Paparan Topik | Hari Tani

Petani Indonesia dalam Pusaran Zaman

Sebagai negara agraris, petani telah menjadi kelompok organik yang penting dalam roda perjalanan bangsa. Petani menempati peran penting dalam ketahanan pangan. Namun, kesejahteraan petani masih jauh dari harapan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Petani mengangkut benih padi varietas Inpari yang berusia satu bulan untuk ditanam kembali di Desa Jayabakti, Kecamatan Cabangbungin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (10/7/2020). Nilai tukar petani (NTP), salah satu indikator yang hingga kini masih digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani, termasuk pekebun, pembudidaya ikan, dan nelayan, justru turun di bawah 100 pada Mei dan Juni 2020. Artinya, daya beli dan kesejahteraan petani turun sebab pendapatannya tak cukup untuk membiayai kebutuhannya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, NTP pada Mei 2020 mencapai 99,47, sementara NTP Juni 99,6.

Fakta Singkat

  • Pada tahun 2021, sektor pertanian menjadi kontributor terbesar kedua bagi PDB dengan rasio kontribusi mencapai 13,28 persen.
  • Pada tahun 2022, sektor pertanian menjadi penyerap lapangan kerja tertinggi.
  • Selama era penjajahan, pihak kolonial memeras tenaga tani melalui program tanam paksa (Belanda) dan serah padi (Jepang).
  • Dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia, petani berkontribusi dalam pemberontakan maupun penyebaran berita kemerdekaan.
  • Sosok petani bernama Marhaen menjadi simbol ideologi kiri yang identik dengan konteks Indonesia.
  • Beratnya beban yang ditanggung sektor pertanian digambarkan oleh tingginya angka tenaga kerja di pertanian (29,76 persen), tidak sebanding dengan PDB dari sektor pertanian yang  hanya 13 persen.
  • Pada tahun 2018, 33,4 juta petani Indonesia didominasi oleh kelompok petani yang hanya lulus tingkat sekolah dasar. Sebanyak 8,2 juta bahkan tidak tamat sekolah dasar.
  • Serapan teknologi petani Indonesia begitu rendah. Pada 2018, hingga 52,72 persen rumah tangga petani di Indonesia masih berorientasi pada kerja tradisional tanpa bantuan teknologi.
  • Keterbatasan dukungan pemerintah pada petani tampak dari rendahnya alokasi pupuk subsidi yang hanya mencapai 10,54 juta ton pada 2021. Padahal total kebutuhan pupuk petani mencapai 23 juta ton.

Pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan konsekuensi pada sektor kesehatan maupun mobilitas manusia. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat 193 juta orang di 53 negara atau wilayah telah mengalami kerawanan pangan akut pada tahun 2021. Angka tersebut meningkat hingga 40 juta orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Peringatan krisis pangan digaungkan oleh FAO sejak 2020. Tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi akibat pandemi, namun juga dampak dari konflik internal maupun eksternal beberapa negara, serta krisis iklim yang menyebabkan perubahan cuaca ekstrem.

Untuk menyiasati hal tersebut, pemerintah Indonesia menyiapkan megaproyek lumbung pangan nasional atau dikenal juga dengan nama “food estate” yang menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) periode 2020–2024.

Lumbung pangan nasional menjadi program prioritas Presiden Jokowi dalam mempertahankan ketahanan nasional, yakni membuka 2,2 juta hektare sawah untuk meningkatkan pasokan beras nasional.

Dalam rapat dengan Komisi IV DPR RI pada Senin (11/2/2022) Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mengklaim bahwa program food estate telah berhasil hingga 100 persen di tiga daerah percontohan, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur.

Di balik program proyek lumbung pangan tersebut, terdapat tangan-tangan petani yang tidak hanya bekerja untuk menafkahi diri sendiri tetapi juga berperan menjaga ketahanan pangan bagi bangsa ini.

Kata petani sendiri berasal dari kata “tani”, atau dalam bahasa Sansekerta berarti “tanah yang ditanami”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, petani memiliki arti harafiah orang yang bekerja mengolah tanah untuk ditanami.

Petani bukan hanya berperan sebatas subjek pengelola sawah. Apa yang ditanam para petani bukan hanya urusan pangan semata. Jika dilihat melalui kacamata makro, program lumbung pangan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menggeser para petani subsisten  ke arah penyedia pangan dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sektor pertanian berkontribusi sebesar 13,28 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tahun 2021. Angka tersebut menunjukkan bahwa di tengah kondisi transisi ekonomi melalui industrialisasi, sektor pertanian masih menjadi kontributor kedua terbesar bagi perekonomian Indonesia di bawah sektor industri pengolahan sebesar 19,25 persen.

Signifikansi peran pertanian dalam pembangunan Indonesia juga ditunjukkan oleh data serapan tenaga kerja di sektor ini. Meski dalam satu dekade ini data penduduk berprofesi sebagai petani terus menunjukkan pengurangan, sektor pertanian tetap menjadi penyerap lapangan kerja tertinggi di tahun 2022.

Data BPS menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif, di mana distribusi penduduk bekerja mencapai 29,96 persen atau sekitar 1,86 juta orang per tahun. Angka tersebut menurut BPS sebagai indikator keberhasilan menurunkan tingkat pengangguran Indonesia pada tahun 2022.

KOMPAS/SUCIPTO

Hamparan padi di Jalan Usaha Tani di Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (4/9/2019). Pemerintah Provinsi Kaltim menargetkan tahun 2023 sudah swasembada beras demi menunjang kebutuhan ibu kota negara baru yang akan dipindahkan ke Kaltim tahun 2024.

Sejarah Petani Indonesia

Era Tanam Paksa pada Penjajahan Belanda

Kolonialisme yang dilakukan negara-negara barat secara tidak langsung merupakan pemantik berkobarnya industri agraris di Indonesia. Lailatusysyukriah dalam artikel jurnalnya berjudul “Indonesia dan Konsepsi Negara Agraris” mengkaji secara historiografi konsep Indonesia sebagai negara agraris. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa konsep negara Indonesia yang agraris adalah sebuah doktrin yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang didasari oleh eksploitasi di sektor-sektor agraris.

Pemerintah kolonial saat itu mengeluarkan segala kebijakan politik yang bertujuan untuk mengeksploitasi potensi sumber daya alam Indonesia, terutama dalam ranah agraria baik pertanian maupun perkebunan.

Salah satu kebijakan yang paling terkenal, yaitu sistem tanam paksa (culturstelsel) yang dicanangkan oleh Van Den Bosch. Secara garis besar, sistem tanam paksa merupakan penyatuan antara sistem penyerahan komoditas wajib dengan sistem pajak tanah. Namun, dalam praktiknya banyak aturan yang berjalan tidak sesuai dengan ketetapan awal dari Bosch. Berdasarkan catatan dari seorang inspektur Tanam Paksa L. Vitalis, tertulis bahwa pada 1835, di Priangan, mayat para petani bersebaran karena keletihan dan kelaparan.

Sistem tanam paksa hanya salah satu dari manuver politik agraria yang dicanangkan Pemerintah Hindia Belanda. Kondisi eksploitatif yang membuat kehidupan petani semakin sengsara pada saat itu memicu kritik dari kaum liberal dan humanis serta pemberontakan-pemberontakan petani yang kemudian menjadi titik kulminasi dari politik agraria Hindia Belanda hingga akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet).

Sistem tanam paksa tidak hanya berdampak pada pemberlakuan kebijakan yang mengatur hukum administrasi tanah sebagai bentuk perlindungan atas kepemilikan tanah masyarakat pribumi.

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam bukunya yang berjudul Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi mengulas bahwa perubahan dalam sistem kerja yang dibawa oleh tanam paksa telah mengenalkan sistem ekonomi uang (monetisasi) ke dalam lingkungan kehidupan pedesaan agraris. Sistem ini menggeser sistem ekonomi petani yang subsisten ke arah sistem ekonomi dengan uang melalui komersialisasi pertanian dan pasar kerja (buruh tani).

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Buruh tani beristirahat usai menanam benih padi varietas IR 42 yang berumur 25 hari di areal persawahan Desa Sumbereja, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (25/2/2021). Upah buruh tani Rp. 70 ribu dalam sehari bekerja. Padi tersebut siap panen pada umur 110 hari. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), harga gabah di tingkat petani naik pada Januari 2021, yakni Rp 4.921 per kilogram (kg) kering panen di tingkat petani.

Serah padi pada penjajahan Jepang

Invasi Jepang ke Hindia-Belanda tidak hanya bertujuan untuk memperoleh sumber daya ekonomi maupun manusia guna mendukung operasi militer Jepang di perang dunia. Jepang juga berusaha untuk menghapuskan pengaruh negara Barat dan menanamkan kontrol yang ketat terhadap negara yang dijajahnya.

P. Suryono dalam buku berjudul Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial menuliskan bahwa Jepang membagi negara-negara yang dijajahnya berdasarkan negara yang surplus dan negara minus dalam pengadaan beras. Eksploitasi yang dilakukan Jepang kepada wilayah Indonesia yang subur bertujuan untuk memenuhi kebutuhan logistik penunjang peperangan, terutama beras sebagai makanan pokok.

Melalui kebijakan wajib serah padi yang diberlakukan Jepang, petani dipaksa untuk menyerahkan sejumlah besar padi yang mereka hasilkan. Aiko Kurasawa dalam bukunya yang berjudul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan sosial di Pedesaan 1942-1945, mengulas kondisi petani dibawah kebijakan serah padi yang mengalami tekanan dan bahkan tidak memiliki padi untuk mereka simpan. Akibat dari penyitaan oleh pemerintah dan ketidakjelasan dalam besaran padi yang bisa disimpan.

Kebijakan wajib serah padi menyebabkan adanya perubahan pada pola makan, pola hidup, serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek fisik maupun psikologis. Pemberontakan petani kembali menjadi titik kulminasi dari aturan yang merugikan petani. pemberontakan pertama terjadi di Indramayu pada tahun 1944, dan juga terjadi di daerah lainnya seperti Banten dan Tasikmalaya.

Petani sebagai Bagian Roda Kemerdekaan

Peran petani sebagai sekrup kecil dalam roda yang bergerak menuju kemerdekaan tidak berhenti pada proses pembakaran api revolusi melalui pemberontakan. Pada peristiwa penculikan Soekarno dan Mohammad. Hatta, ke Rengasdengklok, para pemuda tidak jadi mengamankan kedua tokoh proklamator tersebut ke markas PETA karena terlalu mencolok. Rumah seorang petani Tionghoa bernama Djiauw Kie Siong dipilih karena jauh dan tertutup rimbunan pohon

Pada 17 Agustus 1945 di Rengasdengklok, bertepatan dengan rapat pengumpulan padi dan Koperasi Padi (Kumiai) yang merupakan koperasi padi gaya Jepang saat itu. Petani bersama dengan wong cilik lainnya menjadi saksi ketika Hinomaru, bendera Jepang, diturunkan dan dilanjutkan dengan pengibaran Sang Merah Putih.

Selepas proklamasi yang menandakan kemerdekaan Republik Indonesia, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentu menyebarkan berita tersebut ke seluruh penjuru negeri ditengah kondisi di mana kantor berita dan penyiaran masih dikuasai oleh Jepang. Soekarno kemudian meminta Riwu Ga, anak angkatnya yang berasal dari keluarga petani dari Nusa Tenggara Timur untuk menyebarkan berita kemerdekaan dan membawa bendera merah putih. Sambil menaiki jip terbuka dan berbekal corong pengeras suara, ia berteriak “Rakyat Indonesia sudah merdeka. Kita sudah merdeka, merdeka!” (Kompas, 12/08/2019, “Petani dan Rakyat Kecil dalam Pusaran Proklamasi RI”).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Mila (40) membopong padi hasil panen di lahan sawah yang digarapnya di Kampung Ciharashas, Mulyaharja, Bogor, Rabu (29/7/2020). Beberapa petani setempat mengaku puas dengan kualitas bulir padi pada panen kali ini. Curah hujan di wilayah Bogor pada musim tanam kali ini yang terkendali dirasakan mereka tidak berlebih mengakibatkan kerusakan tanaman tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan pasokan air irigasi. Untuk petak luas sawah sekitar 2000 meter di lahan ini rata-rata menghasilkan sekitar 5 karung gabah basah dengan masing-masing berat 50 kilogram.

Petani Era Orde Lama

Melihat kondisi perekonomian Indonesia pasca-kemerdekaan yang masih berjiwa kolonial dan didominasi asing, Bung Karno melahirkan gagasan kemandirian ekonomi yang dikenal sebagai berdiri di atas kaki sendiri, Berdikari. Gagasan tersebut tidak hanya sekedar jargon, namun diwujudkan menjadi sebuah orientasi politik pembangunan era Orde Lama.

Berdasarkan analisis Setiawati, Mardjo, dan Paksi dalam penelitiannya yang berjudul Politik Hukum Pertanian Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Global, fokus utama kebijakan era Orde Lama di bidang pertanian mengarah pada: nasionalisasi perkebunan belanda; meningkatkan produksi pangan dengan jalan membentuk program dan mengintensifkan program penyuluhan melalui Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD); dan penyelesaian sengketa lahan pertanian melalui program land-reform.

Tanggal 24 September merupakan hari dimana UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA) disahkan untuk menggantikan Hukum Agraria Kolonial. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan pemerintah era Orde Lama sebagai hari tani. UUPA menjadi landasan kebijakan pemerintah terkait kepemilikan tanah pertanian, salah satunya dengan menghilangkan sistem pemerasan oleh tuan tanah.

Besarnya perhatian pemerintah Orde Lama terhadap petani disebabkan oleh 80 persen rakyat indonesia saat itu adalah petani, namun sebagian petani tersebut hidup melarat (Kompas.id, 25/9/2020, “Sejarah Hari Tani dan Perjalanan Undang-Undang Pokok Agraria”). Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno bahkan pernah beretorika mengenai petani merupakan akronim dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia.

Sosok Mang Aen, seorang petani gurem yang ditemui Bung Karno di kawasan Bandung Selatan pada tahun 1920-an menginspirasinya dalam mencetuskan ideologi Marhaenisme. Mang Aen yang disebut Bung Karno sebagai Marhaen, merupakan simbol dari kondisi petani saat itu, memiliki sawah kurang dari 0,5 hektar, bermodal pacul, bajak, dan hasil taninya hanya cukup untuk hidup ala kadarnya.

Marhaen menjadi simbol yang sempurna secara kontekstual untuk menggambarkan kelompok terpinggirkan khas Indonesia. Kelompok pekerja kecil yang kendati memiliki modal dan alat produksi namun terlalu kecil sehingga hanya cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk menaikkan harkat sosial, politik, atau ekonomi. Bung Karno tidak secara spesifik mengacu kelas tertentu, seperti Marx dengan kelas proletarnya dalam konteks kapitalisme. Marhaen mencakup petani kecil dan petani penggarap, pekerja rendahan, dan pedagang kecil. Dalam banyak hal, kelompok Marhaen banyak beririsan dengan kelompok miskin dan nyaris miskin (near poor) (Kompas.com, 28/3/2011, “Marhaen dan Kesenjangan”).

Petani Era Orde Baru

Pandangan presiden Soeharto mengenai pentingnya kontribusi modal asing dalam perekonomian nasional menjadi liang lahat bagi gagasan ekonomi Berdikari era Orde Lama. Program-program ketahanan pangan era Orde Baru seperti Revolusi Hijau, Bimas Gotong Royong, dan Swasembada Beras didominasi keterlibatan pihak industri asing dalam bidang pengadaan pupuk kimia dan pestisida.

Kebijakan di bidang pertanian era Orde Baru sejatinya bertujuan untuk mengembangkan agribisnis padi nasional yang menyeluruh dan integratif dengan melibatkan analisa sektor ekonomi sosial dan politik hingga dapat mencapai ketahanan pangan. Julukan bapak pembangunan yang disematkan pada Soeharto tercermin dari konsistensi kebijakannya. Strategi pembangunan ekonomi berbasis pertanian di awal dan pertengahan era Orde Baru, secara linier disokong oleh kebijakan level mikro maupun makro.

Anne Booth dalam bukunya yang berjudul The Indonesian Economy in The Nineteenth and Twentieth Century mengulas mengenai pembangunan sektor pertanian era Orde Baru yang diharapkan dapat membuka pertumbuhan pada sektor-sektor lain. Alokasi dana sebesar 20 persen dianggarkan untuk membangun jalan sehingga petani memiliki akses untuk menjual produk pertanian mereka dan mendapatkan sarana produksi, terutama pupuk dimana Soeharto bersikeras mendirikan pabrik pupuk urea saat itu meskipun tidak disetujui Bank Dunia.

Sementara itu, Bustanul Arifin dalam Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, secara khusus membedah perjalanan sektor pertanian Indonesia dan membagi fase penting pembangunan pertanian Indonesia ke dalam beberapa periode. Pada tahun 1978–1986, di mana ekonomi pertanian Indonesia masuk ke dalam fase tumbuh tinggi dan bertabur kisah sukses yang spektakuler. Strategi pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian, kontribusi riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesuksesan Revolusi Hijau, mengantarkan Presiden Soeharto ke meja kehormatan FAO pada konferensi pangan tingkat tinggi di Roma, Italia.

Sistem linier dan komando pada era Orde Baru terlihat begitu efektif untuk menjalankan administrasi pemerintahan pusat hingga sampai ke tingkat pedesaan. Namun demikian, mulai bermunculan rentetan kritik pada proses pelaksanaan Revolusi Hijau yang menjadikan ketergantungan petani kecil dan buruh tani kepada para tuan tanah atau pada skala yang lebih luas. Upaya penguasaan lahan seluas-luasnya untuk pemilik modal besar diwarnai beragam upaya, termasuk rekayasa dan intimidasi, memaksa petani melepaskan lahan yang mereka garap turun temurun dengan atau tanpa surat tanah.

Hingga akhirnya, pada penghujung era Orde Baru (1986–1998), sektor pertanian memasuki fase dekonstruksi. Anggapan keberhasilan swasembada pangan telah menimbulkan persepsi bahwa pembangunan di sektor pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Sementara itu, pada awal tahun 1990-an, Indonesia mengalami perubahan arah haluan kebijakan ekonomi pada strategi industrialisasi. Upaya transformasi dan proteksi besar-besaran kepada sektor industri yang dilakukan para pemangku kebijakan saat itu telah merapuhkan basis pertanian di tingkat yang paling dasar atau petani pedesaan.

KOMPAS/AHMAD ARIF

Para petani di pedalaman Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menanam padi di areal persawahan mereka, Kamis (7/2/2008). Revolusi hijau telah menghilangkan ribuan jenis varietas padi lokal yang tahan hama, digantikan padi varietas baru yang seragam.

Petani Era Awal Reformasi

Krisis moneter yang melanda Indonesia di penghujung era Orde Baru berdampak luas pada sendi-sendi perekonomian di tengah hingar bingar reformasi. Dalam bukunya, Arifin menyebutkan sektor pertanian seolah menjadi katup penyelamat yang menyerap limpahan tenaga kerja dari perkotaan. Melambungnya nilai tukar dollar AS bahkan dinikmati oleh para petani komoditas ekspor saat itu.

Selain kondisi krisis ekonomi, transisi politik yang sekian lama terdominasi oleh hegemoni Orde Baru, dan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Desentralisasi, membuat arah pembangunan saat itu seolah melupakan basis utama dalam pembangunan sektor pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian yang berada pada angka 1,9 persen per tahun mencerminkan ketidakmampuannya untuk menciptakan lapangan kerja baru ataupun menyerap tenaga kerja baru.

Data sensus pertanian yang dilakukan BPS pada tahun 1983, 1993, dan 2003 memperlihatkan pertambahan jumlah usaha tani gurem kurang dari 0,5 hektare. Pada tahun 1983, tercatat jumlah usaha tani gurem mencapai 40,8 persen dengan kepemilikan lahan rata-rata seluas 0,26 hektare. Pada sensus 1993, jumlah usaha tani gurem meningkat jadi 48,5 persen dengan luas rata-rata lahan yang dimiliki hanya 0,17 hektare. Pada sensus 2003, jumlahnya meningkat lagi jadi 55,1 persen.

Pada saat bersamaan, peningkatan usaha tani gurem berbanding terbalik dengan turunnya persentase usaha tani; dari yang memiliki luas lahan antara 0,5 hektare — 1,99 hektare, serta dari petani pemilik lahan antara 2,0 hektare sampai dengan 4,99 hektare. Data tersebut menunjukkan terbagi-baginya kepemilikan lahan usaha tani secara signifikan. Kondisi itu juga menunjukkan kesenjangan distribusi penguasaan lahan pertanian.

Petani Indonesia dalam Arus Modernitas

Data dari Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukan bahwa pada tahun 2022, Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami kenaikan. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. NTP pada April 2022 mencapai angka 108,56 atau lebih tinggi jika dibandingkan nilai NTP April 2021 yang hanya mencapai 102,93.

Kenaikan NTP tidak lepas dari inflasi harga pangan. Namun, petani Indonesia tidak semestinya menggantungkan nasibnya pada fluktuasi tingkat inflasi. Sektor pertanian jelas memerlukan langkah nyata untuk dapat mengimbangi perkembangan zaman. Usaha tani dan agribisnis modern harus mengarah pada kesejahteraan petani dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Tingginya angka tenaga kerja di pertanian, sebesar 29,76 persen, tidak sebanding dengan PDB dari sektor pertanian hanya 13 persen. Beban berat yang ditanggung sektor pertanian semestinya dapat diringankan ketika Indonesia dapat meningkatkan produktivitas pertanian terutama dalam konteks modernisasi saat ini. Jika dianalisis lebih lanjut, berikut beberapa tantangan yang dihadapi petani dalam mengarungi arus modern:

Disparitas Teknologi

Modernitas lekat dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk efektivitas. Pada konteks bidang produksi pertanian, terdapat dua jenis teknologi, yaitu teknologi mekanis yang dirancang untuk mensubstitusi tenaga kerja agar produktivitas tenaga kerja meningkat dan teknologi biologi-kimiawi untuk menyiasati penurunan sumber daya lahan dengan pupuk dan benih unggul.

Di negara maju, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan satu kesatuan yang berjalan beriringan dengan proses pembangunan. Sementara di Indonesia, isu kesenjangan pengetahuan petani dan perkembangan teknologi pertanian disebutkan oleh Arifin dalam bukunya, dikarenakan oleh negara-negara dunia ketiga yang masih saja menghadapi kendala pelembagaan dan penerapan teknologi baru di kalangan petani atau yang dapat disebut sebagai masyarakat awam. Permasalahan tersebut berakibat pada sosialisasi hasil penelitian dan pengembangan teknologi menghadapi kendala kelembagaan.

Permasalahan ini didukung oleh laporan FAO mengenai gap dalam hasil produksi beras yang menunjukan adanya disparitas antara hasil produksi beras saat proses penelitian dengan hasil produksi beras yang dipanen oleh petani di sawahnya dengan menggunakan variabel yang sama. Serapan teknologi pertanian yang rendah tercermin pada data BPS tahun 2018, di mana sebesar 52,72 persen rumah tangga petani di Indonesia tidak menggunakan teknologi mekanisasi maupun teknologi selain mekanisasi.

Regenerasi Petani

Berkaca pada Marhaen, sosok petani gurem yang ditemui Soekarno. Secara kontekstual, Marhaen masih relevan untuk menggambarkan kelompok petani yang terpinggirkan hingga saat ini. Konsepsi petani yang lekat dengan kemiskinan, beban kerja yang berat namun hasil tidak seberapa, dan penuh ketidakpastian, membuat opsi profesi petani kurang populer di kalangan anak muda saat ini.

Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2020, 64,50 juta penduduk Indonesia berada pada kelompok umur pemuda dengan rentang 19 tahun hingga 39 tahun. Sementara itu, tingkat pemuda yang bekerja di sektor pertanian hanya 21 persen. Sedangkan berdasarkan data BPS mengenai angkatan kerja pertanian berdasarkan usia, 50 persen petani Indonesia berada pada rentang usia 45 tahun hingga 64 tahun, adapun petani yang masuk kategori pemuda hanya sekitar 9 persen.

Rendahnya tingkat pemuda di sektor pertanian dapat berimbas pada produktivitas. Ketika profesi petani didominasi oleh penduduk lanjut usia, ditambah dengan data BPS yang menunjukkan bahwa diantara 33,4 juta petani Indonesia, pada 2018, petani Indonesia didominasi oleh petani yang hanya lulus tingkat sekolah dasar, sementara itu 8,2 jutanya bahkan tidak tamat sekolah dasar. Serapan ilmu pengetahuan dan informasi antara petani yang telah mengenyam pendidikan tentu berbeda dengan petani yang tidak mengenyam pendidikan. Fakta ini juga menjelaskan rendahnya tingkat serapan teknologi petani Indonesia.

Akses Input Pertanian

Penggunaan input pertanian yang berkualitas dapat mempengaruhi hasil panen petani. Selain itu, perlu diperhatikan apakah petani dapat mengakses input pertanian yang berkualitas dalam menunjang aktivitas pertaniannya. Pemerintah sampai saat ini, memiliki program pupuk bersubsidi dan program bantuan benih. Namun, setiap tahunnya realisasi kuota pupuk subsidi tidak dapat memenuhi usulan pupuk subsidi yang diajukan petani melalui e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Petani).

Hampir setiap tahun, petani mengeluhkan kelangkaan pupuk subsidi. Tercatat, total kebutuhan pupuk di Indonesia berdasarkan usulan petani di e-RDKK mencapai 23 juta ton. Padahal, berdasarkan informasi dari website Kementan (Pertanian.go.id), pada tahun 2021, pemerintah hanya mengalokasikan pupuk subsidi sebesar 10,54 juta ton. Rendahnya alokasi volume pupuk tersebut dikarenakan terbatasnya anggaran pupuk subsidi yang dianggarkan pada APBN sebesar 25 triliun rupiah.

Untuk dapat memaksimalkan potensi hasil pertanian, perlu adanya penggunaan input berkualitas dan kombinasi input secara optimal. Selain mendorong riset dan inovasi input pertanian dalam negeri serta membenahi tata kelola penyaluran subsidi input, pemerintah terus mengembangkan pendampingan petani agar penggunaan input yang berkualitas dapat semakin dioptimalkan. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/AHMAD ARIF

Masyarakat adat Kasepuhan di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten menggelar festival “Pare Gede”, Sabtu (24/10/2015). Festival ini dilakukan untuk menandai prosesi penyimpanan hasil panen ke dalam lumbung sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan.

Referensi

Buku
  • Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas
  • Booth, A. 1998. The Indonesian economy in the nineteenth and twentieth centuries: A history of missed opportunities. Springer.
  • Food and Agriculture Organization. 2022. “Global Report on Food Crises” – September Update.
  • Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
  • Kurasawa, Aiko. 2015. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial  di  Pedesaan  1942 – 1945. Depok: Komunitas Bambu
  • Suyono, R.P, 1932-; Arif Priyadi. (2005). Seks dan kekerasan pada zaman kolonial : penelusuran kepustakaan sejarah / R.P. Suyono ; editor, Arif Priyadi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Jurnal
  • Lailatusysyukriah. (2015). Indonesia dan Konsepsi Negara Agraris. Jurnal Seuneubok Lada, 2(1), 1–8.
  • Setiawati, T. W., Mardjo, M., & Mahita Paksi, T. F. (2019). Politik Hukum Pertanian Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Global. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 26(3), 585–608.
Arsip Kompas
Internet