Paparan Topik | Politik Luar Negeri

Politik Luar Negeri Indonesia: Profil, Sejarah, dan Aktualitas

Politik luar negeri telah menjadi unsur yang kian penting semenjak proklamasi kedaulatan kemerdekaan Indonesia. Dinamikanya hingga kini merefleksikan karakter pemerintahan dan kerja sama dengan bangsa lain.

KOMPAS/PIET WARBUNG

Presiden Soekarno beserta Ketua Dewan Negara Republik Rakyat Rumania Presiden Chivu Stoica, Juga hadir Menlu RRT Marsekal Chen Yi, Wakil Perdana Menteri/Menlu Republik Demokratik Vietnam, Nguyen Duy Trinh, Delegasi dari Republik Federal Jerman terdiri dari Menteri Perbekalan, Pertanian dan Kehutanan Werner Scwarz, Pejabat Tinggi Kemlu Hilmer Bassler, R Genske dan Dr HA Poetzelberger (Lektor Universitas Frankfurt) mewakili Presiden RFD heinrich Luebke.

Fakta Singkat

Politik Luar Negeri Indonesia

Definisi:
Kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintahan Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain (UU/37/1999).

Landasan:

  • Ideal: Pancasila
  • Konstitusional: UUD 1945
  • Landasan operasional: GBHN

Prinsip Bebas dan Aktif:

  • Bebas memiliki arti bahwa dalam melaksanan politik luar negerinya, Indonesia memiliki kebebasan untuk menjalin kerja sama dengan negara atau ikatan internasional tertentu tanpa keterikatan.
  • Aktif merujuk pada sikap Indonesia untuk terlibat aktif dalam segala permasalahan maupun kerja sama internasional demi tercapainya tujuan kemerdekaan nasional,

Dalam era pertumbuhan negara bangsa dan globalisasi, politik luar negeri menjadi unsur esensial yang dijalankan tiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Artikel The Study of Foreign Policy in International Relations oleh Alieu Bojang, mengutip definisi politik luar negeri George Modelski sebagai “sistem aktivitas yang dikembangkan untuk mengubah perilaku negara lain dan menyesuaikan aktivitas mereka sendiri dengan lingkungan internasional”. Menurut Modelski, politik luar negeri fokus pada perihal usaha negara untuk mengubah perilaku negara-negara lain selaras dengan kepentingan nasional.

Sementara itu, pengertian akan politik luar negeri Indonesia secara khusus dapat ditemui dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang mendefinisikannya sebagai; “Kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintahan Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional”.

Salah satu poin penting yang dapat dipahami adalah bahwa politik luar negeri inheren dengan kepentingan nasional sebuah negara, untuk “mencapai tujuan nasional”. Melalui politik luar negeri, suatu negara mengartikulasikan kepentingan nasionalnya terhadap dunia internasional. Dalam artikel “Penerapan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia Melalui Diplomasi Maritim”, Indrawati & Nugroho menuliskan bahwa politik luar negeri adalah perilaku/kebijakan untuk mencapai kepentingan nasional yang ditujukan keluar. Oleh karenanya, tiap negara memiliki rumusan politik luar yang berbeda bergantung pada kepentingan nasionalnya masing-masing.

Berangkat dari pemahaman tersebut, akademisi Charles Hermann melihat politik luar negeri bukanlah semata keputusan, tetapi merupakan produk dari keputusan suatu negara. Sementara itu, Ben Perkasa Drajat, dalam buku Demokratisasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa, menuliskan bahwa “kebijakan luar negeri (foreign policy) adalah perpanjangan kebijakan dalam negeri (domestic policy)”. Kedua pemahaman dari Hermann dan Drajat tersebut menegaskan kembali kondisi faktual rumusan politik luar negeri sebagai perwujudan yang koheren dengan karakter pemerintahan yang berjalan, kepentingan nasional yang aktual, dan kebijakan nasional.

Dalam rumusan politik luar negerinya, Indonesia sendiri mengacu pada tiga landasan fondasional – landasan ideal, landasan konstitusional, dan landasan operasional. Pertama landasan ideal mengacu pada Pancasila. Dengan demikian, sikap dan kebijakan politik luar negeri Indonesia harus mampu mencerminkan jiwa Pancasila sebagai ideologi negara. Menurut Mohammad Hatta, seperti ditulis oleh Alami dalam buku Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, menyatakan Pancasila dipandang tak hanya sebagai sebagai panduan objektif kehidupan bernegara secara nasional, melainkan juga sebagai dasar kelangsungan politik internasional Indonesia.

Kedua, landasan konstitusional mengacu pada UUD 1945. Hal ini telah tertuliskan dalam aliena keempat Pembukaan UUD 1945 yang berisi tujuan dari kemerdekaan Indonesia dalam perannya terhadap dunia, yaitu:

… dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia …

Ketiga, landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menegaskan bahwa Pasal 2 pada Undang-Undang tersebut menjelaskan GBHN sebagai “suatu landasan pelaksanaan yang menegaskan dasar, sifat, dan pedoman perjuangan untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia”. Berbeda dengan kedua landasan lainnya, landasan operasional politik luar negeri Indonesia bersifat dinamis mengikuti kebijakan dan urgensitas yang ditetapkan pada masing-masing pemerintahan yang sedang berjalan.

Terlepas dari ketiga landasan politik luar negeri tersebut, Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 1999 juga menegaskan tidak dapat dipisahkannya pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dengan konsepsi terhadap Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional sendiri didefinisikan sebagai sebuah kondisi kehidupan bangsa Indonesia dengan mengacu pada Wawasan Nusantara. Tujuan pelaksanannya sendiri adalah demi mewujudkan daya tangkal dan daya tahan dalam interaksi pada konteks waktu dan lingkungan tertentu. Penjagaan ini perlu diwujudkan demi “… menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional, yakni suatu masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila”.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Utusan Khusus Presiden As Nixon , Dubes Keliling David Kennedy berkunjung ke Indonesia pada 15 Maret 1971 antara lain untuk menandatangani persetujuan penundaan pembayaran hutang lama RI kepada AS sebesar 214,3 juta dolar.

“Bebas-aktif” sebagai Prinsip Politik Luar Negeri

Selain pendasarannya pada ketiga landasan dan konsepsi Ketahanan nasional tersebut, Indonesia juga menjalankan politik luar negerinya dengan prinsip “bebas-aktif”. Pasal 3 UU Nomor 37 Tahun 1999 menekankan bahwa politik luar negeri “bebas-aktif” bukanlah sebuah sikap politik netral, melainkan menjadi satu posisi politik otonom tersendiri. “Bebas” memiliki arti bahwa dalam melaksanan politik luar negerinya, Indonesia memiliki kebebasan untuk menjalin kerja sama dengan negara atau ikatan internasional tertentu tanpa keterikatan. Dalam soal permasalahan atau fenomena internasional, Indonesia juga bebas untuk menentukan sikap dan kebijakannya tanpa pengaruh kekuatan manapun. Sementara “aktif” merujuk pada sikap Indonesia untuk terlibat aktif dalam segala permasalahan maupun kerja sama internasional demi tercapainya tujuan kemerdekaan nasional, sebagaimana telah tertulis dalam alinea empat Pembukaan UUD 1945 – ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Esensi dari prinsip politik luar negeri “bebas-aktif” sendiri telah diutarakan pertama kali oleh Sutan Sjahrir pada tahun 1947 di Inter Asia Relations Conference, New Delhi. Dalam kesempatan tersebut, Sjahrir menyoroti bagaimana dunia internasional pada masa itu seolah memaksa semua negara untuk memilih keberpihakan pada dua blok besar yang saling bertarung secara politis maupun ideologis, Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan aliran liberal-kapitalis dan Blok Timur dipimpin Uni Soviet dengan paham komunis-sosialisnya. Sjahrir sendiri mengistilahkan konflik ini antara blok Anglo-Saxon dan blok Soviet Rusia yang memaksa keberpihakan negara-negara lain. Sjahrir menyoroti bahwa sikap yang sejatinya benar adalah “menolak untuk dipaksa” dan mencari sikap internasional sendiri. Secara lebih konkret, sikap ini haruslah sesuai dengan sistem negara sendiri dan tidak bermusuhan dengan tujuan nasional negara.

Keberpihakan atas salah satu blok memang menggiurkan pada masa itu, secara khusus bagi negara yang baru merdeka semacam Indonesia. Sebabnya, negara-negara demikian masih memerlukan modal pembangunan untuk masyarakat dan infrastruktur nasionalnya. Keberpihakan terhadap negara-negara besar menjadi jalan besar untuk perolehan modal tersebut. Oleh karenanya, prinsip ini mendapatkan tantangan besar untuk pelaksanaannya di kancah internasional.

Pada 2 September 1948, Mohammad Hatta menegaskan kembali prinsip “bebas-aktif” dalam pidatonya di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Pidato Hatta juga bertolak dari latar belakang pertarungan dua blok besar pada masa itu, Blok Barat dan Blok Timur, yang mendorong pelibatan negara-negara lain untuk mengambil sikap keberpihakan terhadap salah satu blok. Hatta menawarkan sikap independen dari konflik politik internasional tersebut. Ia berpendapat bahwa seharusnya Indonesia dapat menentukan sikap sendiri dan mencegah ikut terseret dikotomi pilihan pro-Rusia ataupun pro-Amerika.  Dalam pidato tersebut Hatta mengatakan, “Garis politik Indonesia tidak dapat digantungkan kepada politik negara lain, yang mengejar kepentingan sendiri” (dikutip Haryanto dalam artikel “Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Perspektif Teori Peran”). Pidato yang kelak dikenal dengan judul “Mendayung di antara Dua Karang” tersebut menjadi tonggak besar bagi perkenalan “bebas-aktif” terhadap dunia internasional – memunculkan konsep Non-Blok.

Sementara sikap “bebas” merujuk pada kekebasan Indonesia dalam memilih sikap internasional dan terbebas dari segala keberpihakan atas determinasi politik dan ideologi kedua blok, sikap “aktif’ secara konkret merujuk pada sikap Indonesia untuk secara aktif dan konstruktif terlibat dalam kemerdekaan di dunia. Dalam artikel berjudul Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia yang ditulis Wisnumurti disoroti bahwa prinsip “aktif” juga berangkat dari pengalaman historis dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Sikap anti penjajahan menjadi salah satu karakter utama politik luar negeri Indonesia, yang pada kemudiannya terejewantahkan dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945, yang berisi:

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Pada kelanjutannya, prinsip ini terbukti tidak hanya merupakan sebuah karakter operasional yang bersifat normatif, tetapi juga merupakan sebuah prinsip yang ideal bagi Indonesia (Todung Mulya Lubis dalam buku Demokratisasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa). Oleh karenanya, prinsip “bebas-aktif” secara konsisten diwariskan dalam tiap estafet kepemimpinan negara – hanya penafsirannya yang kemudian mengalami penyesuaian terhadap kecenderungan arah pemerintahan politik yang sedang berlangsung dan kepentingan nasional yang aktual. Dengan kemampuan adaptasi ini, Abdurrahman Mohammad Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, menyebutkan bahwa “bebas-aktif” masih relevan hingga saat ini dan akan terus bertahan di tengah perubahan dunia.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Presiden Soeharto menerima Wakil Menteri Luar Negeri Perancis, Jean de Lipkowsky, di Bina Graha, Jakarta, Selasa, 7 Maret 1972. Jean de Lipkowsky tiba di Jakarta hari Senin sore, 6 Maret , atas undangan Menlu Adam Malik sampai 13 Maret. Sebagian waktunya untuk mengadakan pembicaraan dengan para pemmpin Indonesia, dan sisanya untuk memimpin konperensi kerja para dubes Perancis di Asia Pasifik, 8 – 11 Maret di Jakarta.

Sejarah Politik Luar Negeri Indonesia

Indonesia telah menjadi sebuah negara berlegitimasi selama kurun waktu 77 tahun lamanya. Dalam periode tersebut, Indonesia telah mengalami berbagai pergantian kepala negara sebanyak tujuh kali dengan pembagian waktu ke dalam tiga periodisasi pemerintahan (Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi). Dalam proses panjang tersebut, politik luar negeri Indonesia juga telah mengalami dinamika yang panjang. Namun, ketiga landasan dan prinsip “bebas-aktif” tetap menjadi fondasi yang dipertahankan oleh tiap estafet kepemimpinan – tentu juga dengan pemaknaan dan penyesuaian yang terus diadaptasi. Berikut ini adalah refleksi singkat atas dinamika historis politik luar negeri Indonesia.

Orde Lama (1945–1966)

Hadirnya Soekarno dan Hatta sebagai dwi tunggal dalam perjuangan bangsa Indonesia memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan Indonesia dalam perpolitikan luar negeri Indonesia. Masa-masa awal kemerdekaan juga adalah periode penting sebagai determinan untuk menentukan karakter politik luar negeri Indonesia. Pada masa Orde Lama ini, “bebas-aktif’ sungguh-sungguh dimaknai sebagai prinsip kebebasan dari penjajahan dan keberpihakan pada blok manapun serta aktif dalam upaya perdamaian dunia.

Michael Leifer, seperti dikutip dalam artikel “Politik Luar Negeri Republik Indonesia Masa Lampau, Kini, dan Masa Depan: Suatu Tinjuan dan Saran Kedepan”, menjelaskan bahwa politik luar negeri Indonesia memperoleh bentuk awalnya dari usaha-usaha mendapatkan pengakuan kemerdekaan oleh publik internasional. Dinamika dan perjuangan politik luar negeri Indonesia pada awal kemerdekaan justru melahirkan nasionalisme ekonomi yang lebih kuat dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya – bahkan hingga sekarang.

Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Soekarno menyadari sungguh urgensitas akan kehadiran Kementerian Luar Negeri. Oleh karenanya, dua hari setelah proklamasi dibentuklah Kementerian Luar Negeri dengan Ahmad Subardjo, salah satu pejuang dan tokoh proklamasi, diangkat sebagai menteri luar negeri pertama. Kementerian Luar Negeri pun menjadi salah satu kementerian paling pertama yang didirikan. Pada April, 1946 Indonesia mengirimkan misi diplomatik pertamanya ke Belanda untuk berunding dengan pihak Sekutu dan Belanda.

Dalam periode usia muda negara Indonesia tersebut, Kementerian Luar Negeri memiliki dua tugas khusus (Kemlu.go.id, 2021). Yang pertama, adalah untuk “Mengusahakan simpati dan dukungan masyarakat internasional, menggalang solidaritas”. Tujuan dari tugas ini adalah agar Indonesia segera memperoleh dukungan dan pengakuan atas kemerdekaannya. Kedua, adalah “melakukan perundingan dan membuat persetujuan”. Pada masa-masa awal kemerdekaan tersebut, tujuan utama politik luar negeri Indonesia adalah menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia ke publik internasional dan memperoleh pengakuan de facto atas kemerdekaan itu sendiri.

Kedua tugas tersebut dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri melalui diplomasi sebagai jalan utama. Hasilnya, pada 1947 Indonesia berhasil melangsungkan perundingan dengan Belanda dalam Perundingan Linggarjati. Dalam perundingan tersebut, wilayah Indonesia baru memperoleh pengakuan atas Jawa, Sumatera, dan Madura. Selanjutnya, politik luar negeri Indonesia membuahkan Perjanjian Renville pada 1948 yang membuahkan pengakuan atas wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Pada 1949, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deng Haag, Indonesia memperoleh pengakuan atas kemerdekaannya, namun dengan Irian Barat yang belum dilepaskan Belanda. Akibatnya, status quo Irian Barat untuk sementara ditangguhkan. Melalui semangat perjuangan dan diplomasi, Indonesia pada akhirnya dapat meraih dukungan dan solidaritas luas dari masyarakat internasional di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).​ Pada tahun 1950, Indonesia bergabung dengan PBB – menunjukkan Indonesia telah diakui sebagai negara merdeka.

Pada Agustus, 1960, Soekarno dalam pidato tahunan di Istana Merdeka mengumukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. Pemutusan ini dilakukan setelah tindakan Belanda mengirimkan kapal induk Karel Doorman untuk memperkuat pertahanan di Irian Barat. Tindakan ini dipandang Soekarno sebagai suatu tindakan agresif perihal Irian Barat dan bahwa KMB belum tuntas menyelesaikan hubungan kolonial antara kedua negara.

Thee Kian Wie dalam buku Dialog Dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun, mencatat bahwa keengganan Belanda menyerahkan Irian Barat dipandang Soekarno sebagai belum selesainya revolusi nasional dan bahwa revolusi tersebut harus diteruskan hingga Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia. Oleh karenanya, kembalinya Irian Barat pun menjadi prioritas utama politik luar negeri Indonesia. Pada 15 Agustus 1962 melalui Perjanjian New York, Belanda sepakat menyerahkan kekuasannya atas Irian Barat.

Pada akhir pemerintahan Orde Lama, Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB. Hal ini bertolak dari diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Padahal, Soekarno telah menyampaikan peringatan untuk menolak penolakan atas diterimanya Malaysia. Soekarno melihat potensi ancaman yang diberikan oleh kemerdekaan Malaysia – di mana pada kemudiannya hal ini terwujud dengan keinginan Federasi Malaysia untuk memasukkan Borneo Utara sebagai bagian dari negara mereka.

KOMPAS/PIET WARBUNG

Presiden Soekarno dan Tamu dari Luar Negeri (26/10/1965).

Orde Baru (1966-1998)

Dalam pergantian pemerintahan ke Orde Baru, makna prinsip “bebas” ditarik lebih umum pada tataran ketidakberpihakkan dengan kekuatan-kekuatan dunia dan aktif dalam kerja sama multilateral dan bilateral. Pada masa ini, kebijakan politik luar negeri Indonesia begitu berbeda di bawah pemerintahan Soeharto. Salah satu perbedaan yang begitu mencolok adalah kembalinya Indonesia dalam organisasi PBB dan juga terlibat aktif dalam pendirian ASEAN.

Pada periode ini, Soeharto menempatkan Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri. Dalam 30 tahun periode kekuasannya, politik luar negeri Indonesia dititikberatkan pada stabilitas ekonomi nasional. Prinsip “bebas-aktif” pun diterjemahkan dengan sasaran peminjaman utang internasional dan promosi ekspor secara khusus sektor nonmigas. Konsep free market economy pun menjadi tasfiran pokok bagi kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia. Deregulasi dan pemudahan atas partisipasi internasional bagi dinamika nasional menjadi semakin jamak terjadi.

Selain stabilitas ekonomi, politik luar negeri pada era Orde Baru juga berdiri pada kepentingan untuk memperkuat politik-keamanan nasional sebagaimana. Dalam orientasi ini, pada tahun 1967 Indonesia mulai aktif dalam perannya untuk pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Hanya saja, dalam masa tersebut Indonesia mengalami penurunan kondisi ekonomi sehingga tidak dapat melanjutkan partisipasinya secara aktif. Selain itu, rasa percaya yang kurang antarnegara juga menghambat pertumbuhan ASEAN.

Pada masa perkembangan kedua ASEAN pada tahun 1976, Indonesia kembali mulai terlibat aktif. Dalam masa ini, Soeharto menilai bahwa Indonesia telah mencapai stabilitas di bidang ekonomi dan keamanan nasional. Dengan perannya yang determinan, KTT pertama ASEAN dilaksanakan di Bali. Dalam pertemuan ini dihasilkan Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru ini, terjadi peristiwa internasional yang begitu merubah dikotomi perpolitikan global. Perisitiwa tersebut adalah keruntuhan Tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet menjadi negara-negara kecil. Akibatnya, determinasi komunis Soviet menjadi berkurang dan dikotomi blok-blok adidaya menjadi pudar. Namun secara bersamaan, muncul beragam situasi dunia internasional dalam berbagai dimensi. Dinamika politik internasional yang begitu cepat ini mendorong Indonesia untuk harus menyesuaikan prinsip “bebas-aktif” operasionalnya.

Selain itu, politik luar negeri Indonesia lain yang patut dicatat pada masa ini adalah partisipasi Indonesia dalam penyelesaian konflik antara Kamboja dan Vietnam pada Januari, 1979. Dalam konflik tersebut, Kamboja mengalami pendudukan oleh Vietnam yang juga berdampak pada digulingkannya rezim Khmer Merah. Indonesia hadir menerapkan prinsip “aktif” dengan menginisiasi penyelesaian konflik dengan melakukan shuttle diplomacy antara kedua negara.

Indonesia pun mengundang pihak-pihak yang bertikai dan terkait untuk hadir pada Jakarta Informal Meeting atau JIM. JIM berhasil dilaksanakan pertama kali pada Juli 1988 dan Februari 1989. Dalam kesempatan tersebut, Ali Alatas sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu sekaligus Co-Chairman JIM memimpin penyelesaian Kamboja dan Vietnam hingga tahap gencatan senjata kedua belah pihak dan penarikan pasukan Vietnam. Pada akhirnya, konflik ini tuntas dengan pengukuhan oleh resolusi Dewan Keamanan PBB dan pembentukan United Nation Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) untuk mengisi kekosongan pemerintahan Kamboja pada masa itu.

KOMPAS/JB SURATNO

Presiden Soeharto dan Presiden Ukraina Leonid D Kuchma menyaksikan Menlu Ali Alatas dan Menlu Ukraina menandatangani naskah kerjasama, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 11 April 1996. Presiden Ukraina berada di Indonesia sejak hari Rabu (10/4) dan akan meninggalkan Indonesia hari Sabtu (13/4).

Era Reformasi (1998-sekarang)

Dalam masa pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati pemaknaan atas “bebas-aktif” tidak banyak berubah – di mana bebas dimaknai sebagai ketidakterikatan pada ideologi negara lain dan tetap aktif dalam kerja sama internasional. Pascakeruntuhan 1998, Habibie sebagai presiden pengganti kembali mengintensifkan usaha untuk memperoleh bantuan dari negara-negara maju dan dukungan IMF bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Hal ini diupayakan oleh Ali Alatas yang masih menjadi Menteri Luar Negeri dengan meningkatkan diplomasi ekonomi seperti peningkatan ekspor ke luar negeri, menarik masuknya investor-investor asing, dan promosi bagi untuk menarik wisatawan asing.

Catatan penting dalam politik luar negeri Indonesia pada masa Habibie (Mei, 1998 – Oktober, 1999) adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Berangkat dari masukan yang diberikan oleh Perdana Menteri Australia John Howard, Habibie memutuskan diadakannya referendum pada tanggal 30 Agustus 1999. Dalam referendum tersebut, rakyat Timtim diberikan opsi untuk mendukung otonomi khusus (yang berarti tetap menjadi bagian Indonesia) atau menolak otonomi khusus. Dengan pengawasan PBB, hasil dari referendum menunjukkan angka 78,5% (344.580 suara) rakyat Timtim menolak otonomi khusus dan 21,5% (94.388 suara) mendukung otonomi khusus. Dengan hasil tersebut, PBB memberikan pengakuan kemerdekaan kepada Timtim dengan nama Timur Leste pada tanggal 22 Mei 2002.

KOMPAS/JB SURATNO

Presiden BJ Habibie didampingi Menlu Ali Alatas hari Sabtu siang, 12 September 1998 menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Thailand, Surin Pitsuwan, di Ruang Jepara Istana Merdeka, Jakarta. Menlu Ali Alatas mengemukakan, Indonesia dan Thailand saling mendukung. Indonesia mendukung pencalonan Thailand sebagai Sekjen WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), sedang Thailand mendukung Indonesia sebagai calon Sekjen ITU (International Telecommunication Union).

Dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gusdur (Oktober, 1999 – Juli, 2001), tidak banyak dinamika politik luar negeri yang terjadi dan berhasil. Dalam periode ini, Indonesia sempat mengajukan pembentukan persekutuan tiga negara: Indonesia, Cina, India. Tujuannya pada saat itu adalah menandingi hegemoni ekonomi Jepang di Asia Tenggara. Selain itu, juga muncul gagasan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Meski begitu, kedua wacana ini tidak berhasil tercapai. Meski begitu, patut dicatat bahwa dalam periode ini, Indonesia mengusulkan kepada ASEAN untuk menerima Timur Leste dan Papua Nugini sebagai anggota.

Pada era kepemimpinan Megawati (Oktober, 2001 – Oktober 2004) muncul strategi politik luar negeri Indonesia. Bentuk diplomasi yang ditempuh pun ditujukan menghindari permusuhan. Selain itu, peristiwa 11 September 2001juga memberikan pengaruh, di mana Indonesia dengan bantuan kucuran dana dari Amerika Serikat secara aktif menyuarakan perang atas terorisme dalam wadah internasional.

KOMPAS/JB SURATNO

Robert S Gelbard dan James A Kelly, dubes AS untuk Indonesia dan asisten Menteri Luar Negeri AS untuk masalah Asia Timur dan Pasifik,Menemuai Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara Jakarta (1/9/2001)

Prinsip politik luar negeri “bebas-aktif” mengalami pergeseran makna pada masa masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam masa ini, muncul istilah “Sailing in the Turbulance Ocean” atau berlayar di samudera yang bergejolak – menggambarkan bahwa pada konteks saat ini, prinsip “bebas-aktif” tidak lagi menjadi jawaban atas perjalanan politik luar negeri Indonesia yang tadinya hanya terhalang oleh dua karang besar. Dalam konteks aktual masa tersebut, dianggap bahwa tantangan luar negeri yang terjadi justru bisa muncul dari segala arah, dimana aktor-aktor internasional saling berkompetisi menciptakan transisi sekutu-lawan yang begitu cepat.

Selain itu, juga muncul semboyan “thousand friends zero enemy” sebagai staretegi politik luar negeri Susilo Bambang Yudhoyono. Tujuan utama dari slogan ini adalah menghindari konflik-konflik internasional yang terjadi. Dalam dunia yang semakin dekat, saling ketergantungan antarnegara menjadi hal yang rumlah. Olah karenanya, slogan ini akan menjadi dasar penerapan prinsip “aktif” dengan Indonesia hadir menjaga hubungan baik bilateral antarnegara. Dalam periode ini, Indonesia juga berusaha menjaga peran pentingnya dalam konteks perpolitikan di Asia Tenggara. Pada tahun 2011, Indonesia sempat terpilih sebagai Ketua ASEAN dan menjadikan “keseimbangan dinamis” sebagai tujuan utama penciptaan kondisi ideal di kawasan Asia Tenggara.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengantar Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton saat mengakhiri kunjungan di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/9/2012). Pertemuan bilateral tersebut diantarnya membahas tentang kemitraan politik dan ekonomi kedua negara. Selain itu Hillary menyambut positif peran Indonesia dalam konfilk Laut China Selatan dan Suriah.

Dalam era Joko Widodo, prinsip “bebas-aktif” masih menjadi pedoman dalam rumusan politik luar negeri Indonesia. Makna “bebas” diterapkan dalam visi Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian nasional. Sementara karakter “aktif” direalisasikan dalam usaha pencapaian kemandirian nasional atas sikap kerja gotong-royong yang positif dan konstruktif. Agenda politik luar negeri Joko Widodo sendiri, dalam periode pertama pemerintahannya, disosialisasikan dalam Nawa Cita atau Sembilan Agenda Prioritas. Dalam bidang luar negeri, tertera poin

Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Sekjen ASEAN Lim Jock Hoi meresmikan Gedung Sekretariat ASEAN di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (8/8/2019). Presiden berharap keberadaan Gedung Sekretariat ASEAN yang baru itu bisa menunjang misi ASEAN dalam memainkan perannya sebagai motor bagi perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan kawasan.

Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia saat ini

Pada 29 Oktober 2019, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Lestari Priansari Marsudi menyampaikan kepada media prioritas politik luar negeri Indonesia periode 2019–2024. Retno menekankan terlebih dahulu akan warisan amanah politik luar negeri Indonesia dengan mengutip alinea empat Pembukaan UUD 1945 dan menekankan pelaksanaannya dalam koridor “bebas-aktif”. Lebih lanjut, Retno menjabarkan kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam “Prioritas 4+1” yang merupakan ejawantah Visi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden.

Prioritas pertama, adalah untuk penguatan pada sektor diplomasi ekonomi. Urgensitas ini bertolak dari prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai ekonomi terbesar keempat berdasarkan purchasing power parity. Untuk menempuh ini, Indonesia akan melaksanakan penguatan pasar nasional, penguatan pada perundingan ekonomi, promosi investasi, mendorong ekonomi berbasis revolusi 4.0, dan mempertahankan diplomasi sebagai jalan pencapaian kepentingan strategis ekonomi Indonesia.

Prioritas kedua dan ketiga berfokus pada upaya diplomasi, di mana prioritas kedua pada diplomasi perlindungan dan prioritas ketiga pada diplomasi kedaulatan dan kebangsaan. Diplomasi perlindungan menjadi wujud usaha negara memberikan proteksi terhadap warga negaranya di luar negeri. Upaya yang dilakukan adalah dengan kerja sama intens dengan Kedutaan, pembuatan portal daring sebagai basis data WNI di luar negeri, dan edukasi terhadap perdagangan manusia. Sementara prioritas ketiga ditujukan untuk menjaga wilayah Indonesia, secara khusus batas-batas negara.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Dari Kiri, Menteri Luar Negeri (Menlu) Malaysia Dato Sri Anifah Aman, Panglima Angkatan Bersenjata Malaysia Jendral Zulkifeli Mohd. Zin, Menlu Indonesia Retno LP Marsudi, Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo, Menlu Filipina Jose Rene D. Almendras, Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Vice Admiral Caesar C. Taccad bersiap memberikan keterangan kepada wartawan usai mengadakan pertemuan trilateral di Istana Yogyakarta, Kamis (5/5/2016). Pertemuan trilateral terkait masalah keamanan wilayah perairan di perbatasan antara tiga negara.

Prioritas keempat mengacu pada kontribusi aktif Indonesia di politik luar negeri kawasan maupun global. Hingga 2020, Indonesia masih memiliki kedudukan sebagai Dewan Keamanan PBB. Pada tahun yang sama ini, Indonesia mengetuai Foreign Policy and Global Health (FPGH) dan mengangkat tema Affordable Health Care. Sementara pada tahun 2020 hingga 2022, Indonesia akan menjadi anggota Dewan HAM PBB. Oleh karenanya, perlindungan HAM dan penguatan kemitraan untuk Rencana Aksi Nasional HAM akan menjadi prioritas Indonesia.

Pada tahun 2022, untuk pertama kalinya Indonesia berkesempatan menjadi presidensi bagi konferensi G20. infrastruktur diplomasi yang kuat. Sebagai forum kerja sama ekonomi internasional, kesempatan ini vital untuk dimanfaatkan sebagai upaya pemulihan ekonomi Indonesia dalam dan pasca masa pandemi Covid-19. Sebagai presidensi, Indonesia memiliki kapasitas untuk menuntun arah agenda pembahasan G20 pada kepentingan ekonomi nasional. Amanah ini adalah sebuah kebanggaan mengingat Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota G20, dan mampu menjadi presidensi. Sementara pada 2023, Indonesia akan menjadi ketua ASEAN.

Terakhir, prioritas plus satu merujuk pada penguatan infrastruktur diplomasi Indonesia. Di dalamnya akan termasuk juga: “Reformasi Birokrasi; Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia; Pembangunan Infrastruktur Fisik Diplomasi; Penguatan Pemanfaatan Teknologi dan Informatika; dan Transformasi Digital”, seperti tercatat dalam Penyampaian Prioritas Politik Luar Negeri Indonesia 2019-2024 oleh Menteri Retno. Hal yang terakhir disebutkan adalah penting untuk menjaga aktualitas diplomasi Indonesia pada era digital.

Dalam konteks teraktual, landasan politik luar negeri Indonesia dan posisi-posisi vital luar negerinya akan dihadapkan pada permasalahan global yang terus muncul. Isu Rakheine State, konflik di Afghanistan, perundingan Laut Cina Selatan, kondisi pandemi global, dan yang paling terakhir invasi Rusia ke Ukraina, akan menjadi ujian-ujian empiris atas politik luar negeri Indonesia. Pada tataran tersebut, para diplomat dan eselon Kementerian Luar Negeri akan menjadi aktor-aktor aktif dalam merefleksikan prinsip politik luar negeri Indonesia dan mengupayakan kepentingan nasional. Untuk itu, sebagaimana dituliskan Wisnumurti dalam artikel “Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia”, pengertian dan dukungan masyarakat akan menjadi komponen penting bagi modal positif perpolitikan luar negeri Indonesia. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Alami, A. N. 2008. “Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Ganewati Wuryandari (ed.). Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: Pustaka Pelajar.
  • Drajat, B. P. 1999. “Tantangan Diplomasi di Era Reformasi”, dalam e. a. Tantri Abeng, Demokratisasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa (hal. 8-12). Jakarta: Kompas dan Gramedia Literary Agents.
  • Lubis, T. M. 1999. “Harmonisasi dan Internasionalisasi”, dalam e. a. Tantri Abeng, Demokratisasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa (hal. 19-26). Jakarta: Kompas dan Gramedia Literary Agents.
  • Wie, T. K. 2001. “Tantangan dan Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia Selama Masa Awal Kemerdekaan”, dalam e. a. Jakob Oetama, Dialog Dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun (hal. 37-51). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Jurnal
  • Bojang, A. S. 2018. “The Study of Foreign Policy in International Relations”. Journal of Political Sciences & Public Affairs 06.
  • Haryanto, A. 2014. “Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Perspektif Teori Peran”. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi Volume IV No.II, 17-27.
  • Indrawati, & Nugroho, A. Y. 2019. “Penerapan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia Melalui Diplomasi Maritim”. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (International Relations Journal) 10, 14-26.
  • Mohsin, A. (2019). “Politik Luar Negeri Republik Indonesia Masa Lampau, Kini, dan Masa Depan: Suatu Tinjuan dan Saran Kedepan”. Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol. 41, No.62, 7225-7244.
  • Suryani, W. C. (2019, Januari 8). 7 Januari 1965: Soekarno Mengeluarkan Indonesia dari Ketidaktegasan PBB.
  • Wisnumurti, N. 1998. “Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia”. Jurnal Ketahanan Nasional Volume 3 Nomor 1, 75-92.
Internet

Ika. (2018, September 7). Politik Bebas Aktif Indonesia Masih Relevan. Diambil  dari UGM.ac.id: https://www.ugm.ac.id/id/berita/16997-politik-bebas-aktif-indonesia-masih-relevan 

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2019, Maret 27). Perkembangan Kementerian Luar Negeri. Diambil kembali dari Kemlu.go.id: https://kemlu.go.id/portal/id/read/26/tentang_kami/perkembangan-kementerian-luar-negeri

Kemlu.go.id. (2019, Oktober 29). Penyampaian Prioritas Politik Luar Negeri Republik Indonesia 2019-2024.

Artikel Terkait