Hari Jadi 
11 April 907

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 17/1950

Luas Wilayah
18,12 km2

Jumlah Penduduk
121.610 jiwa (2021)

Kepala Daerah
Wali Kota H. Muchamad Nur Aziz
Wakil Wali Kota H. Mansyur

Instansi terkait
Pemerintah Kota Magelang

Kota Magelang adalah kota terkecil di Provinsi Jawa Tengah. Letaknya berada tepat di tengah-tengah Pulau Jawa, dan berada di persilangan jalur transportasi dan ekonomi antara Semarang – Magelang – Yogyakarta, dan Purworejo. Kota ini juga berada pada persimpangan jalur wisata lokal maupun regional antara Yogyakarta – Borobudur – Kopeng dan dataran tinggi Dieng.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Kota Magelang dibentuk berdasarkan UU 17/1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Hari Jadi Kota Magelang ditetapkan pada tanggal 11 April 907 berdasarkan Perda Kota Magelang No. 6/1989. Tanggal kelahiran ini disebutkan dalam Prasasti Mantyasih I yang berbunyi Swastisakawarsati 829 caitramasa. Tithi ekadasi kranapaksa. Tu. U. Sapurwwabha-drawadanaksastra. Ajapadadewata. Inndrayogo. Kalimat dalam prasasti itu berarti hari Sabtu Legi, 11 April, tahun 907 Masehi.

Kalimat pada Prasasti Mantyasih I yang memuat penanggalan ini memberikan keterangan, Desa Mantyasih dinyatakan sebagai desa perdikan atau dibebaskan dari pembayaran pajak. Keputusan itu dikeluarkan Sri Maharaja Rake Watukuro Dyah Balitung sebagai bentuk terima kasih pada warga Desa Mantyasih yang berjasa mengamankan jalur transportasi di sekitar desa yang berada di tengah perlintasan wilayah Kedu.

Dengan luas wilayah 18,12 kilometer persegi, kota ini dihuni oleh 121.610 jiwa (2021), yang tersebar di tiga kecamatan, serta 17 kelurahan. Kota ini saat ini dipimpin oleh Wali Kota H. Muchamad Nur Aziz dan Wakil Wali Kota M. Mansyur untuk periode 2021–2026.

Magelang, seperti tergambar dalam lambang kota, merupakan kota transit. Simpang tiga di logo kota itu menggambarkan letaknya berada dalam pertemuan tiga jurusan, Semarang, Purworejo, dan Yogyakarta.

Kota Magelang mempunyai posisi strategis karena berada di jalur Semarang-Yogyakarta. Kota Magelang juga terhubung dengan Kabupaten Purworejo yang berada di jalur selatan dan Kabupaten Temanggung di jalur tengah. Daerah ini juga bisa tersambung dengan Kota Salatiga melalui jalur Kopeng di lereng Gunung Merbabu.

Kota Magelang kerap dijuluki ”Kota Sejuta Bunga”. Bahkan, citra Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga ditetapkan dalam Perda Kota Magelang No. 11/2014 tentang Branding Kota Magelang.

Keindahan Kota Magelang sebenarnya sudah dikenal sejak era kolonial. Ketika itu, warga Belanda dan negara Eropa lain yang berkunjung dan tinggal di Magelang menjuluki daerah itu dengan sejumlah nama. Burgesmeester atau Wali Kota Stadgemeente Magelang Ir Nessel Van Lissa pada 1936 menerbitkan buku De Bergstad van Midden-Java Middelpunt van de Tuin van Java, dan di dalamnya menyebut Kota Magelang sebagai ”Tuin van Java” atau tamannya Pulau Jawa.

Sementara, pada tahun 1920, ada pula artikel berbahasa Belanda berjudul “In En Om Magelang”, yang menyebut julukan Kota Magelang sebagai ”Paradijs van Java” atau surganya Pulau Jawa. Ditulis, Magelang ada di wilayah pegunungan dan di lembah indah serta menyenangkan.

Kota Magelang, sejak masa kolonial, dikenal pula sebagai salah satu pusat garnisun Pulau Jawa. Citra Kota Garnisun di Magelang kian lengkap dengan keberadaan Akademi Militer (Akmil), wadah penggemblengan calon perwira Bangsa, yang diresmikan pada 11 November 1957 oleh Presiden RI Soekarno.

Kota Magelang memiliki visi: “Kota Magelang Maju, Sehat dan Bahagia”. Adapun misinya ada lima. Pertama, meningkatkan masyarakat yang religius, berbudaya, beradab, toleran, dan berlandaskan IMTAQ. Kedua, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar masyarakat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Kemudian ketiga, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan inovatif. Keempat, meningkatkan ekonomi masyarakat dengan peningkatan peran UMKM berbasis ekonomi kerakyatan. Kelima, mewujudkan kota modern yang berdaya saing dengan peningkatan kualitas tata ruang dan infrastruktur.

Sejarah pembentukan

Dalam tulisan “Landscape dalam Perkembangan Kota Magelang Sebagai Kota Bersejarah” yang ditulis oleh Wahyu Utami, dkk., dan buku Toponim Kota Magelang disebutkan bahwa Magelang—saat itu lebih dikenal dengan Bukit Tidar—-yang ada di tengah kota telah berkembang jauh sebelum kolonial datang pada tahun 1810.

Bahkan pada bukunya yang berjudul The History of Java, Thomas Stamford Raffles menceritakan adanya Magelang tahun 88 M yang diperkuat dengan artikel-artikel lepas sejarawan yang menguak kemunculan Kota Magelang.

Bukit Tidar menjadi salah satu simbol bagi kota Magelang. Pada masa itu Bukit Tidar menjadi salah satu tujuan para pembuka lahan untuk mempertahankan kehidupan di Pulau Jawa umumnya dan di Magelang pada khususnya.

Hal ini juga tidak terlepas adanya sungai Progo dan sungai Elo yang pada masa Kerajaan Mataram Kuno (± 732 M) diidentikkan sebagai sungai Gangga yang ada di India dan Gunung Merapi diidentikkan dengan salah satu gunung yang ada di India.

Sejak tahun 88 M, kawasan di sekitar bukit Tidar mulai ada kehidupan yang seiring dengan waktu mulai banyak dikunjungi orang-orang pendatang. Dari sumber sejarah yang sudah ada, terlihat bahwa pada masa Kerajaan Kalingga sudah menggunakan daerah di sekitar bukit Tidar dan Gunung Merapi sebagai daerah permukiman terutama pada saat terjadi perpecahan di Kerajaan Kalingga.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pengguna jalan melintas di dekat bangunan Pengguna jalan melintas di dekat bangunan plengkung di Jalan Piere Tendean, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (28/10/2020). Bangunan tersebut bagian dari saluran air kota yang dibangun saat masa pendudukan Belanda. Magelang masih memiliki berbagai bangunan peninggalan Belanda yang terus dilestarikan keberadaannya.

Magelang lebih dikenal pada era Mataram Kuno dengan sebutan Mantyasih yang dijadikan sebagai daerah perdikan oleh Raja Balitung pada tahun 907 M. Pada era Raja Balitung istana Mataram Kuno berada di daerah Medang Poh Pitu (Kedu).

Selain Desa Mantyasih, diceritakan adanya Desa Poh yang dijadikan daerah untuk melakukan persembahan dengan dibangun Sima pada tahun 905 M. Kedua desa tersebut diceritakan di dua prasasti yang ada di Magelang, yaitu prasasti Mantyasih dan prasasti Poh. Prasasti Mantyasih terletak di desa Meteseh yang berada di sebelah barat Kota Magelang, begitu juga dengan prasasti Poh yang terletak di desa Dumpoh yang terletak di sebelah utara desa Meteseh.

Prasasti Poh dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898–910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh,sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.

Prasasti Mantyasih berisi, antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907.

Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung Susundara dan Wukir Sumbing, yang kini dikenal dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Setelah melalui masa jayanya sekitar dua abad, wilayah Magelang dan sekitarnya sedikit demi sedikit mulai ditinggal kaumnya karena sudah adanya perpindahan ibu kota Mataram Kuno ke Jawa Timur. Hal ini ditambah dengan fenomena alam yang terjadi, yaitu Gunung Merapi meletus tahun 1006 yang mengakibatkan hancurnya Mataram Hindu karena adanya gempa yang sangat besar.

Magelang baru muncul lagi setelah terbentuknya pusat kekuasaan baru, yaitu Mataram di Yogyakarta sebagai wilayah nagaragung (daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat). Magelang berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi gudang beras bagi Kerajaan Mataram.

KOMPAS/SRI REJEKI

Tampak depan Museum Jenderal Sudirman.

Setelah ada perang Jawa yang menghasilkan Perjanjian Gianti tahun 1755, wilayah Kedu menjadi bagian dari Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Inggris, Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta dan memaksanya untuk menerima syarat-syarat yang diajukan. Syarat tersebut, antara lain, menyerahkan sebagian dari wilayah nagaragung-nya, termasuk Kedu sebagai gudang beras.

Kedu, saat itu, masuk dalam dua wilayah penguasa, yaitu wilayah Surakarta dan wilayah Yogyakarta. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran konsentris yang berpusat di kraton dan Magelang masuk dalam daerah Kedu yang merupakan nagaragung dari Mataram.

Sejak 1810, Magelang yang saat itu masih gabungan antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang sekarang, dipilih oleh orang Inggris sebagai ibu kota kabupaten, dengan bupati pertama Mas Ngabei Danoekromo. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun alun-alun, bangunan tempat tinggal Bupati, serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya, dipilihlah Magelang sebagai ibu kota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.

Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu, karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah, Magelang kemudian dijadikan Kota Militer. Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan-jalan arteri diperkeras dan diaspal.

Setelah masa kemerdekaan, kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya. Sejalan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.

Geografis

Kota Magelang secara geografis terletak di antara 110°12’30” — 110°12’52” BT dan 7°26’18” — 7°30’9″ LS. Kota Magelang terletak di tengah-tengah Kabupaten Magelang, sehingga secara langsung berbatasan dengan Kabupaten Magelang.

Di sisi utara, Kota Magelang berbatasan langsung dengan Kecamatan Secang, sisi timur berbatasan langsung dengan Kecamatan Tegalrejo, sisi selatan berbatasan langsung dengan Kecamatan Mertoyudan, dan sisi barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Bandongan.

Kota ini memiliki kondisi dataran yang secara umum termasuk dalam dataran rendah dengan kategori dataran aluvial dengan sudut kemiringan yang bervariasi, yaitu berada di ketinggian antara 375–500 mdpl dengan titik ketinggian tertinggi pada Gunung Tidar, yaitu 503 mdpl.

Mayoritas wilayah kota Magelang ada pada tingkat kemiringan 2–15 persen dan mencapai luasan 62,79 persen dari luas wilayah Kota Magelang. Wilayah dengan tingkat kemiringan 2–15 persen memiliki medan yang landai dan berelief sedang-halus. Wilayah ini berada pada daerah di sebelah timur kompleks Akmil ke Utara hingga daerah di sekitar RSJ Magelang.

Lansekap kota yang berada di antara gunung adalah salah satu kekhasan yang dimiliki Kota Magelang. Di sisi barat kota, akan terlihat Gunung Sumbing. Dari sisi timur, Gunung Merapi berdampingan dengan Gunung Merbabu. Keberadaan Gunung Tidar, sebuah bukit yang yang berada di jantung Kota Magelang, berfungsi sebagai paru-paru kota yang menjadikan iklim kota ini berhawa sejuk. Bukit tersebut menjadi landmark Kota Magelang.

Di samping itu, Sungai Progo dan Sungai Elo mengapit wilayah barat dan timur, juga menjadi keunggulan tersendiri Kota Magelang. Kota Magelang termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo-Opak-Serang.

KOMPAS/SRI REJEKI

Pemandangan Kota Magelang dilihat dari tanah lapang di depan Museum Diponegoro.

Pemerintahan

Dalam “Daftar Wali Kota Magelang Dari Masa ke Masa”, seperti dilansir dari laman resmi Pemerintah Kota Magelang, disebutkan nama-nama kepala pemerintah yang pernah memerintah sejak 1906 hingga saat ini.

Selama periode 1906–1929, Magelang dipimpin oleh Asisten Residen merangkap Dewan Wilayah. Mereka adalah Ter Muelen, J. De Vries, J. M. Jordan, Gordon, C. A. Shinitaler, P. M Letterie, dan J. De Vries. Kemudian untuk periode 1929–1942, Magelang dipimpin oleh Burgemeester, yakni J. De Vries, Ir. R. Voorman, P. K. Lakemen, H. F. Brune, dan Ir. R. C. A. P. I. Nessel.

Selama masa penjajahan Jepang, periode 1942–1945, Magelang dipimpin oleh kepala pemerintahan dengan sebutan Si Cho, yakni BB Tungka dan R. Gondo Merto Soeprojo.

Selanjutnya, setelah kemerdekaan hingga kini, Kota Magelang telah dipimpin oleh 15 kepala daerah. Selama periode 1945–1948, Magelang pernah dipimpin oleh R. Suprojo Projowidagdo, R. Mochmad Sunarman, dan R. Sutejo.

Kemudian diteruskan oleh R. Mukahar Ronohadiwijoyo (1948–1956), R. Wibowo Hellie (1956–1958), Argo Ismoyo (1958–1965), Sunaryo (1965–1966), Moch Subroto (1966–1979), Bagus Panuntun (1979–1989), Rudy Sukarno (1989–1993), dan Sukadi (1993–1998).

Pada masa reformasi, estafet kepemimpinan diteruskan oleh Hartomo sebagai Penjabat Wali Kota (1998–2000), Fahriyanto (2000–2010), Sigit Widyonindito (2010–2021), dan H. Muchamad Nur Aziz (2021–2026).

Secara administratif, Kota Magelang terbagi atas tiga kecamatan, 17 kelurahan, 192 RW, dan 1.031 RT. Ketiga kecamatan itu adalah Kecamatan Magelang Utara, Kecamatan Magelang Tengah, dan Kecamatan Magelang Selatan.

Untuk mendukung jalannya pemerintahan, pemerintah Kota Magelang didukung oleh 2.452 Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 2021. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah PNS perempuan lebih banyak dibanding pegawai laki-laki. PNS laki-laki sebanyak 963 orang sedangkan PNS perempuan sebanyak 1.489 orang.

Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, jumlah PNS Kota Magelang tahun 2021 sebanyak 63,7 persen merupakan tamatan S1 ke atas. Sedangkan PNS yang berpendidikan Diploma I-III sebanyak 18,5 persen dan SMA/Sederajat 13,4 persen serta sisanya berpendidikan SLTP dan SD.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Wali Kota Magelang HM Nur Aziz (tengah) memegang balon yang bertuliskan tanggal pelaksanaan Magelang 10K powered by Taman Kyai Langgeng Ecopark, Minggu (29/5/2022). Magelang 10K akan dilaksanakan 18 September 2022 mendatang.

Politik

Pilihan politik masyarakat di Kota Magelang dalam tiga kali pemilihan umum legislatif cenderung dinamis. Hal itu tampak dari peta perpolitikan yang tecermin dari perolehan kursi partai politik (parpol) di DPRD Kota Magelang.

Pada Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat memperoleh kursi terbanyak dengan tujuh kursi. Disusul PDI Perjuangan  meraih lima kursi, kemudian Golkar dan PAN masing-masing meraih tiga kursi, PKS dan PKB masing-masing dua kursi. Sedangkan PDS, PPP, dan PKPI masing-masing mendapat satu kursi.

Lima tahun kemudian, pada Pemilu Legislatif 2014, giliran PDI Perjuangan meraih kursi terbanyak di DPRD Kota Magelang. Dari 25 jumlah kursi, partai berlambang banteng moncong putih ini mampu meraih tujuh kursi.

Kemudian disusul Golkar meraih empat kursi, Demokrat dan PKS sama-sama meraih tiga kursi. Selanjutnya PKB, Gerindra, dan Hanura dua kursi, serta PAN dan Partai Nasdem masing-masing mendapat jatah satu kursi.

Pada Pemilu Legislatif 2019, PDI Perjuangan kembali mendominasi perolehan kursi di DPR Kota Magelang. Bahkan PDI-P mampu menaikkan perolehan kursinya dari tujuh kursi di Pemilu Legislatif 2014 menjadi sembilan kursi di Pemilu Legislatif 2019. Partai lainnya yang meraih kursi adalah PKB, Golkar, PKS, dan Demokrat sama-sama memperoleh tiga kursi, disusul Hanura dua kursi serta Gerindra, dan Perindo mendapatkan satu kursi.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Bongkar Kotak Suara – Sejumlah petugas membongkar kotak suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Jawa Tengah, dalam acara rekapitulasi perolehan suara di gedung DPRD Kota Magelang, Kamis (17/12/2015). Kotak terpaksa dibongkar paksa karena tidak bisa dibuka dengan kunci yang tersedia.

Kependudukan

Kota Magelang dihuni oleh 121.610 jiwa pada tahun 2021, yang terdiri dari 60.234 laki-laki dan 61.292 perempuan. Dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2020, penduduk Kota Magelang tumbuh sebesar 0,07 persen. Sementara besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2021 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 98,24.

Kepadatan penduduk di Kota Magelang tahun 2021 mencapai 6.559 jiwa/km². Kepadatan Penduduk tertinggi terletak di Kecamatan Magelang Tengah dengan kepadatan sebesar 8.643 jiwa km²dan terendah di Kecamatan Magelang Selatan sebesar 5.636 jiwa/ km².

Sebagian besar penduduk Kota Magelang merupakan penduduk usia produktif (15–64 th), yaitu 70,89 persen. Rasio Ketergantungan sebesar 41, artinya setiap 100 penduduk usia produktif (15–64 th) di Kota Magelang harus menanggung 41 orang penduduk usia nonproduktif (0–14 th dan 65+ th).

Struktur ketenagakerjaan di Kota Magelang tahun 2021 masih didominasi sektor perdagangan dan jasa yang menyerap 15.820 orang pekerja (26,23 persen). Kemudian, disusul sektor industri dan lainnya, sedangkan sektor pertanian ada pada posisi terendah.

Proporsi terbesar pekerja pada Agustus 2021 masih didominasi oleh buruh/karyawan/pegawai sebesar 53,46 persen atau 32.243 orang. Sementara proporsi terkecil adalah pekerja bebas di pertanian hanya sebesar 0,08 persen atau 50 orang.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Kirab budaya- Sebanyak 35 kelompok kesenian terlibat dalam acara Kirab Budaya, memeriahkan hari ulang tahun (HUT) Kota Magelang ke-1.111, Minggu (23/4/2017). Kirab budaya menjadi agenda rutin tahunan di setiap HUT Kota Magelang ini, selalu menarik ribuan warga untuk menonton dan memadati jalan.

Indeks Pembangunan Manusia
79,43 (2021)

Angka Harapan Hidup 
76,93 tahun (2021)

Harapan Lama Sekolah 
14,15 tahun (2021)

Rata-rata Lama Sekolah 
10,14 tahun (2021)

Pengeluaran per Kapita 
Rp12,35 juta (2021)

Tingkat Pengangguran Terbuka
8,73 persen (2021)

Tingkat Kemiskinan
7,75 persen (2021)

Kesejahteraan

Kesejahteraan penduduk di Kota Magelang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu 2011–2021, indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Magelang meningkat dari 74,47  menjadi 79,43. Angka ini melampaui angka IPM tingkat provinsi maupun nasional.

Dari komponen pembentuknya, Angka Harapan Hidup saat lahir di Kota Magelang sebesar 76,93 tahun, meningkat 0,49 poin dibandingkan kondisi 2011. Sementara itu, Harapan Lama Sekolah (HLS) mencapai 14,15 tahun. Angka ini meningkat 1,82 poin jika dibandingkan kondisi 2011. Selanjutnya, Rata-rata Lama Sekolah (RLS) tahun 2021 di Kota Magelang naik 0,48 poin dibandingkan kondisi RLS 10 tahun yang lalu, menjadi 10,14 tahun.

Seiring dengan peningkatan indikator-indikator sebelumnya, kemampuan daya beli masyarakat Kota Magelang, yang diukur dari pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan juga mengalami peningkatan. Tercatat pengeluaran per kapita per tahun di Kota Magelang pada 2021, adalah sebesar Rp12,35 juta, naik 24,47 persen dibandingkan 2011, yang hanya Rp9,92 juta.

Angka pengangguran terbuka di Kota Magelang pada 2021 tercatat sebesar 8,73 persen atau sebanyak 5.769 orang. Tahun sebelumnya, tingkat pengangguran Kota Magelang sebesar 8,59 persen.

Sementara, jumlah penduduk miskin di Kota Magelang tahun 2021 tercatat sebanyak 9.440 orang (7,75 persen) dengan garis kemiskinan 2021 sebesar Rp537.783. Penduduk miskin itu bertambah jika dibandingkan tahun 2020 yang tercatat sebesar 9.270 orang (7,58 persen).

KOMPAS/EDNA CAROLINE PATTISINA

Makan siang di Akademi Militer Magelang, Senin (27/9/2021) yang kental dengan tradisi menjadi bagian dari pembentukan calon perwira TNI AD.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp318,26 miliar (2021)

Dana Perimbangan 
Rp637,75 miliar (2021)

Pendapatan Lain-lain 
Rp12,38 miliar  (2021)

Pertumbuhan Ekonomi
3,20 persen (2021)

PDRB Harga Berlaku
Rp9,17 triliun (2021)

PDRB per kapita
Rp75,48 juta/tahun (2021)

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Magelang menurut harga berlaku pada 2021 tercatat senilai Rp9,17 triliun. Ekonomi kota ini ditopang oleh empat sektor, yaitu sektor konstruksi 16,86 persen; sektor industri pengolahan 16,60 persen; sektor perdagangan besar dan eceran: reparasi mobil dan sepeda motor 14,53 persen; serta administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib 10,87 persen.

Di sektor industri, Kota Magelang memiliki 551 industri kecil dengan menyerap 918 tenaga kerja dan 12 industri menengah yang mampu menyerap 1.335 tenaga kerja.

Di sektor perdagangan, Kota Magelang memiliki lima pasar pasar tradisional dan 44 pasar modern, yang tersebar di tiga kecamatan. Kelima pasar tradisional tersebut adalah Pasar Rejowinangun, Pasar Gotong Royong, Pasar Kebonpolo, Pasar Cacaban, dan Pasar Sidomukti. Selain pasar, Pemerintah Kota Magelang juga mempunyai 19 shelter untuk penataan Pedagang Kaki Lima pada tahun 2020.

Sebagai kota jasa, sektor perdagangan merupakan sektor yang menjadi usaha favorit bagi masyarakat di Kota Magelang. Hal ini terlihat dari banyaknya pedagang yang ada sejumlah pasar di Kota Magelang, yaitu 4.716 pedagang.

Selain pedagang di sejumlah pasar tradisional, pedagang kaki lima (PKL) juga menjamur di seluruh wilayah Kota Magelang. Dari data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Magelang, tercatat sebanyak 601 PKL.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Wisatawan mengunjungi Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada hari pertama pembukaan kembali obyek wisata itu, Kamis (25/6/2020). Obyek wisata Candi Borobudur dibuka kembali untuk wisatawan dengan menerapkan protokol kesehatan dan membatasi pengunjung maksimal 1.500 orang per hari. Sebelumnya, Borobudur ditutup sejak pertengahan Maret 2020 lalu untuk mengurangi risiko penyebaran pandemi Covid-19.

Di bidang keuangan daerah, pendapatan daerah Kota Magelang pada tahun 2021 senilai Rp968,4 miliar, naik 2,36 persen dibandingkan tahun anggaran 2020. Dari jumlah itu, dana perimbangan masih berkontribusi paling besar, yakni Rp637,75 miliar. Sementara pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp318,3 miliar atau 32,86 persen dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp12,38 miliar.

Pariwisata termasuk menjadi salah satu andalan Kota Magelang. Menurut data BPS, di kota ini terdapat 12 obyek wisata. Beberapa tempat wisata yang menarik dikunjungi, seperti beberapa museum, di antaranya Kamar Diponegoro di Pendopo Gedung Karesidenan Kedu di bagian Barat Kota, berisi peninggalan Pangeran Diponegoro.

Ada pula Museum Sudirman dan Museum Bumi Putera yang merupakan museum asuransi Bumi Putera. Museum yang diresmikan 20 Mei 1985 ini berisi rekaman sejarah Bumi Putera 1912 sejak lahir dan berdiri di kota ini.

Selain itu, terdapat pula Taman Kyai Langgeng, Bukit Tidar, Taman Badaan, Alun-alun Kota Magelang, Borobudur International Golf and Country Club, GOR Samapta, dan Taman Panca Arga.

Terkait dengan akomodasi, pada tahun 2021, Kota Magelang memiliki 20 hotel yang terdiri dari 7 hotel berbintang dan 13 hotel melati, serta 105 rumah makan atau restoran yang tersebar di tiga kecamatan.

KOMPAS/SRI REJEKI

Tangga menuju dan dari puncak Gunung Tidar.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota Magelang *Otonomi”, Kompas, 5 Februari 2002, hlm. 08
  • “Magelang Mengandalkan Taman *Otonomi”, Kompas, 5 Februari 2002, hlm. 08
  • “Sejarah Kota: 11 Abad, Magelang Tumbuh dari Sebuah Desa Perdikan”, Kompas Jawa Tengah, 2 Mei 2006, hlm. 04
  • “Peninggalan Bersejarah: Kota Magelang Belum Miliki Perda Cagar Budaya”, Kompas Jawa Tengah, 10 April 2007, hlm. 09
  • “Potensi Pariwisata: Perlu Pemasaran untuk Menjual Eksotisme Magelang* Kota Kita”, Kompas Jawa Tengah, 10 Juli 2007, hlm. 12
  • “HUT Ke-1.102 Kota Magelang: Berusaha Kembali Merebut Adipura”, Kompas Jawa Tengah, 11 April 2008, hlm. 07
  • “Tengara Kota: Keunikan Alun-alun Kota Magelang * Kota Kita”, Kompas Jawa Tengah, 10 Juni 2008, hlm. 07
  • “Kota Magelang: Cerdas Mengatasi Sampah * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 11 April 2015, hlm. 22
Buku dan Jurnal
  • Zaenuddin HM. 2013. Asal-Usul Kota-Kota di Indonesia Tempo Doeloe. Jakarta: Change
  • Juwono, Harto, Heri Priyatmoko, dan Agus Widiatmoko. 2018. Toponim Kota Magelang. Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
  • Utami, Wahyu, dkk.. November 7th, 2009. “Landscape dalam Perkembangan Kota Magelang Sebagai Kota Bersejarah”. Architecture Department of Engineering Faculty, Diponegoro University, Tembalang Campuss
Aturan Pendukung

Editor
Topan Yuniarto