Daerah

Kabupaten Jepara: “Bumi Kartini” di Utara Jawa Tengah

Jepara terkenal dengan julukan "Bumi Kartini" karena mempunyai kaitan sejarah yang kuat dengan pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini. Selain itu, kabupaten ini dikenal pula sebagai daerah penghasil kerajinan ukiran kayu yang terkenal hingga mancanegara.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Patung Kartini yang terletak di jantung kota Jepara, Jawa Tengah, ini menandai keberadaan RA Kartini sebagai lambang penyuluh bagi kaum perempuan di Indonesia.

Fakta Singkat

Ibukota
Jepara

Hari Jadi
10 April 1549

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 13/1950

Luas Wilayah
1.004,132 km2

Jumlah Penduduk
1.184.947 jiwa (September 2020)

Pasangan Kepala Daerah
Bupati Dian Kristiandi

Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Terletak di sebelah utara Jawa Tengah, kabupaten ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Di masa lalu, Jepara pernah menjadi bandar niaga utama Pulau Jawa.

Kendati Jepara telah berdiri sejak masa kolonial Hindia Belanda, namun Kabupaten Jepara baru terbentuk pada tanggal 8 Agustus 1950 berdasarkan UU 13/1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Djawa Tengah.

Hari jadi Kabupaten Jepara ditetapkan pada tanggal 10 April 1549 berdasarkan Peraturan daerah (Perda) Tingkat II Jepara Nomor 9 Tahun 1988 tentang Hari Jadi Jepara. Penetapan perda itu mengacu pada tokoh Putri Retno Kencana, yang dinobatkan selaku penguasa Jepara dengan nama Nimas Ratu Kalinyamat.

Dalam sejarahnya, Kabupaten Jepara tidak dapat dilepaskan dengan sosok Raden Ajeng Kartini (1879-1904), tokoh perempuan Jawa yang memperjuangkan emansipasi dan hak-hak perempuan di masa kolonial. RA Kartini pada masanya mendongkrak kultur feodalistik dan paternalistik, serta mengilhami perempuan melawan diskriminasi terhadap kaum hawa.

Secara administratif, Kabupaten Jepara terdiri dari 16 kecamatan, 11 kelurahan, dan 184 desa. Kabupaten dengan luas wilayah 1.004,132 kilometer persegi ini dihuni oleh 1,18 juta jiwa berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2020. Sejak tahun lalu, Kabupaten Jepara dipimpin oleh Bupati Dian Kristiandi. Sementara itu, untuk posisi wakil bupati masih kosong hingga saat ini.

Sejarah Pembentukan

Nama Jepara dalam catatan sejarah memiliki beberapa makna. Nama Jepara menurut C Lekkerkerker berasal dari kata Ujungpara yang kemudian berubah menjadi kata Ujung Mara, Jumpara, dan akhirnya menjadi Jepara atau Japara. Kata tersebut memiliki makna pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah.

Sementara itu, sejarawan De Graaf menjelaskan bahwa “Jepara”, “Jung Mara”, atau “Ujung Mara” kemungkinan merupakan nama tempat yang lebih tua, yang disebutkan dalam cerita-cerita tutur Jawa dan dalam buku-buku cerita mengenai kisah sejarah legendaris kota pelabuhan itu. Dugaan ini tampaknya sesuai dengan sumber tradisional Jawa yaitu Serat Pustaka Raja Purwara, yang menyebutkan bahwa daerah Jepara dan Juwana merupakan daerah kekuasaan Sandang Garba, rajanya para  pedagang (koning der koopleiden).

Dalam laman resmi Kabupaten Jepara disebutkan, Jepara mulai dikenal pada abad ke-8 Masehi dengan berdirinya Kerajaan Kalingga yang diperintah oleh Ratu Shima. Keyakinan ini didasarkan pada penemuan benda-benda perhiasan cap Kerajaan Ratu Shima di Desa Drojo, Kabupaten Jepara.

Sementara itu, menurut seorang penulis Portugis, Tomè Pires, dalam Suma Oriental, Jepara baru dikenal pada abad ke-15 (1470). Ketika itu, Jepara merupakan pelabuhan perdagangan kecil yang dihuni oleh sekitar 90 sampai 100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur serta berada di bawah pemerintahan Demak.

Aryo Timur berhasil mengembangkan kota pantai yang dikelilingi oleh benteng kayu dan bambu itu menjadi bandar yang cukup besar. Kondisi fisik pelabuhan Jepara menurut ukuran waktu itu sangat baik, sehingga setiap pelaut dan pedagang yang datang ke Jawa atau akan melanjutkan perjalanan menuju Maluku selalu singgah di pelabuhan Jepara.

Aryo Timur kemudian digantikan oleh putranya bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga. Pati Unus yang dikenal pula dengan julukan Pangeran Sabrang Lor ini sangat gigih melawan Portugis di Malaka yang menguasai rantai perdagangan di kepulauan.

Pada tahun 1512, Pati Unus berangkat dengan armadanya dari 100 kapal berisikan 12.000 prajurit berusaha mengusir Portugis dari Semenanjung Malaka. Meski peperangan ini membawa kekalahan baginya, namun tidak mengurangi kebesaran dan kepahlawanan Pati Unus.

Setelah Pati Unus wafat, ia digantikan oleh ipar Faletehan, yakni Fatahillah  yang berkuasa pada 1521-1536. Kemudian pada tahun 1536 oleh Sultan Trenggono sebagai penguasa Demak, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya, yaitu Retno Kencono dan Sultan Hadirin.

Sultan Trenggono tewas dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546. Sepeninggalnya, tepatnya tahun 1549, muncul perebutan Kerajaan Demak hingga menewaskan Sultan Hadlirin di tangan Aryo Penangsang.

Kematian itu membuat Retno Kencono sangat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Baru setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutawijaya, Retno Kencono bersedia turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara bergelar Nimas Ratu Kalinyamat.

Di bawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara tumbuh sebagai bandar niaga utama di Pulau Jawa, yang melayani ekspor impor. Di samping itu, juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak.

Ratu Kalinyamat juga dikenal gigih dalam melawan penjajah. Pada tahun 1550 dan 1570, Ratu Kalinyamat bekerja sama dengan Aceh, mencoba mengusir Portugis dari semenanjung Malaka, kendati mengalami kekalahan.

BRE REDANA

Makam Ratu Kalinyamat

Pada permulaan abad ke-17, pelabuhan Jepara menjadi tempat mendarat orang-orang asing bila akan menghadap ke Mataram. Di tempat ini pula, duta-duta Staten Generaal yakni Gaspar van Zurck, dan Balthazar van Eyndhoven mendarat sebelum menghadap Panembahan Senapati. Dari Panembahan Senapati, pihak Belanda mendapat janji untuk mendirikan sebuah establisemen di Jepara dan akan mendapatkan pasokan beras. Namun demikian, keinginan itu tidak terwujud dan Belanda hanya boleh mendirikan sebuah rumah kecil di Jepara.

Karena Jepara merupakan gudang beras untuk mengumpani pegawai dan serdadu Kompeni, maka organisasi pembelian serta alat-alatnya harus kuat. Itulah sebabnya pada tahun 1617, Gubernur Jenderal Reaal mendarat di Jepara dan memerintahkan pendirian gedung serta gudang dari batu, tanpa seizin Panembahan Senapati. Untuk memikat hati penduduk, mereka dibolehkan berlayar di pelabuhan dan lautnya sendiri untuk melakukan perdagangan dengan Maluku. Alih-alih menggubrisnya, penduduk yang patriotik ini justru menolak sama sekali untuk menjual berasnya kepada Belanda.

Memasuki tahun 1651, Belanda mendirikan loji dan perbentengan untuk keperluan perbekalannya. Akhirnya Mataram pun mengambil tindakan dengan menutup akses pelabuhan Jepara.

Pada saat pemberontakan Trunojoyo terjadi, Jepara menjadi tujuan perginya Cornelis Speelman yang dijuluki penakluk Makassar. Dari sini pula, ia mengutus pihak-pihak pribumi untuk menandatangani perjanjian perdamaian, yang tentunya menguntungkan Belanda. Namun, Trunojoyo menolak gagasan berdamai dengan Mataram -yang pada saat itu disokong oleh Belanda.

Sejak itulah, Jepara mulai menghadapi masa suram. Setelah Raja Mataram meninggal, sang Putra Mahkota pergi ke Jepara untuk menandatangani perjanjian dengan Speelman. Perjanjian tersebut memutuskan bahwa raja harus membayar kembali biaya yang dikeluarkan untuk memusnahkan Trunojoyo dan menjadikan Kota Semarang sebagai jaminannya.

Setelah penandatanganan tersebut (1677), kesibukan di Jepara seakan terhenti, sebab pusat perdagangannya telah dipindahkan ke Semarang oleh Belanda. Tetapi, Belanda tetap mengukuhi perbentengannya di Jepara untuk memblokade laut Jawa agar perdagangan pribumi lumpuh dan jatuh ke tangan Belanda.

Di masa perang Surapati, perbentengan Jepara lebih diperkuat dan hanya tersisa kekuasaan militer Belanda saja. Kemudian di tahun 1719, dalam rangkaian perang suksesi, Arya Mataram menyerah kepada Belanda bersama pasukannya. Di Jepara pula, ia bersama enam putra dan dua menantunya dicekik mati. Dengan demikian, sejarah kegemilangan Jepara kian lama kian surut dan pudar.

Pada masa peperangan Tionghoa dan Madura (1741-1745), Jepara seluruhnya jatuh dalam kekuasaan penjajah sebagai bayaran perang. Kemasyhuran kerajinan tangan serta kesenian rakyat mulai surut dan hampir padam akibat banyaknya peperangan.

Setelah Indonesia merdeka, Kabupaten Jepara ditetapkan sebagai daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganja sendiri berdasarkan UU 13/1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Djawa Tengah, Kabupaten Jepara dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1950.

Geografis

Kabupaten Jepara terletak pada 110°9’48,02″ sampai 110°58’37,40″ Bujur Timur dan 5°43’20,67″ sampai 6°47’25,83″ Lintang Selatan. Di sebelah barat dan utara, Kabupaten Jepara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Kudus dan Pati, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak.

Wilayah Kabupaten Jepara memiliki luas 104.740,657 hektar. Kecamatan terluas di kabupaten ini adalah Kecamatan Keling dengan luas 11.662,811 hektar. Sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Kalinyamatan 2.604,790 hektar.

Wilayah Kabupaten Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa, yakni gugusan pulau-pulau di Laut Jawa. Kepulauan Karimunjawa memiliki 27 pulau, luasnya 107.225 hektar dengan luas daratan sekitar 7.120 hektar. Dari 27 pulau tersebut, hanya lima pulau yang berpenghuni, yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting

Kawasan Karimunjawa juga telah ditetapkan sebagai Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN), Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Beberapa pulau di Karimunjawa punya pantai yang sangat dangkal dan jernih sehingga pengunjung bisa mendarat sambil bermain air laut.

Pemerintahan

Sebagai salah satu kabupaten atau daerah tertua di Jawa, Jepara telah mengalami beragam lintasan sejarah yang dimulai sejak munculnya pemerintahan di masa kerajaan. Sebelumnya, diketahui terdapat beberapa kerajaan yang pernah menguasai Jepara, di antaranya Kerajaan Kalingga, Mataram Kuno, Majapahit, Demak, Kalinyamat, dan Mataram.

Di masa penjajahan Hindia-Belanda, Jepara juga memiliki sejumlah nama pemimpin daerah yang disebut sebagai bupati. Salah satu nama bupati yang sangat dikenal ialah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (1881-1905) yang juga merupakan ayah dari Raden Ajeng Kartini, seorang pejuang perempuan di masa kolonial.

Pada tahun 1902, di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang bupati yang pandai menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda, yaitu PA Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang), RM Tumenggung Kusumo Utoyo (Bupati Ngawi, kemudian Jepara), Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak, paman Kartini), dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ayah Kartini ini merupakan mantan seorang wedana dan menjadi Bupati Jepara yang pertama kali menulis sebuah Nota protes kepada pemerintah Hindia-Belanda atas diskriminasi pendidikan.

Kedudukan Sosroningrat kemudian digantikan oleh RM Tumenggung Koesoemo Oetoyo, mantan Bupati Ngawi, pada tahun 1905-1927. Kemudian, disusul oleh RAA Soekahar  (1927-1942).

Pada masa penjajahan Jepang, hanya ada satu pemimpin, yaitu Soemitro Koesoemo Oetoyo (1942-1950) yang diangkat langsung oleh pemerintah Jepang. Soemitro merupakan putra dari Bupati Jepara sebelumnya, yaitu Tumenggung Koesoemo Oetoyo.

Memasuki era Republik Indonesia Serikat, jabatan bupati dipegang oleh Soyoto Sastro Wardoyo (1950-1954). Bupati Jepara selanjutnya ialah Soetarjo (1954-1957) yang pada masa kepemimpinannya diadakan pemilu pertama 1955. Berikutnya, disusul oleh Sahlan Ridwan (1957-1961), Soenarto (1961-1965), Zubaidi Ali (1965-1967), Moehadi (1967-1973), Soewarno Djojo Mardowo (1973-1976), Soedikto (1976-1981), Hisom Prasetyo (1981-1991), Bambang Poerwadi (1991-1996), Soenarto (1997-2002), Hendro Martojo (2002-2012), dan Ahmad Marzuqi (2012-2019).

Saat ini, Kabupaten Jepara dipimpin oleh Bupati Dian Kristiandi tanpa adanya wakil bupati. Sebelumnya ia menjadi Wakil Bupati Jepara mendampingi Ahmad Marzuqi yang terjerat kasus suap.

Secara administratif, Kabupaten Jepara terbagi atas 16 kecamatan, 184 desa dan 11 kelurahan. Dua kecamatan merupakan kecamatan baru, yaitu Kecamatan Kalinyamatan dan Kembang.

Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Jepara tahun 2020 sebanyak 7.422 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 51 orang masuk Golongan I, 1.229 orang Golongan II, 3.998 orang Golongan III dan 2.144 orang Golongan IV. Adapun rata-rata pegawai berpendidikan sampai sarjana.

KOMPAS/CHRYS KELANA

Bupati Jepara Soewarno Djojomardowo SH saat menerima penghargaan “Prasamya Purnakarya Nugraha” dari Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH pada tanggal 14 September 1974.

Politik

Peta politik di Kabupaten Jepara dalam empat kali pemilu tampak berlangsung dinamis. Namun demikian, PPP dan PDI-P cenderung memimpin perolehan suara secara bergantian. Sementara untuk posisi ketiga dan seterusnya tampak dinamis atau selalu berganti dari pemilu ke pemilu.

Pada Pemilu 2004, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berhasil unggul dengan perolehan  177.694 suara. Partai berlambang Ka’bah ini memimpin perolehan suara di dapil 1 sampai 4. Hanya di dapil 5 PPP berhasil dikalahkan oleh Partai Golkar.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyusul di peringkat kedua dengan perolehan 89.668 suara.  Di posisi ketiga, PDI-P meraup 82.336 suara. Adapun Partai Golkar yang sempat mendominasi kontestasi politik selama era Orde Baru harus puas di posisi keempat dengan 61.307 suara.

Lima tahun kemudian, pada Pemilu 2009, PDI-P berhasil mengungguli PPP. Partai berlambang banteng moncong putih ini mampu meraup 86.303 suara. PDI-P unggul 4.838 suara dari PPP yang memperoleh 81.465 suara. Adapun Partai Gerindra menyusul di urutan ketiga dengan perolehan suara sebanyak 53.125.

KOMPAS/PRAMONO BS

Pemilu Nelayan – Bertempat di Gedung Tempat Pelelangan ikan Jobokuto Jepara Jawa Tengah, para keluarga nelayan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 1987 di TPS yang di sediakan.

Pada Pemilu 2014, PPP kembali meraih suara terbanyak dengan 18,99 persen. Disusul PDI-P di urutan kedua dengan meraih 17,81 persen suara, dan Gerindra di posisi ketiga dengan meraup 16,05 persen suara.

Dengan perolehan suara tersebut, PDI-P berhasil menempatkan 10 kadernya di DPRD Kabupaten Jepara. Disusul kemudian PPP 9 kursi, Gerindra 8 kursi, Nasdem, PKB, dan Golkar masing-masing 5 kursi. Selanjutnya, PAN 3 kursi, PKS dan Partai Demokrat 2 kursi, serta Hanura 1 kursi.

Pada Pemilu 2019, PPP kembali menorehkan kemenangan di Kabupaten Jepara dengan meraih 119.645 suara dan menghantarkan 10 kadernya meraih kursi di DPRD Kabupaten Jepara. Kemudian disusul PDI-P dengan jumlah 8 kursi (112.749 suara). Di peringkat ketiga, Partai Nasdem dengan perolehan 7 kursi (78.926 suara) dan peringkat keempat PKB dengan 6 kursi (76.614 suara).

Selanjutnya, Gerindra mendapatkan perolehan 5 kursi (64.705 suara), Golkar mendapatkan 4 kursi (56.180 suara). Partai Demokrat, PAN, PKS, dan Partai Perindo masing-masing mendapat 2 kursi. Sementara Partai Berkarya dan Partai Hanura masing-masing menduduki 1 kursi.

Kependudukan

Kabupaten Jepara memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.184.947 jiwa berdasarkan Sensus Penduduk 2020. Jumlah penduduk tersebut meningkat sebanyak 87.667 jiwa dibandingkan Sensus Penduduk pada tahun 2010. Adapun laju pertumbuhan penduduk mencapai 0,75 persen per tahun dalam kurun waktu 2010-2020.

Rasio jenis kelamin atau perbandingan penduduk perempuan dan laki-laki di Kabupaten Jepara adalah 101,24. Di daerah asal Kartini ini, terdapat 588.821 perempuan dan 596.126 laki-laki.  Sementara itu, ditilik dari rentang usia, penduduk Jepara terbanyak berusia 30-34 tahun dengan jumlah 97.356 jiwa.

Persebaran penduduk di setiap kecamatan di Jepara terpaut tidak cukup besar, yaitu berada di kisaran 5-9 persen. Terkecuali untuk Kecamatan Karimunjawa hanya sebesar 0,83 persen atau setara dengan 9.789 jiwa. Kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Tahunan dengan 108.962 jiwa (9,20 persen). Disusul oleh Bangsri sebanyak 99.965 jiwa (8,44 persen) dan Mayong sejumlah 90.788 jiwa (7,66 persen).

Menurut catatan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Jepara, mayoritas penduduk Kabupaten Jepara memeluk agama Islam. Pada tahun 2020, pemeluk agama Islama sebanyak 1.173.160 jiwa atau 97,7 persen dari total penduduk Jepara. Diikuti oleh pemeluk agama Kristen Protestan (22.366 jiwa), Budha (4.130 jiwa), Kristen Katolik (1.029 jiwa), Hindu (444 jiwa), Aliran Kepercayaan (47 jiwa), dan Konghuchu (8 jiwa).

Penduduk di Kabupaten Jepara terbanyak bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai yakni sebesar 44,67 persen. Disusul kemudian berusaha sendiri (18,73 persen) dan pekerja bebas (13,28 persen).

Menurut data BPS Kabupaten Jepara, tenaga kerja di Jepara terbesar terserap pada sektor manufaktur. Jumlahnya mencapai 334.486 orang (52,72 persen) pada Agustus 2020. Disusul kemudian sebanyak 210.477 penduduk Jepara bekerja di sektor yang mencakup perdagangan, transportasi, keuangan, jasa perusahaan, dan jasa perorangan ini. Adapun sektor pertanian mengikuti di posisi ketiga dengan menyerap 89.423 tenaga kerja.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Kesibukan pekerja yang menyelesaikan bagian-bagian dari pembuatan mebel pada salah satu pabrik di Desa Troso, Kecamatan Batealit, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Jumat (11/9/2020). Industri mebel di Jepara ini sebagai salah satu penyedia lapangan kerja terbesar di area tersebut.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
71,99 (2020)

Umur Harapan Hidup 
75,84 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
12,75 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
7,68 tahun (2020)

Pengeluaran per Kapita
Rp 10,34 juta (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
6,70 persen (Agustus 2020)

Tingkat Kemiskinan
7,17 persen (Maret 2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Kabupaten Jepara terus menunjukkan kemajuan dalam satu dekade terakhir. IPM Jepara meningkat dari 66,76 (2010) menjadi 71,99 (2020). IPM Jepara tersebut masuk kategori tinggi dan sedikit di atas IPM Provinsi Jawa Tengah (71, 87) dan IPM nasional (71,96).

Kemajuan pembangunan manusia itu sejalan dengan peningkatan empat komponennya. Usia harapan hidup (UHH) pada tahun 2020 tercatat 75,84 tahun, harapan lama sekolah (HLS) 12,75 tahun, dan rata-rata lama sekolah (RLS) 7,68 tahun. Sementara pengeluaran per Kapita tercatat sebesar Rp 10,34 juta.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Jepara pada Agustus 2020 tercatat sebesar 6,70 persen, atau sebanyak 45.521 tidak bekerja. Angka tersebut melonjak drastis sebesar 3,78 persen dibanding TPT pada Agustus 2019 (2,92 persen).

Tingkat kemiskinan di Kabupaten Jepara pada Agustus 2020 sebesar 7,17 persen. Tingkat kemiskinan itu setara dengan  91,14 ribu penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut bertambah sebesar 7.674 orang (0,51 persen) dibandingkan Maret 2019. Dibanding kabupaten kota di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Jepara masuk di urutan ketiga terendah.

KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDI

Sejumlah siswa SMP Negeri 6 Jepara praktik mengukir di Bengkel Ukir SMP Negeri 6 Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (12/4/2014). Di SMP tersebut, Openbare Ambacht School atau sekolah ukir Jepara pertama kali didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada 1929 sebagai penghargaan kepada RA Kartini yang memperkenalkan ukiran Jepara ke Eropa.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 390,78 miliar (2020)

Dana Perimbangan 
Rp 1,42 triliun (2020)

Pertumbuhan Ekonomi 
-1,94 persen (2020)

PDRB per kapita 
Rp 20,96 juta/tahun (2020)

Ekspor 
331 juta dolar (2020)

Ekonomi

Struktur perekonomian Kabupaten Jepara didominasi oleh tiga sektor, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan eceran serta sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Dengan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar Rp 30,16 triliun pada tahun 2020, masing-masing sektor itu berkontribusi sebesar 34,86 persen, 16,21 persen, dan 13,82 persen.

Furnitur dari kayu, kerajinan kayu, dan kerajinan tangan, serta kayu olahan, merupakan kontributor terbesar PDRB untuk sektor industri pengolahan. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini pada Agustus 2020 lalu tercatat  sebanyak 334.486 orang (52,72 persen).

Industri perabot serta kelengkapan rumah tangga dari kayu ini tersebar di Kecamatan Kedung, Welahan, Batealit, Jepara, Mlonggo, Bangsri, Pecangaan, Mayong, dan Keling. Sepanjang jalan raya di Kecamatan Tahunan yang menuju Kecamatan Jepara berderet ruang pamer mebel di sisi kiri dan kanan.

Di samping industri mebel atau ukiran, kemajuan industri kerajinan Jepara juga didukung oleh industri kain tenun di Desa Troso dan pembuatan mainan tradisional di Desa Dolanan.

Adapun di bidang perikanan, Jepara unggul dalam budidaya ikan tengiri dan lemadang yang menjadi bahan baku pembuatan kerupuk ikan khas Jepara. Umumnya, industri tersebut berada di Desa Pengkol, Kecamatan Jepara.

Laju pertumbuhan perekonomian Kabupaten Jepara dalam satu dekade terakhir mengalami fluktuasi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2019, yakni 6,02 persen, di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah sebesar 5,40 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi terendah pada tahun 2020, yakni terkontraksi 1,94 persen sebagai dampak pandemi Covid-19.

Keuangan daerah kabupaten Jepara masih ditopang oleh dana perimbangan, yakni sebesar Rp 1,42 triliun. Adapun pendapatan asli daerah (PAD)  masih sebesar Rp 390,78 miliar.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Liburan di Pantai Bandengan – Banyak cara mengisi liburan panjang seperti mengunjungi Pantai Bandengan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Jumat (6/5/2016). Wisata yang alam menjadi alternatif bagi sebagian warga mengisi liburan mereka dengan mengunjungi pantai, berkemah di hutan dan pegunungan.

Di sektor pariwisata, Jepara memiliki beragam destinasi wisata bahari dan wisata sejarah. Destinasi wisata bahari itu antara lain Pantai Bandengan, Pantai Kartini, Pantai Teluk Awur, Pantai Ombak Mati, dan Karimunjawa. Sedangkan untuk wisata sejarah, kabupaten ini mempunyai Museum Kartini, Ari-Ari Kartini, dan Makam Mantingan yang menarik wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berkunjung.

Kepulauan Karimunjawa juga menawarkan wisata ziarah Makam Sunan Nyamplungan (Amir Hasan), serta wisata budaya dengan keanekaragaman penduduk dari Jawa, Bugis, dan Madura. Keunikan adat dan kebiasaan mereka yang sebagian besar adalah nelayan, bisa ditawarkan dalam bentuk paket wisata, seperti upacara pelarungan perahu yang biasa dilakukan setiap kali akan membuat perahu.

Sepanjang tahun 2020 lalu, jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara yang berkunjung ke Jepara tercatat sebanyak  352.329 orang. Sebagai pendukung pariwisata, menurut data BPS Kabupaten Jepara, terdapat 689 akomodasi hotel dan penginapan di daerah ini.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Pariwisata Jepara: Memanfaatkan Potensi Ukir-ukiran”, Kompas, 29 September 1996, hal. 19
  • “Kabupaten Jepara *Otonomi”, Kompas, 17 Februari 2003, hal. 36
  • “Si Cantik yang Menunggu Pinangan *Otonomi”, Kompas, 17 Februari 2003, hal. 36
  • “Keadilan di Karimunjawa * Forum”, Kompas Jawa Tengah, 7 Juli 2005, hal. D
  • “Benteng Portugis di Jepara”, Kompas, 5 Agustus 2005, hal. 37
  • “HUT ke-457 Jepara: Masa Depan dengan Kebanggaan pada Kartini”, Kompas Jawa Tengah, 11 April 2006, hal. A
  • “Pemerintahan: Hendro Martojo Dilantik Jadi Bupati Jepara”, Kompas Jawa Tengah, 6 Maret 2007, I
  • “Legenda: Pembebasan Itu Lahir di Jepara”, Kompas, 16 Mei 2007, hal. 44
  • “Karimunjawa Menunggu Investor * Undip Siapkan Rp 4,4 Miliar untuk Bangun Laboratorium Kelautan”, Kompas Jawa Tengah, 11 Mei 2009, hal. A
  • “Kesejahteraan Daerah: Jepara, Bertopang pada Kayu dan Ukiran”, Kompas, 19 September 2011, hal. 24
  • “Hari Nasional: Perjumpaan Kartini dengan Dua Ratu”, Kompas, 20 April 2016, hal. 01, 15
Buku dan Jurnal
  • Karmadi, Agus Dono dan Kartadarmadja, M. Soenjata. 1985. Sejarah Perkembangan Seni Ukir di Jepara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
  • Habsjah, A., Sudiharto, M., dan Trihusodo, P. (eds). 2007. Perjalanan Panjang Anak Bumi. Yayasan Obor Indonesia. ISBN: 978-979-462-654-3
  • Toer, P. A. 2018. Panggil Aku Kartini Saja (Cetakan 12 ed.). Lentera Dipantara. ISBN: 978-979-3820-05-7
  • Nangoy, O. M., & Soviana, Y. 2013. Sejarah Mebel Ukir Jepara. Humaniora, 4(1), 257-264
  • Sabariyanto, D., Suwadji, Riyadi, S., La gin em, & Sudira, S. 1985. Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Jepara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Supriyono, Agustinus. Tinjauan Historis Jepara sebagai Kerajaan Maritim dan Kota Pelabuhan. Paramita Vol. 23 No. 1 Januari 2013, hal. 27-39
Internet
Aturan Pendukung

Kontributor
Kathrin Shafa Zakiyya

Salma Nihru

Editor
Antonius Purwanto