Paparan Topik | ASEAN

Cikal Bakal ASEAN: ASA dan Maphilindo

ASA dan Maphilindo adalah dua organisasi yang beranggotakan negara-negara di Asia Tenggara yang didirikan sebelum ASEAN. Walaupun kemudian bubar karena konflik antaranggota, keduanya telah menanamkan benih-benih pembentukan ASEAN.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Tiga hari menjelang hari jadi ASEAN yang ke-X , KTT ASEAN ditutup pada Jumat 5 Agustus 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia, setelah kelima kepala pemerintahan ASEAN akhirnya sepakat bahwa perlu dilakukan perubahan-perubahan dalam struktur organisasi ASEAN tanpa mengubah Deklarasi ASEAN. Foto memperlihatkan Presiden Soeharto dan Menlu Adam Malik bersama peserta dari negara sahabat.

Fakta Singkat

Beberapa Organisasi di Asia Tenggara Sebelum ASEAN

Southeast Asia Treaty Organization (SEATO)
Dibentuk: 8 September 1954
Dibubarkan: 30 Juni 1977
Anggota: Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, dan Thailand

Association of Southeast Asia (ASA)
Dibentuk: 31 Juli 1961
Dibubarkan: 29 Agustus 1967 (proyek ASA diberikan kepada ASEAN)
Anggota: Malaysia, Filipina, dan Thailand

Maphlindo (Malaysia, Filipina, Indonesia)
Dibentuk: Juli 1963
Dibubarkan: tak pernah dibubarkan.
Anggota: Malaysia, Filipina, dan Indonesia

Asia Pacific Council (Aspac)
Dibentuk: 1966
Dibubarkan: 1972
Anggota: Korea Selatan, Taiwan, Vietnam Selatan, Filipina, Thailand, Malaysia, Australia, Selandia Baru, dan Jepang.

Perang Dingin menempatkan negara-negara di Asia Tenggara dalam dilema. Di satu sisi, mereka kebanyakan merupakan negara yang baru saja merdeka dan menginginkan hidup berdampingan secara damai. Di sisi lain, mereka harus menentukan sikap di antara persaingan ideologi blok Barat dan Timur. Oleh karena itu, masuknya negara-negara Asia Tenggara dalam sebuah organisasi akan dianggap sebagai pilihan dukungan terhadap salah satu blok.

Jatuhnya Vietnam Utara ke tangan komunis pada tahun 1954 semakin memperuncing dilema di atas. Asia Tenggara lantas masuk dalam pusaran pertempuran ideologi Perang Dingin.

Pada 8 September 1954, berdiri organisasi di bidang militer dan keamanan kawasan, Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) di Manila, Filipina, yang diinisiasi oleh Amerika Serikat. Dua negara di Asia Tenggara bergabung dengan SEATO, yaitu Thailand dan Filipina. Anggota SEATO yang lain adalah Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, dan Pakistan.

Di bidang ekonomi, pada tahun 1966 berdiri Asia Pacific Council (ASPAC) di Seoul, Korea Selatan. Tujuan pendirian ASPAC adalah mengembangkan perekonomian terutama di negara-negara maju. Negara di Asia Tenggara yang masuk dalam keanggotaan ASPAC adalah Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam Selatan. Anggota ASPAC yang lain adalah Korea Selatan, Taiwan, Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Selain itu, Indonesia, Laos, dan Kamboja memilih untuk menjadi negara pengamat.

Selain dua organisasi tersebut, tercatat juga beberapa organisasi dan lembaga yang berdiri pada periode 1945 – 1965 yang melibatkan negara-negara di Asia Tenggara, seperti United Nations Economic Commission for Asia and the Far East (ECAFE) pada tahun 1947, Association of Southeast Asia (ASA) pada 1961, Asian Productivity Organization (APO) pada tahun 1961, Maphilindo pada tahun 1963, serta the Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) pada tahun 1965.

Pada tahun 1966, muncul beberapa organisasi dan lembaga, seperti Asian Development Bank (ADB), the Asian Institute for Economic Development Council (AIDC), the Southeast Asian Central Bank Group (SEACEN), dan the Ministerial Conference for the Economic Development of Southeast Asia (MCEDSEA). Pada tahun 1967, berdiri Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).

Dari berbagai organisasi dan lembaga di atas, ASA, Maphilindo, dan ASEAN lebih mewakili aspirasi semangat kerja sama regional di Asia Tenggara karena hanya beranggotakan negara-negara di Asia Tenggara.

ASA

ASA didirikan pada 31 Juli 1961 dengan prakarsa Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Rahman. Ide tersebut kemudian disetujui oleh Filipina dan Thailand yang kemudian bergabung sebagai anggota. Persetujuan tersebut dilakukan di Bangkok, Thailand pada 31 Juli 1961 yang ditandatangani oleh Tun Abdul Rahman dari Malaysia, Thanat Khoman dari Thailand, dan Felixberto M. Serrano dari Fipilina.

Organisasi ini memiliki struktur sebagai berikut. Pertama, pertemuan tahunan antarmenteri luar negeri yang diadakan secara bergiliran di tiap negara anggota. Kedua, pertemuan tahunan Joint Working Party yang diadakan satu bulan sebelum pertemuan antarmenteri luar negeri. Ketiga, sebuah Standing Commitee di bawah kepemimpinan menteri luar negeri tuan rumah dengan anggota duta besar tiap negara anggota untuk mempersiapkan kegiatan asosisiasi selama pertemuan menteri luar negeri. Keempat, sejumlah komite khusus dan pejabat khusus baik ad hoc maupun permanen. Kelima, kantor sekretariat nasional di tiap negara anggota untuk mewadahi pekerjaan asosiasi atas nama tiap negara.

Pada awal pembentukannya, ASA lebih banyak fokus pada kerja sama di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan sains. Selain itu, ASA juga dibentuk untuk mempromosikan pentingnya konsultasi regional dan stabilitas kawasan. Namun, pada pertemuan menteri luar negeri negara-negara anggota ASA pada 1963 muncul wacana untuk melawan pengaruh komunisme di Asia Tenggara. Ide tersebut muncul dari Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Rahman karena melihat pengaruh komunisme yang berkembang di Vietnam Utara dapat menyebar ke negara-negara tetangga.

ASA tidak hanya direncanakan untuk memperkuat kerja sama perdagangan negara anggotanya. Dalam perkembangannya kemudian, pada tahun 1966, ASA mulai menjajaki kerja sama di bidang pelayaran dan penerbangan demi memajukan liberalisasi perdagangan di Asia Tenggara.

Sejalan dengan pembentukannya untuk menjalin kerja sama secara luas, ASA mengundang negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara untuk bergabung. Hal ini dilakukan oleh Tun Abdul Rahman untuk membangun perekonomian negara-negara yang baru saja merdeka.

Namun, ajakan untuk bergabung ke dalam ASA ditolak oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya. Presiden Soekarno bahkan menuduh ASA didukung oleh negara-negara Blok Barat dan sebagai antek SEATO. Tujuan Tun Abdul Rahman yang ingin menekan pengaruh komunis tidak disetujui oleh Indonesia dan Vietnam Utara.

R.B. Sugiantoro dalam tulisannya di Kompas pada 20 Februari 1976 menuliskan, Presiden Soekarno mengatakan bahwa organisasi baru hanya menimbulkan keraguan. Soekarno juga berpendapat bahwa kerja sama antarnegara baiknya dilakukan secara bilateral dan apabila diluaskan dapat dibentuk dalam konteks Asia – Afrika.

Pernyataan Presiden Soekarno tersebut tidak dapat dilepaskan dari rencana Konferensi Asia Afrika II tahun 1965 di Aljazair untuk semakin mempererat kerja sama di antara negara-negara Dunia Ketiga. Namun, sayangnya rencana Konferensi Asia Afrika II ditunda karena masalah politik seperti yang ditulis dalam edisi perdana Kompas 28 Juni 1965.

Organisasi ASA kemudian tidak berkembang setelah muncul konflik pada tahun 1963 antara Filipina dan Malaysia mengenai wilayah Sabah (Kalimantan Utara) yang akan diklaim masuk dalam Federasi Malaysia. Konflik tersebut membuat hubungan diplomasi antara Malaysia dengan Filipina menjadi terputus. Bahkan kemudian merembet ke Indonesia yang juga tidak setuju dengan klain tersebut.

Karena konflik tersebut, beberapa rencana program ASA berhenti total. Selain itu, ASA gagal menjadi organisasi yang efektif karena kurangnya anggota. Masalah tersebut membuat ASA berhenti beroperasi meskipun resminya tidak bubar.

KOMPAS/PAT HENDRANTO
Penutupan sidang ASEAN di Flores Room, Hotel Borobudur, 9/05/1974, dihadiri oleh kepala perwakilan negara-negara sahabat. Dalam kesempatan itu, para peninjau dari Laos dan Khmer menyampaikan pernyataannya.

Maphilindo

Konflik Filipina-Malaysia tersebut kemudian memunculkan organisasi baru yang dicetuskan oleh Presiden Filipina Diosdado Macapagal yang berkeinginan untuk mempersatukan rumpun Melayu semacam Konfederasi Melayu Raya (Greater Malay Confederation). Organisasi tersebut muncul sebagai langkah untuk menyelesaikan konflik Filipina dengan Malaysia dan konflik Malaysia dengan Indonesia.

Pada bulan Agustus 1963, diadakan pertemuan tingkat tinggi di Manila, Filipina yang dihadiri perwakilan ketiga negara, yakni Soekarno, Tun Abdul Rahman, dan Diosdado Macapagal. Pertemuan ini menyetujui berdirinya organisasi regional yang kemudian dikenal dengan nama Maphilindo yang merupakan singkatan dari tiga negara Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Organisasi regional ini tidak memiliki bentuk institusional seperti ASA, tetapi lebih berupa forum konsultasi terkait persoalan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.

Pembentukan Maphilindo tidak dapat memberikan solusi atas penyelesaian konflik di antara ketiga negara tersebut. Ketika Federasi Malaysia diresmikan pada 16 September 1963 yang mencakup juga Sabah dan Sarawak, Indonesia semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Malaysia. Soekarno curiga, pembentukan federasi tersebut bertujuan untuk mengembangkan kolonialisme di Asia Tenggara.

Di sisi lain, Filipina sendiri sudah memutuskan hubungan diplamatik dengan Malaysia. Walaupun tidak pernah dibubarkan, Maphilindo menjadi lumpuh karena tiap negara anggota memiliki ketertarikan dan konflik sendiri-sendiri.

Pada tahun 1966, jejak kerja sama antara ketiga negara terekam dalam pemberitaan Kompas. Filipina mengusahakan untuk mempertemukan Indonesia dan Malaysia untuk menyelesaikan konflik mereka. Menteri Luar Negeri Filipina Narciso Ramos mengusahakan untuk mengadakan perundingan mencari jalan damai antara Indonesia dengan Malaysia. Usaha ini mengingatkan cita-cita Maphilindo yang dianggap sudah hampir mati karena konflik anggotanya.

IPPHOS
Indonesia dan Malaysia menandatangani persetujuan rujuk kembali, mengakhiri masa konfrontasi di Gedung Pancasila, Pejambon 11 Agustus 1966. Tampak Menlu/Wakil PM Malaysia Tun Abdul Razak tengah menyampaikan sambutannya seusai acara penandatanganan perjanjian persahabatan RI-Malaysia. Dari pihak Indonesia Menlu Adam Malik yang menandatanganinya, disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet Ampera/ Menteri Utama Bidang Hankam Jenderal Soeharto (tengah).

Usaha penyatuan Asia Tenggara

Pergantian kekuasaan di Indonesia dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto setelah Peristiwa 1965 mengubah peta politik di Asia Tenggara. Hubungan diplomatik Indonesia dengan dunia internasional kemudian diperbaiki kembali. Perbaikan hubungan diplomatik ini memberikan dampak besar bagi kerja sama antarnegara di Asia Tenggara.

Kompas mencatat, sejak bulan April 1966, muncul upaya memulihkan hubungan Indonesia – Malaysia dan keinginan Indonesia untuk kembali masuk ke PBB.

Perundingan Indonesia dengan Malaysia terealisasi pada 29 Mei sampai 1 Juni 1966 di Bangkok, Thailand. Pertemuan antara Adam Malik dengan Tun Abdul Razak ini menyetujui beberapa prinsip untuk memulihkan kembali hubungan persahabatan kedua negara. Persetujuan ini diikuti dengan pemulihan hubungan diplomatik Indonesia – Malaysia pada 11 Agustus 1966. Persetujuan untuk Menormalisasi Hubungan antara Malaysia dan Indonesia tersebut mengakhiri konfrontasi Indonesia – Malaysia yang berlangsung selama tiga tahun.

Tun Abdul Razak, Wakil Perdana Menteri Malaysia, melalui penandatanganan perdamaian ini menyatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara dapat menyelesaikan konfliknya sendiri. Hal ini menjadi sejarah baru terbentuknya kepercayaan di antara negara-negara Asia Tenggara yang sebelumnya banyak menaruh kecurigaan akibat perbedaan pandangan politik.

Kompas edisi 12 Agustus 1966 menerbitkan isi perjanjian normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia. Perjanjian ini menjadi titik balik hubungan kedua negara yang terajut kembali dengan pertukaran perwakilan diplomatik masing-masing negara.

Berakhirnya konfrontasi Indonesia dengan Malaysia tidak hanya menyelesaikan permasalahan di antara kedua negara. Peristiwa tersebut membuka pintu politik untuk bertetangga secara damai di antara negara-negara di Asia Tenggara seperti yang tertulis dalam Tajuk Rencana Kompas 25 Agustus 1966. Hal tersebut membuka kembali semangat kerja sama regional di Asia Tenggara.

Dari ASA-Maphilindo ke ASEAN

Perdamaian antara Indonesia dengan Malaysia membangkitkan kembali organisasi ASA yang sebelumnya mati suri akibat konflik politik pada awal tahun 1960-an. ASA kemudian merencanakan untuk meluaskan keanggotaannya. Tun Abdul Razak mengatakan bahwa ASA ingin terus mengembangkan kerja sama secara luas di kawasan Asia Tenggara dalam bidang ekonomi dan kebudayaan.

Dalam upaya memperluas keanggotaan, ASA merencanakan untuk mengundang Indonesia bergabung. Bahkan, Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Koman sempat berkunjung ke Indonesia dan menemui Adam Malik untuk membujuk Indonesia bergabung dengan ASA. Namun, hingga saat itu Indonesia belum bersedia masuk menjadi anggota ASA. Selain Indonesia, belum ada negara Asia Tenggara lain yang menyatakan ingin bergabung. Mereka menganggap, ASA lebih berpihak kepada Amerika Serikat.

Di sisi lain, Indonesia mulai lebih aktif memperbaiki hubungan dengan dunia Internasional. Menteri Luar Negeri Adam Malik melakukan kunjungan ke berbagai negara guna membangun kerja sama, termasuk ke negara-negara di Asia Tenggara. Kunjungan Adam Malik ke negara-negara di Asia Tenggara juga membawa misi mengenai kerja sama regional yang lebih luas daripada ASA. Gagasan menyatukan kawasan Asia Tenggara dalam satu payung organisasi kemudian menjadi landasan berdirinya ASEAN pada 8 Agustus 1967.

Berdirinya ASEAN tidak dapat dilepaskan dari pendirian ASA dan Maphilindo. ASA tak mampu merangkul semua negara-negara Asia Tenggara karena dianggap pro Barat. Sedangkan, Maphilindo mati suri akibat konflik politik anggota-anggotanya.

Bergabungnya lima negara di Asia Tenggara, yakni Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Indonesia ke dalam ASEAN menjadi bukti bahwa gagasan tentang kerja sama regional dapat menyatukan lebih banyak negara di Asia Tenggara dibandingkan dengan ASA.

Lahirnya ASEAN membuat program-program kerja yang telah dibuat oleh ASA dialihkan semua kepada organisasi baru ini. Selain itu, ASEAN juga mengadopsi struktur organisasi ASA. Dengan demikian, ASA kemudian dibubarkan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “KAA II Ditunda Empat Bulan Perundingan Pres. Sukarno, Nasser Dan Chou”. 28 Juni 1965, hal. 1.
  • “Maphilindo akan dibubarkan ?”. 17 Desember 1965, hal. 2.
  • “Ramos – Adam Malik”. 12 April 1966, hal. 1.
  • “Pernjataan pers: Adam Malik – Tun Razak”. 3 Juni 1966, hal. 1.
  • “Budjuk RI Masuk ASA”. 15 Juli 1966, hal. 1.
  • “Perluasan Keanggotaan ASA”. 4 Agustus 1966, hal. 3.
  • “Peristiwa Bersedjarah Diruangan Pantjasila Deparlu”. 12 Agustus 1966, hal. 1
  • “Persetudjuan Utk Normalisasi Hub. R.I.-Malaysia”. 12 Agustus 1966, hal. 1.
  • “RDV Tolak Usul ASA”. 24 Agustus 1966, hal. 1.
  • “Tadjuk Rentjana: Politik Bertetangga Baik”. 25 Agustus 1966, hal. 2.
  • “Negara2 ASA bersepakat dalam perdagangan”. 26 September 1966, hal. 2.
  • “Kerdja Sama Pelajaran & Penerbangan”. 8 Oktober 1966, hal. 2.
  • “Menlu Adam Malik di Tokio: RI Tidak Masuk Aspac”. 4 April 1967, hal. 1
  • “Adam Malik Keluar Negeri”. 22 Mei 1967, hal. 1.
  • “Kerdjasama Asia Tenggara”. 5 Agustus 1967, hal. 1.
  • “Projek2 ASA Dialihkan kpd ASEAN”. 30 Agustus 1967, hal. 1.
  • “Jejak-jejak Asean dan Latarbelakang Perkembangannya”. 20 Februari 1976, hal. 4.
Buku
  • Acharya, Amitav. 2013. The Making of Southeast Asia: International Relations of a Region. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
  • Broinowski, Alison (ed.). 1990. ASEAN into the 1990s. Hampshire dan London: Macmillan.
  • Emmers, Ralf. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and ARF. London dan New York: Routledge Curzon.
  • Jones, Lee. 2012. ASEAN, Sovereignty and Intervention in Southeast Asia. Hampshire: Palgrave Macmillan.
  • Jorgensen-Dahl, Arnfinn. 1982. Regional Organization and Order in South-East Asia. London: Palgrave Macmillan.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk (ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI Edisi Pemuthakiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Jurnal