Paparan Topik | Bahan Pokok

Kebijakan Perberasan: Dari Orde Lama Hingga Reformasi

Beras dianggap sebagai komoditas strategis dalam ekonomi Indonesia karena beras merupakan sumber makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia. Gangguan produksi dan distribusi bisa memicu masalah ekonomi, sosial, dan politik. Alhasil pemerintah selalu memfokuskan pada kebijakan pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri melalui peningkatan produksi dan stabilitas harga beras.

KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI

Suasana Gudang Bulog Cabang Pekalongan, Desa Munjungagung, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (23/3/2021). Sekitar 2.000 ton beras yang diimpor berasal dari Vietnam, Thailand, dan India pada tahun 2018 masih menumpuk di enam gudang milik Bulog Cabang Pekalongan, termasuk Gudang Bulog Munjungagung. Kondisi beras impor yang berusia hampir tiga tahun tersebut sudah mulai menguning, berdebu, dan bau apek.

Fakta Singkat

  • Kebijakan perberasan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.
  • Kebijakan pada masa orde lama memfokuskan pada peningkatan produksi dengan menerapkan sejumlah program, antara lain, Plan Kasimo (1947), Rencana Kesejahteraan Istimewa (1950-1960), Badan Padi Sentra (1958), dan Demas (1963-1965), Bimas (1965)
  • Pada masa Orde Baru kebijakan memfokuskan pada peningkatan produksi dengan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian. Program yang dikerjakan, antara lain, Bimas, Bimas Gotong Royong (1967), Bimas Nasional (1969), Inmas (1970), Insus (1979), dan Supra Insus (1988)
  • Bulog dibentuk untuk tugas utama stabilitas harga beras dengan membeli gabah petani dan melakukan impor (1967)
  • Di masa Reformasi, kebijakan beras memfokuskan pada ketahanan pangan dengan peningkatan produksi melalui intensifikasi pertanian, eksetensifikasi, dan pemanfaatan teknologi. Kemudian kebijakan stabilitas harga dengan meningkatkan peran Bulog, dan peningkatan kesejahteraan petani.
  • Peningkatan pangan dilakukan dengan Gema Palagung (2001), Revitalisasi pertanian (2007), Larangan alih fungsi sawah, food estate, dan optimalisasi lahan.
  • Kebijakan stabiltas harga gabah dan beras dengan mengatur harga dasar untuk menjaga ketahanan pangan melalui Instruksi Presiden tentang Kebijakan Perberasan.

Komoditas beras diproduksi oleh 18 juta rumah tangga petani dan melibatkan 200.000 usaha penggilingan padi yang 180.000 di antaranya berskala kecil. Bila dihitung secara kasar, hampir separuh penduduk Indonesia hidupnya terkait secara langsung atau tidak langsung dengan industri beras, mulai dari hulu seperti sarana produksi, budidaya, pengolahan, hingga di hilir, yakni perdagangan yang melibatkan jutaan orang.

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, kebijakan perberasan yang diambil Pemerintah lebih difokuskan pada peningkatan produksi dan swasembada beras, sementara pada masa Reformasi kebijakan lebih berfokus pada peningkatan produksi, stabilitas harga, dan peningkatan kesejahteraan petani.

Jika dilihat dari sejarah perberasan nasional, kebijakan pengelolaan beras nasional bisa dibagi dalam tiga periode, yakni zaman Orde Lama, zaman Orde Baru, dan era reformasi. Pada era reformasi, kebijakan perberasan pun bisa dibagi dalam lima pemerintahan, dari BJ Habibie hingga Joko Widodo.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Buruh beristirahat di atas tumpukan beras saat rehat siang di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Jumat (9/7/2021). Pemerintah menjamin ketersediaan stok pangan aman dan harganya terjangkau selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga 20 Juli 2021. Khususnya beras, produksi dan stok dalam negeri juga dinilai cukup sehingga tidak perlu impor.

.

Orde Lama

Di masa awal kemerdekaan, untuk meningkatkan produksi padi, Pemerintah menetapkan Plan Kasimo tahun 1947 yang merupakan rencana produksi pertanian selama 3 tahun (1948-1950) dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD). Plan Kasimo berisi anjuran untuk memperbanyak kebun bibit padi unggul dan pencegahan penyembelihan hewan pertanian, serta  menanami lahan-lahan kosong dengan tanaman pangan.

Plan Kasimo tidak terlaksana sebagaimana yang diharapkan, karena terjadinya agresi Belanda I dan II. Kebijakan ini kemudian digabung dengan Rencana Wicaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI) tahap I (1950-1955) dan Tahap II (1955-1960).

Untuk mewujudkan rencana ini dilaksanakan perbanyakan benih unggul, perbaikan dan perluasan pengairan, penggunakan pupuk fosfat dan nitrogen pada padi, pemberantasan  hama tanaman, pengendalian bahaya erosi, intensifikasi tanah kering, serta pendidikan masyarakat desa.

Kemudian dibentuk Badan Padi Sentra pada tahun 1958 untuk menjalankan program intensifikasi tanaman padi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan potensi lahan, daya, dan dana yang ada  secara optimal, serta memperhatikan kelestarian sumberdaya alam.

Seiring dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, RKI diganti dengan Rencana Pembangunan Semesta Berencana Tahap  I, yang mengubah Padi Sentra menjadi Gerakan Swasembada Beras (SSB) di bawah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM).

Namun program ini dinilai gagal karena tidak dapat mewujudkan  swasembada beras dalam waktu yang ditentukan. Kegagalan itu  disebabkan antara lain belum adanya terobosan teknologi serta  lemahnya pembiayaan dan koordinasi pelaksanaan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Buruh mengaduk beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/3/2021). Pemerintah memutuskan mengimpor 1 juta ton beras pada 2021 untuk menjaga stok beras pemerintah. Padahal per 4 Maret 2021, stok total beras yang dikelola oleh Bulog mencapai 870.421 ton. Sebanyak 842.651 ton di antaranya merupakan stok kewajiban pelayanan publik dan sisanya merupakan beras komersial.

Selama periode 1963-1965, Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan Demonstrasi Masal Swasembada Bahan Makanan (DEMAS-SSBM) yang diawali pada tahun 1963 dengan pilot proyek di Karawang yang mampu meningkatkan hasil panen padi dua kali  lipat. Proyek itu bekerja sama dengan Jawatan Pertanian Rakyat Karawang.

Adapun teknologi yang diterapkan adalah penggunaan benih unggul bermutu, pemupukan sesuai rekomendasi, pengendalian  hama dan penyakit, pembimbingan petani, dan penyuluhan intensif. Keberhasilan proyek ditindak lanjuti dengan program  DEMAS pada tahun 1965 dimana paket Panca Usaha Tani  dilaksanakan secara utuh dan petani diberi bantuan sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida.  Proyek ini kemudian berkembang menjadi menjadi Bimbingan Massal (BIMAS).

Meski demikian, program itu belum berhasil mewujudkan swasembada beras, bahkan awal tahun 1960-an terjadi krisis pangan sebagai imbas dari krisis politik. Saat itu, terjadi kenaikan harga bahan kebutuhan pokok sampai 500 persen. Khusus untuk beras kenaikannya mencapai 900 persen dari harga semula.

Di beberapa tempat terjadi antrean masyarakat untuk membeli beras yang sangat mahal. Untuk meredam harga pemerintahan Orde Lama melakukan kebijakan impor beras hingga 1 juta ton senilai hampir satu juta dollar AS.

Orde Baru

Di era Orde Baru, kebijakan perberasan fokus pada intensifikasi dan ekstensifikasi pertaniaan selain pada upaya menjaga stabilisai harga beras dengan dibentuk Badan Urusan Logistik (Bulog), lembaga pemerintah non departemen.

Pada tahun 1967,  Bimbingan Masal (BIMAS) yang dinilai sukses meningkatkan produksi padi kemudian dilembagakan dengan Keputusan Menteri Pertanian untuk lebih meningkatkan kinerja pelaksanaan intensifikasi pada beberapa sentra produksi padi.

Dalam perjalanannya, BIMAS dikembangkan menjadi BIMAS Gotong Royong yang melibatkan peran swasta nasional dan swasta asing  yang bertujuan mendukung BIMAS, yang cakupannya memerlukan pembiayaan yang cukup besar karena sebagian besar sarana produksi berupa pupuk kimia dan pestisida harus diimpor. Bimbingan Massal Gotong Royong (Bimas GR) itu tujuannya untuk meningkatkan produksi beras dengan memberi bantuan pupuk dan pestisida pada petani padi.

Bimbingan Massal Gotong Royong (Bimas GR) kemudian pada 1 Desember 1969 disempurnakan menjadi program Bimas Nasional dengan dibentuknya Badan Pengendali Bimas melalui Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1969.

Sejak 1970, tugas Bimas Nasional, selain melanjutkan program BIMAS  yakni memberikan bantuan kredit sarana produksi,  lembaga ini meluncurkan program Intensifikasi Masal (INMAS) yang memberikan kebebasan kepada petani untuk melakukan intensifikasi tanpa harus memanfaatkan kredit BIMAS, tetapi tetap dapat memanfaatkan kredit sesuai dengan kebutuhan masing masing.

Dengan makin meluasnya penerapan Bimas maka pada tahun 1979 sistem pengelolaannya dikembangkan menjadi bentuk kelompok yang disebut Intensifikasi Khusus (INSUS). Para petani dibagi dalam kelompok-kelompok tani sehingga memudahkan dalam pembinaan dan hubungan antar petani dalam bentuk gotong royong.

Dalam program INSUS terjadi perbaikan paket pemupukan yaitu tambahan penggunaan pupuk KCl dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Program tersebut dilakukan karena telah terjadinya peningkatan teknologi di  level petani dari pemanfaatan teknologi inovasi, kemudian dilanjutkan penerapan inovasi sosial berupa kerjasama kelompok tani.

Pada tahun 1988, INSUS dikembangkan lagi menjadi SUPRA INSUS dengan penerapan 10 jurus teknologi yang terdiri dari pola tanam tahunan secara bergilir, pengolahan tanah, benih unggul bermutu, bersertifikat,  pergiliran varietas, jarak tanam, pemupukan berimbang,  penggunaan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)/Pupuk Pelengkap Cair (PPC), pengendalian jasad pengganggu secara terpadu, tata-guna air di tingkat  usaha tani, dan penanganan pascapanen.

Program BIMAS, INMAS, INSUS, dan Supra Insus yang dijalankan Pemerintah Orde Baru sukses mendongkrak produksi padi secara nasional. Alhasil, sejak tahun 1984, swasembada beras berhasil dicapai oleh Indonesia dengan angka produksi  beras sebanyak 25,8 ton, sementara kebuhan nasional 25 juta ton.

Kesuksesan itu mendapatkan pengakuan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada 1985 berupa undangan bagi Indonesia yang diwakili Presiden Soeharto untuk menghadiri dan berpidato  dalam sidang FAO di markasnya di Roma, Italia pada November 1985.  Setahun kemudian yakni pada 21 Juli 1986, Presiden Soeharto menerima penghargaan FAO atas prestasi tersebut berupa medali emas.

Selain kebijakan peningkatan produksi, Pemerintah mendirikan Badan Urusan Logistik (Bulog) pada 1967, sebagai perkembangan dari Komando Logistik Nasional yang dibentuk pada 1966.  Lembaga itu diberi kewenangan pengelolaan bahan pokok terutama beras  dan menjalankan peran sebagai stabilisator harga beras.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Marzuki menata beras jenis medium yang dijual di tokonya di kawasan Depok, Jawa Barat, Sabtu (10/10/2015). Seperti diberitakan The Saigon Times, sebuah media di Vietnam, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Vietnam menyatakan pihaknya menang kontrak untuk memasok beras 1 juta ton ke Indonesia. Namun, Pemerintah masih belum mau angkat bicara terkait dengan impor beras dari Vietnam tersebut.

Di era Soeharto, peran Bulog sangat signifikan dalam meredam gejolak harga beras dengan kemampuan kepemilikan cadangan berasnya yang mencapai jutaan ton dalam gudang-gudang. Mekanisme droping beras ke pasar melalui program “Beras Bulog” efektif meredam gejala kenaikan harga kebutuhan pokok. Di era orde baru itu, harga beras relatif stabil dan jarang dijumpai gejolak harga.

Namun, bencana kekeringan yang melanda Indonesia tahun 1990-an mengakibatkan produksi padi menurun dan swasembada beras pun gagal alias tak tercapai. Untuk pertama kalinya pemerintah terpaksa melakukan impor beras sebanyak 600.000 ton dari tiga negara, yaitu Thailand, India, dan Cina tahun 1991.

Impor beras dilakukan sebagai pengganti produksi dalam negeri yang menurun akibat pengaruh musim kemarau, dan untuk memperkuat stok pangan nasional hingga musim panen tahun 1992. Sejak itu swasembada beras tak tercapai dan kebijakan impor beras dilakukan untuk memenuhi kebutuhan beras orang Indonesia.

Untuk meningkatkan produksi dan mengembalikan swasembada beras, Pemerintahan Presiden Soeharto mencanangkan pembukaan lahan sawah di lahan gambut dalam proyek lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah pada  tahun 1995 melalui keputusan Presiden (Keppres) No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah.

Proyek yang dikerjakan secara bertahap dari tahun 1996, berhasil mencetak sekitar 3 ribu hektar sawah. Namun proyek itu akhirnya dihentikan pada tahun 1999, seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru. Faktor kegagalan lainnya yakni karena lahan gambut tidak cocok untuk penanaman padi dan kurangnya pemahaman kondisi sosial budaya masyarakat setempat sehingga keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi.

Selain peningkatan produksi padi, kebijakan perberasan di masa Orde Baru juga fokus pada stabilitas harga dan menjaga pasokan beras dalam negeri dengan menerapkan harga dasar gabah dan beras dimulai pada tahun 1973. Awalnya kebijakan harga output ini terkait dengan kegiatan pembelian beras dalam negeri. Inpres mengenai hal ini terbit pertama kali pada tahun 1973, yaitu Inpres Nomor 2 Tahun 1973 tentang Pembelian Beras dalam Negeri untuk Tahun 1973/1974, terbit pada 14 Maret 1973.

Kebijakan ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya tanpa ada perubahan berarti, kecuali untuk tingkat harga pembelian, melalui penerbitan Inpres serupa dengan perubahan pada tingkat harga dan tahun pembelian. Perubahan tingkat harga pembelian dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan pendapatan riil petani padi karena indeks harga umum meningkat setiap tahun.

Perubahan kebijakan harga yang secara eksplisit menyebutkan harga pembelian dengan keluarnya Inpres No. 7/1979 tentang Perubahan atas Inpres No. 3/1979 mengenai Harga Pembelian Gabah dan Beras oleh Bulog, kemudian diubah dengan Inpres No. 22 Tahun 1979  dan diubah lagi dengan Inpres No. 15/1980 yang secara eksplisit menyebut “harga dasar” dalam judul Inpres tersebut, “Penetapan Harga Dasar Pembelian Gabah dan Beras oleh Bulog”.

Dalam perkembangannya, sejak tahun 1990, penghitungan harga dasar gabah  memerhatikan besaran inflasi tahun sebelumnya dan harga beras internasional. Pada periode tahun 1991-1997, harga dasar beras berada pada kisaran 95-113 persen dari harga beras paritas internasional.

Tahun 1998, Pemerintah Orde Baru menetapkan harga dasar gabah dan beras yang besarnya dinaikkan sampai empat kali dalam satu tahun akibat melonjaknya harga beras internasional. Inpres No. 7/1998 menetapkan gabah kering giling (GKG) sebesar Rp600/kg, berlaku mulai 29 Januari 1998. Dua bulan kemudian GKG dinaikkan menjadi Rp700/kg yang ditetapkan dengan Inpres No.13/1998.

Kemudian awal Pemerintahan baru Presiden B.J. Habibie merespons kenaikan harga beras internasional dengan menerbitkan Inpres No. 19/1998 tanggal 10 Juli 1998 yang menaikkan GKG menjadi Rp 1.000/kg. Pada 1 Desember 1998, melalui penerbitan Inpres No. 32/1998, HD gabah dan beras dinaikkan lagi, sekaligus mengintroduksi kebijakan diferensiasi HD gabah dan beras sesuai pembagian wilayah. Di Jawa, GKG 1.400 per kg, di luar Jawa Rp 1.500 per kg.

Era Reformasi

Pada masa reformasi, kebijakan pangan tidak sekedar untuk mencapai swasembada beras, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani padi dan menjaga stabilitas harga beras.

Terkait kebijakan produksi padi, Kementerian  Pertanian menetapkan “7 Agenda reformasi” yang diawali dengan kebijakan “GEMA PALAGUNG” (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung) untuk mencapai swasembada tahun 2001.

Gerakan yang dicanangkan masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati itu, berhasil membawa Indonesia kembali mencapai swasemada beras dengan produksi padi tahun 2001 mencapai 53 juta ton atau setara dengan 30 juta ton beras, sementara konsumsi beras dalam negeri per tahun sekitar 26 juta ton.

Saat swasembada itu terwujud, Bulog memiliki stok beras 1,7 juta ton sehingga harga beras relatif stabil. Meski telah mencapai swasembada beras, namun pemerintah tetap mengizinkan perusahaan swasta mengimpor beras kualitas tinggi dalam jumlah terbatas.

Di penghujung kepemimpinan Megawati, produksi gabah kering giling untuk 2004 mencapai 54 juta ton atau naik sekitar 1,9 juta ton dibandingkan produksi tahun lalu 2003 yang mencapai 52,1 juta ton. Angka produksi itu jika dikonversi dari GKG ke beras yakni 0,63 persen, mencapai 34 juta ton beras. Dibandingkan kebutuhan dalam negeri yang hanya 28 juta ton per tahun, produksi itu semestinya Indonesia tidak perlu impor lagi, bahkan dimungkinkan untuk mengekspor beras.

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  pemerintah mencanangkan revitalisasi pertanian. Untuk meningkatkan produksi beras nasional dilaksanakan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang lokasinya di 350 kabupaten/kota sentra produksi di 31 provinsi mulai tahun 2007.

Kegiatan yang dibiayai APBN ini difokuskan memberikan bantuan benih unggul bermutu, pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SL-PTT), Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) dan fasilitasi bantuan alat mesin pertanian.

Program itu berhasil meningkatkan produksi padi tahun 2007 dan 2008 sehingga Indonesia mampu surplus dan berswasembada beras kembali. Produksi padi tahun 2007 mencapai 57,1 juta ton dn tahun 2008 sebesar 60,3 juta ton.

Peningkatan produksi padi pada tahun 2007 dan 2008 tersebut dihasilkan melalui peningkatan produktivitas dan luas areal panen. Setahun kemudian, produksi padi kembali meningkat menjadi 64,4 juta ton atau setara beras 40 juta ton, sementara kebutuhan beras nasional sekitar 31 juta ton per tahun, sehingga Indonesia masih surplus beras pada periode itu.

Program lainnya yang digagas semasa pemerimtahan SBY yakni revitalisasi lahan dengan melanjutkan pembukaan sawah baru di lahan gambut (PLG) di Kalimantan Tengah yang sebelumnya  gagal di masa pemerintahan Orde Baru dan pembukaan lahan baru di luar jawa untuk meningkatkan produksi beras dan menjaga ketahanan pangan.

Program yang ditempuh adalah mengembangkan program Food Estate di luar jawa, program pemberdayaan lahan-lahan potensial di sejumlah daerah yang belum tergarap untuk dijadikan lahan produksi tanaman pangan dengan mengundang sejumlah investor untuk menggarap lahan pertanian yang ditanami bahan pangan.

Selain itu, SBY juga meminta para kepala daerah di seluruh Tanah Air agar tidak mudah menghilangkan lahan persawahan. Penghilangan berupa alih fungsi lahan pertanian untuk pembanguan perumahan dan gedung bertingkat, serta alih fungsi lainnya dinilai akan mengurangi produksi beras secara nasional.

Di era Presiden Jokowi, kebijakan pangan terutama beras tertuang dalam Nawacita mencapai swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional. Kebijakan itu mencakup tiga hal yakni pangan yang cukup untuk masyarakat, menurunkan angka kemiskinan dan mensejahterakan petani.

Kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan Kementerian Pertanian melalui optimalisasi lahan dan penambahan luas tanam, perbaikan infrastruktur dan penyediaan bantuan sarana usaha tani seperti benih,pupuk dan alat pertanian.

Penerapan dari program dan kebijakan tersebut berdampak pada peningkat produksi padi. Produksi padi 2014 sebanyak 70,85 juta ton, 2015 sebanyak 75,39 juta ton atau naik 6,64 persen dan 2016 sebanyak 79,14 atau naik 4,96 persen.

Kebijakan lainnya adalah pembangunan food estate atau lumbung pangan yang bisa meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Pengembangan food estate ini tak lagi menggunakan cara-cara manual, tetapi teknologi modern dan digital. Food estate itu sudah dikembangkan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Namun, pemerintah juga akan mengembangkan food estate tersebut di wilayah lainnya di luar Jawa.

Stabilitas harga

Kebijakan stabilitas harga dasar padi dan beras selalu menjadi perhatian Pemerintah di masa Reformasi.  Kebijakan perberasan yang terbilang konprehensif dituangkan dalam Inpres No.9/2001 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan yang ditandatangani pada 31 Desember 2001 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Dibandingkan dengan kebijakan perberasan yang dikeluarkan sebelumnya yang terfokus pada pengaturan harga dasar gabah dan harga pembelian gabah dan beras oleh Bulog, pada Inpres ini cakupan pengaturan meliputi agribisnis beras secara menyeluruh.

Kebijakan perberasan yang diatur dalam Inpers No. 9/ 2001 yaitu (1) memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas uasaha tani padi dan produksi beras nasional, (2) memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, (3 melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah, (4) menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen, (5) memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan.

Kemudian dikeluarkan Inpres No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Inpres ini mencakup penetapan harga dasar pembelian gabah kering giling petani oleh Bulog sebesar Rp 1.725 per kg dan penetapan harga pembelian beras oleh Bulog sebesar Rp 2.790 per kg.

Perkembangan Harga Beras, Harga Emas, dan Kurs Dollar AS 

Tahun Pemerintahan

Beras

Rp/Kg

Emas

Rp/gram

Kurs

Dollar AS

1960 Orde Lama 60,93 328,57 256,25
1961 Orde Lama 101,04 320,00 185,83
1962 Orde Lama 304,67 883,33 582,50
1963 Orde Lama 610,19 1.575,00 1.070,83
1964 Orde Lama 1.616,66 3.212,50 2.300,00
1965 Orde Lama 5.808,33 14.791,67 10.354,17
1966 Orde baru 47,81 97,08
1967 Orde baru 141,46 224,16 153,04
1968 Orde baru 549,48 529,58 365,42
1969 Orde baru 421,67 597,50 382,96
1970 Orde baru 46,40       485,00    382,00
1971 Orde baru 45,75       622,40    420,00
1972 Orde baru 82,01       876,17    420,00
1973 Orde baru 84,12    1.483,33    420,52
1974 Orde baru 90,76    2.302,50    423,22
1975 Orde baru 125,83    1.950,00    420,88
1976 Orde baru 123,31    1.842,50    421,00
1977 Orde baru 133,54    2.200,00    421,00
1978 Orde baru 140,32    4.200,00    633,88
1979 Orde baru 183,18    8.275,00    632,12
1980 Orde baru 213,42  11.940,00    633,70
1981 Orde baru 224,43    8.770,00    643,05
1982 Orde baru 253,62   9.700,00    691,94
1983 Orde baru 300,16 12.425,00    994,12
1984 Orde baru 321,32 11.262,50 1.075,87
1985 Orde baru 338,29 11.820,00 1.130,70
1986 Orde baru 365,52 21.110,00 1.655,40
1987 Orde baru 451,82 25.865,00 1.651,70
1988 Orde baru 522,50 23.481,25 1.729,38
1989 Orde baru 517,89 23.546,88 1.797,75
1990 Orde baru 539,44 23.250,00 1.901,00
1991 Orde baru 570,14 22.950,00 1.992,00
1992 Orde baru 623,04 22.425,00 2.062,00
1993 Orde baru 625,00 25.250,00 2.110,00
1994 Orde baru 809,00 25.600,00 2.200,00
1995 Orde baru 941,46 27.150,00 2.308,00
1996 Orde baru 1.031,17 27.850,00 2.383,00
1997 Orde baru 1.263,19 40.000,00 4.650,00
1998 BJ Habibie 2.551,82 75.000,00 8.025,00
1999 Gus Dur 3.095,19 60.000,00 7.100,00
2000 Gus Dur 2.777,65 70.000,00 9.595,00
2001 Megawati 2.850,63 80.000,00 10.400,00
2002 Megawati 3.389,14 85.000,00 10.325,00
2003 Megawati 3.268,44 100.000,00 8.465,00
2004 Megawati 3.316,74 100.000,00 9.290,00
2005 SBY 3.638,28 140.000,00 9.830,00
2006 SBY 4.783,63 165.000,00 9.020,00
2007 SBY 5.841,67 206.667,00 9.419,00
2008 SBY 5.838,09 250.000 10.950,00
2009 SBY 5.712 300.000 12.020
2010 SBY 7084 360.000 9.277
2011 SBY 7890 413.000 8.800
2012 SBY 8643 460.000 9.100
2013 SBY 8941 524.000 9.700
2014 SBY 9638 532.000 11.600
2015 Jokowi 10.915 550.000 12..975
2016 Jokowi 11.511 587.000 13.436
2017 Jokowi 11.535 590.000 13.548
2018 Jokowi 12.054 667.000 14.481
2019 Jokowi 12.091 762.000 13.901
2020 Jokowi 12.261 965.000 14.105
2021 Jokowi 12.094 927.000 14.350
Januari 2022 Jokowi 12.211 939.000 14.381

Sumber: Litbang Kompas/ERI, diolah dari BPS, Bank Indonesia dan Pemberitaan media

Selain itu, pemerintah kembali mengubah status Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum) yang berfungsi untuk menjaga harga pembelian beras, stok pangan nasional, melaksanakan program raskin, dan usaha komersial.

Kemudian di masa SBY, dikeluarkan Inpres No. 2/2005 dan No. 13/2005 dengan memperluas kebijakan beras, yaitu peningkatan ketahanan pangan.  kebijakan perberasan diperluas, tidak hanya memberi aturan untuk kepentingan produsen, tetapi juga diseimbangkan dengan pengaturan untuk kepentingan konsumen.

Dalam perkembangan selanjutnya, selain tiga sasaran di atas, stabilitas ekonomi nasional ditambahkan menjadi salah satu sasaran utama penerbitan Inpres No. 3/2007, yang berlaku mulai April 2007. Setahun kemudian, dalam Inpres No. 1/2008, sasaran stabilitas ekonomi nasional menjadi urutan pertama, diikuti peningkatan pendapatan petani, pencapaian ketahanan pangan, dan terakhir pengembangan ekonomi pedesaan.

Perubahan mendasar dalam kebijakan harga beras ditandai dengan diterbitkannya Inpres No. 5/2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrem, pada 2 Maret 2011.  Inpres itu memberi arahan cukup detail kepada 11 Menteri, Kepala Polri/Panglima TNI, tiga Kepala LPNK (Lembaga Pemerintah Non-Kementerian), serta para gubernur dan bupati se-Indonesia untuk mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing guna mengamankan produksi gabah dan beras serta antisipasi dan respons cepat menghadapi kondisi iklim ekstrem.

Kemudian keluar kebijakan perberasan  yang masih melanjutkan kebijakan tahun sebelumnya, yakni dengan diterbitkan Inpres No. 3/3012. Dalam impres itu disebutkan pencapaian stabilisasi ekonomi nasional dan stabilisasi harga beras melalui kebijakan pengadaan gabah dan beras serta penyaluran beras.

Inpres itu juga, secara ekplisit disebutkan dibolehkan impor beras untuk memenuhi kebutuhan stok dan cadangan beras pemerintah serta untuk menjaga stabilitas harga beras dalam negeri jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Menjelang berakhirnya musim kemarau, petani di Cemorokandang, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (30/10/2006), panen raya. Harga gabah di tingkat petani saat ini mencapai Rp 200.000 per kuintal. .

Di era Jokowi, Kementerian Perdagangan tidak mengeluarkan izin impor beras untuk kebutuhan umum. Impor beras umum, terakhir kali dikeluarkan pada 2018 lewat penugasan kepada Perum Bulog. Larangan impor beras umum itu dikeluarkan karena produksi beras nasional sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tahun 2018 misalnya, produksi beras mencpai 32 juta ton dan konsumsi beras nasional sebanyak 29 juta ton, sehingga ada surplus  sekitar 3 juta ton.

Meski demikian, pemerintah tetap memberikan izin impor beras untuk beras-beras khusus yang tidak diproduksi di dalam negeri untuk keperluan hotel, restoran, kafe, dan warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Importasi beras itu diizinkan pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 01/2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras.

Selain itu, kebijakan peningkatan kesejahteraan petani di era Jokowi berdampak berkurangnya jumlah rumah tangga petani miskin dari 14,75 persen pada Maret 2014 menjadi 14,13 persen Maret 2017 Peningkatan kesejahteraan petani sejak 2016 itu merupakan buah dari keberhasilan dalam meningkatkan produksi pangan secara luar biasa, khususnya padi dan jagung. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku

Profil Komoditas Beras, Terbitan Kementerian Perdagangan RI, 2014

Ironi negeri beras, Penulis Khudori Komalasari, Penerbit  Insist Press, Yogyakarta, 2008

Bunga rampai ekonomi beras, Penulis Mardianto, Sudi (ed.), Suryana, Achmad (ed.), LPEM-UI, Jakarta, 2001

Statistik Pertanian: Produksi Padi di Indonesia 1968/1973, BPS, Jakarta, 1974

Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional, LItbang Kementerian Pertanian, Jakarta

Dinamika Kebijakan Harga Gabah dan Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Litbang Kementerian Pertanian, Jakarta

Arsip Kompas
  • “Rice Estate” dan Peningkatan Produksi Beras, KOMPAS, 17 Sep 1973 Halaman: 004
  • Produksi pangan 20 juta ton setara beras memecahkan rekor, KOMPAS, 31 Dec 1980 Halaman: 004
  • Kekeringan Tidak Membuat Indonesia Mengimpor Beras, KOMPAS, 07 Aug 1991 Halaman: 001
  • Pulau Jawa Basis Produksi Pangan?, KOMPAS, 07 Jul 1997 Halaman: 004
  • Impor Beras Akibat Kekeliruan Kebijakan, KOMPAS, 09 Jun 1998 Halaman: 003
  • Bulog dan Peran Stabilisasi Pangan, KOMPAS, 27 Aug 1998 Halaman: 001
  • Impor Beras: Terbesar dalam Sejarah, KOMPAS, 08 Nov 1999 Halaman: 019
  • Tidak Ada Pilihan, Harus Swasembada Pangan, KOMPAS, 17 Jan 2004 Halaman: 039
  • Beras yang Tak Pernah Tuntas, KOMPAS, 17 Jan 2004 Halaman: 044
  • Nenek Moyang Kita Petani Padi, KOMPAS, 20 Apr 2006 Halaman: 037
  • Pertanian: Setelah Swasembada Beras, Lalu Apa Lagi?, KOMPAS, 16 Dec 2008 Halaman: 021