Fakta Singkat Laut China Selatan
Luas:
3,5 juta kilometer persegi.
Wilayah Sengketa:
- Kepulauan Spratly
- Kepulauan Paracel
Negara Pengeklaim:
- RRC
- Taiwan
- Vietnam
- Brunei Darussalam
- Filipina
- Malaysia
Akar Masalah
Klaim RRC di Laut China Selatan berdasarkan peta 1947 yang meliputi sembilan garis putus-putus (nine dash line).
Ancaman Kedaulatan Indonesia
Klaim sembilan garis putus-putus RRC meliputi wilayah Laut Natuna Utara milik Indonesia.
Secara geografis, Laut China Selatan (LCS) berada di Pasifik Barat yang sebagian besar wilayahnya berada tepat di antara negara-negara Asia Tenggara. Kawasan dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi ini disebut sebagai laut “setengah tertutup” karena dikelilingi daratan.
Sebelah Barat ke arah Selatan Laut China Selatan berbatasan dengan Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia Barat. Sebelah Timur berbatasan dengan Filipina, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Indonesia dan Malaysia Timur. Hanya dua negara di luar Asia Tenggara yang berbatasan dengan Laut China Selatan, yakni Republik Rakyat China (RRC) dan Taiwan di sebelah Utara.
Laut China Selatan memiliki empat kelompok gugus kepulauan: Paracel, Spratly, Pratas, dan Macclesfield. Dari keempat gugus kepulauan ini, Spratly dan Paracel paling sering menjadi sengketa karena klaim multilateral. Intensitas konflik paling tinggi terjadi di Spratly karena diklaim oleh enam negara yakni RRC, Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia.
Kompas, 12 Juni 2022.
Nama Kepualuan Spratly dan Paracel memiliki versi berbeda-beda tergantung negara yang mengeklaim. Misalnya, Taiwan menamai Kepulauan Spratly dengan nama Shinnengunto, Vietnam dengan Truong Sa (beting panjang), Filipina dengan Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia dengan Itu Aba dan Terumbu Layang-layang. RRC menyebutnya dengan Nansha Quadao (kelompok pulau Pantai Selatan). Sementara masyarakat internasional menyebut Spratly yang bermakna burung layang-layang.
Pada Desember 1947, RRC menerbitkan peta yang tak hanya memuat kepulauan-kepulauan utama di wilayah Laut China Selatan, tetapi juga sebelas garis putus-putus yang meliputi hampir seluruh wilayah Laut China Selatan.
Pada tahun 1950-an dua garis putus-putus dihilangkan sehingga menjadi sembilan (nine dash line). Berdasarkan peta ini, Republik Rakyat China mengeklaim kawasan Kepulauan Spratly dan Paracel miliknya.
China menyatakan telah merebut sejumlah Pulau Xisha (Paracel) pada tahun 1909. Dua pulau lain, Pulau Itu Aba (Spratly) dan Pulau Phu Lan (Paracel), direbut China pada tahun 1946. Agresivitas China terus berlanjut, pada tahun 1950-an China merebut Pulau Hoang Sa (Paracel) dan perebutan itu diulang pada tahun 1974 dengan cara kekerasan.
Selain klaim kedaulatan oleh China, sumber daya mineral berlimpah seperti minyak dan gas bumi di Kepulauan Spratly dan Paracel diyakini menjadi salah satu faktor akar sengketa.
Konflik di Laut China Selatan khususnya Kepulauan Spratly mencuat pada dekade 1970-an setelah krisis minyak tahun 1973. Situasi saling klaim antarnegara di sekitar Laut China Selatan ini mengancam stabilitas kawasan.
Berbagai insiden bersenjata pernah terjadi di Laut China Selatan seperti konflik China dan Vietnam di Johnson South Reef (1988), pendudukan China atas Karang Mischief (1995), dan baku tembak antara kapal perang China dan Filipina di dekat Pulau Campones (1996). Insiden bersenjata ini menunjukkan sengketa di Laut China Selatan bisa tersulut menjadi konflik terbuka kapan saja.
KOMPAS/EDNA CAROLINE PATTISINA
Artikel terkait
Tumpang Tindih Sejarah
Ketegangan di Laut China Selatan memiliki sejarah panjang dan melibatkan banyak negara mulai dari Inggris, Perancis, Jepang, RRC, hingga melibatkan Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina dan Taiwan. Persoalan ini berawal dari tuntutan RRC atas pulau-pulau di kawasan Laut China Selatan yang mengacu pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus pulau oleh nelayan-nelayan China.
China mengeklaim Kepulauan Spratly dan Laut China Selatan sebagai wilayahnya bukan tanpa dasar. Bukti pertama berasal dari bukti arkeologis semasa Dinasti Han (206–220 Sebelum Masehi) yang menyebut telah menduduki wilayah Kepualaun Spratly.
Bukti lainnya berdasarkan catatan kapal laut Inggris yang menyebut Kepulauan Spratly (Nansha) dan Kepulauan Paracel (Xisha) telah ada di peta mereka sejak 1430. Nama Spratly diambil dari nama kapten kapal Inggris pada tahun 1867.
Klaim wilayah ini menjadi tumpang tindih berdasarkan perjanjian antara China dan Perancis yang menguasai Indochina pada tahun 1887. Menurut perjanjian ini, Laut China Selatan termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel masuk ke dalam wilayah RRC. Namun, pada tahun 1933 Perancis secara resmi mengambil kepulauan tersebut untuk Vietnam.
Kompas, 12 Juni 2018.
Kepemilikan Spratly semakin keruh saat tahun 1939 Jepang menduduki Kepulauan Spratly dan Paracel. Oleh Jepang, kepulauan ini digabungkan menjadi satu gugus kepulauan dengan Pulau Taiwan dengan nama Shinnan Gunto. Jepang menguasai kepulauan ini sampai kekalahannya pada Perang Dunia II tahun 1945. Seusai perang, kepulauan ini menjadi milik Vietnam Selatan.
Menurut Vietnam, Kepulauan Paracel dan Spratly merupakan kedaulatannya berdasarkan peta Vietnam yang dibuat oleh Do Ba Cong Dao pada abad ke-17. Kepulauan Paracel di Vietnam disebut dengan Hoang Sa sementara Kepulauan Spratly disebut Truong Sa.
Vietnam pernah dijajah China selama 1000 tahun sejak masa Dinasti Han (111 SM — 939 M). Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui kedaulatan China. Saat perang Dunia II berakhir, Kepulauan Paracel dan sejumlah gugus pulau di Kepulauan Spratly dikuasai oleh Vietnam Selatan. Namun, pada tahun 1974 China mengambil alih Kepulauan Paracel melalui serangan bersenjata.
Sejumlah Kepulauan Spratly yang dikuasai Vietnam aman dari serangan China. Selain Vietnam kepulaan ini juga dikuasai oleh Taiwan (sejak Perang Dunia II), Filipina (1971), Malaysia (berdasarkan peta 1979), dan Brunei Darussalam setelah merdeka pada 1 Januari 1984.
Klaim tumpang tindih di Kepulauan Spratly menimbulkan gesekan antara RRC dan Vietnam pada tahun 1988. Untuk memperkuat posisi di Kepulauan Spratly, RRC yang merasa memiliki kepulauan ini membangun konstruksi dan instalasi militer. Vietnam berupaya menandingi agresivitas RRC dengan menduduki lebih banyak pulau. Aksi ini berujung dengan kekalahan Vietnam setelah kontak senjata pada bulan Maret 1988. Sebagai konsekuensinya, tentara-tentara Vietnam harus mundur dari pulau-pulau yang telah diduduki.
Konflik kepentingan di Kawasan Laut China Selatan tak hanya terjadi antara RRC dan Vietnam, tetapi juga antarnegara yang saling berbatasan. Konflik multilateral di Laut China Selatan terjadi antara Filipina-Malaysia, Filipina-Taiwan, Filipina-RRC, Filipina-Vietnam, Malaysia-Vietnam, Malaysia-Brunei Darussalam, Taiwan-RRC, dan Indonesia-RRC.
Artikel Terkait
Ancaman Kedaulatan Indonesia
Walaupun Indonesia tidak turut terlibat dalam keriuhan konflik di Kepulauan Spratly, Indonesia memiliki catatan konflik di Laut China Selatan dengan RRC. Masalah utama terkait masalah Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Peta RRC tahun 1947 yang meliputi Pulau Hainan sampai ke Teluk Kalimantan tidak sesuai Landas Kontinen dan ZEE Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Konflik Indonesia-RRC terpusat pada klaim Laut Natuna. Bagi RRC, Laut Natuna sangat penting karena merupakan jalur pelayaran penting penghubung komunikasi Utara-Selatan, dan Timur-Barat.
Ancaman RRC terhadap kedaulatan Indonesia di Laut Natuna semakin nyata saat insiden tahun 2016. Kapal pengawas perikanan Hiu 11 gagal menangkap kapal ikan ilegal KM Kway Fey 10078 asal China karena dikawal kapal patroli Tiongkok sewaktu mencuri ikan (20/3/2016).
Setelah insiden Hiu 11 dengan KM Kway Fey 10078, sejumlah kapal China ditangkap oleh Kapal TNI AL. Ketegangan kembali mewarnai sejumlah proses penangkapan salah satunya saat KRI Imam Bonjol menangkap kapal Tiongkok bernomor lambung 19038 pada 17 Juni 2016. Dalam penangkapan itu kapal penjaga pantai RRC sempat mengejar dan meminta kapal nelayan tersebut dilepaskan.
Peristiwa lain terjadi pada akhir Mei 2016, saat KRI Oswald Siahaan menangkap kapal Gui Bei Yu di Laut Natuna. Penangkapan Gui Bei Yu disikapi keras oleh Pemerintah RRC yang menegaskan kapal tidak melanggar hukum Indonesia karena ada di wilayah penangkapan tradisional Tiongkok.
Presiden Joko Widodo secara simbolis memberikan sikap Indonesia terhadap kedaulatan di Laut Natuna dengan mengadakan rapat terbatas di atas Kapal Republik Indonesia Imam Bonjol yang berlayar di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada 23 Juni 2016. Rapat ini menegaskan pentingnya menegakkan wilayah kedaulatan negara.
KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
Sikap Indonesia
Menyikapi ancaman kedaulatan Republik Indonesia, khususnya di Laut China Selatan, Pemerintah RI merilis peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diperbarui pada 14 Juli 2017. Pada peta ini Laut Natuna berganti nama menjadi Laut Natuna Utara (LNU) .
Pengubahan nama sebagian ruang laut di utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara diprotes China melalui nota diplomatik yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri China kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Dalam nota yang dikeluarkan tanggal 25 Agustus 2017 tersebut tertuang 3 butir sikap RRC yang salah satunya berisi penolakan terhadap nama LNU.
Dari perspektif hukum, posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan China. Klaim China di LNU berlandaskan pada sembilan garis putus-putus yang sudah divonis ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA), sementara Indonesia bersandar pada UNCLOS. Meski demikian, hingga saat ini ketegangan di wilayah LNU masih terjadi.
Kompas, 17 Januari 2020.
Pada lawatan Presiden Joko Widodo ke tiga negara ASEAN pada awal tahun 2024, salah satu isu penting yang dibahas mengenai politik-keamanan, ekonomi, dan kawasan salah satunya perkembangan di Laut China Selatan. Hampir seluruh perairan LCS di klaim oleh China. Sebagian klaim tumpang tindih dengan wilayah Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Posisi Indonesia dalam sengketa LCS bukan pihak pengeklaim, tetapi beberapa kali ketegangan terjadi dengan China dalam isu Laut Natuna Utara. Dikutip dari Kompas, 6 Juli 2020, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan sangat jelas dan berulang kali dinyatakan pada publik: di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982), tidak ada klaim tumpang tindih. Tak ada yang perlu dinegosiasikan dengan Beijing. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Ras, Abdul Rivai. Konflik Laut Cina Selatan dan ketahanan regional Asia Pasifik: sudut pandang Indonesia. Apsindo. Jakarta. 2001.
- Hawksley, Humphrey. Asian waters: the struggle over the Asia-Pacific and the strategy of Chinese expansion. 2018.
- “Kepulauan Spratly dan Paracel Kembali Menjadi Sumber Konflik”. Kompas, 5 Desember 2007, hlm. 8.
- “Isu Laut China Selatan Harus Dituntaskan”. Kompas, 1 Juni 2011, hlm. 10.
- “Tajuk Rencana: Isu Lama yang Masih Aktual”. Kompas, 3 Juni 2011, hlm. 6.
- “Saling Klaim di Laut Tiongkok Selatan”. Kompas, 22 november 2015, hlm. 28
- “Indonesia Harus ”Hukum” Tiongkok”. Kompas, 21 Maret 2016.
- “Kedaulatan Hal Utama”. Kompas, 23 Juni 2016, hlm. 4.
- “Info Buku Baru: Resolusi Sengketa Laut Tiongkok Selatan”. Kompas, 30 Juli 2016, hlm. 28.
- “Penamaan Laut Natuna Utara”. Kompas, 17 Juli 2017, hlm. 8.
- “Indonesia Tolak Klaim China”. Kompas, 2 Januari 2020, hlm. 9.
- “Presiden: Tegakkan Hak Berdaulat di ZEE Natuna”. Kompas, 9 Januari 2020, hlm. 1.
- “Mendayung Diplomasi di Laut Natuna”. Kompas, 17 Januari 2020, hlm. A.
- “Tajuk Rencana: Tegas di Laut China Selatan”. Kompas, 6 Juli 2020, hlm. 6.
- “Kapal Perang China di Natuna Utara”. Kompas, 16 September 2021, hlm. 10.
- “Mendinginkan Teater Asia yang Panas. Kompas, 3 Oktober 2021, hlm. 3.
- “Protes China Dinilai Tak Tepat. Kompas, 2 Desember 2021, hlm. 15.
- “Kapal China Terkonsentrasi di Timur Laut Natuna. Kompas, 15 September 2022, hlm. 11.
- “Ironi Beranda Depan Natuna. Kompas, 3 Oktober 2022, hlm. 11
- “Jokowi-Marcos Jr Bahas Isu Laut China Selatan. Kompas, 11 Januari 2024, hlm. 4.
- https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/29/percikan-api-di-laut-china-selatan
- https://internasional.kompas.com/read/2021/12/04/150000970/apa-itu-nine-dash-line-yang-sering-dipakai-china-untuk-klaim-natuna-?page=all