Paparan Topik | Hari Tani

Ketahanan Pangan: Sejarah, Perkembangan Konsep, dan Ukuran

Ketahanan pangan menyangkut dimensi ketersediaan, akses, pemanfaatan, serta stabilitas pangan. Sejarah ketahanan pangan merupakan sejarah perubahan konsep, program, serta ukuran yang mengikutinya.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Menteri BUMN Erick Thohir (tengah), Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin (kanan), Dirut Bulog Budi Waseso (kedua kanan), Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Triwahyudi Saleh (kedua kiri) dan Direktur Komersial Bulog Mansur (kiri) meninjau gudang Bulog, di Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (4/3/2020). Menteri BUMN Erick Thohir memastikan stok beras Bulog sebanyak 1,65 juta ton siap dan cukup untuk memenuhi kebutuhan menjelang Lebaran dan antisipasi kepanikan sebagai dampak virus korona.

Fakta Singkat

Ketahanan Pangan

Dimensi

  • ketersediaan
  • akses
  • pemanfaatan
  • stablitas

Sejarah

  • 1930-1945: kekurangan pangan dan peningkatan produksi pangan dunia
  • 1945-1970: kemunculan FAO, surplus pangan, bantuan pangan
  • 1970-1990: kesadaran pentingnya ketahanan pangan dunia
  • 1990-sekarang: masa keemasan ketahanan pangan dunia, muncul konsep kedaulatan pangan

Kebijakan pangan di Indonesia

  • ketahanan pangan disamakan dengan ketersediaan pangan
  • fokus pada swasembada pangan (beras)
  • kedaulatan pangan dan ketahanan pangan

Beberapa ukuran

  • Average Household Food Security Index (AHFSI)
  • Global Food Security Index (GFSI)
  • Global Hunger Index (GHI)
  • Indeks Ketahanan Pangan (IKP)
  • Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga (IKPRT)

Ketahanan pangan merupakan konsep yang sangat luas, sering dipahami secara beragam, serta berubah dari waktu ke waktu. Pada awalnya, ketahanan pangan berusaha menjawab pertanyaan, “Mampukah dunia memproduksi pangan yang cukup?”

Selanjutnya, pertanyaan berkembang menjadi, “Dapatkan dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau bagi kelompok miskin?”

Saat ini, pertanyaan terhadap ketahanan pangan adalah, “Dapatkan dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan?”

KOMPAS/SUCIPTO

Hamparan padi di Jalan Usaha Tani di Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (4/9/2019). Pemerintah Provinsi Kaltim menargetkan tahun 2023 sudah swasembada beras demi menunjang kebutuhan ibu kota negara baru yang akan dipindahkan ke Kaltim tahun 2024.

Definisi

Dari berbagai macam definisi yang berkembang, definisi ketahanan pangan dari Badan Pangan Dunia tahun 1996 menjadi definisi yang paling sering dikutip. FAO mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “keadaan ketika semua orang, kapan saja, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai kebutuhan mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat.”

Di Indonesia, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

Definisi di atas mempengaruhi ukuran dalam melihat ketahanan pangan. Dari dokumen FAO di atas, ketahanan pangan memiliki empat dimensi, yakni ketersediaan yang cukup (availability), akses terhadap pangan (access), pemanfaatan pangan yang tepat (utilization), serta stabilitas stok dan harga pangan (stability). Dengan keempat dimensi tersebut, dibuat ukuran untuk melihat ketahanan pangan.

Di Indonesia, dengan konsep ketahanan pangan yang didefinisikan dalam UU 18/2012, ukuran ketahanan pangan menggunakan tiga dimensi, yakni ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses pangan, serta pemanfaatan pangan.

Sejarah ketahanan pangan

Mengikuti paparan FAO, perkembangan konsep ketahanan pangan di dunia dapat dilihat dalam empat periode longgar berdasarkan perkembangan kesadaran dunia akan pentingnya ketahanan pangan, yakni tahun 1930–1945, tahun 1945–1970, tahun 1970–1990, serta tahun 1990–saat ini.

Pertama kurun waktu 1930–1945 yang ditandai dengan situasi pasca PD I dan peran Liga Bangsa-Bangsa. Ketahanan pangan mulai menjadi perhatian dunia setelah sebuah hasil survei tingkat dunia dilaporkan pada tahun 1935. Hasil survei yang dikemas dalam laporan berjudul “Nutrition and Public Health” tersebut memperlihatkan terjadinya kekurangan pangan di negara-negara miskin.

Berdasarkan hasil laporan tersebut, Liga Bangsa-Bangsa mengadakan pertemuan untuk membahas kebijakan gizi bagi berbagai negara. Keterlibatan Divisi Kesehatan dan para ahli gizi terhadap situasi kelaparan dan kekurangan gizi dunia menghasilkan penjelasan hubungan antara gizi dan ketahanan pangan. Dalam perkembangannya, Liga Bangsa-Bangsa sepakat bahwa peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan membawa kemakmuran bagi pertanian yang juga berdampak pada industri.

Kedua periode tahun 1945–1970 yang ditandai kemunculan FAO, situasi surplus pangan, dan bantuan pangan.

Setelah PD II, suplai pangan masih menjadi persoalan di antara negara-negara berkembang. Badan Pangan Dunia (FAO) yang baru didirikan mengadakan Survei Pangan Dunia pada tahun 1946 dengan tujuan mengetahui kecukupan pangan, terutama energi bagi setiap orang di dunia. Hasilnya, sepertiga populasi dunia pada tahun 1945 tidak mendapatkan energi (kalori) yang cukup.

Oleh karena itu, dirancang program peningkaan produksi pertanian dunia hingga kemudian terjadi surplus hasil pertanian yang mencapai lebih dari 50 persen dalam kurun waktu 1950–1960 di beberapa negara. Situasi tersebut telah mulai disadari oleh FAO sehingga pada tahun 1952 didirikan Komite Persoalan Komoditas (CCP) untuk mengelola surplus pertanian yang dihasilkan dari peningkatan produksi  pertanian.

Langkah tersebut diikuti oleh Sidang Umum PBB tahun 1960 dengan mengeluarkan resolusi tentang ketentuan penyaluran surplus pangan kepada mereka yang  kekurangan pangan melalui sistem yang dibangun PBB, yakni Program Pangan Dunia (WFP).

Dalam pertemuan internasional Dewan Gandum Dunia di Roma 1967, disepakati Konvensi Bantuan Pangan (Food Aid Conventions) sebagai komitmen legal untuk menyediakan bantuan pangan. Bantuan pangan kemudian menjadi salah satu sarana dalam membantu negara-negara berkembang, tetapi belum sampai memunculkan pemahaman tentang ketahanan pangan.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Asnawi (74) salah satu petani menunjukkan jagung yang disimpan di lumbung yang ada di dapur rumahnya di Lingkungan Papring, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Kamis (7/5/2020). Jagung yang masih menjadi makanan pokok masyarakat setempat sebagai pangan alternatif selain nasi.

Ketiga, periode tahun 1970–1990 yang ditandai dengan kesadaran pentingnya ketahanan pangan dunia.

Pada awal tahun 1970-an, terjadi perubahan besar karena iklim yang memburuk di beberapa wilayah dunia sehingga beberapa negara perlu mengimpor pangan. Dalam Konferensi Pangan Dunia (WFC) di Roma tahun 1974, kesadaran akan ketahanan pangan (food security) terbentuk dengan munculnya beberapa rekomendasi.

Ketahanan pangan dipahami sebagai kemampuan ketercukupan suplai pangan sepanjang waktu. Oleh karena itu, muncul rekomendasi untuk meningkatkan produksi komoditas pangan untuk menjamin ketersediaan pangan. Selain itu, negara-negara dengan surplus pangan disarankan untuk membantu negara-negara berkembang yang mengalami kesulitan pangan.

FAO mendirikan Skema Pendampingan Ketahanan Pangan pada tahun 1976 bagi negara berkembang untuk mencapai ketahanan pangan. Skema tersebut dijalankan dengan dukungan pangan dalam jangka waktu terbatas sambil menggenjot produksi pangan. Skema tersebut dilanjutkan dengan persetujuan Program Aksi Ketahanan Pangan pada tahun 1979.

Pada awal tahun 1980-an, muncul pemahaman baru dalam diskusi tentang kelaparan dan ketahanan pangan hasil dari pendapat Amartya Sen. Argumen yang muncul adalah persoalan dalam hal kelaparan selama ini tak semata diakibatkan oleh kurangnya makanan, tetapi lebih karena tiadanya akses orang miskin atas pangan.

Ketika diskusi dan program ketahanan pangan tahun 1970-an lebih banyak memberikan perhatian terhadap ketersediaan pangan tingkat dunia dan nasional, pada tahun 1980-an berkembang menjadi perhatian terhadap ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan individu.

Tahun 1983, FAO mengadopsi hasil konferensi Ketahanan Pangan Dunia yang menyatakan bahwa tujuan utama ketahanan pangan dunia adalah memastikan bahwa semua orang kapan pun memiliki akses baik fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang mereka butuhkan. Hal itu diikuti dengan Konferensi FAO 1984 yang mencetuskan dasar ketahanan pangan, yakni menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminnya setiap individu untuk memperoleh pangan.

Pada tahun 1986, dengan dipengaruhi oleh hasil laporan Bank Dunia “Poverty and Hunger”, muncul kesadaran akan distingi antara ketidaktahanan pangan kronis dan sementara. Ketidaktahanan pangan kronis dihubungkan dengan persoalan kemiskinan struktural dan pendapatan rendah. Sedangkan ketidaktahanan pangan sementara dihubungkan dengan tekanan sementara karena bencana, kejatuhan ekonomi, maupun konflik.

Kesadaran ini memunculkan tambahan definisi bagi ketahanan pangan, yakni akses kepada setiap orang sepanjang waktu terhadap pangan yang mencukupi bagi hidup yang aktif dan sehat.

KOMPAS/AHMAD ARIF

Masyarakat adat Kasepuhan di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten menggelar festival “Pare Gede”, Sabtu (24/10/2015). Festival ini dilakukan untuk menandai prosesi penyimpanan hasil panen ke dalam lumbung sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan.

Keempat, periode tahun 1990-saat ini yang ditandai dengan situasi masa keemasan ketahanan pangan dunia. Ketahanan pangan dipahami dengan spektrum yang luas, mulai dari tingkat individu hingga global. Definisi ketahanan pangan juga semakin luas dengan memasukkan unsur keseimbangan gisi dalam ketahanan pangan.

Periode ini awali dengan kekeringan yang memicu krisis pangan di Afrika tahun 1992. Pada tahun yang sama, diadakan Konferensi Internasional tentang Gizi di Roma. Deklarasi konferensi tersebut menyetujui penghapusan kelaparan dan mengurangi segala bentuk kekurangan gizi. Akses terhadap gizi dan pangan yang cukup dan aman dianggap sebagai hak setiap manusia. Pangan dunia dianggap cukup untuk semua orang, akan tetapi kesenjangan akses terhadap pangan menjadi persoalan.

Konferensi FAO Roma 1992 menyempurnakan definisi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yakni kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Di sini, mulai menguat konsep kedaulatan pangan (food soverignity) di tingkat rumah tangga dalam mencapai ketahanan pangan.

Perkembangan penting kesadaran ketahanan pangan terjadi pada tahun 1996 dalam KTT Pangan Dunia yang diadakan oleh FAO di Roma. Ketahanan pangan dipahami sebagai situasi “ketika semua orang, kapan pun, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai kebutuhan mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat.”

Konferensi ini menampakkan kehendak kuat semua negara untuk menghapuskan kelaparan dan menyetujui hak setiap orang terhadap akses pangan yang bergizi dan aman. Hal ini memunculkan perhatian besar dunia terhadap pentingnya kedaulatan pangan (food soverignity) dalam mencapai ketahanan pangan.

Penekanan pada sisi konsumsi dan isu akses terhadap pangan mengingatkan kembali terhadap diskusi yang dipantik oleh Amartya Sen pada awal tahun 1980-an. Pada saat itu, Amartya Sen memfokuskan ketahanan pangan di tingkat individu dan rumah tangga.

Langkah lain tampak dalam Millennium Development Goals (MGDs) yang dicanangkan PBB pada tahun 2000. Dalam MGDs disebutkan, tujuan pertama yang hendak dicapai adalah penghapusan kemiskinan dan kelaparan.

Dengan adanya krisis pangan 2005 di Nigeria serta krisis harga pangan dunia tahun 2008, muncul kesadaran tentang aspek ekonomi (akses) dari ketahanan pangan. Pangan tersedia, panenan melimpah, tetapi harga pangan terlalu tinggi untuk dapat diperoleh bagi kebanyakan populasi.

Kebijakan pangan di Indonesia

Sejarah konsep ketahanan pangan di Indonesia dapat dilihat jejaknya dari kebijakan pangan sejak masa awal kemerdekaan hingga pemerintahan terkini. Mengikuti hasil studi Jonatan Lassa, “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1952–2005”, strategi pencapaian ketahanan pangan di Indonesia sering disamakan dengan ketersediaan pangan, terutama ketersediaan beras dan swasembada beras, lebih daripada kepemilikan pangan.

Pada masa Orde Lama, kebijakan pangan di Indonesia difokuskan pada swasembada beras. Terdapat dua kebijakan besar untuk mendukung fokus tersebut, yakni Program Kesejahteraan Kasimo dan Program Sentra Padi.

Program Kesejahteraan Kasimo turut didukung oleh pembentukan dan peran Yayasan Bahan Makanan (Bama) pada tahun 1950–1952 serta Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) tahun 1953–1956. Sedangkan Program Sentra Padi, antara lain didukung oleh peran Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) tahun 1956, Program Substitusi Jagung tahun 1963, serta pembentukan Bimas dan Panca Usaha Tani.

Pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, selama tahun 1965–1967, beberapa kebijakan pangan pemerintah meliputi, antara lain pembentukan Komando Logistik Nasional (Kolognas) tahun 1966 serta pendirian Badan Urusan Logistik (Bulog)  yang menggantikan Kolognas tahun 1967. Bulog kemudian menjadi satu-satunya pembeli beras tunggal di Tanah Air.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Mila (40) membopong padi hasil panen di lahan sawah yang digarapnya di Kampung Ciharashas, Mulyaharja, Bogor, Rabu (29/7/2020). Beberapa petani setempat mengaku puas dengan kualitas bulir padi pada panen kali ini. Curah hujan di wilayah Bogor pada musim tanam kali ini yang terkendali dirasakan mereka tidak berlebih mengakibatkan kerusakan tanaman tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan pasokan air irigasi. Untuk petak luas sawah sekitar 2000 meter di lahan ini rata-rata menghasilkan sekitar 5 karung gabah basah dengan masing-masing berat 50 kilogram.

Selama Orde Baru, ketahanan pangan dipahami dengan menggunakan tiga asumsi sesuai hasil studi Handewi P.S. Rachman dan Meewa Ariani pada tahun 2002 “Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran, dan Strategi”.

Pertama, kelangkaan pangan secara cepat direfleksikan oleh meningkatnya harga pangan. Kedua, harga (pangan) yang terjangkau cukup dapat menjamin akses semua orang untuk memperoleh pangan yang memadai. Ketiga, produksi pangan domestik yang cukup (swasembada) menjadi cara yang paling efektif untuk mencapai stabilitas harga pangan dalam negeri (dan pada gilirannya mencapai ketahanan pangan).

Dengan asumsi tersebut, kebijakan pangan selama Orde Baru dapat dikelompokkan menjadi tiga periode sesuai perhatian rencana pembangunan lima tahun (repelita), pertama swasembada beras (1969–1979), swasembada pangan (1979–1989), dan kembali lagi swasembada beras (1989–1998).

Beberapa program kegiatan selama periode kebijakan swasembada beras tahun 1969–1979, antara lain menambah tugas Bulog sebagai manajemen stok penyangga pangan nasional (1969), pengimpor gula dan gandum (1971), pengadaan daging untuk DKI Jakarta (1974), hingga mengontrol impor kacang kedelai (1977). Selain itu, muncul Serikat Tani Indonesia (1971), penetapan Revolusi Hijau untuk mencapai swasembada beras (1974), serta penetapan harga dasar jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau (1978).

Selama penerapan kebijakan swasembada pangan (1979–1989), terdapat beberapa program, antara lain mengembalikan tugas Bulog sebagai pengontrol harga gabah, beras, tepung, gandum, dan lain-lain dengan Keppres 39/1978. Pada tahun 1984, Indonesia mendapatkan medali dari FAO karena keberhasilan swasembada beras.

Pada periode 1989–1998, kebijakan ketahanan pangan Indonesia kembali fokus pada swasembada beras. Pada periode ini, Bulog diubah fungsinya menjadi hanya mengontrol harga beras dan gula pasir (1997). Bahkan, pada 1998 Bulog hanya mengontrol harga beras saja.

Kompas/PRIYOMBODO

Pekerja menurunkan beras impor yang didatangkan dari Vietnam menggunakan kapal My Vuong melalui Pelabuhan Tanjung Priok di gudang milik Perum Bulog Divisi Regional Jakarta-Banten, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (13/11/2012). Sebanyak 13.100 ton beras impor dari Vietnam akan masuk ke gudang Bulog.

Kebijakan swasembada beras kembali dilanjutkan selama pemerintah Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan tugas Bulog sebagai manajemen logistik beras, mulai dari penyediaan, distribusi, dan mengontrol harga. Pada masa Presiden Megawati, Bulog diprivatisasi (2003) serta swasembada beras ditegaskan sebagai strategi tunggal di bidang pangan (2004).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempuh kebijakan revitalisasi pertanian dan swasembada lima komoditas pangan, yakni beras, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi. Kebijakan ini disertai dengan komitmen untuk meningkatkan pendapatan petani demi menggenjot PDB, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja, serta swasembada beras, jagung, serta palawija.

Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebijakan pangan juga diarahkan untuk swasembada pangan. Beberapa program yang muncul, antara lain Program Cetak Sawah, Korporasi Usaha Tani, dan Program Lumbung Pangan Masyarakat. Selain itu, konsep ketahanan pangan didukung dengan kebijakan kedaulatan pangan.

Di tingkat kebijakan, konsep kedaulatan pangan di Indonesia mulai muncul pada akhir pemerintahan SBY dalam UU 18/2012 tentang Pangan. Konsep tersebut dipertegas dan diperjelas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sesuai dengan pemikiran yang berkembang di tingkat global, yakni sebagai suatu kebijakan pangan yang lebih mendasar.

Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, konsep kedaulatan pangan muncul beberapa kali dalam dokumen pemerintah, antara lain dalam Nawacita, RPJM 2014–2019, Rencana Induk Pembangunan Pertanian 2015–2045, Rencanan Kerja Kementerian Pertanian 2015–2019, Rencana Kerja Kementan 2014, serta Rencana Kerja Kementan 2016.

Pemahaman akan kedaulatan pangan di Indonesia, sesuai artikel “Kedaulatan Pangan Sebagai Basis untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional”, membentuk tiga pola penjelasan.

Pertama, kedaulatan pangan dianggap sejalan dengan ketahanan pangan. Dengan demikian, berdaulat secara pangan terwujud saat kebijakan pangan tidak dikendalikan oleh negara lain. Kedua, ketahanan pangan dipandang sebagai landasan untuk mencapai kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan terwujud pada tingkat komunitas. Ketiga, pemahaman kedaulatan pangan sesuai dengan pemahaman di tingkat dunia.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Buruh tani menjemur gabah di area persawahan di kawasan Kunciran Jaya, Kota Tangerang, Banten, Jumat (15/5/2020). Gabah kering petani dengan jenis padi IR-64 ini diserap pasar dengan harga Rp. 4000 per kilogram. Dalam rapat terbatas beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyoroti ketersediaan dan stabilitas harga bahan pangan serta peringatan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) mengenai krisis bahan pangan karena Covid-19. Menurut catatan Kompas, sejumlah daerah khususnya di daerah bagian timur mulai kekurangan bahan pangan karena Covid-19.

Ukuran ketahanan pangan

Sejarah konsep dan perkembangan kebijakan ketahanan pangan berimbas pada perkembangan ukuran ketahanan pangan. Oleh karena itu, ukuran ketahanan pangan kemudian meliputi berbagai tingkatan, mulai dari cakupan global, nasional, regional, komunitas, rumah tangga hingga individu.

Di tingkat wilayah yang meliputi global, nasional, dan regional, pengukuran ketahanan pangan dapat menggunakan berbagai indikator, antara lain 1) tingkat produksi, ketersediaan, konsumsi dan perdagangan pangan, 2) rasio stok pangan dan konsumsi, 3) skor tingkat ketersediaan dan konsumsi, 4) kondisi keamanan pangan, 5) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat, hingga 6) kemampuan untuk melakukan stok pangan.

Di sisi lain, di tingkat rumah tangga dan individu, ketahanan pangan dapat dilihat dari sisi akses baik fisik maupun ekonomi terhadap pangan. Akses fisik ditentukan oleh ketersediaan dan distribusi pangan. Sedangkan akses ekonomi dipengaruhi oleh daya beli dan pendapatan.

Pada tahun 1994, FAO mengembangkan ukuran ketahanan pangan rumah tangga dengan menggunakan indeks ketahanan pangan rumah tangga atau average household food security index (AHFSI) untuk beberapa negara berkembang.

Selain itu, dikembangkan pula indeks ketahanan pangan global (GFSI) oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). GFSI menggunakan dimensi ketersediaan, keterjangkauan, serta kualitas dan keamanan pangan. Pada tahun 2012, Indonesia mendapatkan skor 46,8 dan menempati urutan 64 dalam Indeks GFSI. Nilai dan peringkat tersebut kemudian naik menjadi 62,8 dan peringkat ke-62 pada tahun 2019.

Ukuran lain dibuat oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) dengan Indeks Kelaparan Global (GHI) yang menggunakan empat aspek, yakni kekurangan gizi, wasting anak, stunting anak, dan kematian anak. Pada tahun 2019, Indonesia menempati urutan ke-70 dengan skor GHI 20.1.

Di Indonesia, BPS mengembangkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) yang menjelaskan ketahanan pangan di suatu daerah. IKP disusun dengan tiga dimensi, yakni ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses pangan, serta pemanfaatan pangan.

Dimensi ketersediaan pangan diwakili dari sisi kecukupan pangan. Dimensi keterjangkauan/akses pangan diwakili dari keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial. Sedangkan, dimensi pemanfaatan pangan diwakili oleh aspek kecukupan asupan serta aspek kualitas air. IKP menggambarkan rata-rata persentase dari ketiga dimensi di atas. Hasilnya, dibuat tiga kategori, daerah kurang tahan pangan, cukup tahan pangan, dan tahan pangan tinggi hingga level provinsi. Di level Kabupaten, Badan Ketahanan Pangan (BKP) memperluas cakupan IKP hingga tingkat kabupaten/kota.

Indonesia juga mengadopsi IKP di tingkat rumah tangga menjadi Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga (IKPRT) berdasarkan konsumsi energi dan proteni.

Selain berbagai ukuran yang menyatukan beberapa indikator dalam bentuk indeks di atas, ketahanan pangan juga dapat dilihat dari beberapa indikator terpisah, antara lain ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, hingga pemanfaatan pangan. Di dalamnya terdapat indikator, seperti stabilitas harga pangan pokok, produksi pangan pokok, luas panen pangan pokok, akses distribusi pangan, peningkatan jumlah penduduk, hingga impor komoditas pangan pokok.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pekerja memindahkan karung beras yang akan dibagikan pada program bantuan sosial beras di gudang Bulog Divre DKI Jakarta dan Banten di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (2/8/2020). Program yang diluncurkan Kementerian Sosial dan Perum Bulog tersebut ditujukan kepada 10 juta keluarga penerima manfaat program keluarga harapan di seluruh Indonesia. Termasuk didalammnya keluarga petani yang terkena dampak pandemi Covid-19. Bantuan akan diberikan selama 3 bulan dan masing-masing akan mendapatkan 15 kilo beras per bulannya.

Situasi pangan Indonesia

Di Indonesia, salah satu indikator pangan adalah beras. Data beras dapat dilihat salah satunya dari produksi, luas panen, dan produktivitas padi. Dari luas panen padi, selama 2014–2018 terdapat peningkatan yakni dari 13,8 juta hektare pada tahun 2014 menjadi 15,9 juta hektare pada tahun 2018. Dalam kurun waktu yang sama, produksi padi juga mengalami kenaikan, dari 70,9 juta ton pada tahun 2014 menjadi 83 juta ton pada tahun 2018. Sedangkan produktivitas padi juga meningkat, dari 51,4 kuintal per hektare pada tahun 2014 menjadi 51,9 kuintal per hektare pada tahun 2018.

Selama pandemi Covid-19, kestabilan ketahanan pangan di seluruh dunia dan Indonesia mengalami gejolak. Di Indonesia, kementerian pertanian mengembangkan kebijakan yang disebut “4 Cara Bertindak” yang meliputi peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik, serta pengembangan pertanian modern.

Selain itu, pemerintah juga menjamin ketersediaan dan kemudahan akses pangan bagi masyarakat selama pandemi dengan menggelontorkan dana sebesar Rp 25 triliun.

Untuk bahan pangan beras, Bulog memastikan bahwa pasokan beras terjamin hingga akhir tahun 2020. Untuk mendukung janji tersebut, Bulog menjalankan fungsinya dengan menyerap beras dari petani. Hingga Juni 2020, Bulog telah menyerap 700 ribu ton beras dari petani, atau separuh dari target serapan beras 2020, yakni 1,4 juta ton. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Jurnal