Daerah

Kota Semarang: Pintu Gerbang dan Sentra Perdagangan Jawa Tengah

Kota Semarang dikenal sebagai pusat perdagangan dan kota jasa. Di sisi sejarah, kota ini terkenal dengan "Pertempuran Lima Hari di Semarang". Beragam julukan juga disematkan kota ini, mulai dari Kota Atlas, Kota Lumpia, Venesianya Pulau Jawa, Pelabuhan-nya Jawa, hingga Semarang Pesona Asia.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Tugu Muda-Anak-anak bermain air di kawasan Tugu Muda yang menjadi ikon Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (26/8/2016).

Fakta Singkat

Hari Jadi
2 Mei 1547

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 16/1950

Luas Wilayah
373,67 km2

Jumlah Penduduk
1.653.524 jiwa (2020)

Pasangan Kepala Daerah
Walikota Hendrar Prihadi

Wakil Walikota Hevearita Gunaryanti Rahayu

Kota Semarang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah dan kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Kota yang terletak di pesisir utara Jawa ini memiliki posisi geostrategis karena berada di jalur lalu lintas ekonomi Pulau Jawa dan merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang. Keempat simpul tersebut yakni koridor pantai Utara, koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/Grobogan, dan barat menuju Kabupaten Kendal.

Kota Semarang ditetapkan sebagai kota mandiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat dan dalam Daerah Istimewa Jogjakarta. Melalui UU itu, Semarang dinyatakan sebagai kota besar otonom yang berhak mengatur urusan rumah tangganya sendiri.

Hari jadi Kota Semarang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1547. Penetapan itu dilaksanakan pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Dati II Semarang pada tanggal 29 April 1978. Babad Nagri Semarang yang mengisahkan pengangkatan Pandan Arang II sebagai bupati Semarang setelah wafatnya Sultan Trenggono – Sultan Demak III – pada tahun 1546 ini menjadi dasar dari penetapan hari jadi Kota Semarang.

Secara administratif, wilayah seluas  373,67 kilometer persegi ini terdiri dari 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Roda pemerintahan Kota Semarang saat ini dipimpin oleh Walikota Hendrar Prihadi dan Wakil Walikota Hevearita Gunaryanti Rahayu. Kota ini dihuni oleh 1,65 juta jiwa.

Kota Semarang mendapat beragam julukan, mulai dari Kota Atlas, Kota Lumpia, Kota Jamu, Venetie van Java atau Venesianya Pulau Jawa, The Port of Java atau Pelabuhannya Jawa, hingga Semarang Pesona Asia.

Selain itu, kota yang memiliki keragaman etnis ini juga memiliki jargon Variety of Culture. Dengan jargon itu, Kota Semarang menawarkan daya tarik berupa keanekaragaman budaya, pariwisata, kuliner, dan situs peninggalan sejarah yang terletak di berbagai sudut kota.

Kota Semarang juga lekat dengan sejarah revolusi Indonesia. Salah satu yang terkenal adalah “Pertempuran Lima Hari di Semarang”. Untuk memperingati peristiwa bersejarah itu, setiap tanggal 14 Oktober, masyarakat Semarang memperingatinya di Monumen Tugu Muda yang berada di muara lima jalan utama yakni Jalan Pemuda, Jalan Imam Bonjol, Jalan Mgr Soegiyopranata, Jalan Dr Soetomo, dan Jalan Pandanaran. Monumen yang diresmikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno, pada tanggal 20 Mei 1953 itu kemudian menjadi lambang dan ciri khas Kota Semarang.

Sejarah Pembentukan

Sejarah Kota Semarang telah dimulai sejak abad ke-8 Masehi. Kota ini berawal dari daerah pesisir yang bernama Pragota—sekarang menjadi Bergota—dan merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno.

Daerah ini dulunya merupakan pelabuhan yang di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Seiring berjalannya waktu, gugusan tersebut menyatu membentuk daratan karena proses pengendapan, yang hingga kini masih terjadi.

Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 Masehi. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng yang kini disebut Kelenteng Sam Poo Kong (Gedung Batu). Dalam kurun waktu 606 tahun, pelabuhan Simongan telah berubah menjadi daratan yang saat ini terletak 5 kilometer di sebelah selatan pelabuhan Tanjung Perak.

Semarang diawali ketika Ki Made Pandan, pada akhir abad ke-15, membuka pemukiman sederhana di sebuah daerah yang diberi nama Pulau Tirang. Daerah ini oleh warga Semarang sekarang lebih dikenal sebagai daerah perbukitan Mugas dan Bergota.

Bersama putranya yang bernama Ki Pandanaran I, Ki Made Pandan membuka pemukiman baru tersebut dengan tujuan menyiarkan Agama Islam. Ki Made Pandan sendiri sebenarnya adalah putra Raden Patah, Raja Demak. Daya pesona kekuasaan ternyata tidak cukup kuat menahan Ki Made Pandan untuk tidak berkelana menyiarkan agama Islam.

Setelah kematian Ki Pandanaran I, Cucu Ki Made Pandan yang bernama Pangeran Kesepuhan menjadi penguasa di wilayah baru tersebut. Pada tanggal 2 Mei 1547 atau 12 Rabiuawal 945 H, Pangeran Kesepuhan dinobatkan oleh Raja Demak, Hadiwijaya, menjadi Bupati Semarang, dengan gelar Ki Pandanaran II. Tanggal itu akhirnya yang selanjutnya diperingati sebagai kelahiran Kota Semarang.

Memasuki abad ke-16, Kota Semarang mengalami beberapa pergantian pemimpin atau bupati, antara lain oleh Mas R. Tumenggung Tambi (1657-1659), Mas Tumenggung Wongsorejo (1659-1666), Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670), Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674), dan Kyai Adipati Suromenggolo (1674-1701).

Cerita Kota Semarang kembali berlanjut ketika terjadi pertikaian antara Raja Mataram, Sultan Amangkurat II dan Raja Madura, Trunojoyo. Ketidakmampuan Mataram menghadapi Madura membuat Amangkurat II minta bantuan VOC.

Amangkurat II menjanjikan akan memberikan VOC hak memungut pajak dan memonopoli perdagangan di wilayah Semarang jika organisasi perdagangan Belanda itu bisa membantunya mengalahkan Trunojoyo. Akhirnya, Trunojoyo kalah, Semarang pun diberikan ke VOC lewat perjanjian tahun 1677 dan 1678.

Sejak di tangan VOC itu, mulailah dibangun permukiman dan perkantoran yang saat ini lebih dikenal sebagai Kota Lama Semarang.  Kawasan ini terus berkembang hingga menjadi pusat perdagangan di Semarang pada masa itu. Berbagai bangsa datang berlabuh dan melakukan jual beli di Semarang.

Dalam buku berjudul Jalur Gula: Kembang Peradaban Kota Lama Semarang yang diterbitkan oleh Kemendikbud, disebutkan bahwa selama masa kepemimpinan VOC, masyarakat Jawa, termasuk masyarakat Semarang, membudidayakan tebu sebagai bahan baku gula. Gula menjadi produk ekspor utama oleh penguasa kolonial Hinda Belanda sejak tahun 1874. Karena Kota Semarang ketika itu sebagai kota pelabuhan, maka Kota Semarang menjadi pusat lalu-lintas distribusi gula. Dari sinilah, Kota Semarang semakin menjadi kota yang ramai.

KOMPAS/DITYA PUTRA PERDANA

Suasana menjelang peringatan Pertempuran Lima Hari di Tugu Muda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (14/10/2019). Pertempuran Lima Hari di Semarang, yang terjadi pada Oktober 1945, terjadi antara pejuang dan tentara Jepang. Salah satu korban tewas yakni Dr Kariadi, yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Semarang.

Selain itu, hadirnya Kota Lama Semarang juga memberikan potensi baru sebagai kota yang strategis. Kawasan ini lantas menjadi tempat administrasi dan keuangan hasil bumi, sebelum pengapalan komoditas ke pasar dunia. Ketika era gula bergejolak, di sana berdiri pula kantor-kantor perusahaan industri gula.

Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906, dibentuklah Pemerintah Gemeente, dengan kepala oleh seorang burgemeester, panggilan untuk walikota masa itu. Pentingnya Semarang sebagai pusat administrasi meningkat setelah tahun ini. Pemerintah akhirnya menjadikan Semarang sebagai kotamadya (stadsgemeente). Sistem pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda dan berakhir pada tahun 1942 saat dimulainya pendudukan Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang, dibentuk pemerintah daerah yang dikepalai Militer (Shico) dari Jepang dan didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang masing-masing dari Jepang dan seorang pribumi.

Tak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yaitu tanggal 15-20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri. Perjuangan ini dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Ketika itu, para pemuda Semarang melawan Kido Butai Jepang (batalyon Jepang yang dipimpin Mayor Kido) pada tanggal 14-19 Oktober 1945. Pertempuran itu menewaskan lebih dari 2.000 rakyat Indonesia dan 100 tentara Jepang. Peristiwa Pertempuran Lima Hari itu kemudian dikenang dengan pembangunan Tugu Muda di Simpang Lima, Kota Semarang.

Kemudian, pada tanggal 16 Mei 1946 Inggris atas nama Sekutu menyerahkan Kota Semarang kepada pihak Belanda. Selama masa pendudukan Belanda, tidak ada praktik pemerintahan yang berjalan. Namun, beberapa pejuang pemerintahan tetap menjalankannya secara diam-diam di daerah pedalaman atau pengungsian luar kota sampai dengan Desember 1948.

Pemerintahan Belanda yang dikenal dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti di masa kolonial dulu. Namun demikian, usaha itu tidak berhasil karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950.

Dalam tatanan penyelenggaraan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah Kota Semarang dibentuk dan ditetapkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada saat itu, Kota Semarang ditetapkan sebagai salah satu Kotapraja di wilayah Provinsi Jawa Tengah.

Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan Bupati diserahterimakan kepada M. Sumardjito. Kemudian digantikan oleh R. Oetoyo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai bupati bukan lagi mengurusi kota melainkan mengurusi kawasan luar Kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat perkembangan Semarang sebagai Kotapraja.

Geografis

Kota Semarang terletak pada 6o50’-7o10’ Lintang Selatan dan 109o35-110o50’ Bujur Timur. Kota Semarang berbatasan dengan Kabupaten Kendal di sebelah barat, Kabupaten Demak sebelah timur, Kabupaten Semarang di sebelah selatan, dan Laut Jawa di sebelah utara.

Luas Kota Semarang mencapai 373,70 kilometer persegi. Dari luas wilayah tersebut, Kecamatan Mijen  tercatat sebagai kecamatan terluas, yaitu 57,55 km2, diikuti oleh Kecamatan Gunungpati sebesar 54,11 km2, sedangkan kecamatan dengan luas terkecil ialah Kecamatan Semarang Selatan (5,93 km2).

Kota Semarang secara geografis memiliki dua daerah yang sangat berlawanan. Daerah bagian selatan berada pada ketinggian 270 meter di atas permukaan laut, merupakan perbukitan yang berhawa sejuk dan segar. Daerah bagian utara merupakan dataran aluvial pantai dengan ketinggian 0,5-5 meter di atas permukaan laut yang berhawa panas.

Kota Semarang memiliki beberapa ruas sungai, antara lain Kali Garang, Kali Pengkol, Kali Kreo, Kali Banjirkanal Timur, Kali Babon, Kali Sringin, Kali Kripik, dan Kali Dungadem.

Banjir lokal dan luapan air laut ke daratan yang disebut rob tampaknya masih menjadi persoalan rumit bagi Kota Semarang. Meskipun sedang tidak musim hujan, sebagian besar daerah di wilayah utara Kota Semarang hampir selalu tergenang air.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Daerah aliran sungai yang tertata dengan latar belakang kampung pelangi di Kampung Wonosari, Kelurahan Randusari, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (30/10/2020). Berbagai proyek fasilitas publik dibangun pada area tersebut antara lain perpustakaan, taman dan wisata.

Pemerintahan

Kota Semarang telah mengalami sejarah panjang masa kepemerintahan yang memiliki sebutan masing-masing untuk posisi pemimpinnya.

Pada masa kolonial Belanda, kota besar Semarang dikepalai oleh seorang walikota dengan sebutan burgemeester. Sistem pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda dan berakhir pada tahun 1942 saat pemerintahan berpindah ke tangan Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang, sistem pemerintahan daerah Semarang dikepalai oleh Militer (Shico) dari Jepang dan didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang terdiri dari satu orang Jepang dan seorang pribumi.

Satu tahun pasca Indonesia menyatakan Kemerdekaan, Inggris atas nama Sekutu menyerahkan kembali Kota Semarang kepada pihak Belanda, tepatnya pada 6 Mei 1946. Pada masa ini, Belanda menangkap Mr Imam Sudjahri yang merupakan Walikota Semarang sebelum proklamasi kemerdekaan dan berupaya membangun kembali pemerintahan Gementee seperti masa kolonial dulu, namun hal ini urung terjadi.

Di sela-sela masa perebutan kembali oleh Belanda, Kota Semarang yang semula menjadi Kota Praja, tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau pengungsian di luar kota sampai dengan bulan Desember 1948 di bawah Walikota Moch Ichsan (1945-1948).

Kemudian, kepemimpinan diserahkan kepada Mr Koesoebiyono Tjondrowibowo (1949-1952), yang merupakan seorang pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri di Yogyakarta. Di masa kepemimpinannya, aparat pemerintahan disusun kembali untuk memperlancar jalannya pemerintahan.

Walikota Semarang selanjutnya adalah  RM Hadisoebeno Sosrowerdoyo (1951-1958), Mr Abdulmadjid Djojoadiningrat (1958-1960), RM Soebagyono Tjondrokoesoemo (1961-1964), Mr Wuryanto (1964-1966), Letkol Soeparno (1966-1967), Letkol R.Warsito Soegiarto (1967-1973), Kolonel Hadijanto (1973-1980), Kolonel H Iman Soeparto Tjakrajoeda SH (1980-1990), dan Kolonel H Soetrisno Suharto (1990-2000).

Kemudian, memasuki era Reformasi, Kota Semarang dipimpin oleh Sukawi Sutarip selama dua periode (2000-2010) dan dilanjutkan oleh Soemarmo HS (2010-2013). Namun demikian, di tengah kepemimpinannya, Soemarmo diberhentikan sebagai walikota pada tanggal 21 Mei 2013 karena terlibat dalam kasus suap APBD.

Sisa masa jabatan pada periode ini kemudian diteruskan oleh Hendrar Prihadi yang semula menjadi wakilnya. Kepemimpinannya pun terus berlanjut pada periode selanjutnya (2015-2018). Hingga kini, Kota Semarang masih dipimpin oleh Hendrar Prihadi bersama Hevearita Gunaryanti Rahayu untuk periode 2016-2021.

Secara administratif, Kota Semarang mengalami dua kali perubahan wilayah, yaitu pada tahun 1976 dan 1992. Pada tahun 1976, wilayah Semarang yang semula terdiri dari 5 kecamatan diperluas menjadi 9 kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1976 tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Melalui aturan ini, pemekaran Kota Semarang mencakup wilayah Mijen, Gunungpati dan Tembalang di sebelah Selatan, Genuk disebelah Timur dan Tugu disebelah Barat.

Kemudian pada tahun 1992, kecamatan yang berjumlah 9 dimekarkan menjadi 16 kecamatan hingga saat ini. Kebijakan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kecamatan Wilayah Kabupaten-Kabupaten Daerah Tingkat II Purbalingga, Cilacap, Wonogiri, Jepara, dan Kendal serta Penataan Kecamatan di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Kota Semarang didukung Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 9.766 orang. Dari komposisi golongan, pemkot Semarang memiliki 81 orang Golongan I, 1.289 Golongan II,  5.916 Golongan III, dan 2.480 Golongan IV. Dari jumlah tersebut, pegawai laki-laki lebih banyak dibandingkan pegawai perempuan.

Anggota DPRD Kota Semarang terdiri dari sembilan partai politik, yaitu PAN, PDI-P, Demokrat, Gerindra, Golkar, PKS, PKB, Nasdem, dan PSI. Anggota DPRD Kota Semarang terbanyak berasal dari PDI-P  dengan 19 kursi.

KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO

Diarak naik becak Walikota Semarang dan Wakil Walikota Semarang periode 2016-2021, Hendrar Prihadi – Hevearita Gunaryanti Rahayu, Rabu (17/2/2016) dari Jalan Pandanaran menuju ke Balai Kota Semarang, Jalan Pemuda sejauh tiga kilometer. Hendrar Prihadi dan Hevearita termasuk 17 kepala daerah yang dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo atas nama Presiden RI di Lapangan Simpang Lima Semarang, dalam tema pesta kuliner bersama rakyat.

Politik

Peta kekuatan politik di Kota Semarang dalam dua kali pemilu yakni Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, tidak banyak mengalami perubahan. Selama dua kali pemilu tersebut, PDI-P masih menempati posisi teratas dalam perolehan suara sekaligus peraih kursi DPRD di Kota Semarang terbanyak.

Pada pemilu 2014, PDI-P unggul dengan meraih 275.434 suara atau sebesar 36,97 persen dari total suara sah. Sedangkan pada pemilu 2019, perolehan suara PDI-P meningkat menjadi 332.909 dengan persentase 38,37 persen. Dengan hasil pemilu tersebut, PDI-P meraih 14 kursi DPRD pada pemilu 2014 dan  meningkat menjadi 19 kursi pada pemilu 2019.

Posisi kedua pada pemilu 2014 diduduki oleh Gerindra dengan perolehan 89.540 suara (12,02 persen). Disusul oleh Demokrat 86.636 suara (11,62 persen), PKS 57.812 suara (7,76 persen), PKB 56.494 suara (7,58 persen), Golkar 41.237 (5,53 persen), PAN 36.375 (4,89 persen), Nasdem 35.518 suara (4,77 persen), Hanura 29,269 suara (3,92 persen), PPP 26.660 (3,58 persen), PKPI 5.611 suara (0,75 persen), dan PBB 4.548 suara (0,61 persen).

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga menyiapkan meja untuk bilik suara dengan latar belakang gambar peta Indonesia beserta keberagaman budayanya di TPS 7, Kelurahan Panggung Lor, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (16/4/2019). Antusiasme warga dalam keterlibatannya untuk menyiapkan TPS unik dengan berbagai tema juga dilakukan.

Memasuki pemilu 2019, posisi kedua setelah PDI-P diduduki oleh PKB dengan perolehan 91.748 suara (38,37 persen). Kemudian disusul oleh Gerindra 75.819 suara (8,74 persen), PKS 71.398 suara (8,23 persen), Demokrat 60.054 suara (6,92 persen), PSI 46.335 suara (5,34 persen), Golkar 42.610 suara (4,91 persen), Nasdem 33.938 suara (3,91 persen), Perindo 24.653 suara (2,84 persen), Hanura 24.143 suara (2,78 persen), PAN 22.806 suara (2,63 persen), PPP 21.946 suara (2,53 persen), Berkarya 10.392 suara (1,20 persen), Garuda 3.692 suara (0,43 persen), PBB 3.307 suara (0,37 persen), dan PKPI 1.963 suara (0,23 persen).

Bila dibandingkan antara Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, terdapat satu perubahan komposisi partai politik yang menduduki kursi DPRD II. Pada pemilu 2019, PSI naik sebagai partai politik baru dengan memperoleh 2 kursi, menggantikan 2 kursi PPP.

Kependudukan

Mengacu pada hasil sensus penduduk tahun 2020, Kota Semarang dihuni oleh 1.653.524 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 4.425 jiwa/km². Kepadatan penduduk ini cenderung naik seiring dengan kenaikan jumlah penduduk tiap tahunnya. Kemudian, untuk laju pertumbuhan penduduk sepanjang tahun 2010-2020 Kota Semarang mencapai angka 0,59.

Meski terhitung padat, namun penyebaran penduduknya relatif tidak merata. Kecamatan Candisari tercatat sebagai wilayah terpadat Kota Semarang dengan 11.538 penduduk per km2, sedangkan Kecamatan Tugu menjadi wilayah dengan kepadatan penduduk terendah, yakni 1.033 penduduk per km2.

Kota Semarang dikenal sebagai kota multietnis. Penduduk Semarang umumnya berasal dari suku Jawa dan sebagian kecil lainnya dari etnis Tionghoa/China, India, dan Arab. Kendati termasuk minoritas, etnis Tionghoa di Semarang memiliki komunitas yang cukup besar dan aktif seperti tampak pada kegiatan Pasar Semawis.

Untuk komposisi penduduk berdasar agama, mayoritas penduduk Kota Semarang beragama Islam, yakni sebesar 87,22 persen. Disusul 6,92 persen beragama Protestan, 5,11 persen beragama Katolik, 0,07 persen beragama Hindu, 0,65 persen beragama Budha, dan 0,03 beragama lainnya.

Sebagai kota perdagangan dan jasa, penduduk Kota Semarang terbanyak bekerja sebagai buruh dan karyawan di sektor industri. Angkanya mencapai 60,59 persen pada tahun 2020.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Peringatan Kedatangan Cheng Ho – Peserta dari sejumlah komunitas Tionghoa mengikuti kirab budaya untuk memperingati kedatangan Laksamana Cheng Ho yang ke-611 di Klenteng Sam Poo Kong, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (31/7/2016). Napak tilas sejarah Cheng Ho tersebut juga telah menjadi bagian budaya warga Tionghoa di Kota Semarang.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
83,05 (2020)

Angka Harapan Hidup 
77,34 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
15,52 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
10,53 tahun (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
9,57 persen (2020)

Tingkat Kemiskinan
4,34 persen (2020)

Kesejahteraan

Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, pembangunan manusia di Kota Semarang terus menunjukkan kemajuan. Indek pembangunan manusia (IPM) meningkat dari semula 79,96 di tahun 2010 dan menjadi 83,19 di tahun 2019. Angka ini kemudian mengalami penurunan sebesar 0,14 di tahun 2020 menjadi 83,05.

Capaian IPM Kota Semarang itu berada di level yang sangat tinggi. Capaian tersebut membuat Kota Semarang sebagai daerah dengan pembangunan manusia terbaik di Jawa Tengah. Predikat itu telah disandang selama lima tahun berturut-turut sejak tahun 2016-2020.

Kendati tahun 2020 IPM Kota Semarang mengalami penurunan, namun hal itu tidak membuatnya kehilangan gelar IPM terbaik. Sebab, angka IPM Kota Semarang tetap di atas IPM Provinsi Jawa Tengah yang hanya mencapai 71,87. IPM Kota Semarang  juga lebih tinggi dibanding kota-kota lain, seperti Bandung (81,51), Surabaya (82,23), dan Medan (80,98).

Peningkatan IPM Kota Semarang tersebut tidak terlepas dari komponen pembentukannya. Tercatat hingga tahun 2020, Kota Semarang memiliki angka harapan hidup sebesar 77,34 tahun. Untuk harapan lama sekolah mencapai 15,52 tahun, dan rata-rata lama sekolah sebesar 10,53 tahun.

Sepanjang tahun 2017-2019, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Kota Semarang terus mengalami penurunan. Namun pada tahun 2020, TPT Kota Semarang kembali meningkat akibat merebaknya pandemi covid-19. TPT pada tahun 2020 tercatat sebesar 9,57 persen, meningkat drastis dibanding TP pada tahun 2019 sebesar 5,03 persen.

Meningkatnya TPT itu berdampak pula pada peningkatanan penduduk miskin di Kota Semarang. BPS mencatat terdapat 79,58 ribu jiwa atau 4,34 persen dari jumlah penduduk Kota Semarang merupakan penduduk miskin.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Program Perlindungan Sosial – Warga antre untuk mengambil bantuan tunai Program Keluarga Harapan (PKH) di Kantor Pos, Jalan Pemuda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (17/10/2014). Program perlindungan sosial tersebut untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan warga miskin.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 2,06 triliun (2019)

Dana Perimbangan 
Rp 1,73 triliun (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
-1,61 persen (2020)

PDRB per kapita
Rp 102,70 juta/tahun (2020)

Inflasi
1,49 persen (2020)

Ekonomi

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Semarang pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 189,26 triliun. Angka ini mengalami penurunan sebesar Rp 2,11 triliun bila dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari keseluruhan sektor, industri pengolahan menyumbang angka PDRB terbesar yaitu sebesar 28, 64 persen. Kemudian, disusul sektor konstruksi sebesar 26,07 persen, dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 13,40 persen.

Di sektor industri pengolahan, kota ini memiliki 446 industri besar dan sedang yang mampu menampung banyak tenaga kerja pada tahun 2019. Adapun pusat industri ini berada di wilayah Kecamatan Genuk dengan total 141 industri.

Tingginya potensi industri di wilayah Kota Semarang itu disebabkan Kota Semarang menjadi bagian dari kawasan Kedungsepur (Kendal-Demak-Ungaran-Salatiga-Semarang-Purwodadi) yang merupakan Pusat Kegiatan Nasional berskala global. Kawasan Kedungsepur ini termasuk dalam koridor ekonomi Jawa sebagai pendorong industri dan jasa nasional.

Di sektor perdagangan dan jasa, kawasan Kota Semarang banyak dipenuhi dengan kawasan perdagangan dan jasa yang tersebar di sepanjang jalan-jalan utama. Adapun kawasan perdagangan modern terletak di kawasan Simpanglima yang merupakan nadi perekonomian Kota Semarang. Di kawasan itu, terdapat setidaknya tiga pusat perbelanjaan modern.

Dalam satu dekade terakhir (2010-2010), laju pertumbuhan ekonomi Kota Semarang berada di atas pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah dan di atas nasional. Pada tahun 2020, laju pertumbuhan ekonomi Kota Semarang mengalami kontraksi 1,61, sedikit lebih rendah jika dibandingkan Provinsi Jawa Tengah yang mengalami kontraksi 2,65 persen.

Untuk pendapatan asli daerah (PAD), kota dagang ini masih mengandalkan pemasukan dari pajak dan retribusi daerah. Kontribusi pajak daerahnya mencapai Rp 1,56 triliun atau sebesar 75,7 persen dari total PAD Rp 2,06 triliun pada 2019. Sedangkan perolehan retribusi daerah sebanyak 5,5 persen atau Rp 113,8 miliar.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pengunjung berjalan menikmati keindahan setiap sudut kawasan Kota Lama yang telah direvitalisasi, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (12/10/2019). Revitalisasi dan diberlakukannya hari bebas kendaraan bermotor di memberikan kenyamanan bagi wisatawan.

Tak hanya sebagai kota dagang dan jasa, Kota Semarang juga memiliki beragam destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan. Beberapa destinasi wisata yang terkenal adalah Lawang Sewu, Klenteng Tay Kay Sie, Klenteng Sam Poo Kong, Gereja Blenduk, Vihara Budha Watugong, Pasar Semawis, dan Masjid Agung Jawa Tengah.

Terdapat pula kawasan Kota Lama Semarang yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya nasional. Di kawasan ini, terdapat empat situs yang mewakili perjalanan panjang sejarah Kota Semarang sejak abad ke-15 hingga awal abad ke-20.  Keempat situs tersebut adalah Kampung Kauman, Kampung Melayu, Kampung Pecinan, dan Oudestad.

Untuk kuliner, kota ini memiliki beberapa kuliner khas, antara lain lumpia, wingko babat, dan bandeng. Di samping itu, Kota Semarang juga lekat dengan warisan kesenian yang masih lestari hingga saat ini, antara lain warag ngendok, dugderan, dan Semawis.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota Semarang * Otonomi”, Kompas, 9 Februari 2001, hal. 08
  • “Rob Masih Tetap Mengganjal * Otonomi”, Kompas, 9 Februari 2001, hal. 08
  • “Menyelamatkan Kota Semarang *Teropong”, Kompas, 9 Juli 2001, hal. 27
  • “Menjadi Kota yang Nyaman”, Kompas, 3 Mei 2002, hal. 25
  • “Semarang Bersiap Menjadi Pusat Wisata Belanja”, Kompas, 17 Februari 2004, hal. 18
  • “Semarang Akan Dijadikan Kota Jasa”, Kompas, 4 Juni 2004, hal. G
  • “Pecinan Semarang * Kota Tua yang Kehilangan Jiwa – Tanah air”, Kompas, 3 September 2004, hal. 34
  • “Merindukan Semarang sebagai Kota Budaya *Opini”, Kompas Jogja, 29 November 2004, hal. D
  • “Memimpikan Semarang yang Lebih Humanis…” Kompas, 20 Desember 2004, hal. 02
  • “Kota Lama, Riwayatmu Dulu, Nasibku Kini…”, Kompas Jawa Tengah, 4 Januari 2005, hal. 02
  • “Kota Semarang dari Masa ke Masa”, Kompas, Kompas Jawa Tengah, 2 Mei 2005, hal. A
  • “Indikator: Kota Semarang Menanti Investor”, Kompas, 13 Januari 2007, hal. A
Buku dan Jurnal
Internet
Aturan Pendukung
  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat dan dalam Daerah Istimewa Jogjakarta.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1992 tentang Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembentukan Kecamatan Di Wilayah Kabupaten-Kabupaten Daerah Tingkat II Purbalingga, Cilacap, Wonogiri, Jepara, Dan Kendal Serta Penataan Kecamatan Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Dalam Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Jawa Tengah.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1976 tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.
  • Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Semarang Tahun 2016-2021

Penulis
Antonius Purwanto

Kontributor
Kathrin Shafa Zakiyya

Editor
Ignatius Kristanto