Presiden Abdurrahman Wahid dengan 78 anggota delegasi, hari Sabtu hingga Selasa (7-9 November 1999) mengadakan perjalanan keliling ASEAN ke Singapura, Malaysia, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Filipina, masing-masing setengah hari. Didampingi Menteri Luar Negeri Alwi Shihab,
Fakta Singkat
Lawatan Presiden RI ke Luar Negeri
- Lawatan internasional perdana presiden menggambarkan arah politik luar negeri dan prioritas diplomasi untuk lima tahun masa jabatan. Negara yang dikunjungi mencerminkan nilai strategisnya bagi Indonesia, baik dalam kerja sama ekonomi maupun diplomasi.
- Kepentingan domestik dan internasional tidak dapat dipandang hitam-putih dan harus dilakukan secara pararel.
- Gus Dur menghadapi tantangan besar, seperti konflik di Aceh, Ambon, dan Irian Jaya serta ekonomi yang tidak stabil. Lawatan perdana Gus Dur ke tujuh negara ASEAN pada 6-10 November 1999 bertujuan meningkatkan stabilitas politik dan ekonomi.
- Kunjungan Gus Dur ke Singapura, Malaysia, dan Thailand menghasilkan kepercayaan investor dan bantuan ekonomi, seperti hibah beras senilai 200 juta dolar dari Malaysia.
- Megawati melanjutkan tradisi dalam lawatan delapan hari ke sembilan negara ASEAN mulai 21 Agustus 2001.
- Lawatan Megawati bertujuan memulihkan citra Indonesia sebagai pemimpin ASEAN pasca-krisis ekonomi 1997.
- Presiden SBY baru melakukan lawatan luar negeri pada April 2005, setelah terpilih pada Oktober 2004. Lawatan perdana SBY dilakukan ke Australia, Selandia Baru, dan Timor Leste.
- Lawatan SBY menunjukkan eratnya hubungan bilateral dengan Australia. Hal ini juga tampak dari bantuan pasca-tsunami Aceh sebesar 1 juta dolar Australia dan dukungan Indonesia terhadap keikutsertaan Australia dalam KTT Asia Timur.
Sejarah Indonesia menunjukkan pentingnya perjalanan dinas internasional perdana oleh presiden terpilih. Lawatan acap menjadi gambaran bagi posisi politik dan pembangunan presiden lima tahun mendatang. Selain itu, rangkaian kunjungan ini juga menjadi salah satu eksposur internasional pertama presiden dalam merepresentasikan bangsa besar Indonesia.
Gambaran tersebut akan tampak dari daftar negara-negara yang dikunjungi. Hadirnya suatu negara dalam daftar lawatan perdana menyimbolkan pentingnya negara tersebut bagi Indonesia. Baik itu dalam konteks kerja sama pembangunan, perjanjian ekonomi, maupun hubungan diplomatik. Oleh karenanya, arah dan posisi pemerintahan ke depan juga akan tampak dari rangkaian lawatan perdana.
Pada masa awal pemerintahan Presiden B. J. Habibie (1998-1999) sendiri, tidak banyak lawatan kerja luar negeri yang dilakukan. Hal ini terlebih dikarenakan oleh situasi dalam negeri yang tengah panas dan fokus pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri pasca mundurnya Soeharto.
Maka, berdasarkan penelurusan arsip Harian Kompas, berikut adalah bunga rampai lawatan perdana presiden-presiden di Indonesia sejak era Reformasi. Catatan kunjungan demikian juga disertasi dengan sejarah kebijakan yang lantas terbangun dalam kerja sama dengan negara-negara yang dikunjungi.
Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Euforia demokrasi melatarbelakangi keterpilihan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Masyarakat bergelora atas hasil putusan MPR tersebut––meyakini bahwa keduanya, yang juga disebut sebagai dwitunggal, adalah pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia. Bagi masyarakat yang baru kembali pada jalur kebebasan dan demokrasi ini, Gus Dur dan Mega dilihat sebagai tokoh milik rakyat kecil.
Meski demikian, Indonesia juga tengah dihadapkan pada beragam tantangan. Pemerintahan Gus Dur harus mengambil langkah tegas terhadap Soeharto dan mengembalikan harta curiannya. Konflik di Aceh, Ambon, dan Irian Jaya masih begitu panas. Belum lagi peran militer yang kian tak terkontrol di bawah Wiranto dan ekonomi Indonesia yang tak kunjung stabil.
Dalam berbagai situasi tersebut, Gus Dur melihat bahwa lawatan luar negeri dapat membantu menstabilkan situasi nasional. Secara keamanan dan politik, kunjungan akan mendorong negara asing untuk tidak turut campur terhadap urusan dalam negeri.
Secara ekonomi, kunjungan akan membuka kerja-kerja sama ekonomi baru dan memantik investasi asing. “Jadi memang tugas saya dalam tahun pertama ini adalah, katakanlah keliling dunia,” kata Gus Dur pada akhir November 1999 (Kompas, 30/11/1999, Presiden Abdurrahman Wahid: Perjalanan ke Luar Negeri untuk Gairahkan Investasi).
Lawatan perdana yang dilakukan Gus Dur mencakup rangkaian ke tujuh negara ASEAN pada 6-10 November 1999. Pertama sekali dimulai dengan negara Singapura, dilanjutkan dengan Malaysia, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan terakhir Filipina.
Rencana awalnya, kunjungan tersebut akan berlangsung selama 10 hari dengan ditutup kunjungan ke Amerika Serikat dan Jepang. Namun, Gus Dur memutuskan untuk kembali dulu ke Indonesia selama satu hari dan melanjutkan lawatan pada 11 November.
Sedari awal, Ketua MPR Amien Rais menilai positif lawatan Gus Dur ke negara-negara ASEAN, apalagi menempatkannya sebagai rangkaian pertama. Amien mendukung pergeseran dalam politik luar negeri Indonesia, dimana hubungan erat akan lebih terjalin dengan negara-negara Asia daripada Amerika Serikat dan Eropa (Kompas, 2/11/1999, Amien Dukung Politik LN Gus Dur).
Amien menilai langkah tersebut tepat untuk menantang hegemoni kekuatan-kekuatan raksasa Barat di dunia internasional. Kolaborasi demikian dinilainya cukup untuk melindungi kepentingan Asia di tingkat global––meski kemudian, dugaan Amien tersebut ditentang oleh Menteri Luar Negeri Alwi Shihab (Kompas, 3/11/1999, Gus Dur akan Bertemu Clinton).
KOMPAS/FITRISIA MARTISASI
Menteri Luar Negeri Alwi Shihab dan Menteri Luar Negeri Cina Tang Jiaxuan pada hari Senin (8/5) menandatangani dua dokumen penting menyangkut kerja sama Indonesia-Cina. Kedua dokumen itu merupakan penerjemahan dari kesepakatan yang dicapai kedua negara menyusul kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid ke Cina awal Desember 1999.
Menurut pemberitaan Kompas, kunjungan Gus Dur ke tujuh negara ASEAN berhasil mengamankan kepercayaan investor dan pemerintahan negara tetangga. Di Singapura, Gus Dur tidak hanya bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Goh Chok Tong dan Presiden Singapura SR Nathan. Ia juga menemui mantan PM Lee Kuan Yew untuk memintanya menjadi penasihat ekonomi Indonesia dan menemui 500 pengusaha Singapura untuk meyakinkan kebijakan soal arah kebijakan nasional yang kondusif.
Hal serupa turut dilakukan di negara-negara selanjutnya. Lawatan dilakukan tidak hanya untuk berjabat tangan dengan tokoh politik, namun juga membuka keyakinan diplomasi dan peluang-peluang ekonomi. Misalnya, Gus Dur berhasil menarik pemberian bantuan beras sebesar 200 juta dollar dari Malaysia dan meminta peningkatan modal di sektor perikanan oleh Thailand.
Barulah, pada 11 November Gus Dur melanjutkan lawatan internasionalnya ke AS. Sejatinya, lawatan ini berlangsung informal. Tujuan utama Gus Dur ke AS adalah mendapat perawatan mata di Salt Lake City. Gus Dur sendiri awalnya tidak yakin dapat menemui Presiden AS Bill Clinton karena begitu mendadak.
Analisis Kompas (13/11/1999, Apa yang Kiranya harus Dibicarakan dalam Pertemuan Gus Dur-Clinton) menilai pertemuan dengan Bill Clinton tersebut sangat penting. Bagaimanapun juga, AS masih memegang status sebagai negara adikuasa. Perannya tidak hanya tampak secara ekonomi, tapi lebih besar lagi pada pengaruh politik dan demokrasi. Jaminan demokrasitisasi dalam negeri menjadi salah satu syarat penting AS dalam menetapkan bantuan permodalan.
Pertemuan dilangsungkan di Ruang Oval, Gedung Putih pada 12 November. Demokrasi menjadi perhatian utama dari Clinton. Ia memuji demokratisasi di Indonesia dan berkomitmen akan terus mendukung keragaman yang ada. Di AS, Gus Dur juga sempat dilobi untuk menyelamatkan kelangsungan proyek PLTU Paiton I di Probolinggo, Jawa Timur.
Pada 14 November, Gus Dur melanjutkan lawatannya ke Jepang. Mewarnai lawatan tersebut, Indonesia memiliki hutang yang besar dengan Jepang. Sebelum kunjungan, pemerintah beberapa kali mengajukan keringanan, hingga pemerintah Jepang mengancam untuk menolak memberikan hutang lagi kepada Indonesia. Jepang sendiri merupakan pemegang 10,2 persen dari GDP dunia.
Di Jepang, Gus Dur bertemu dengan PM Obuchi dan beberapa pejabat inti lainnya. Kesempatan ini digunakan untuk menjelaskan visi dan arah pemerintahannya, serta masalah-masalah mendesak yang dihadapi Indonesia dalam bidang ekonomi maupun politik. Apalagi, PM Obuchi kala itu tengah memiliki semangat besar atas penyatuan Asia melalui mata uang Yen.
Dengan demikian, kunjungan ini mampu memberikan pengertian dan kepercayaan akan Indonesia. Tatap muka personal Gus Dur menekankan relasi positif antara kepercayaan politik internasional sebagai kunci bagi kemajuan ekonomi (Kompas, 18/11/1999, Presiden Gus Dur Diharapkan Menimbang dan Mempertajam Priotitasnya).
Lawatan perdana ini menjadi awal dari banyak kunjungan lainnya. Setelah itu, Gus Dur turut mengunjungi negara-negara Arab dan juga Eropa. Kunjungan, dimaknai Gus Dur sebagai upaya kepentingan ekonomi dalam negeri. Mengatasi masalah ekonomi menjadi kunci untuk mengatasi masalah-masalah lain di Indonesia (Kompas, 27/11/1999, Prabowo Minta Saran Gus Dur untuk Pulang ke Indonesia).
Megawati Soekarno Putri (2001-2004)
Lengsernya Gus Dur dari tampuk kepresidenan lantas digantikan oleh Wakil Presiden Megawati. Pelantikan Megawati tidak lantas menunjukkan situasi yang lebih kondusif. Krisis ekonomi 1997 yang menerjang Indonesia masih tak kunjung membaik. Kompromi politik meredup, dengan di saat bersamaan militer masih saja terlibat dalam peran politik.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada Juli 2001 menemukan bahwa keterpilihan Megawati memberikan angin segar bagi masyarakat. Dari delapan kota besar yang disurvei, lebih dari setengah populasi responden di tujuh kota meyakini Presiden Megawati dapat mengatasi masalah bangsa yang ada.
Bahkan di Ibukota Jakarta, keyakinan tersebut mencapai 69,5 persen responden. Angka keyakinan terendah berada di Surabaya sebesar 46,4 persen. Naiknya Megawati, menghadirkan harapan baru. Ia dipercaya oleh pasar dan publik internasional untuk memperbaiki ekonomi nasional (Kompas, 24/7/2001, Jajak Pendapat “Kompas” Harapan Baru di Pundak Presiden).
Setelah menduduki jabatan kepresidenan pada 23 Juli 2001, Megawati memulai rangkaian lawatan perdananya hampir sebulan kemudian, pada 21 Agustus 2001. Rangkaian lawatan delapan harinya serupa dengan Gus Dur, dengan menomorsatukan kunjungan ke sembilan negara ASEAN.
Menurut Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda, rangkaian lawatan ini menunjukkan bahwa Megawati menempatkan ASEAN sebagai titik pijak politik luar negeri Indonesia. “Kunjungan ini sudah dilakukan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid sebelumnya dan Presiden Megawati hanya melanjutkan saja,” kata Menlu Hassan.
Dimulai di Filipina, Megawati bertemu dengan Presiden Gloria Macapagal Arroyo. Kesempatan ini digunakan untuk membahas perluasan hubungan ekonomi, terutama dalam sektor pertanian dan perikanan, dan berbagi program anti-kemiskinan. Megawati juga mendorong pembahasan tentang penyelundupan senjata gelap dari Filipina Selatan ke separatis Aceh dan Irian Jaya dan mendorong penyusunan solusinya (Kompas, 21/8/2001, Arroyo dan Megawati Bertemu Selasa Ini).
Dari Filipina, Megawati melanjutkan lawatannya ke Hanoi (Vietnam) dan menginap di Laos. Dari Laos, Presiden melanjutkan perjalanan dan bermalam di Kamboja, sebelum kemudian bertolak ke Myanmar dan menginap Thailand. Terakhir, Megawati akan mengunjungi Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia. Di masing-masing negara ini Presiden menginap.
Presiden Megawati Soekarnoputri melambaikan tangan kepada wartawan, sesaat sebelum masuk pesawat Garuda Indonesia di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin, 17 September 2001, untuk memenuhi undangan Presiden Amerika George W Bush.
Pola yang tampak dari kunjugan Megawati di tiap negara adalah pembahasan untuk meningkatkan hubungan bilateral kedua negara. Kehadirannya tidak banyak memperbicangkan tren regional atau internasional. Megawati juga merujuk pada baiknya hubungan negara-negara tersebut dengan Indonesia semasa pemerintahan ayah Megawati, almarhum Presiden Soekarno.
Di Vietnam dan Laos, Megawati bertemu dengan masing-masing pemimpin negara. Salah satu yang diangkat adalah upaya peningkatan kerja sama ekonomi yang pada tahun 2000 hanya mencapai 600 juta dollar dengan Vietnam (Kompas, 23/8/2001, Megawati Kunjungi Vietnam dan Laos).
Di Kamboja, urusan bilateral kedua negara dibahas langsung dengan Raja Kamboja Norodom Sihanouk. Para pejabat senior pun turut datang menyambut dan bertemu Megawati. Sementara dalam pertemuan di Myanmar, Megawati melakukan pembicaraan empat mata dengan masing-masing pemimpin negara, yakni PM Jenderal Senior Myanmar Than Shwe dan PM Thailand Thaksin Shinawatra.
Di Brunei, pertemuan dengan Sultan Hasanal Bolkiah digunakan untuk mendorong persetujuan peningkatan dan perlindungan penanaman modal. Hal ini bisa menjadi kerangka bagi kegiatan investasi investor Brunei di Indonesia. Megawati juga menekankan kehadiran 24.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) di Brunei agar memperoleh perlindungan tenaga kerja.
Dengan Singapura, dicapai kesepahaman berbagai agenda pembahasan lebih lanjut terhadap beragam isu dan hal sensitif untuk diselesaikan secara tertutup. “Dalam pertemuan bilateral, kedua pemimpin, Presiden dan PM Goh Chok Tong, masing-masing mengidentifikasi masalah antara lain soal asap, ekstradisi, dan penyelundupan,” kata Menlu Hassan (Kompas, 27/8/2001, Megawati dan Goh Chok Tong Bicarakan Masalah Sensitif).
Terakhir, di Malaysia, Megawati membahas relasi ekonomi dalam bidang energi, perlindungan TKI, dan isu perbatasan kedua negara. Selain itu, Megawati juga mengangkat kasus pengeboman di Atrium Senen, di mana tersangkanya merupakan warga negara Malaysia.
Kedua pemimpin sepakat secepatnya mengaktifkan kembali kerja sama kepolisian dan intelijen. “Yang paling diperlukan adalah pertukaran informasi, baik yang bersifat pencegahan maupun mengatasinya,” kata Menlu Hassan (Kompas, 28/8/2001, Megawati Bertemu Mahathir Masalah Terorisme Mendapat Perhatian).
KOMPAS/DANU KUSWORO
Presiden Megawati Soekarnoputri dan rombongan, Minggu (30/8/2001), tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, usai lawatannya ke Amerika Serikat dan Jepang. Tampak Wakil Presiden Hamzah Haz dan istri menyambut saat Presiden menuruni tangga pesawat. Kunjungan Presiden ke luar negeri selama dua minggu dinilai sukses. Para pengusaha yang bertemu Presiden di Amerika maupun di Jepang berjanji akan kembali ke Indonesia untuk menanamkan modalnya. Semua pengusaha yang bertemu Presiden, di New York, Washington DC, Houston, maupun Tokyo, Jepang, menyambut baik pemerintah baru dan berjanji segera datang kembali ke Indonesia.
Sama seperti era Gus Dur, lawatan internasional Megawati mendapat banyak kritik pedas. Penangangan domestik dinilai lebih penting daripada panggung internasional. Meski demikian, lawatan internasional tidak dapat dipandang hitam-putih.
Padahal, kepentingan domestik dan internasional harus dituntaskan secara pararel tanpa menunggu satu per satu masalah beres. Dengan kunjungan ini, Megawati meneruskan tradisi ASEAN agar setiap pemimpin baru melakukan lawatan untuk memperkenalkan diri (Kompas, 22/8/2001, Tajuk Rencana: Suara Pro dan Kontra Mengiringi Lawatan Presiden ke Luar Negeri).
Lawatan Megawati mengelilingi negara ASEAN sangat penting untuk memulihkan posisi kepemimpinan Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Sejak krisis moneter tahun 1997, kepercayaan diri Indonesia merosot tajam dan posisi “tetua” di ASEAN selama puluhan tahun diambil oleh Malaysia.
Kebijakan internasional belakangan juga dinilai berbagai pihak tidak tepat. Di zaman BJ Habibie, Timor Timur lepas dari Indonesia tanpa terlebih dahulu konsultasi dengan MPR/DPR. Semasa Gus Dur, kunjungan ke banyak negara juga dianggap disorientasi dan tanpa arah jelas (Kompas, 23/8/2001, Agenda Politik Luar Negeri Indonesia: Memulihkan Citra Anak Hilang).
Lawatan ini juga penting untuk memulihkan kesalahpahaman ketika Gus Dur melontarkan gagasan Forum Pasifik Barat pada November 2000. Tradisi kunjungan menunjukkan arah kebijakan Megawati yang berorientasi pada kerja sama dan solidaritas regional.
Setelah melakukan kunjungan ke sembilan negara ASEAN selama tujuh hari, Megawati dan rombongan tiba kembali di Tanah Air pada 28 Agustus 2001. Kunjungan berikutnya, selama 17-28 September, Megawati akan meresmikan masjid di Bosnia, ke AS untuk menghadiri Sidang Umum PBB dan menemui Presiden George W Bush, serta ke Jepang untuk menemui PM Koizumi dan para pejabat Jepang lainnya. Pola kunjungan ini mirip dengan yang dilakukan oleh Gus Dur.
Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014)
Berbeda dengan Gus Dur dan Megawati, kunjungan luar negeri tidak segera dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada awal menjadi presiden. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan pemerintahan yang anti-korupsi berikut “efek kejut” segera setelah ia menjabat pada Oktober 2004. Upaya memenuhi janji politik tersebut diikuti beragam masalah genting yang terjadi di Indonesia juga menuntut perhatian besar pemerintah pusat.
Dalam rentang waktu lima bulan saja, terjadi bencana alam luar biasa di Aceh dan Nusa Tenggara Timur. Pemerintahan SBY-Jusuf Kalla juga dihadapkan pada perpecahan di DPR, tekanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kasus korupsi besar, dan kematian aktivis Munir. SBY juga menghadapi polemik masif pasca menaikkan harga bahan bakar minyak hingga rata-rata 29 persen dan harus mengatasi tekanan Malaysia yang mengakuisisi blok Ambalat.
Lawatan luar negeri baru terlaksana pada 3 April 2005. Presiden SBY melakukan lawatan internasional perdananya selama enam hari ke Australia, Selandia Baru, dan Timor Leste. Jadwal ini sebelumnya sempat kembali tertunda karena peristiwa gempa besar di Nias, Sumatera Utara.
Era SBY diwarnai mesranya hubungan dengan Australia––setelah sebelumnya cukup renggang karena ikut campurnya Australia dalam referendum Timor Timur. Kemesraan ini selaras dengan tren keterbukaan Australia pada negara-negara Asia. Australia jauh-jauh hari telah menyatakan keinginan untuk bergabung dalam KTT Asia Timur pada Desember 2005.
Hubungan baik Indonesia-Australia juga tampak dari kampanye SBY mendukung keikutsertaan Australia dalam forum KTT. SBY juga bermaksud untuk menyampaikan terima kasih kepada PM John Howard dan rakyatnya atas bantuan yang diberikan kepada korban tsunami di Aceh dan Sumatera Utara.
Kedekatan kedua negara juga tampak lewat bantuan pesawat dan logistik dari Australia untuk membantu Indonesia dalam penanganan pascabencana di Aceh, Desember 2004. Australia juga memberikan hibah satu juta dollar Australia untuk pembangunan kembali Aceh. Sebelumnya lagi, pasca Bom Bali tahun 2002 yang menewaskan banyak warga Australia, pemerintah mengajak Australia turut serta dalam penyelidikan kasus tersebut (Kompas, 30/3/2005, Presiden Menunda Kunjungan ke Australia).
Pertemuan bilateral Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dgn Menlu AS Condoleezza Rice di New York, Amerika Serikat (16/9/2005).
Kunjungan SBY didahului dengan kedatangan tujuh menteri Indonesia di Canberra, Ibukota Australia, pada 17 Maret 2005. Para menteri melakukan pertemuan dengan mitra-mitra dari Australia dalam Forum Menteri Australia-Indonesia (Australia-Indonesia Ministerial Forum/AIMF). Delegasi Indonesia dalam AIMF dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie.
Dalam kunjungan di Australia, SBY membahas upaya peningkatan hubungan bilateral, khususnya yang berkaitan dengan bantuan untuk korban bencana tsunami dan gempa bumi. Lawatan Presiden juga menegaskan dukungan terhadap keikutsertaan Australia dalam Forum Asia Timur lewat KTT.
Hubungan bilateral yang dimaksud juga termasuk dorongan menanggalkan travel warning dari Australia. Semenjak kasus Bom Bali, Departemen Luar Negeri Australia menjadi lebih antipati dengan masyarakat Indonesia. Travel warning telah memukul indistri pariwisata.
Dalam masa pemerintahan keduanya, PM John Howard telah berfokus kembali pada Asia. Sikap Howard bersamaan dengan perubahan kepemimpinan di Asia yang menyukai keterlibatan Australia––termasuk dengan terpilihnya Presiden SBY dan PM Malaysia Abdullah Badawi. Seperti Howard, kedua pemimpin itu tertarik akan keterlibatan Australia, terutama dalam perdagangan (Kompas, 1/4/2005, Hubungan Asia-Australia Dinilai Membaik).
Dalam kunjungan di Selandia Baru, SBY dan para menterinya dengan PM Helen Clark dan jajaran kabinetnya. Pembicaraan bilateral membahas peningkatan kerja sama dalam bidang perdagangan dan pencegahan kejahatan transnasional dan terorisme.
Di bidang perdagangan kedua negara juga sepakat untuk menindaklanjuti Komisi Bersama Indonesia dan Selandia Baru di bidang ekonomi dan perdagangan. Dalam daftar perdagangan Selandia Baru, Indonesia menempati nomor urut 16, dengan total nilai perdagangan mencapai 800 juta dollar AS.
Terjadi dua kali unjuk rasa selama agenda bilateral SBY. Unjuk rasa dilakukan oleh dua kelompok berbeda, yakni pendukung kemerdekaan Aceh dan Papua dan pendukung kesatuan Indonesia. Pelakunya adalah kelompok mahasiswa Indonesia dan warga Selandia Baru. PM Helen Clark sendiri meminta maaf akan peristiwa ini dan menegaskan dukungan terhadap kesatuan Indonesia (Kompas, 7/4/2005, Unjuk Rasa Warnai Kunjungan Presiden di Selandia Baru).
Terakhir di Timor Timur, SBY dan PM Mari Alkatiri sepakat untuk menuntaskan masalah garis perbatasan. Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian perbatasan dataran kedua negara. Kemajuan besar demikian masih menyisakan masalah mengenai perbatasan sungai di wilayah kedua negara.
Sebagai penutup rangkaian lawatan, pada 9 April SBY meletakkan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan Serodja, taman makam pahlawan bagi TNI yang gugur selama masa integrasi dulu. SBY juga meletakkan karangan bunga di pemakaman Santa Cruz––daerah insiden yang populer karena penembakan sejumlah warga Timtim oleh prajurit TNI (Kompas, 9/4/2005, RI-Timtim Tanda Tangani Perjanjian).
Tak sampai dua bulan dari rangkaian lawatan pertama ini, SBY kembali melakukan lawatan kedua. Selama 11 hari (24 Mei-11 Juni 2005), SBY mengunjungi AS, Vietnam, dan Jepang.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengantar Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton saat mengakhiri kunjungan di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/9/2012). Pertemuan bilateral tersebut diantarnya membahas tentang kemitraan politik dan ekonomi kedua negara. Selain itu Hillary menyambut positif peran Indonesia dalam konfilk Laut China Selatan dan Suriah.
Dalam masa pemerintahannya yang kedua, tidak butuh waktu lama untuk Presiden SBY melakukan lawatan luar negeri pertamanya. Setelah sempat ke Thailand untuk sekedar mengikuti KTT ASEAN, rangkaian kunjungan luar negeri dilakukan SBY selama lima hari (11-15 November 2009).
SBY memulainya dengan kunjungan kenegaraan di Malaysia. Lantas, SBY akan terbang ke Singapura untuk melakukan pertemuan bilateral. Selagi di Singapura, SBY juga akan menghadiri KTT Ekonomi APEC 2009. SBY kembali ke Tanah Air pada tanggal 16 November 2009. Ada pembatalan rencana pertemuan khusus dengan Presiden Barrack Obama di AS sebelum ke Singapura (Kompas, 12/11/2009, Presiden Minta Negeri Dijaga).
Di Malaysia, Juru Bicara Presiden Dino Patti Djalal mengatakan bahwa kunjungan SBY membahas persoalan TKI, batas wilayah, dan kerjasama ekonomi kedua negara. Persoalan batas wilayah masih menjadi isu panas. Sebelumnya, Malaysia tidak mengakui perairan Ambalat sebagai milik Indonesia. Persoalan TKI juga mewarnai pasang-surut hubungan kedua negara dengan banyaknya kekerasan yang dialami TKI informal dan persoalan TKI ilegal.
Di Singapura, terbangung kesepakatan untuk memperkuat hubungan kedua negara dan mendalami berbagai isu strategis yang memengaruhi hubungan jangka panjang. Pertemuan membahas soal pemberantasan terorisme, pengelolaan masalah lingkungan, penyakit menular, serta kerja sama ekonomi dan pertahanan.
Diselenggarakannya KTT APEC juga memungkinkan SBY melakukan pertemuan dengan kepala-kepala negara lain tanpa harus melakukan kunjungan kenegaraan khusus. Pertemuan dilakukan dalam sela-sela rangkaian kegiatan.
Misalnya saja, pertemuan antara Presiden SBY dengan Presiden Republik Rakyat China Hu Jintao. Perbincangan keduanya menghasilkan kesepakatan untuk memperkuat kemitraan strategis kedua negara. Hasil dari pertemuan pada 13 November tersebut akan ditindaklanjuti dengan perumusan rencana aksi dari kemitraan strategis (Kompas, 14/11/2009, Bilateral: Indonesia-China Perkuat Kemitraan).
Bunga Rampai Pertemuan Tiga Presiden
Lawatan perdana presiden mencerminkan arah kebijakan internasional dan prioritas pembangunan mereka. Presiden Gus Dur menegaskan orientasi ASEAN dengan fokus pada stabilitas regional dan ekonomi. Presiden Megawati melanjutkan tradisi ASEAN sembari memperkuat kerja sama bilateral.
Masa pemerintahan pertama Presiden SBY, berbeda dengan kedua presiden sebelumnya, memprioritaskan hubungan Indonesia dengan negara-negara Pasifik. Lawatannya menandakan pulihnya hubungan baik dengan Australia. Baru pada pemerintahan keduanya, negara ASEAN masuk ke dalam daftar kunjungan perdana.
Pilihan negara tujuan lawatan perdana ini tidak hanya mencerminkan arah kebijakan luar negeri masing-masing presiden, tetapi juga komitmen mereka dalam membangun posisi Indonesia di pentas dunia. Selain itu, tampak bahwa masing-masing presiden menempatkan AS dalam peran besar bagi Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Artikel Terkait
Referensi
- Kompas. (1999, November 30). Presiden Abdurrahman Wahid: Perjalanan ke Luar Negeri untuk Gairahkan Investasi. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
- Kompas. (1999, November 2). Amien Dukung Politik LN Gus Dur. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 7.
- Kompas. (1999, November 3). Gus Dur akan Bertemu Clinton . Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (1999, November 7). Gus Dur Minta Lee Kuan Yew Jadi Penasihat Ekonomi RI. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (1999, November 8). Gus Dur tidak Bertemu Aung San Suu Kyi. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (1999, November 9). Presiden KH Abdurrahman Wahid: Aceh takkan Lepas dari RI. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (1999, November 10). Foto: Kembali ke Tanah Air . Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (1999, November 13). Apa yang Kiranya harus Dibicarakan dalam Pertemuan Gus Dur-Clinton. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 4.
- Kompas. (1999, November 16). Jepang dan Masalah Bersama Asia: Menyongsong Lawatan Presiden ke Negeri Matahari Terbit. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 3.
- Kompas. (1999, November 27). Prabowo Minta Saran Gus Dur untuk Pulang ke Indonesia. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 6.
- Kompas. (2001, Juli 24). Jajak Pendapat “Kompas” Harapan Baru di Pundak Presiden. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 8.
- Kompas. (2001, Agustus 21). Arroyo dan Megawati Bertemu Selasa Ini. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.
- Kompas. (2001, Agustus 22). Tajuk Rencana: Suara Pro dan Kontra Mengiringi Lawatan Presiden ke Luar Negeri. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 4.
- Kompas. (2001, Agustus 23). Megawati Kunjungi Vietnam dan Laos . Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (2001, Agustus 23). Agenda Politik Luar Negeri Indonesia: Memulihkan Citra Anak Hilang. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 32.
- Kompas. (2001, Agustus 24). Kunjungan Megawati Banyak Merujuk pada Figur Soekarno. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 3.
- Kompas. (2001, Agustus 27). Megawati dan Goh Chok Tong Bicarakan Masalah Sensitif . Jakarta: Harian Kompas. Hlm 11.
- Kompas. (2001, Agustus 28). Megawati Bertemu Mahathir Masalah Terorisme Mendapat Perhatian. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (2001, Agustus 29). Presiden Tiba di Tanah Air *Ke AS Pertengahan September . Jakarta: Harian Kompas. Hlm 11.
- Kompas. (2005, April 7). Unjuk Rasa Warnai Kunjungan Presiden di Selandia Baru. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (2005, April 9). RI-Timtim Tanda Tangani Perjanjian . Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (2005, April 1). Hubungan Asia-Australia Dinilai Membaik. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 3.
- Kompas. (2005, Maret 30). Presiden Menunda Kunjungan ke Australia. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.
- Kompas. (2009, November 14). Bilateral: Indonesia-China Perkuat Kemitraan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 9.
- Kompas. (2009, November 12). Presiden Minta Negeri Dijaga. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
- Bojang, A. S. 2018. “The Study of Foreign Policy in International Relations”. Journal of Political Sciences & Public Affairs 06.
- Haryanto, A. 2014. “Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Perspektif Teori Peran”. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi Volume IV No.II, 17-27.
- Indrawati, & Nugroho, A. Y. 2019. “Penerapan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia Melalui Diplomasi Maritim”. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (International Relations Journal) 10, 14-26.
- Mohsin, A. (2019). “Politik Luar Negeri Republik Indonesia Masa Lampau, Kini, dan Masa Depan: Suatu Tinjuan dan Saran Kedepan”. Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol. 41, No.62, 7225-7244.
- Suryani, W. C. (2019, Januari 8). 7 Januari 1965: Soekarno Mengeluarkan Indonesia dari Ketidaktegasan PBB.
- Wisnumurti, N. 1998. “Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia”. Jurnal Ketahanan Nasional Volume 3 Nomor 1, 75-92.
- Ika. (2018, September 7). Politik Bebas Aktif Indonesia Masih Relevan. Diambil dari UGM.ac.id: https://www.ugm.ac.id/id/berita/16997-politik-bebas-aktif-indonesia-masih-relevan
- Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2019, Maret 27). Perkembangan Kementerian Luar Negeri. Diambil kembali dari Kemlu.go.id: https://kemlu.go.id/portal/id/read/26/tentang_kami/perkembangan-kementerian-luar-negeri
- Kemlu.go.id. (2019, Oktober 29). Penyampaian Prioritas Politik Luar Negeri Republik Indonesia 2019-2024.