Kronologi | Politik Luar Negeri

Politik Bebas Aktif: Warisan Politik Luar Negeri Orde Baru (Bagian Dua)

Indonesia berupaya menghapus citra radikal dan revolusioner di mata internasional dengan menerapkan "good neighbourhood policy". Menjelang akhir Orde Baru, politik luar negeri Indonesia mengalami masa emas saat menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok pada periode 1992-1995.

Konferensi Tingkat Tinggi X Gerakan Nonblok (KTT X GNB) dimulai (1/9/1992). Dari kiri Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali, Menlu Ali Alatas, Presiden Soeharto, Sekjen Persidangan KTT X GNB Nana Sutresna, dan Mensesneg Moerdiono di ruang sidang utama Jakarta Convention Center (JCC).
Foto: Kompas/Julian Sihombing.

Pemikiran awal Soeharto yang disampaikan pada sidang MPRS 1966 untuk memulihkan situasi di Indonesia mengerucut kepada dua hal, yakni stabilitas politik keamanan dan pembangunan ekonomi. Persoalan ekonomi tidak akan bisa diselesaikan dengan baik tanpa adanya stabilitas politik dalam negeri maupun luar negeri.

Langkah awal untuk mengembalikan stabilitas keamanan regional, antara lain, mengganti Soebandrio selaku Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri dengan Adam Malik sebagai pejabat ad interim. Pada upacara perkenalan di depan karyawan Departemen Luar Negeri, Adam Malik menjelaskan visi Deplu pada era Orde Baru, antara lain, mengembalikan kewibawaan Republik Indonesia di mata internasional yang telah rusak akibat kebijaksanaan politik masa lalu.

Setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada 12 Maret 1967, Indonesia menerapkan “good neighbourhood policy” melalui pembentukan ASEAN (Association South East Asia Nations). Lima menteri luar negeri Adam Malik (Indonesia), Narciso R. Ramos (Filipina), Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Koman (Thailand), menandatangani Deklarasi Bangkok yang kemudian diberi nama Deklarasi ASEAN pada 8 Agustus 1967.

Seiring waktu, Indonesia tetap konsisten menjalankan politik bebas aktif dengan menjaga hubungan baik dengan negara-negara Blok Barat dan Blok Timur. Dua dekade pasca-Peristiwa-G30S, Pemerintah Indonesia dan Republik Rakyat China sepakat mengambil langkah-langkah untuk normalisasi hubungan diplomatik yang telah dibekukan selama hampir 24 tahun.

Politik luar negeri Indonesia semakin aktif selepas Perang Dingin usai, ditandai dengan terpilihnya Indonesia sebagai ketua Gerakan Nonblok periode 1992–1995, sekaligus Tuan Rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB kesepuluh pada tahun 1992. Di bawah kepemimpinan Indonesia, GNB dinilai berhasil merumuskan arah baru setelah perang ideologi blok-blok berakhir.

Kiprah Indonesia di kancah internasional semakin bersinar, puncaknya Indonesia menjadi tuan rumah APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada tahun 1994. Pertemuan APEC dihadiri oleh 17 pemimpin negara-negara utama di kawasan Asia Pasifik termasuk Amerika Serikat dan Jepang.

Kepemimpinan Indonesia di GNB yang berakhir pada tahun 1995 menjadi akhir kiprah politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru. Pada tahun 1996 Asia Tenggara mulai dilanda krisis ekonomi, termasuk Indonesia.


Kronologi Politik Luar Negeri Indonesia Era Orde Baru (1966–1998)

16 Maret 1966
Soebandrio yang menjabat Waperdam I, Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri diamankan oleh Jenderal Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Adam Malik ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri ad interim.

20 Juni — 5 Juli 1966
Dalam pidatonya pada sidang MPRS, secara tersirat Soeharto menyatakan keinginannya untuk melepaskan diri dari citra lama negara Indonesia yang radikal dan revolusioner. Untuk mengatasi krisis ekonomi harus dibarengi dengan membangun sistem politik internal yang stabil dan politik eksternal yang damai.

28 September 1966
Indonesia resmi kembali bergabung dalam PBB. Ketua Sidang Umum PBB, Abdurachman Pazhwak, dari Pakistan menyatakan bahwa Menlu Indonesia, Adam Malik, yang hadir pada sidang umum itu, sebagai ketua resmi utusan Indonesia. Kembalinya Indonesia ke PBB sempat diwarnai kericuhan kecil oleh sejumlah orang yang memprotes kembalinya Indonesia.

12 Maret 1967
Setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan politik luar negeri (polugri), yakni membangun hubungan baik dengan pihak-pihak barat dan “good neighbourhood policy” melalui pembentukan ASEAN (Association South East Asia Nations).

8 Agustus 1967
ASEAN resmi terbentuk. Lima menteri luar negeri Adam Malik (Indonesia), Narciso R. Ramos (Filipina), Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Koman (Thailand), menandatangani Deklarasi Bangkok yang kemudian diberi nama Deklarasi ASEAN.

16 Agustus 1967
Dalam pidato kenegaraan Hari Kemerdekaan, Presiden Soeharto menegaskan kembali politik bebas aktif. Ia menyatakan meski komunisme dilarang di Indonesia, sama sekali tidak mengubah sikap bersahabat Indonesia kepada negara-negara bersistem komunis.

27 Juni 1968
Menyikapi pertikaian antara Malaysia dan Filipina dalam masalah Sabah, Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan akan mengusahakan membawa ke ASEAN. Indonesia tidak akan memihak salah satu negara dalam masalah tersebut.

22–25 September 1969
Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Rabat, Maroko berlangsung. Ini merupakan pertemuan pertama para pemimpin dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsa oleh Israel. Pada akhir konferensi, disepakati untuk membentuk Organisasi Konferensi Islam (Sekarang menjadi Organisasi Kerjasama Islam/OKI). Penandatanganan piagam OKI baru dilaksanakan pada tahun 1972. Indonesia menolak menandatangani karena berdasar UUD 1945, Indonesia bukan negara Islam.

17 Juli 1976
Timor Timur resmi masuk ke Indonesia. Proses integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia secara resmi disahkan melalui UU No. 7 Tahun 1976 tentang Penyatuan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I di Timor Timur. Proses integrasi Timor Timur didahului oleh rangkaian invasi militer rezim Orde Baru yang mendapat dukungan dari Pemerintah Amerika Serikat karena tidak ingin Timor Timur jatuh ke tangan komunis.

Menlu Mochtar Kusumaatmadja (16/7/1984) di Gedung Sekretariat ASEAN menyaksikan serah terima jabatan Sekjen ASEAN dari Chan Kai Yau dari Singapura (kanan) kepada Phan Wannametthee (kiri), dari Thailand.

9 November 1984
Menlu Mochtar Kusumaatmadja mengumumkan keinginan Indonesia untuk membuka kembali perdagangan langsung dengan RRC. Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR Mochtar menyampaikan, usul mengenai perlunya dibuka hubungan dagang langsung antara RI-RRC belum menjadi kebijaksanaan pemerintah RI. Usul itu semata-mata karena alasan ekonomi, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan hubungan diplomatik kedua negara.

3 Februari 1989
Presiden Soeharto membuat pernyataan Indonesia akan memulai normalisasi hubungan dengan RRC. Pernyataan tersebut disampaikan Menlu Ali Alatas dalam rapat keenam Panitia Khusus (Pansus) DPR mengenai Repelita V.

23 Februari 1989
Pemerintah Indonesia dan Republik Rakyat China sepakat mengambil langkah-langkah untuk normalisasi hubungan diplomatik yang telah dibekukan selama hampir 24 tahun. Keputusan tersebut diambil dalam pembicaraan 25 menit antara Presiden Soeharto dengan Menlu RRC Qian Qichen yang berada di Tokyo, Jepang, saat menghadiri pemakaman Kaisar Hirohito.

12 November 1991
Terjadi insiden di Santa Cruz, Dili, Timor Timur, mengakibatkan 19 orang tewas dan 91 luka-luka. Peristiwa ini menjadi pusat perhatian masyarakat dalam dan luar negeri. Setelah pemeriksaan oleh lembaga dewan kehormatan, Brigjen TNI Rudolf Samuel Warouw selaku Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) Timor Timur diberhentikan.

4 September 1991
Indonesia secara aklamasi terpilih sebagai ketua Gerakan Non-Blok periode 1992–1995, sekaligus Tuan Rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB kesepuluh pada 1992 dalam Konferensi Tingkat Menteri Gerakan Non-Blok (GNB) di Accra, Ghana. Indonesia difavoritkan untuk jabatan itu karena prestasi ekonominya dan kepemimpinan Presiden Soeharto, yang merupakan pemimpin senior terakhir negara pendiri GNB.

1–6 September 1992
Indonesia menjadi tuan rumah Gerakan Non-Blok. Secara umum Indonesia dinilai sukses menyelenggarakan GNB dan berhasil merumuskan arah baru GNB selepas berakhirnya perang dingin. Lenyapnya kompetisi ideologi blok-blok tidak berarti menghilangkan pentingnya meneruskan usaha menjaga kepentingan bersama negara-negara berkembang dan meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan.

20 Juni 1994
Dalam pidato jamuan santap malam resmi untuk menghormat Perdana Menteri Pertama Kamboja Pangeran Ranariddh dan Ny. Marie Ranariddh serta PM Kedua Kamboja Hun Sen di Istana Negara, Presiden Soeharto menegaskan sikap rakyat dan pemerintah Indonesia untuk terus membantu usaha rekonsiliasi, rekonstruksi dan rehabilitasi di Kamboja, secara bilateral maupun dalam kerja sama di berbagai forum internasional. Terselenggaranya Pemilu di bawah pengawasan PBB pada Mei 1993 menurut Presiden, merupakan bukti keinginan rakyat Kamboja untuk segera mengakhiri kesengsaraan yang dideritanya sebagai akibat perang panjang.

14–15 November 1994
Indonesia menjadi tuan rumah APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Istana Kepresidenan Bogor. Pertemuan APEC dihadiri oleh 17 pemimpin negara-negara utama di kawasan Asia Pasifik, termasuk negara adidaya Amerika Serikat dan raksasa ekonomi dunia Jepang. Pertemuan ini menghasilkan “Bogor Goals” (Deklarasi Bogor). Presiden AS Bill Clinton memuji peranan Presiden Soeharto di Asia-Pasifik dalam memperjuangkan tercapainya perdagangan bebas.

Presiden Soeharto dalam konferensi pers bersama para pemimpin ekonomi APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik) di Istana Bogor (15/11/1994), sekaligus mengakhiri pertemuan informal kedua APEC tersebut.

1996
Negara-negara di Asia Tenggara mulai dilanda krisis ekonomi dan moneter.

8 Juli 1997
Krisis ekonomi dan moneter di Indonesia ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Banyak perusahaan bangkrut dan jutaan orang kehilangan pekerjaan.

15 Januari 1998
Presiden Soeharto menandatangani Nota Kesepakatan (Letter of Intent) di depan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus. Penandatanganan ini merupakan upaya menyelamatkan perekonomian nasional dengan meminta bantuan IMF.

10 Maret 1998
Presiden Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia untuk ketujuh kalinya.

8–20 Mei 1998
Rangkaian peristiwa Mei 1998, mulai dari kerusuhan sosial hingga demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia.

21 Mei 1998
Presiden Soeharto mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie.

Referensi

Buku

  • Sabir, Mohamad. 1987. Politik Bebas Aktif. Jakarta: CV Haji Masagung.
  • Suryadinata, Leo, Subono, dan Nur Iman (tr.). 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.
  • Wuryandari, Ganewati (ed.). 2008. Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar – P2P LIPI.

Arsip Kompas

  • Politik L.N. bebas aktip utk kepentingan nasional. Kompas, 7 Juli 1966, hlm. 1.
  • Merah-Putih berkibar lagi di PBB. Kompas, 30 September 1966, hlm. 1.
  • Tadjuk rentjana: Politik jang bebas aktif. Kompas, 17 Agustus 1967, hlm. 2.
  • KTT Islam Mulai. Kompas, 23 September 1969, hlm. 1.
  • KTT Islam Berachir. Kompas, 26 September 1969, hlm. 1.
  • DPR Setujui Pengesahan RUU Penyatuan Timor Timur. Kompas, 16 Juli 1976, hlm.1.
  • Sejak 17 Juli 1976: Timor Timur Resmi Jadi Propinsi RI ke-27. Kompas, 19 Juli 1976, hlm. 1.
  • Normalisasi Hubungan RI-RRC: Risiko Keamanan Agar Turut Diperhitungkan. Kompas, 4 Februari 1989, hlm. 1.
  • RI Dan RRC Sepakat Untuk Ambil Alih Langkah Normalisasi. Kompas, 24 Februari 1989, hlm. 1.
  • ABRI Terpaksa Menembak sebagai Upaya Bela Diri. Kompas, 28 November 1991, hlm. 1.
  • Tragedi 12 November 1991 dan Brigjen TNI RS Warouw. Kompas, 26 Agustus 1998, hlm. 6.
  • Presiden Soeharto Buka KTT X GNB: Perlu Mekanisme Pendukung agar Keputusan Benar-benar Terlaksana. Kompas, 2 September 1992, hlm. 1.
  • KTT X GNB Jakarta Ditutup. Kompas, 7 September 1992, hlm. 1.
  • “Pesan Jakarta” : Semua Persoalan Global Perlukan Demokratisasi. Kompas, 7 September 1992, hlm. 1.
  • Clinton Memuji Peran Indonesia. Kompas, 15 November 1994, hlm.1.
  • Presiden Soeharto dan Sukses AELM Bogor. Kompas, 16 November 1994, hlm. 20.

Internet

Penulis
Inggra Parandaru

Editor
Susanti Agustina Simanjuntak